Biru sedang berusaha mengontrol dirinya agar bisa menangani pasien hari ini padahal bokongnya sudah gelisah tidak bisa duduk tenang di kursi.Pasalnya di gedung lain, masih di rumah sakit yang sama tempat dia berpraktik, istrinya tengah menunggu pembukaan untuk mengantarkan anak mereka lahir ke dunia.“Berapa orang lagi?” Biru bertanya kepada perawat yang menjadi asistennya hari ini.“Sepuluh, Dok.” Sang perawat menjawab.Sepuluh adalah angka yang banyak dan bisa dipastikan cukup lama karena Biru harus memeriksa luka bekas operasi lalu mendengar keluhan atau mendengar gejala yang dirasakan sang pasien bila pasien itu adalah pasien baru.Satu pasien bisa sepuluh sampai lima belas menit dan Biru tidak ingin melewatkan momen kelahiran putranya. “Bilang sama perawat yang jaga untuk kamar istri saya, kalau ada perkembangan apapun kabarin saya,” pinta Biru kepada asisten perawatnya.“Baik, Dok.” Perawat itu menyanggupi karena memang telah terinfo kalau tadi pagi istri dari dokter Biru masu
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Jingga meringis merasakan gejolak di dalam perutnya.“Sakit?” Biru bertanya, mendapat anggukan kepala dari Jingga.Biru menekan tombol untuk memanggil perawat dan sepertinya kepanikan Biru bisa mereka rasakan melalui penekanan berulang pada tombol yang tersambung ke pos perawat itu—dua orang perawat datang sambil berlari.“Saya cek dulu pembukaannya ya.” Salah satu perawat senior meminta ijin.“Ssssh ….” Jingga meringis, kali ini dia merasa ngilu di bagian intinya.“Oh iya, udah nambah pembukaannya … ayo kita ke ruang bersalin.” Instruksi perawat itu untuk semua orang di sana termasuk perawat lain yang tadi bersamanya agar melakukan prosedur sebelum persalinan.Mereka bersiap untuk mengantar Jingga ke ruang bersalin.“Tolong diputuskan siapa yang mau menemani pasien di dalam karena hanya boleh satu orang saja,” kata perawat senior ketika mereka berada di lorong dalam perjalanan menuju ruang bersalin.“Saya yang akan menemani istri saya d
“Ya ampun lucu banget … mirip banget sama abang Biru ini mah.” Cinta menatap layar ponselnya yang tersambung dalam panggilan video dengan Biru.Biru sedang memamerkan putranya yang baru saja lahir.“Iya … Jingganya cinta banget sama Biru jadi anaknya mirip Biru.” Itu suara mama Irma yang ada di sana juga.Cinta tergelak, matanya melirik Davian yang duduk di sampingnya sedang mematuti layar ponsel tanpa ekspresi.Davian dan Cinta sedang berada di kamar, sudah akan tidur tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi menunjukkan nama Biru pada layar.“Kak Jingga, ASI-nya banyak enggak? Sebelum melahirkan katanya harus breast massage gitu ya biar ASI-nya banyak?”Sebagai calon ibu yang sebentar lagi akan melahirkan, Cinta harus banyak bertanya kepada kakak iparnya yang sudah memiliki pengalaman.“Aku enggak, enggak ada waktu … tapi kata dokter cukup di-treatment sama papinya aja ….” Jingga menoleh menatap suaminya sambil tertawa.“Ampuh kok cuma di-treatment sama Biru doank, buktinya banjir ini ASI a
Biru tidak pernah mengambil jadwal praktek hingga malam jadi sore hari dia bisa berada di rumah berkumpul bersama keluarga kecilnya.Saat tiba di rumah tadi, Jingga sedang tertidur dan Biru tidak membangunkannya meski hari hampir malam karena kasihan, tengah malam nanti istrinya harus bangun menyusui.Biru bergegas mandi dan mengganti pakaian dengan pakaian rumahan agar bisa dia bermain dengan abang Javas.Bayi yang usianya belum genap satu bulan itu masih ringkih dan rapuh.Biru kadang tidak tega menggendongnya tapi dia ingin.Javas anteng berada dalam gendongan papinya yang berjalan mondar mandir di dalam kamar.Bayi mungil itu tampak tertidur pulas dengan napasnya yang teratur tapi ketika Biru simpan di atas ranjang, Javas akan bergerak gelisah.Tok … Tok … Terdengar suara ketukan di pintu.“Masuk,” kata Biru, tidak bisa membuka pintu karena kedua tangannya menggendong Javas.“Tolong bangunin Jingga, udah mau maghrib … pamali,” kata mama yang melongokan kepalanya pada celah pint
“Davian ….” Cinta mengguncang tubuh Davian yang terlelap memunggunginya.Dia terbangun tiba-tiba karena merasakan mulas yang luar biasa di bagian perut. Sesuatu yang dingin terasa dari bokong hingga kaki, Cinta menegakan punggung dan melihat kasur telah basah.“Daviaaaan.” Cinta mengguncang tubuh Davian lagi yang belum juga bergerak.Entah jam berapa Davian pulang setelah melakukan syuting salah satu program televisi yang menayangkan tentang kinerja polisi yang sedang patroli di malam hari.Pria itu bergerak membalikan badan, matanya masih terpejam.“Sayang … tidur lagi sayang,” gumamnya hendak memeluk tubuh Cinta.“Davian … bangun, ketuban aku pecah.” Cinta berlinang air mata padahal dia belum merasakan apa-apa hanya kekhawatiran yang besar mulai terbesit dibenaknya.Davian membuka mata perlahan karena samar mendengar suara isak tangis Cinta.“Sayang!” Davian terlonjak langsung mendudukan tubuhnya.“Kamu kenapa?” Pria itu membuka mata lebar-lebar menyibak selimut dan mendapati kasu
“Pak … kondisi putrinya sangat lemah dan rentan jadi harus dimasukan ke NICU.” Davian menahan saliva, menatap kosong pada sang perawat yang melanjutkan informasi juga apa-apa yang harus Davian lakukan tapi Davian tidak bisa mendengar apapun, telinganya berdengung.“Pak!” Perawat itu akhirnya berseru menyadarkan Davian.“Istri saya? Mana istri saya?” “Istri Bapak sedang mendapat penanganan khusus, bila dalam tiga jam tidak siuman maka harus dimasukan ke ICU … lebih baik sekarang Bapak pergi ke bagian administrasi.” Davian harus melakukan banyak urusan administrasi agar putrinya bisa segera dimasukan ke dalam NICU dan mencari ketersediaan kamar rawat inap atau ICU untuk Cinta.Kaki Davian yang mulai terasa lemas terpaksa harus melangkah menuju bagian administrasi.Hatinya mencelos membayangkan dua perempuan yang dia sayang setelah bunda harus mendapat penanganan khusus di ruang rawat NICU dan ICU.Davian tidak mampu lagi melangkah, dia jatuhkan tubuhnya di sebuah kursi di lorong itu.
Keadaan rumah dinas Davian sekarang terasa ramai karena kedatangan kakek dan neneknya Kiana.Sang primadona sedang dikerubungi oleh para kakek dan nenek yang tampak bahagia menyambut kehadirannya ke dunia.Bagi papi dan mami, Kiana adalah cucu kedua sedangkan bagi ayah dan bunda—Kiana merupakan cucu pertama yang pasti akan mereka sangat sayangi dan manjakan.Cinta keluar dari dalam kamar setelah mandi dibantu oleh Davian.Semenjak pagi, Cinta sibuk sekali mengurus Kiana dari mulai menjemur, memandikan hingga menyusui.Semua itu Cinta pelajari dari bidan yang sengaja Davian panggil ke rumah untuk mengajari Cinta bagaimana merawat bayi baru lahir.Jadi meski terkantuk-kantuk karena malamnya begadang, Cinta harus tetap fokus menerima ilmu baru agar bisa merawat Kiana dengan baik.“Gimana keadaannya sekarang?” Ayah yang pertama kali bertanya, beliau perhatian sekali kepada Cinta yang telah memberikan penerus untuknya.“Ngantuk, Yah.” Cinta menjawab jujur menghasilkan tawa dari yang lain.
Masa cuti Jingga sudah lama sekali berakhir, tapi dia masih saja merasakan berat hati setiap pagi karena harus meninggalkan Javas untuk bekerja dan berjuang sampai titik darah penghabisan setiap bulannya agar memenuhi target Regional bersama kepala tim marketing kartu kredit yang lain.Jingga yang pergi ke kantor pagi ini di antar sang suami tercinta tampak lesu.Beruntung bagi Jingga memiliki suami penyayang dan juga pengertian.Biru tidak melarang Jingga bekerja meski sebenarnya dia mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan keinginan Jingga.Pria itu terlalu sayang kepada istrinya sampai menurunkan ego agar mereka tidak perlu bertengkar hanya untuk urusan waktu.Tidak peduli Jingga akan menghabiskan tiga perempat harinya untuk urusan pekerjaan dari pada urusan keluarga yang penting Jingga senang karena sesungguhnya Biru percaya kalau Jingga mendahulukan apa yang terpenting.Biru sudah melihat bukti, meski Jingga seorang ibu bekerja tapi bisa memiliki waktu berkualitas dengan J
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,