“Eh … si sayang belum tidur,” tegur Davian dengan nada ceria.Pria itu baru pulang ketika jam sudah melewati pukul sembilan malam padahal jarak dari rumah ke kantornya hanya lima langkah.Cinta melirik sinis pada Davian kemudian memalingkan kembali wajahnya ke arah televisi.Dia sedang asyik menonton film di ruang televisi dengan toples keripik di atas pangkuan.Sengaja Cinta menonton tv di living room agar bisa sambil ngemil.Davian terkekeh, dia duduk si samping Cinta setelah membuka sepatunya.Aroma parfum eksclusive bercampur keringat segera saja menusuk indra penciuman Cinta yang anehnya membuat darah Cinta berdesir bukannya mual.Padahal dia mencium aroma pelembut pakaian saja sampai mual dan muntah.Si jabang bayi di dalam perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.Davian memasukan tangannya ke dalam toples lalu mencomot keripik dari dalam toples yang kemudian ia masukan ke dalam mulut.Refleks Cinta menepuk tangan Davian. “Jorok ih, cuci tangan dulu sana,” omel Cinta sep
Semestinya Cinta tidak percaya dengan janji manis Davian.Sudah berbulan-bulan dia bisa bertahan tapi sekarang kenapa kepalanya malah mengangguk pelan?Melihat respon lampu hijau dari Cinta, seketika mata Davian berbinar.Senyumnya merekah menambah ketampanan pria itu.Tapi Davian tidak langsung mengeksekusi dengan membabi buta.Dia lepaskan satu tangan dari pinggang Cinta untuk dipindahkan menangkup sisi wajahnya.Diusapnya lembut bibir Cinta menggunakan ibu jari.Cinta bisa melihat Davian menelan saliva.Pria itu tampak begitu menginginkan bibir Cinta.Perlahan wajah Davian mendekat dengan netra memaku tatap dan ketika bibir pria itu hampir menyentuh bibir Cinta—yang bersangkutan malah melipat bibirnya ke dalam.“Saayaaang.” Davian mengesah mengerutkan wajahnya kesal bercampur kecewa.Dia juga membuat jarak antara wajahnya dengan wajah Cinta.“Beliin dulu aku martabak telur ekstra daging sapi,” pintanya santai.Davian mengembuskan napas panjang ke langit-langit ruangan.Dia menegaka
Biru sedang berusaha mengontrol dirinya agar bisa menangani pasien hari ini padahal bokongnya sudah gelisah tidak bisa duduk tenang di kursi.Pasalnya di gedung lain, masih di rumah sakit yang sama tempat dia berpraktik, istrinya tengah menunggu pembukaan untuk mengantarkan anak mereka lahir ke dunia.“Berapa orang lagi?” Biru bertanya kepada perawat yang menjadi asistennya hari ini.“Sepuluh, Dok.” Sang perawat menjawab.Sepuluh adalah angka yang banyak dan bisa dipastikan cukup lama karena Biru harus memeriksa luka bekas operasi lalu mendengar keluhan atau mendengar gejala yang dirasakan sang pasien bila pasien itu adalah pasien baru.Satu pasien bisa sepuluh sampai lima belas menit dan Biru tidak ingin melewatkan momen kelahiran putranya. “Bilang sama perawat yang jaga untuk kamar istri saya, kalau ada perkembangan apapun kabarin saya,” pinta Biru kepada asisten perawatnya.“Baik, Dok.” Perawat itu menyanggupi karena memang telah terinfo kalau tadi pagi istri dari dokter Biru masu
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Jingga meringis merasakan gejolak di dalam perutnya.“Sakit?” Biru bertanya, mendapat anggukan kepala dari Jingga.Biru menekan tombol untuk memanggil perawat dan sepertinya kepanikan Biru bisa mereka rasakan melalui penekanan berulang pada tombol yang tersambung ke pos perawat itu—dua orang perawat datang sambil berlari.“Saya cek dulu pembukaannya ya.” Salah satu perawat senior meminta ijin.“Ssssh ….” Jingga meringis, kali ini dia merasa ngilu di bagian intinya.“Oh iya, udah nambah pembukaannya … ayo kita ke ruang bersalin.” Instruksi perawat itu untuk semua orang di sana termasuk perawat lain yang tadi bersamanya agar melakukan prosedur sebelum persalinan.Mereka bersiap untuk mengantar Jingga ke ruang bersalin.“Tolong diputuskan siapa yang mau menemani pasien di dalam karena hanya boleh satu orang saja,” kata perawat senior ketika mereka berada di lorong dalam perjalanan menuju ruang bersalin.“Saya yang akan menemani istri saya d
“Ya ampun lucu banget … mirip banget sama abang Biru ini mah.” Cinta menatap layar ponselnya yang tersambung dalam panggilan video dengan Biru.Biru sedang memamerkan putranya yang baru saja lahir.“Iya … Jingganya cinta banget sama Biru jadi anaknya mirip Biru.” Itu suara mama Irma yang ada di sana juga.Cinta tergelak, matanya melirik Davian yang duduk di sampingnya sedang mematuti layar ponsel tanpa ekspresi.Davian dan Cinta sedang berada di kamar, sudah akan tidur tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi menunjukkan nama Biru pada layar.“Kak Jingga, ASI-nya banyak enggak? Sebelum melahirkan katanya harus breast massage gitu ya biar ASI-nya banyak?”Sebagai calon ibu yang sebentar lagi akan melahirkan, Cinta harus banyak bertanya kepada kakak iparnya yang sudah memiliki pengalaman.“Aku enggak, enggak ada waktu … tapi kata dokter cukup di-treatment sama papinya aja ….” Jingga menoleh menatap suaminya sambil tertawa.“Ampuh kok cuma di-treatment sama Biru doank, buktinya banjir ini ASI a
Biru tidak pernah mengambil jadwal praktek hingga malam jadi sore hari dia bisa berada di rumah berkumpul bersama keluarga kecilnya.Saat tiba di rumah tadi, Jingga sedang tertidur dan Biru tidak membangunkannya meski hari hampir malam karena kasihan, tengah malam nanti istrinya harus bangun menyusui.Biru bergegas mandi dan mengganti pakaian dengan pakaian rumahan agar bisa dia bermain dengan abang Javas.Bayi yang usianya belum genap satu bulan itu masih ringkih dan rapuh.Biru kadang tidak tega menggendongnya tapi dia ingin.Javas anteng berada dalam gendongan papinya yang berjalan mondar mandir di dalam kamar.Bayi mungil itu tampak tertidur pulas dengan napasnya yang teratur tapi ketika Biru simpan di atas ranjang, Javas akan bergerak gelisah.Tok … Tok … Terdengar suara ketukan di pintu.“Masuk,” kata Biru, tidak bisa membuka pintu karena kedua tangannya menggendong Javas.“Tolong bangunin Jingga, udah mau maghrib … pamali,” kata mama yang melongokan kepalanya pada celah pint
“Davian ….” Cinta mengguncang tubuh Davian yang terlelap memunggunginya.Dia terbangun tiba-tiba karena merasakan mulas yang luar biasa di bagian perut. Sesuatu yang dingin terasa dari bokong hingga kaki, Cinta menegakan punggung dan melihat kasur telah basah.“Daviaaaan.” Cinta mengguncang tubuh Davian lagi yang belum juga bergerak.Entah jam berapa Davian pulang setelah melakukan syuting salah satu program televisi yang menayangkan tentang kinerja polisi yang sedang patroli di malam hari.Pria itu bergerak membalikan badan, matanya masih terpejam.“Sayang … tidur lagi sayang,” gumamnya hendak memeluk tubuh Cinta.“Davian … bangun, ketuban aku pecah.” Cinta berlinang air mata padahal dia belum merasakan apa-apa hanya kekhawatiran yang besar mulai terbesit dibenaknya.Davian membuka mata perlahan karena samar mendengar suara isak tangis Cinta.“Sayang!” Davian terlonjak langsung mendudukan tubuhnya.“Kamu kenapa?” Pria itu membuka mata lebar-lebar menyibak selimut dan mendapati kasu
“Pak … kondisi putrinya sangat lemah dan rentan jadi harus dimasukan ke NICU.” Davian menahan saliva, menatap kosong pada sang perawat yang melanjutkan informasi juga apa-apa yang harus Davian lakukan tapi Davian tidak bisa mendengar apapun, telinganya berdengung.“Pak!” Perawat itu akhirnya berseru menyadarkan Davian.“Istri saya? Mana istri saya?” “Istri Bapak sedang mendapat penanganan khusus, bila dalam tiga jam tidak siuman maka harus dimasukan ke ICU … lebih baik sekarang Bapak pergi ke bagian administrasi.” Davian harus melakukan banyak urusan administrasi agar putrinya bisa segera dimasukan ke dalam NICU dan mencari ketersediaan kamar rawat inap atau ICU untuk Cinta.Kaki Davian yang mulai terasa lemas terpaksa harus melangkah menuju bagian administrasi.Hatinya mencelos membayangkan dua perempuan yang dia sayang setelah bunda harus mendapat penanganan khusus di ruang rawat NICU dan ICU.Davian tidak mampu lagi melangkah, dia jatuhkan tubuhnya di sebuah kursi di lorong itu.