Sengaja Biru membawa keluarga kecilnya jalan-jalan ke Anyer.Dia menyewa dua unit cottage di sebuah resort mewah yang lengkap dengan fasilitas watersport-nya.Alasan dia menyewa dua cottage yang letaknya bersebelahan adalah karena Biru membawa asisten rumah tangga dan Nanny-nya Javas ikut serta dalam liburan kali ini.Apalagi kalau bukan agar dia dan Jingga bisa menghabiskan banyak waktu tanpa gangguan Javas tapi sang putra tetap masih berada dalam jangkauannya.Begitu sampai di Cottage, Biru tidak membiarkan Jingga menikmati keindahan resort barang sebentar saja karena dia langsung memberi instruksi kepada sang Nanny agar menjaga Javas sebentar.Biru beralasan kalau dia dan Jingga akan melakukan massage di tempat spa.Jingga sempat tertawa mendengar alasan Biru tersebut.Namun tawanya sekarang berubah menjadi desahan setengah merintih penuh nikmat saat Biru menghujamnya dari belakang.Pria itu berdiri di sisi ranjang sementara Jingga menungging dengan lutut menumpu pada ranjang.Tang
“Terus kapan kamu mau lanjutin kuliah? Beranak terus.” Sumpah ya, Biru kesal sekali waktu tahu Davian berhasil menghamili Cinta lagi.“Abis lahiran Cinta mau lanjutin kuliah kok, lagian gimana donk… mas Davinya ngelarang Cinta pake KB… katanya mending sekarang banyakin anak dulu biar sekalian capeknya.”“Halaaaah, kamu mana ada capek-capeknya… kerjaan rumah dikerjain Encum, Kiana sama Nanny.” “Yeeee, si Abang sensi banget… kenapa sih?” Cinta mengerucutkan bibirnya kesal.“Kamu janji ya, udah ini….” Biru menunjuk perut Cinta menggunakan jarinya.“Udah dulu,” sambung Biru dengan sorot mata tajam.“Kalau mas Davi ingin satu lagi gimana?”“Wajib kamu tolak!” Biru berseru memaksa.“Iiiih … Abaaaang.” Cinta merengek, mendorong telunjuk Biru yang nyaris menyentuh hidungnya.“Sayaaaaang,” panggil Davian dari ruang tamu.“Eh, suami Cinta pulang.” Cinta bergegas bangkit dari sofa, senyumnya sumringah dan matanya berbinar.Dari sana Biru tahu kalau Cinta sudah kalah dengan bencinya kepada Davi
Kehamilan Jingga yang kedua ini sungguh merepotkan.Jingga jadi sering ambil ijin potong cuti karena morning sick yang tidak bisa diajak kompromi sampai terkadang Jingga pingsan karena lelah muntah-muntah.Otomatis Biru jadi sering terlambat datang ke tempat praktik.Tapi mau bagaimana lagi, Biru harus menemani Jingga di saat-saat kondisi terburuknya terlebih anak kedua ini adalah keinginannya.Bayangkan saja, bagaimana kesalnya Jingga yang sering mendapat teguran sang atasan.Sekalinya Jingga memaksakan pergi ke kantor, satu lantai gempar karena Jingga muntah-muntah lalu pingsan.Kalau bukan mengingat kinerja Jingga yang selalu bagus di masa lalu, meski sekarang terseok menutupi target karena keseringan cuti—Jingga pasti sudah menerima surat pemecatan.Atasannya percaya kalau Jingga mampu bangkit lagi.“Sayang, masih mual?” Biru berbisik di puncak kepala Jingga.Saat ini mereka berdua tengah berbaring di atas tempat tidur saling berpelukan dengan pakaian kerja lengkap setelah tadi Ji
Sesampainya di rumah sakit, Biru berlarian menuju ruang praktek, dia gelisah karena telah membuat para pasien menunggu.Tapi Biru tetap melakukan pekerjaannya dengan profesional, dia matikan ponselnya sebentar agar bisa fokus.Pasien demi pasien yang datang sebisa mungkin Biru layani dengan baik, berbekal ilmu yang dimilikinya Biru harus bisa menjadi tangan Tuhan menyembuhkan mereka yang banyaknya mengidap penyakit ganas.Hampir sore ketika dia menyelesaikan praktik, Biru menyalakan ponselnya.Sang istri tercinta yang pertama kali dia hubungi.Setelah berpamitan kepada perawat, Biru menderapkan langkah menuju basement dengan ponsel menempel di telinga.Entah panggilan keberapa akhirnya panggilan tersebut dijawab juga.“Hallo?” Suara Jingga terdengar ngegas.“Udah sampe mangga mudanya, sayang?”“Udah, tapi kenapa kamu nyuruh anggota TNI yang anter ke sini? Kamu menyalahgunakan jabatan papi kamu.”Jingga kesal, dia ingin papinya bayi yang membelikan mangga muda.“Itu ajudannya papi saya
Proses kelahiran anak kedua ini, Cinta dan Davian memutuskan untuk melakukan caesar mengingat proses kelahiran Kiana juga menggunakan cara itu.Tanggal sudah ditentukan, Davian sengaja mengambil cuti untuk bisa menemani istrinya.“Waktu lahiran Kiana, aku panik loh sayang … aku sendirian di depan ruang tunggu operasi … mana sebelumnya kamu pecah ketuban terus berdarah … udah gitu leher Kiana kelilit ari-ari … aku stress banget.” Davian duduk di kursi yang diletakan samping ranjang Cinta di kamar rawat inap sebuah rumah sakit terbaik di Jakarta.Mereka sedang menunggu petugas medis siap melakukan operasi caesar.“Aku pikir aku akan mati.” Cinta mengatakan perasaannya saat itu.Davian bangkit dari kursi, dia duduk di sisi ranjang menghadap Cinta yang sedang bersandar pada kepala ranjang yang dibuat tegak.Pria itu lantas memeluk Cinta erat.“Jangan ngomong gitu lagi, kamu enggak boleh mati … nanti aku sama siapa?” Davian bergumam di leher Cinta.“Bucin!” Cinta meledek.“Memang.” Davian
Setelah pintu tertutup, mereka semua balik badan untuk duduk dan menunggu di ruang tunggu.Pundak Davian melorot, raut wajahnya menyendu.“Cinta kuat kok, dia bisa melewati operasi caesar ini.” Papi menepuk pundak Davian pelan sebagai penguat untuk menantunya yang langsung mendapat anggukan pelan dari yang bersangkutan.Mereka duduk di sofa set dengan Davian duduk di single sofa.Dia tampak menundukan kepala padahal sedang berdoa merayu Yang Maha Kuasa agar proses melahirkan Cinta berjalan lancar.Karena seperti katanya tadi kepada Cinta kalau dia tidak ingin Cinta meninggalkannya.Dia benar-benar mencintai ibu dari anak-anaknya itu.Entah apa yang terjadi kalau dia sampai kehilangan Cinta.Davian sedang dilanda khawatir karena trauma dengan proses melahirkan Cinta yang pertama. Detik berganti menit dan menit berganti jam, Davian sudah gelisah merasa operasi caesar yang dilakukan Cinta terlalu lama. Dia bangkit dari sofa mulai melangkah menuju pintu ruang operasi namun sebelum langk
Belum dua tahun, Jingga sudah harus merasakan mulas dan ‘nikmatnya’ melahirkan.Semua rasa yang Jingga dapatkan saat melahirkan Javas saja masih bisa dia ingat dengan jelas.Semua ini gara-gara Biru yang memaksakan kehendak ingin menyusul Davian dan Cinta dalam urusan anak.Sungguh, sampai detik ini Jingga dendam kesumat kepada suami lucknut-nya itu. Jadi ketika sekarang dia merasakan kontraksi yang hebat dalam masa pembukaan sebelum melahirkan, Jingga hanya bisa diam membungkam mulutnya dan enggan menatap wajah Biru.Mata Jingga terpejam semenjak dia memasuki ruangan ini.“Sayang …,” lirih Biru sembari mengusap kepala Jingga.Sengaja Jingga memejamkan matanya sebagai bentuk protes dan tentu saja Biru sebagai suami yang sudah hidup bersama Jingga selama kurang lebih tiga tahun tentunya tahu kalau sang istri tengah memendam kesal.“Sayang, tahan ya … sabar ….” Biru memberi semangat.Kelopak mata Jingga kontan terbuka, melotot pada Biru.“Sabar … sabar … tahan … tahan … coba deh kamu r
“Udaaah … udaaah, jangan cengeng ah … kamu itu laki-laki, udah besar juga!” Mami mengusap-ngusap punggung Biru yang masih belum berhenti meraung di pangkuannya.“Jingganya udah siuman tuh, kamu temui dia sekarang,” ujar papi agar Biru berhenti menangis.Jadi semenjak Jingga tidak sadarkan diri tadi usai melahirkan anak mereka, Biru menangis tersedu seperti anak kecil, dan sekarang ketika Jingga sudah siuman, bukannya segera menemui istrinya malah menangis di pangkuan mami.Semua rasa bercampur menjadi satu tapi penyesalan mendominasi, tubuh Biru sampai lemas sekali.Dia menegakan punggung, mengusap air mata di wajah menggunakan punggung tangan, jangan sampai kedua mertuanya dan Jingga tahu kalau dia barus selesai menangis kejer.Biru pikir akan kehilangan Jingga, bila sampai terjadi maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Badan aja gede, nangis kaya anak kecil … setiap orang yang lewat taman ini pasti noleh ngeliat kamu, disangkanya kamu ditinggal meninggal istri.”“Pii
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,