Setelah pintu tertutup, mereka semua balik badan untuk duduk dan menunggu di ruang tunggu.Pundak Davian melorot, raut wajahnya menyendu.“Cinta kuat kok, dia bisa melewati operasi caesar ini.” Papi menepuk pundak Davian pelan sebagai penguat untuk menantunya yang langsung mendapat anggukan pelan dari yang bersangkutan.Mereka duduk di sofa set dengan Davian duduk di single sofa.Dia tampak menundukan kepala padahal sedang berdoa merayu Yang Maha Kuasa agar proses melahirkan Cinta berjalan lancar.Karena seperti katanya tadi kepada Cinta kalau dia tidak ingin Cinta meninggalkannya.Dia benar-benar mencintai ibu dari anak-anaknya itu.Entah apa yang terjadi kalau dia sampai kehilangan Cinta.Davian sedang dilanda khawatir karena trauma dengan proses melahirkan Cinta yang pertama. Detik berganti menit dan menit berganti jam, Davian sudah gelisah merasa operasi caesar yang dilakukan Cinta terlalu lama. Dia bangkit dari sofa mulai melangkah menuju pintu ruang operasi namun sebelum langk
Belum dua tahun, Jingga sudah harus merasakan mulas dan ‘nikmatnya’ melahirkan.Semua rasa yang Jingga dapatkan saat melahirkan Javas saja masih bisa dia ingat dengan jelas.Semua ini gara-gara Biru yang memaksakan kehendak ingin menyusul Davian dan Cinta dalam urusan anak.Sungguh, sampai detik ini Jingga dendam kesumat kepada suami lucknut-nya itu. Jadi ketika sekarang dia merasakan kontraksi yang hebat dalam masa pembukaan sebelum melahirkan, Jingga hanya bisa diam membungkam mulutnya dan enggan menatap wajah Biru.Mata Jingga terpejam semenjak dia memasuki ruangan ini.“Sayang …,” lirih Biru sembari mengusap kepala Jingga.Sengaja Jingga memejamkan matanya sebagai bentuk protes dan tentu saja Biru sebagai suami yang sudah hidup bersama Jingga selama kurang lebih tiga tahun tentunya tahu kalau sang istri tengah memendam kesal.“Sayang, tahan ya … sabar ….” Biru memberi semangat.Kelopak mata Jingga kontan terbuka, melotot pada Biru.“Sabar … sabar … tahan … tahan … coba deh kamu r
“Udaaah … udaaah, jangan cengeng ah … kamu itu laki-laki, udah besar juga!” Mami mengusap-ngusap punggung Biru yang masih belum berhenti meraung di pangkuannya.“Jingganya udah siuman tuh, kamu temui dia sekarang,” ujar papi agar Biru berhenti menangis.Jadi semenjak Jingga tidak sadarkan diri tadi usai melahirkan anak mereka, Biru menangis tersedu seperti anak kecil, dan sekarang ketika Jingga sudah siuman, bukannya segera menemui istrinya malah menangis di pangkuan mami.Semua rasa bercampur menjadi satu tapi penyesalan mendominasi, tubuh Biru sampai lemas sekali.Dia menegakan punggung, mengusap air mata di wajah menggunakan punggung tangan, jangan sampai kedua mertuanya dan Jingga tahu kalau dia barus selesai menangis kejer.Biru pikir akan kehilangan Jingga, bila sampai terjadi maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.“Badan aja gede, nangis kaya anak kecil … setiap orang yang lewat taman ini pasti noleh ngeliat kamu, disangkanya kamu ditinggal meninggal istri.”“Pii
“Cintaaaa … ini Bara nangis, kamu susui dulu.” Mami masuk ke dalam kamar Cinta yang sedang tidur siang bersama Kiana.“Aduh Miiii, ‘kan ada susu formula … pake susu formula aja … Cinta ngantuk, nanti malem harus begadang.”Cinta malah balas merengek.“Cinta … susu formula itu dikasih sama Bara kalau ASI kamu lagi enggak ada aja, perjanjiannya Bara minum susu formula karena nyusunya kalau anak laki-laki ‘kan memang banyak, bukan karena kamu males menyusui.” Mami mengomel membuat pening kepala Cinta.“Miiii … Ssttt … Ssttt … berisik Mi, Kiana lagi bobo.” Cinta menempelkan telunjuknya di bibir dengan mata masih terpejam seakan rugi bila membuka mata karena mungkin nanti ngantuknya bisa hilang.“Kamu itu ya, bikin anak aja terus … tapi ngurus enggak mau.” Mami masih ngomel seiring langkahnya keluar kamar membawa Bara yang tengah menangis karena lapar.“Nan … buatkan susu formula untuk Bara lalu bawa ke bawah,” titah Mami yang mendapat anggukan dari Nanny.Secepat kilat Nanny pergi ke kama
Davian menarik langkah menjauh dari ruang televisi, meniti anak tangga untuk tiba di kamar.Sesampainya di kamar, kegelapan menyambutnya.Samar dia melihat Cinta dan Kiana berbaring di atas ranjang.“Sayang, udah lewat maghrib lho … masa belum bangun?” Davian berujar lembut saat Cinta menggeliat karena terusik lampu kamar yang dinyalakan Davian membuat ruangan itu terang benderang.“Kan aku nanti malem begadang, Mas.” Cinta menyahut dengan suara parau.“Pappiii … Papapiiii.” Kiana yang ikut bangun langsung mendudukan tubuhnya sembari memanggil sang papi.“Waaah, Kakak udah bisa manggil Papi?” Cinta begitu takjub.“Coba panggil, Buundaaa … Bun … daaaa.” Cinta menuntun, ingin juga disebut oleh Kiana.Tapi Kiana hanya bisa menggerakan bibirnya tanpa suara.“Yaaaah, kamu pilih kasih …,” kata Cinta sembari menjawil hidung Kiana lalu turun dari tempat tidur.“Mas, panggil Nanny-nya Kiana ya … suruh mandiin sama kasih makan Kiana… aku mau mandi dulu,” titah Cinta kepada suaminya seraya melen
“Loh Nan, anak-anak kenapa nangis?” Bunda yang baru saja datang langsung menuju lantai dua karena mendengar suara tangis cucu-cucunya.“Ini Bu, tadi Bara bangun karena popoknya penuh … terus nangis karena mungkin masih ngantuk, Kiana jadi kebangun karena berisik mendengar suara tangis Bara, Kiana yang masih ngantuk juga jadi ikutan nangis,” tutur Nanny-nya Bara karena Nanny-nya Kiana sedang membuat susu formula.“Cinta mana?” Bunda bertanya, beliau menggendong Kiana yang menangis dari atas ranjangnya.Nanny-nya Kiana langsung memberikan botol susu kepada Kiana juga Bara yang digendong oleh Nanny-nya begitu dua botol susu formula itu selesai dia buat.“Ibu di kamar,” jawab Nanny-nya Bara.“Lagi ngapain?” Bunda bertanya lagi.Nanny Bara melirik kepada Nanny Kiana, keduanya lantas menggelengkan kepala setelah mengalihkan tatap pada bunda.“Kamu panggil donk, siapa tahu enggak denger.” Bunda jadi gemas.“Enggak berani, Bu … takut ganggu.” Nanny Kiana yang berani bicara seperti itu.“Masa
“Baik Pak, Baik … saya akan coba koordinasi dengan tim ….” Jingga mengangkat tangan lalu mengayunkannya.Gesture tubuh Jingga mengusir Nanny yang sedang menggendong putri mereka yang tengah menangis tertangkap jelas oleh indra penglihatan Biru ketika dia baru saja masuk ke dalam kamar.Biru menatap Jingga tidak suka, sang istri hanya menatapnya sebentar lantas pergi ke balkon melanjutkan percakapan dengan bosnya yang sekilas Biru tangkap dari cara bicara Jingga.“Buat susu formula ya, Nan … sini, Zia saya gendong.” “Iya, Pak ….” Nanny-nya Zia memberikan Zia yang masih menangis kencang kepada Biru.“Sayang … sayang Papi … laper ya sayang?” Biru menggerakan tubuhnya berharap Zia berhenti menangis karena perhatiannya teralihkan oleh guncangan tubuh sang papi.Namun hingga Nanny kembali membawa botol susu, tangis Zia barulah berhenti.Mulut Zia mengisap kencang dot dari botol susu dengan mata terpejam.Jejak buliran kristal di bawa mata tampak mengalir ke sisi wajah.Biru menatap iba pa
Cinta memutuskan melanjutkan kuliah tahun ini agar bisa terbebas dari tugasnya mengasuh Kiana dan Bara.Seharian ini Cinta dibantu orang suruhan papi menyelesaikan administrasi di kampus.Dia duduk di samping pria yang usianya hanya terpaut lima tahun di atas Biru.Cinta memanggilnya dengan sebutan om Ridho.“Om … lama banget ya.” Cinta menghentakan kakinya merengek.“Sabar sebentar … walau papi kamu Jendral … kita enggak bisa seenaknya,” ujar om Ridho yang sebenarnya dia juga lelah menjadi Baby sitter Cinta hari ini.“Huuufffttt.” Cinta menyandarkan punggung, kepalanya menengadah dengan mata terpejam.“Cinta beli kopi dulu ya, Om mau enggak?” Cinta yang bokongnya sudah panas setelah berjam-jam duduk di sana pun bangkit dari kursi.“Mau donk,” kata om Ridho menyahut.Cinta pergi dan tidak lama kembali membawa dua cup berisi kopi di tangan.“Udah beres Om?” Cinta bertanya sembari memberikan satu cup kopi.“Belum, Cintaaa … tuuuh, orang-orang di sini juga masih pada nunggu … sama kaya k
Biru merangkul pundak Jingga, mengecup pelipisnya sebagai ungkapan Terimakasih yang sudah ribuan kali dia ungkapkan semenjak Jingga dengan kesadaran sendiri mengajak Biru ke dokter kandungan setahun lalu untuk membuka KB IUD.Katanya Jingga merindukan suara tawa bayi dan pekerjaannya yang sekarang pun tidak seberat dulu.Jadi Jingga merasa mungkin sudah waktunya memiliki anak ke tiga.Dan tanpa dia duga, hanya dalam jangka waktu kurang lebih setahun setelah membuka KB IUD—Tuhan mempercayakan malaikat kecilnya lagi kepada mereka. Semua bahagia mendengar kabar kehamilan Jingga.Kehamilannya yang ketiga ini pun begitu dinikmati oleh Jingga.Pekerjaan Jingga tidak terganggu karena tidak ada kendala berarti selama kehamilan.Sampai Jingga lupa mengajukan cuti hamil, dia tetap pergi ke kantor meski kandungannya sudah memasuki masa persalinan.Pagi itu satu kantor geger karena Jingga ditemukan jatuh di kamar mandi oleh stafnya dengan ketuban pecah.“Panggil ambulan!” Atasan Jingga berseru k
Papi sudah pensiun sebagai Panglima TNI Republik Indonesia, sekarang beliau sedang menikmati masa tua di rumah saja. Ada beberapa bisnis yang digeluti papi yang sudah dipersiapkan sebelum pensiun tapi tidak memerlukan perhatian khusus dari beliau.Hanya sesekali saja mengecek dan sisa waktunya papi bisa habiskan dengan bermain bersama cucu.Setelah Cinta menjadi sarjana meski sempat terseok menjalaninya karena harus melahirkan anak ke tiga, papi meminta besannya yaitu papanya Jingga untuk memasukan Cinta menjadi pegawai Bank dari jalur Officer Development Program.Kebetulan Cinta berkuliah di kampus unggulan dan memiliki IPK yang baik dan ternyata Cinta bisa lulus menjalani test yang dilakukan pihak ketiga dan sekarang Cinta seperti kakak iparnya, menjadi seorang bankir.Davian tidak melarang Cinta berkarir, seperti halnya Biru yang justru mendukung karir Jingga.Meski sekarang Jingga lebih menikmati bekerja dibalik meja menjadi backoffice berkutat setiap harinya dengan kertas dan an
Hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya, Cinta seakan bukan miliknya lagi.Cinta dikuasai oleh Kiana dan Bara apalagi Bara yang masih sering tantrum, kalau kata bunda dan mami—mungkin Bara tahu akan memiliki adik sementara dia masih ingin kasih sayang dan perhatian full dari kedua orang tuanya.Baiklah, ingatkan Davian untuk meminta Cinta pasang KB setelah melahirkan anak ketiga mereka nanti.Karena sesungguhnya, tanpa ada yang tahu kalau Cinta tertekan.Dia lelah karena harus membagi waktu dengan anak-anak dan kuliah.Berimbas pada bobot tubuh Cinta yang menurun padahal sedang mengandung.“Sayang.” Suara Davian yang baru saja masuk ke dalam kamar membuat Cinta refleks mengusap air mata di pipi.“Kamu nangis?” Davian bergerak mendekat dengan langkah cepat.Pria yang gagah dan selalu tampan di mata Cinta dengan seragam Polisinya itu langsung menangkup wajah Cinta menggunakan tangannya yang besar.“Kamu nangis?” Davian mengulang.“Enggak, tadi aku pakai obat tetes mata karena mata aku
Semenjak kejadian Davian menyusul Cinta yang pergi tanpa ijinnya ke Puncak, Cinta jadi banyak berubah.Sekarang Cinta lebih mementingkan keluarga kecilnya.Cinta sudah tidak lagi melimpahkan urusan anak-anak kepada Nanny kalau dia ada di rumah.Meski keteteran dengan tugas kuliah tapi sebisa mungkin Cinta yang mengambil peran untuk mengurus anak-anaknya.Davian juga sebagai suami tidak merasa dirinya paling benar, dia berpikir kalau Cinta sempat khilaf pasti karena kesalahannya juga.Bila dulu Davian jarang sekali mengajak Cinta jalan-jalan, setelah kejadian itu Davian membuat jadwal kencan berdua dengan Cinta di malam minggu.Jadi setiap malam minggu, Davian dan Cinta akan mengantarkan Kiana dan Bara bergantian antara rumah papinya Cinta atau rumah ayahnya Davian untuk menitipkan mereka sementara dia dan Cinta menghabiskan malam minggu berdua.Entah itu hanya makan malam, nonton konser, nonton film atau checkin di hotel berbintang dan pulang keesokan harinya. Dan malam ini—selagi ka
Davian menarik pundak Cinta kemudian mengecup pelipis istrinya.“Aku pake baju dulu ya, kasian papi sama mami udah nungguin.” Tidak ada respon dari Cinta, raut wajahnya masih masam.“Papi ganti baju dulu ya, Kiana duduk sini sama bunda.”Cinta merangkul Kiana sehingga Kiana mau duduk di atas pangkuannya sedangkan Davian pergi ke walk in closet memakai pakaian.“Kakak kenapa pukul ade? Adenya disayang ya?” Cinta menegur Kiana dengan suara lembut.Melihat jejak air mata di wajah sang bunda membuat perasaan Kiana jadi tidak nyaman.Dia memeluk sang bunda.“Maafin Kiana Buna.” “Harus sayang sama ade ya?” pinta sang bunda dengan pendar sendu di mata.Kiana mengangguk.Davian bisa mendengar percakapan Cinta dengan Kiana dari dalam walk in closet kemudian bibirnya tersenyum karena hatinya menghangat.*** Mobil yang kemudikan Davian dan Biru bersamaan tiba di pelataran parkir sebuah studio.Protokoler papi yang mengetahui kedatangan mobil putra dan menantu sang Jendral langsung mengarahkan
“Mas … tolong jawab dulu itu telepon enggak tahu dari siapa,” kata Cinta meminta bantuan saat sang suami masuk ke dalam kamar anak-anak untuk mencari tahu kenapa anak-anak menangis.“Oh … oke.” Davian bergerak ke sebuah meja di mana ponsel sang istri berada.“Kiana … hey, udah nangisnya … tadi Bunda ‘kan harus menyusui ade Bara dulu.”“Hallo ….” Suara Davian terdengar menyahut.Om Ridho sampai menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek apakah mungkin dia salah menekan nomor karena bukan suara Cinta yang seharusnya dia dengar malah suara seorang pria.“Om Ridho!” Davian berseru karena telah melihat nama di layar ponsel Cinta. “Oh … ini Mas Davian ya?” Ridho memastikan.“Iya, Om.” “Uuuh sayang … sayang …” Suara Cinta bersama tangisan anak kecil masih bisa didengar oleh Ridho.Seperti dejavu karena saat menghubungi Biru tadi dia juga mendengar hal yang sama.“Ini kalian masih di rumah ya? Ibu sama Bapak udah sampai, beliau meminta kalian segera datang.” Om Ridho memberitahu.“Iya Om
Mengetahui kalau Biru dengan Davian telah berdamai, papi dan mami berinisiatif untuk melakukan foto keluarga bersama anak, cucu, menantunya.Kebahagiaan yang setiap tahun dirasakan mami dan papi dengan kehadiran cucu-cucu patut diabadikan.Studio foto milik photographer ternama yang menjadi pilihan papi dan mami untuk mengabadikan moment kelengkapan keluarga mereka.“Lho … Biru sama Cinta belum sampai?” Papi bicara pada Ridho-sang ajudan begitu tiba di studio foto dan tidak mendapati anak cucu dan menantunya di sana.Ya mana Ridho tahu, ‘kan dia pergi dari rumah bersama papi.“Sepertinya belum, Pak.” Ridho menjawab.“Mungkin mereka kejebak macet. “Mami menimpali.”“Selamat siang Pak Yuna Dewangga.” Sang photographer menyambut.“Selamat siang.” Papi dan pria Photographer saling menjabat tangan, setelah itu pria photographer beralih pada mami.“Anak dan menantu beserta cucu-cucu saya belum datang, bisa kita tunggu sebentar?“ kata papi meminta waktu.“Oh … tidak masalah, bagaimana kalau
“Raina itu sekertaris aku … aku akan selalu ngajak dia ke pesta untuk cari tahu tentang klien dari sekertaris mereka … aku sengaja beliin dia gaun biar dia enggak ngoceh di luaran kalau uangnya habis beli gaun untuk nemenin aku ke pesta … hubungan aku sama Raina hanya sebatas pekerjaan.” Reyshaka akhirnya bersuara setelah beberapa lama diam sambil memeluk Namira.Namira tidak menyahut, membiarkan kalimat penjelasan Reyshaka menguap begitu saja.Gemas karena Namira tidak memberikan respon, pria itu lantas menegakan tubuh membawa Namira dalam pelukannya.“Terus … penjelasan kamu apa?” tanya Reyshaka menuntut setelah mengurai pelukan.Mata almond Namira mengerjap, istri cantiknya melongo bingung.“Penjelasan atas apa?” Namira bertanya polos.“Tadi ‘kan aku udah jelasin kenapa aku harus pergi ke pesta dengan Raina dan beliin dia gaun … sekarang aku mau denger penjelasan kamu kenapa bisa makan siang sama Erwan?”Namira tersenyum di dalam hati, suaminya ternyata benar-benar cemburu dan dia
“Pagi, Pak …,” sapa Jingga saat netranya bertemu dengan netra sang bos yang duduk di balik meja kerja.“Pagi … duduk, Bu Jingga.” Pak Kurnia mempersilahkan.Jingga tahu kalau dia akan dicecar habis-habisan karena target timnya masih merah sedangkan lima hari lagi akhir bulan.Jingga duduk, senyumnya tampak kaku tapi dia siap menerima apapun yang akan disampaikan pak Kurnia.“Begini Bu Jingga, mengingat hampir sepanjang tahun target Bu Jingga antara merah kuning belum pernah mencapai hijau … maka kemarin dalam panel saya terus dicecar oleh Bos … saya sudah mencoba mempertahankan Bu Jingga karena saya tahu kinerja Bu Jingga sebelum menikah tapi ternyata mereka tidak mau tahu … dan tetap memutuskan untuk mengganti Bu Jingga ….” Pak Kurnia menjeda mencari tahu ekspresi Jingga namun bawahannya itu memasang ekspresi datar hanya kerjapan mata sebagai respon.“Bu Jingga tidak diberhentikan tapi dipindahkan ke divisi lain, backoffice.” Pak Kurnia melanjutkan.Jingga mengembuskan napas berat,