"Bunda, nacinya tumpah."
Aku mengangkat wajah. Sejenak melihat Alvin yang tengah lahap makan sendiri. Kuusap kepalanya sekilas. Lalu mencubit pipinya dengan gemas.
Bukannya lantas menyendok makanan, pikiranku kembali melayang. Sebuah sentuhan lembut perlahan kurasakan pada tangan yang tengah memegang sendok.
"Kamu kenapa?" Rafael bertanya pelan. Untuk beberapa saat, aku justru memandangi wajahnya yang kini brewok. Semakin tampan saja dia. Dulu seperti orang Korea, sekarang entah bagaimana bisa jadi seperti aktor India. Ah, sepertinya aku sudah gila.
"Hei, ditanya, kok, malah bengong? Kamu kenapa?"
Tangan kiri kuletakkan di atas tangannya yang berada di tangan kananku. Tangan kami jadi bertumpuk-tumpuk. "Aku nggak papa, kok, Mas. Aku cuma ngga nafsu makan aja."
Dia menyelipkan rambutku di belakang telinga. Lalu sejenak mengusap pipi. Rasa hangatnya menjalar sa
Usai dari salon, aku mengajak Alvin keliling mall. Bocah itu paling suka jika naik eskalator. Katanya dia terbang. Ada-ada saja. Padahal, kan, tangganya yang bergerak.**Hari beranjak siang. Matahari yang bersinar terik, sungguh menyengat seakan siap membakar kulit siapa saja yang tidak memakai pelindung.Aku dan Alvin baru keluar dari mall selesai makan dari sana. Bocah itu merengek kelaparan. Sungguh menggemaskan.Baru saja membuka pintu mobil, ponselku berbunyi. Ada panggilan video dari Rafael. Oh, iya. Aku lupa kalau ini waktunya kami berdua saling menyapa."Hai!" sapanya di sana."Hai, juga!""Eh, ini siapa, sih? Tante Mayang, bukan? Kok cantik amat?"Aku tersipu. "Apaan, sih? Ini buat balikin mood lagi. Keren nggak?""Bukan keren, tapi cantik. Cantik banget."Aih! Aku m
"Sudah, Raf! Kamu ini kenapa? Kejadian yang menimpa Alvin itu musibah. Jangan marahi istrimu seperti itu." Ibu mertua membelaku. Tapi tetap saja rasanya sesak.Akhirnya air mataku jatuh juga. Makin lama aku malah terisak. Ah, malu sekali di depan Ibu menangis seperti ini.Aku berlari keluar. Berniat mencari toilet terdekat. Entahlah bagaimana rupaku saat ini seperti apa. Yang pasti aku sangat menyedihkan. Tampak dari orang-orang yang menatapku heran.Di sana, aku melihat ada toilet. Aku bergegas masuk. Tangisku tumpah di sana. Aku sampai sesenggukan. Sudah aku bilang, aku sangat takut jika Rafael marah."Eh, Mas mau ngapain masuk toilet cewek? Mau macem-macem, ya?"Tangisku terhenti saat mendengar keributan di luar sana."Istri saya ada di dalam. Saya cuma mau lihat dia.""Hoalah, Mas-Mas! Istri pergi ke toilet aja pakai disusul segala. B
Suasana pagi ini sedikit berbeda. Aku jadi lebih sibuk. Selain mengurus Alvin, aku juga harus mengurus Ibu mertua. Baru kali ini aku merasa benar-benar menjadi seorang menantu."Katanya kamu carikan perawat buat Ibu, May. Nanti kamu terlambat pergi kerjanya." Ibu Rafael menatap heran saat aku menyuapi beliau sarapan."Orangnya belum datang, Bu. Lagian aku juga nggak setiap hari bisa ngurus Ibu kayak gini, kan."Aku tahu beliau merasa sungkan. Mau bagaimanapun aku berusaha menepis perbedaan kami, tetap saja di mata beliau kami berbeda. Kami adalah si kaya dan si miskin."Ibu bisa makan sendiri, May. Kamu berangkatlah kerja. Ibu nggak enak kalau kamu terlambat nanti." Lagi, Ibu memintaku pergi.Aku menghela napas."Sudah, Ibu habiskan dulu makannya, ya. Nanti kalau aku udah berangkat kerja, Ibu minta tolong sama perawat saja. Sebentar lagi dia pasti sampai." Se
Kami sama-sama pamit pada seisi rumah sebelum berangkat kerja. Yang paling membuatku berat meninggalkan rumah, ya, si kecil Alvin ini. Meski kadang bikin geregetan, tapi lebih sering bikin gemas."Bunda kerja dulu, ya, Nak. Baik-baik di rumah. Nanti jangan lupa suapin Nenek, ya," pesanku padanya."Oke, Bunda!" Dia mengacungkan jempolnya.Di sela langkahku dan Rafael, tak sengaja kedua tangan kami saling bertaut. Ah, ini sepertinya disengaja olehnya.Aku dan Rafael menoleh di waktu yang bersamaan. Senyum sama-sama terbit dari bibir kami. Entah bagaimana, cinta di antara kami semakin lama semakin kuat. Mungkin salah satunya karena adanya Alvin juga.Kami masuk mobil yang sama. Sedikit mencondongkan badan, Rafael memasangkan sabuk pengaman padaku. Mendadak dadaku jadi berdebar-debar."Hm ... sok romantis ini ceritanya," sindirku.
Aku masih memegangi kepala yang berdenyut saat kaca mobilku diketuk-ketuk dari luar.Kubuka pintu mobil untuk menemui orang tersebut. Rasanya ingin kumaki-maki orang itu. Sudah jelas aku menghidupkan lampu sein. Apa dia tidak melihat?"Ammar? Kamu yang nabrak mobilku tadi?" Setelah melihat orangnya, kutelan kembali makian yang hampir saja terlontar."Maaf, May. Aku buru-buru tadi."Aku mengernyit heran. "Bukannya tadi kamu bilang mau ketemu klien? Kenapa bisa ada di belakangku?""Ya, benar. Klienku mengubah lokasi pertemuan kami. Aku sekarang menuju ke sana. Makanya buru-buru.""Oh." Tanganku kembali memegangi kepala. Rasanya makin lama makin pusing."Kepalamu berdarah, May. Ayo kuantar ke dokter."Aku menggeleng. "Nggak perlu. Aku harus bergegas. Masalah mobil nggak usah dipikirin. Akan aku bawa ke bengkel sendiri na
"Nomor siapa, ya? Apa mungkin teman lamaku?" Rafael tampak berpikir."Coba kamu balas. Siapa tahu penting." Aku berpendapat."Ide bagus." Rafael baru saja akan mengetik balasan, tapi gerakan jarinya berhenti."Kenapa?" tanyaku penasaran."Lah, ini maksudnya gimana? Nanya kabar ujug-ujug ngeblokir." Rafael menggaruk kepalanya. Nomornya diblokir? Aneh sekali. Lalu apa maksudnya mengirim pesan jika belum mendapat balasan sudah main blokir?Perasaanku berubah tak enak. Apa ini ada kaitannya dengan teror itu?Aku menggeleng. Jika selalu mengaitkan hal dengan teror dan orang misterius itu, aku bisa gila sendiri."Udah lah, Mas. Biarin aja, sih. Mending kita tidur aja, yuk!" ajakku sembari merebut ponselnya. Kuletakkan benda pipih itu di atas nakas.Baru akan merebahkan badan, Rafael menarik tanganku hingga duduk kembali.&nb
"Bentar, Mas. Ini kira-kira yang mati lampu di rumah kita aja apa semua, ya?""Nggak tahu aku. Udah, yuk, balik ke kamar aja. Nyalain ponsel kamu." Dia masih menggelayut di tubuhku dengan erat."Aku nggak bawa ponsel, Mas."Dia mendengkus. "Terus gimana caranya kita jalan sampai kamar?"Sebuah tepukan di pundak seketika membuat bulu kuduk berdiri. Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa lagi sekarang?"Sayang, ini siapa yang nepuk pundak?" Rafael juga mengalami ternyata. Kupikir hanya aku saja.Aku menghela napas. "Nggak tahu, Mas."Seketika pikiranku teringat pada film horor yang sering kutonton. Biasanya, pemeran utama akan terjebak dalam situasi ini. Mereka berbalik, lalu setannya muncul. Astaga! Rasanya aku ingin pipis sekarang.Seperti diberi kode, aku dan Rafael perlahan berbalik bersamaan.
Alvin mengangguk-angguk yakin. Padahal ucapannya itu jelas salah. Typo yang meresahkan."Tuh, Bunda. Dengerin kata Alvin. Bunda harus nenenin Ayah." Rafael memberi dukungan. Aku mendelik sebal. Ayah sama anak sama saja.**Seperti permintaan Alvin, hari ini aku stay di rumah untuk menemani Rafael. Catat, ya! Menemani, bukan meneneni!Bocah itu tak mau jauh dari Ayahnya. Dia tetap berada di pelukan Rafael. Di atas perut laki-laki itu lebih tepatnya. Keduanya terlihat sangat romantis. Ah, rasanya aku jadi diasingkan begini."Ih! Alvin, kok, dari tadi Ayah terus yang dipeluk? Bundanya enggak?" Aku bersuara setelah hanya diam mengamati mereka."Enggak. Bunda, kan, nggak akit."Aku mendengkus. Rafael mengejekku dengan semakin mempererat pelukannya pada Alvin. Aku beranjak dari sana."Bunda pergi kalau gitu. Mau beli laruta
"Mas! Mas!" Aku memukul-mukul lengan Rafael."Apa, sih, Sayang? Bahaya ini lagi nyetir jangan dipukul-pukul.""Berhenti dulu coba."Mobil menepi. Mesin pun dimatikan. Aku langsung menunjukkan foto-foto di akun Fatih pada Rafael."Jadi, Talita nikah sama orang ini? Dia yang pernah meriksa Ibu di rumah, kan?" Rafael bertanya.Aku mengangguk. Jemariku bergerak cepat menelusuri profilnya kembali untuk mendapatkan alamatnya.**Rumah mewah dua lantai sudah terpampang di depan mata. Inikah rumah Mas Fatih? Beruntung sekali Talita mendapatkan lelaki mapan seperti Mas Fatih."Ayo, Mas!" Aku menggandeng tangan Rafael. Tiba di depan pintu, aku menekan belnya.Cukup lama juga kami menunggu. Sekitar lima menit lebih, pintu baru terbuka. Seraut wajah perempuan yang aku cari, muncul di sebaliknya. Perempuan itu sangat jauh berbeda sekarang. Dia mengenakan jilbab lebar dan gamis. Sungguh cantik."Mbak Mayang?" Talita tiba-tiba memelukku. "Maafin saya, Mbak. Sungguh, saya benar-benar menyesal."Aku m
"Lepasin, Mas! Aku mau habisin perempuan itu!" Fira berteriak lagi."Jangan gila, Fira!" Ammar berusaha sekuat tenaga untuk merebut pisau itu dari tangan istrinya.Pelukan Rafael semakin erat aku rasa. Terutama saat tiba-tiba Ammar memekik. Perutnya tertusuk pisau!"Ammar!" Aku memekik histeris. Pisau terjatuh dari tangan Fira. Tubuh Ammar ambruk. Disusul dengan Fira yang luruh ke lantai. Perempuan itu memandangi tangannya yang berlumuran darah."Maafin aku, Mas! Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu!" Fira menangis penuh sesal. Cinta, jika terlalu tak tahu diri, akibatnya akan menyakiti dan merugikan diri sendiri.***Isak tangis dari dua wanita beda generasi di kursi tunggu semakin menambah suasana memilukan. Ammar masih menjalani penanganan. Sementara Fira digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bersyukur Papa bergerak cepat lapor polisi tadi.Sekarang aku dan Rafael masih menunggu kabar dari Dokter mengenai keadaan Ammar. Sejak tadi, tautan di tan
"F-Fira? Kamu ngapain di sini?"Fira melangkah masuk. Dia duduk di sebelahku. Rafael hendak berdiri, tapi kucegah."Bu Mayang dari rumah saya, ya? Bu Mayang baik banget pakai jenguk Ibu saya segala," ucapnya penuh haru. Sungguh, perempuan ini sangat misterius bagiku. Kupikir, dulu kami sangat dekat dan saling mengerti satu sama lain. Nyatanya tidak. Dia sulit untuk kumengerti.Sebuah sentakan kasar dari Ammar di bahu Fira, membuat tubuh perempuan itu berbalik."Hentikan omong kosongmu, Fira! Jangan macam-macam di sini!" Ammar berucap nyalang. Aku khawatir jika Alvin akan terbangun karena hal ini."Kamu kenapa, sih, Mas? Kamu terus aja mojokin aku. Kamu terus aja belain Bu Mayang. Apa-apa selalu Bu Mayang. Sebenarnya yang istri kamu itu aku atau dia?"Aku tercengang. Bukankah kalimat Fira barusan ini merupakan bentuk rasa cemburunya terhadapku? Sebelumnya aku tidak pernah melihat Fira bersikap sekasar ini saat membicarakanku.Ammar terdiam. Dapat kulihat dia melirikku sungkan."Kenapa
"Mas, mereka bawa pistol!" pekikku."Sial!" Rafael menginjak pedal gas makin dalam. Mobil kami meliuk-liuk di jalanan. Dari kaca spion, pengendara motor itu masih mengejar. Siapa mereka sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan Fira juga?"Gimana ini, Mas?" tanyaku panik."Tenang saja. Kamu pegangan yang kuat. Aku akan menambah kecepatan." Rafael semakin fokus ke jalanan. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Aku tahu dia tegang setengah mati.Aku memejamkan mata sembari berdoa. Bunyi tembakan yang bergema membuat rasa takutku makin nyata.Mobil kami oleng. Sebuah peluru sepertinya berhasil melubangi ban mobil kami. Rafael membanting stir ke kiri. Lalu setelahnya semua berubah gelap.***Mataku mengerjap. Bau menusuk yang sangat familiar menyerbu hidung. Sepertinya belum lama ini aku juga mencium bau seperti ini.Kuarahkan pandangan ke samping kiri. "Ma?""Mayang? Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nak."Aku mencoba bangkit dengan kedua tangan di belakang sebagai tumpuan."Jangan banya
Aku menatap Mama Ammar dengan sorot meminta penjelasan.Helaan napas panjang terdengar dari bibirnya. "Benar, Nak. Fira itu aneh. Dulu saya pikir dia gadis yang baik. Tapi makin ke sini, ternyata dia menakutkan. Terkadang dia marah-marah nggak jelas. Terkadang juga dia terlihat begitu baik. Seperti dua orang yang berbeda."Aku berpandangan dengan Rafael. Alis laki-laki itu terangkat. Apa mungkin Fira memiliki kepribadian ganda? Sepertinya kami mulai menemukan titik terang sekarang."Apa Ammar tahu?" Rafael bertanya."Ya, dia tahu. Bahkan dia sempat ingin mengakhiri rumah tangganya. Hanya saja demi menjaga nama baik perusahaan, dia masih bertahan sampai sekarang. Usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Jika bercerai sekarang, pasti akan banyak pertanyaan dari berbagai pihak."Benar juga. Selain itu, sikap Fira yang aneh juga pasti memengaruhi perusahaan Ammar."Bu, apa boleh saya minta alamat rumah Fira? Saya ingin menjenguk Ibunya yang dia bilang baru saja sakit.""Tentu saja bole
Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah Fira untuk memastikan. Tapi sebelum itu, aku akan ke rumah Ammar terlebih dahulu."Gimana anak-anak selama kamu tinggal, Fir? Pembukuannya bener nggak?" tanyaku. Untuk saat ini aku harus bersikap biasa saja."Bener, kok, Bu. Mereka udah mulai terbiasa kayaknya."Ada beberapa pembeli yang datang. Membuat percakapanku dengan Fira terhenti. Aku beralih pada Rafael yang sedang terpaku pada layar ponselnya."Mas, bisa antar aku ke tempat lain?"Dia memasukkan ponsel ke saku celana. "Bisa, dong. Mau ke mana? Beli bakso? Atau beli cilok?"Aku mencebik. "Bukan! Aku mau ke suatu tempat."Kami beranjak. "Fir, saya pergi, ya. Titip toko," pamitku.Fira mengacungkan jempolnya. Apa iya perempuan baik seperti dia tega menyakiti atasannya sendiri? Bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri."Kita mau ke mana, Sayang?" Rafael bertanya seiring dengan mesin mobil yang mulai menyala."Kita ke rumah Ammar, Mas."Pijakan pada pedal gas, urung dia lakuka
Puas bermain dengan Alvin, aku kembali ke kamar sendiri bersama Rafael. Sementara bocah itu bermain bersama kedua neneknya. Bersyukur, keadaan Ibu semakin membaik sekarang."Mau mandi?" tanya Rafael saat melihatku melepas atasan.Aku mengangguk. "Hu um. Gerah aku.""Mau dimandiin nggak?" Alisnya bergerak naik turun dengan jahil."Ish! Apaan, sih?" Aku menyambar handuk di cantelan, lalu melenggang ke kamar mandi."Dimandiin suami itu enak, lho. Punggung ada yang gosokin. Pasti punggung kamu tuh banyak bolotnya," seloroh Rafael dari luar.Aku mencebik. "Enak aja! Aku selalu bersih, ya, mandinya. Nggak kayak kamu."Dia tertawa. "Cepetan mandinya. Aku juga gerah."Aku mendengkus. Dasar tukang maksa!Usai mengenakan handuk, aku berjalan keluar. Aku terlonjak kaget saat melihat sosoknya berdiri di samping pintu kamar mandi."Ih! Ngagetin orang aja!" Aku memukul lengannya pelan.Dia meringis. Lalu berjalan melewatiku. Sebuah sentakan kurasakan pada simpul handuk. Seketika benda itu melorot.
Setelah keadaanku membaik, kami bertiga kembali pulang. Proyek kami harus tertunda entah sampai kapan. Aku masih ingin mengusut kasus ini."Makasih sudah mengantar, Mar," ucapku sebelum turun dari taksi. Ammar ikut serta mengantar sampai rumah. Alasannya ingin memastikan aku sampai di depan pintu dengan selamat."Oke. Aku pergi dulu." Taksi mulai melaju kembali. Dengan langkah lunglai, kuseret koper di tangan."Loh, May? Kamu sudah pulang? Katanya seminggu? Ini baru berapa hari, kok, sudah pulang?" Mama menyambutku dengan beberapa pertanyaan. Kebiasaan memang. Bukannya dipeluk atau dicium gitu, malah dikasih banyak pertanyaan.Aku mencium tangannya. "Alvin mana, Ma?""Lagi tidur siang. Kamu ini ditanya, kok." Mama kembali mengingatkan."Ceritanya panjang, Ma. Aku capek banget sekarang. Aku istirahat dulu, ya." Aku berjalan melewati Mama. Pasti beliau heran melihat sikapku yang tidak bersemangat seperti biasanya.Aku berjalan menuju kamar Alvin. Bocah itu sedang terlelap. Kuciumi wajah
Mataku mengerjap perlahan. Bau menyengat seketika terhidu begitu mata terbuka lebih lebar .Pandangan semakin kuperjelas. Tirai hijau yang menggantung di sebelah, mengingatkanku saat melahirkan Alvin. Mungkinkah aku sekarang juga ada di rumah sakit?Kugerakkan mata ke samping. Di sana tertunduk seorang lelaki muda. Lalu di sebelahnya, lelaki paruh baya tampak cemas dengan ponsel menempel di telinga."Ammar?" panggilku lirih.Kedua lelaki di sana menghambur padaku."May, kamu sudah sadar? Gimana perasaanmu? Maksudku, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ammar bertanya cemas. Sementara Pak Brata hanya menyaksikan dengan raut wajah tak kalah cemas."Pusing," jawabku lemah.Laki-laki tampan di depanku ini mendengkus kesal. "Pak, ini sudah nggak benar. Pasti ada yang sengaja ingin meracuni Mayang," semprotnya pada Pak Brata."Ya, saya tahu, Pak Ammar. Nanti saya akan mencaritahu lewat ruang pengendali CCTV. Siapa tahu kita bisa dapat bukti dari sana. Dan untuk proyek kita, sepertinya kita tund