Sudah memakan setidaknya empat jam dari awal dia memulai, kuas bercat digoreskan dengan sangat hati-hati. Art benar-benar tidak ingin mengecewakan Tuan Presiden, lukisan Krystal harus semirip mungkin dengan aslinya. Tidak masalah seberapa lama dia akan menghabiskan waktu.
Tanpa bersuara, langkah kaki Paman Delbert makin mendekat. Tatapan tidak beralih dari lukisan yang sedang dikerjakan Art. "Kau benar-benar luar biasa, Nak,” pujinya."Uhh, Paman. Sejak kapan kau di sana?" tanya Art, sekilas menoleh ke belakang di mana Delbert berdiri."Baru saja," jawab Delbert, pandangannya tetap pada lukisan. "Kau hanya baru menyelesaikan bagian wajah dan rambutnya, tapi aku sudah sekagum ini."Disikapi Art dengan senyuman. "Ini bahkan belum kusempurnakan, Paman."Delbert menggeleng, tak bisa berkata-kata.Tidak terdengar obrolan lagi setelahnya, suasana disergap keheningan dan Delbert resmi jadi penonton.Tiga jam sudah berlalu. Bagian tubuh Krystal dan gaun birunya sudah sempurna dalam lukisan.Waktu menunjuk angka jam sepuluh malam."Sebaiknya istirahat dulu, Nak. Kau bisa teruskan setelah lelahmu hilang." Delbert melihat jemari Art mulai melemah mengatur kuas, tak akan baik hasilnya jika memaksa."Kau benar, Paman. Sepertinya aku butuh merebah beberapa saat." Art mengambil kesempatan itu."Itu lebih baik," kata Delbert. "Gunakan sofa di sana untuk melenturkan otot-ototmu.""Baik, Paman."Sofa itu ada di pojok berdekatan dengan jendela yang mengarah ke view halaman belakang yang indahnya luar biasa.Delbert berlalu pergi untuk memberi ruang dan waktu.Dimanfaatkan Art untuk beristirahat. Dari ujung jemari sampai lengan bagian atas, dia merasakan pegal lumayan kuat. Tidur sejenak mungkin akan mengembalikan energi yang sudah lemah. Namun sebelum itu, alarm ponsel disetelnya terlebih dulu, cemas akan kebablasan hingga esok pagi.Satu jam dari sekarang.****"Lapor, Ketua! Gerbang utama berhasil mereka terobos!" Seorang lelaki kurus memberitahu dengan nada panik. Kepalanya menoleh berulang-ulang ke belakang, cemas tak main-main.Yang disapa ketua sontak kelabakan. "TAHAN MEREKA SEMUA! JANGAN SAMPAI BERHASIL MENEMBUS KE DALAM!" Dia mengomando anak buahnya dengan suara keras.Semua berhambur ke bagian halaman untuk membantu teman-teman mereka yang sudah terjun lebih dulu di kegaduhan.Puluhan pria datang dengan senjata tajam menyerbu rumah presiden. Tidak ada waktu untuk bermain tebak-tebakan siapa dalang di balik penyerangan ini.Pasukan pengamanan yang ditugaskan di kawasan itu mendadak bekerja keras tanpa pemberitahuan. Sebisa mungkin mereka harus menghalau para penjahat sebelum membahayakan seisi rumah.Di ruangan lukisnya, Art tidak sadar jika dia sudah tidur lebih dari dua jam. Alarm yang diaturnya ternyata dalam mode senyap, jelas tak akan berbunyi.Sepasang bola matanya terbuka sontak langsung melotot. Signal dalam kepala bekerja cepat, suara-suara tak biasa ditangkap pendengarannya. Bukan suara Paman Delbert atau para pelayan yang membangunkan, jelas berbeda dan Art tak akan menerka sampai ke sana. Dia bangun lalu melongok melalui jendela, pemandangan di bawah sana mengejutkannya.Banyak pria tengah terlibat dalam perkelahian."Apa mereka sedang berlatih?" tanya Art pada dirinya, sedikit merasa aneh. Dia berpendapat, setidaknya carilah tempat dan waktu yang tepat jika itu memang latihan. Namun detik selanjutnya, pasang matanya menyipit tajam, memerhatikan seorang pria yang baru saja terkapar dengan tusukan di bagian bahu menyusul darah yang merembas di sekitarnya. Cukup menyentak kesadaran Art, walaupun jarak dari lantai tiga ke lantai dasar lumayan tinggi, dia bisa memastikan kebenaran penglihatannya."Tidak, tidak ada latihan apa pun di sana," dia bergumam, menyadari sesuatu lebih serius dari pada itu. Dia melanting dari tempatnya, penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya di bawah sana.Tidak terpikir melalui lift seperti tadi siang bersama Delbert, dia menuruni tangga dengan langkah terburu-buru, bahkan lebih dari itu.Menjejaki lantai kedua, Art tiba-tiba merasa ada di dunia peri. Perabotan yang tertata semua bertema wanita. Tapi itu bukan yang dia tuju, harus segera mencari tangga untuk turun ke lantai satu.Sayang, selalu ada godaan di tengah rasa terburu-buru.Art memasuki sebuah ruangan luas yang bukan sejenis kamar. Suara musik disetel nyaring. Tapi bukan itu yang membuat langkah kakinya jadi terganggu.Dua orang nampak kelabakan dengan kemunculannya. Menghalangi tubuh setengah polos mereka menggunakan bantal sofa sebisa-bisa."Siapa kau?!" Pria dari pasangan itu bertanya.Dengan cepat Art memalingkan wajah, melambaikan tangan ke belakang lalu berbalik pergi."Sial!" rutuknya seraya berjalan cepat, meninggalkan tempat itu seraya bersungut-sungut. "Bisa-bisanya mereka bercinta di saat genting."Ternyata tangga itu ada di pojok menempel dengan dinding paling tepi dari bangunan, Art menemukannya dan turun ke lantai satu.Sampai di sebuah ruangan, dia mendapati pemandangan yang mengerikan. Seorang wanita berpakaian pelayan tergeletak di bawah lantai dalam keadaan bersimbah darah.Art ingat, wanita itu adalah yang tadi mengantarkannya makanan dan minuman ke ruang lukis. Sesaat dia membatu, mengingat bagaimana pelayan paruh baya itu menyemangatinya dengan senyum sangat mengembang."SELAMAT MENEMPUH AJALMU, PAK TUA!"Teriakan berbau anarkis tersebut menarik dan menyentak perhatian Art dari irama melow. Dia kembali ke mode sadar dalam sekejap, langsung melanting ke arah ruangan yang berada di sayap kiri.Dan ...."AAAARRRGGGHH!"Teriakan kesakitan mendengking membelah langit.Delbert terkejut setengah mati, bola matanya melotot lebar. Pria yang baru saja hampir menghabisinya sudah lebih dulu ambruk dengan luka serius di kepala bagian depan. Wajah Delbert bahkan terkena cipratan darah."Art!" pekik Delbert.Art berdiri tegak dengan tatapan tajam. Orang tadi dikepruknya menggunakan vas bunga yang terbuat dari guci lumayan besar, dia ambil dari sebuah meja."Anda baik-baik saja, Paman?"Delbert ingin mengangguki pertanyaan Art, tapi kepalanya mendadak kaku, pun dengan mulutnya yang turut terasa beku, tidak bisa berkata. Seumur hidupnya selain di dalam film, tidak sekali pun dia pernah melihat apalagi mengalami kekerasan yang mengerikan seperti yang baru saja terjadi di hadapannya.Sebenarnya Art ingin mendengar jawaban Delbert, tapi sesuatu membuatnya tidak bisa menunggu.Satu orang pria bersenjata api datang dari arah tangga lantai dasar. Dengan seringai, pria itu mengarahkan laras panjangnya ke arah Art, berpikir semua akan selesai dalam sekejap, termasuk Delbert yang semakin mengkhawatirkan sisa umurnya.Dua detik digunakan Art untuk berpikir, mengedarkan bola mata untuk mencari sebuah benda. Sampai kemudian dia menemukan sesuatu di bawah kaki.Dan ....Hanya dengan sebilah pecahan guci, Art membuat senjata itu terlempar dari tangan pemegangnya.Pria itu tentu terkejut. Tendangan kecil yang mengacaukan.Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan saling mendekat, lalu mulai bergelut dengan tangan tak bersenjata. Adu jotos berlangsung cepat. Art menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Selain pandai melukis, dia juga hebat dalam kelahi. Delbert tidak menyangka sampai ke sana.Setelah berhasil menumbangkan satu lawannya, lainnya datang dengan jumlah tak hanya tiga.Rumah presiden kini persis sarang penyamun.Delbert menyisi ke satu bagian bersama seorang pelayan wanita yang sama tua, mungkin istrinya. Sedangkan Art sibuk seorang diri menghadapi para begundal.Keadaan sudah sangat berantakan saat Jared Filmore tiba di rumah. Keterkejutannya mencapai level tertinggi.Saat mendapat kabar dari istrinya--Erica Filmore, Jared mencemaskan keluarga dan orang-orangnya akan habis karena serangan mendadak itu, tapi yang didapati justru kebalikannya. Semua dalam keadaan baik, kecuali satu pengawal dan seorang pelayan wanita. Mereka mati dengan beberapa tusukan, sisanya mendapat luka-luka yang masih bisa diselamatkan oleh medis.Para penyerang telah ditangkap dan ditangani oleh para anak buah Jared dari kesatuan pengamanan yang dia bentuk secara rahasia, sebut saja Phantom.Saat ini di ruang kerja pribadinya."Mereka dari Crescent Moon."Jared Filmore melengak pada wajah pria yang berdiri di seberang mejanya. "Crescent Moon?" ulangnya sembari mengernyit tipis, berpikir mungkin salah mendengar."Benar, Tuan Presiden." Pria itu--Demian Goon, menganggukkan kepalanya. "Tindakan penyerangan itu dipicu oleh masalah jatuhan hukuman mati atas Christianson, wak
"Sepagi ini kau mau kemana?" Art baru meraih kesadarannya setelah terlelap hampir enam jam di atas sofa apartemen Hanna.Saat ini Hanna sudah nampak rapi dengan setelan seperti biasa. Harum parfum dari tubuhnya menyeruak ke sekitaran."Aku akan bekerja. Sarapan sudah kusiapkan di meja," jawab Hanna. Dia mengambil posisi duduk di tepi sofa yang direbahi Art. Wajah pria itu dibelainya seraya tersenyum manis. "Banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padamu tentang apa yang kau lakukan semalam, tapi ...." Ditengoknya jam di pergelangan tangan, lalu kembali menatap Art. "... Waktuku akan tersita karena itu."Art mendengus, "Padahal aku menantikannya. Kau selalu seperti itu. Aku jadi kekurangan perhatian."Dan Hanna selalu tersenyum menyikapi sikap manja Art yang tak tahu malu, seperti semua itu adalah makanan kesukaannya. Sepasang telapak tangan dia rangkumkan ke wajah pria yang selalu membuatnya tak pernah berhenti untuk mencinta. "Setelah kita menikah, semua waktuku milikmu," katanya, lalu
"Aww! Sakit, Sialan!" Art menarik diri dari tangan yang tengah mengobati pelipisnya dengan kapas dan alkohol."Hhh." Pria itu mencebik. "Kukira spesies macam dirimu anti rasa sakit."Art memanggilnya Daichi, pria 37 tahun asal Jepang yang hampir tiga tahun ini menjadi partner kerjanya."Kau kira aku batu?!" hardik Art."Kau hantu." Daichi membalas dengan nada rendah. Sehelai plester dibalutkannya ke pelipis Art yang sedikit terluka saat bertarung melawan anak-anak buah Erica di gallery lukis.Saat ini Art berada di kediaman Daichi.Sebuah rumah tinggal yang berada di dalam gedung tua terbengkalai belasan tahun di sudut kota. Entahlah, tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa dia memilih tinggal di sana di saat orang lain termakan rumor tentang hantu-hantu penunggu gedung tersebut.Daichi memang sekonyol itu.Kotak P3K ditaruh Daichi kembali ke tempatnya di dalam sebuah nakas rendah yang ada di belakang Art."Banyak surel yang masuk," celetuk pria sipit itu tiba-tiba. Salah satu dari sek
Hari-hari berlalu.Art semakin meradang, orang-orang sialan itu tak pernah berhenti mengganggu dan ingin membunuhnya. Selain tempat Daichi, dia tidak punya lagi tempat yang aman untuk dirinya. Rumah di jauh sana akan tak baik jika ikut dia libatkan.Tapi Daichi terlalu membosankan diajak bicara dan rumahnya bahkan berbau lumut. Art tak terlalu nyaman di sana. Jadi saat ini, setelah mendapat hasil dari penyelidikannya sebagai Goblin dibantu Daichi melalui keahlian komputernya, Art memutuskan ...."Kau terlalu tenang untuk kategori manusia yang ingin melenyapkan manusia lainnya."Majalah di tangan Erica Filmore terlempar jatuh. Bangun dari tempatnya dengan tampang seperti orang tersengat listrik."K-kau ... ba-bagaimana bisa masuk ke sini?"Bagaimana dia tak akan terkejut, seorang pemuda asing tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya tanpa terdengar kapan dia masuk, yang jelas jendela kamarnya terbuka dengan gordeng berkibar tertiup angin.Art, tentu saja dia, bibirnya tersenyum remeh. "A
"Katakan kau tak mendengar apa pun, Nona?" Pria itu bertanya yang kedua kali. Satu telapak tangannya mencengkram dagu seorang wanita yang terduduk paksa di atas lantai."Ti-tidak, Tuan. A-aku sungguh tak mendengar apa pun. To... long, lepaskan aku." Wanita itu mengiba. Tubuhnya gemetar menahan takut.Pria lainnya nampak sudah berumur, duduk bersilang kaki di hadapannya, menyeringai tipis. Dari tampang dan sikap yang ditunjukkan, dia pasti atasan dari semua pria yang ada di sana. "Tapi ekspresi wajahmu mengatakan sebaliknya ... Nona Milton." Nama itu dia ketahui dari id card yang tergantung di leher wanita naas itu.Hanna Milton, wanita itu melengak pada si pria tua. Kembali kepala digelengkan dengan susah payah karena pria sangar tadi masih mencengkram dagunya dengan sangat kuat.Ya, Hanna Milton, kekasih dan wanita yang akan dinikahi Art Januari mendatang--rencananya, dan itu terhitung kurang lebih satu bulan lebih sepuluh hari dari sekarang.Dan saat ini Hanna tengah mendapat kesuli
"Si-siapa kau?!"Pria dengan piyama biru itu beringsut hingga ke kepala ranjang. Matanya menatap takut pada sosok tinggi dengan masker hitam dan hoodie menutupi kepala di hadapannya. Dia pasti sudah melawan jika saja sosok itu tak menodongkan pistol ke arah wajahnya."Jika aku katakan aku adalah malaikat mautmu, apa kau akan percaya?"Tubuh pria di atas ranjang mulai gemetar. "Ma-maksudmu ...?"Bukan jawaban dengan kata.JLEBB!"Arrrrgghh!"Meskipun pistol yang ditodongkan, tapi yang digunakan justru sebuah pisau. Dan benda itu baru saja menancap di kaki si pria berpiyama biru."Kau harus mengakui kejahatanmu."*****Art sudah membekuk setidaknya tiga orang yang terlibat dengan pembunuhan kekasihnya. Ketiganya disekap di sebuah gudang yang tak jelas di mana letak keberadaannya. Mereka mengakui telah membantu pelenyapan Hanna Milton, bahkan dua dari ketiga orang itu adalah orang yang membuang jasad Hanna ke arus sungai."Siapa yang menyuruh kalian melakukan ini?" Art bertanya, dan itu
Sofa berbentuk L di dalam apartemen Hanna, diduduki mereka--Art, Demian Goon, dan dua lain yang sepertinya hanya datang untuk menemani kepala kesatuan mereka.Obrolan baru hanya sampai tahap sapa menyapa.Art nampak masih mengamati gelagat orang-orang di hadapannya. Tetap dalam mode waspada."Jadi apa tujuan kalian menemuiku sampai ke sini?" tanya Art.Lumayan juga pergerakan orang-orang itu sampai mengorek hingga ke ranah pribadi Art yang mendiami apartemen kekasihnya. Entah jalur apa yang mereka gunakan untuk mencari.Selama ini Art memang bersembunyi dari Jared Filmore dan orang-orangnya terhubung aksi ikut campur dalam urusan pemberontakan, walaupun dia jadi pembela untuk pihak presiden.Kepribadian yang tak suka digemborkan, itu alasannya.Tak disangka dia berhasil ditemukan semudah ini. Ternyata kemampuan bersembunyinya masih terbilang lemah--sebagai Art si pelukis, bukan sebagai Goblin yang gaib di mata masyarakat luas, itu dalam konteks berbeda.Mendapat sambutan tak begitu lu
Bandara internasional Kota Arvis.Sehelai kertas bertuliskan nama Krystal diangkat tinggi oleh Art. Satu per satu wajah yang muncul tak lepas dari pandangan. Tapi lagi-lagi mereka bukan yang dia tunggu.Mungkinkah Jared Filmore mulai pikun tentang tanggal dan memberinya waktu yang salah menjemput Krystal?Pikiran Art mulai kacau disengat kesal.Dia terus mengumpat kasar dengan suara rendah. Ingin menyerah dan akan berbalik pergi, orang yang ditunggu tak jua muncul."Bau lumut rumah Daichi lebih enak dari pada tempat sialan ini."Kekesalannya muncul dari beberapa hari lalu. Tidak ada yang dia kerjakan lagi setelah lukisan nona muda selesai disempurnakan. Hanya merebah dan menunggu kepulangan Krystal. Markas besar Phantom baginya juga bukan tempat yang menyenangkan. Melihat mereka berlatih bela diri dan menembak, atau menghabiskan waktu di ruang olahraga dengan para pegawai wanita yang genit-genit. Itu membosankan bagi seorang Art yang selalu bekerja di luar nalar."Ah, baiklah."Perset
Keadaan di pengungsian mendadak ricuh.Hilangnya Krystal dan Art membuat semua penghuni diserang cemas termasuk teman-temannya. Dibantu warga, mereka menyisir semua tempat yang kemungkinan didatangi Krystal dan juga Art pagi ini atau mungkin dari semalam."Barang-barang mereka masih ada, tapi kemana perginya?" Satu teman wanita yang paling dekat dengan Krystal mondar-mandir di depan tenda, cemas. Melly, namanya Melly Howard."Mereka pasti baik-baik saja, Melly. Mungkin hanya berjalan-jalan. Aku yakin hubungannya dengan Art juga tak sederhana seperti katanya. Art setampan itu, Krystal tidak akan mengabaikannya ya, 'kan?" Gadis berambut panjang dengan riasan tebal berasumsi tenang, bahkan diselip senyum---Pearl Odette."Tapi Krys tak membawa ponsel, itu bukan kebiasaannya!" hardik Melly. "Dia juga bukan wanita bodoh yang pergi tanpa izin lalu membuat cemas semua orang, Pearl!" Dia tak peduli hubungan seperti apa yang dijalani Krystal dengan seorang Art, yang jelas keselamatan mereka le
"Kalau kau mendekat, gadis ini akan kulempar ke sungai!" Sebenarnya Art bukan tipe orang yang takut dengan ancaman, tapi keadaan saat ini benar-benar di luar dugaan. Dia menoleh ke bawah sana. Aliran sungai terlihat deras dalam keadaan cukup keruh, hujan masih terus turun hingga sore kemarin. Orang itu juga tak ada nampak bercanda, jadi Art harus benar berhati-hati. Berpikir sesaat, sampai .... "Diam di tempatmu atau kau akan menyesal." Sedikit gertakan mungkin akan berhasil. Tapi yang terlihat pria itu justru memasang seringai. "Kapan lagi aku punya kesempatan mati bersama putri presiden." Art langsung membulatkan mata. Pria itu ternyata tahu jika Krystal adalah seorang putri presiden. "Siapa kalian sebenarnya?" Dia menyipitkan mata. Rupanya penculikan ini tak sederhana. Mereka mengetahui jelas siapa Krystal, demikian berarti semua yang mereka lakukan sudah matang direncanakan. "Hahahaha!" Pria itu malah tertawa. Tak nampak sedikit pun raut lelah dan pegal di wajahnya, tubuh K
Dalam mobil itu terasa hening. Krystal diam dengan pandangan mengarah ke jalanan di balik kaca, sementara Art fokus pada kemudi.Sesaat sebelum keluar motel, gadis itu sempat meminta maaf untuk kesalahan konyolnya pada Art, tapi tanggapan pria itu terlalu sederhana baginya yang berucap sungguh-sungguh. Alhasil sekarang perasaannya malah bertambah kacau makin tak tenang."Tak perlu berlebihan, aku tak akan terpengaruh dengan hal kecil."Terus terngiang di telinga Krystal, sesombong itu perangai seorang pengawal. Dia tak memiliki kata lain untuk menimpal. Pria itu ... entah kenapa lebih mengintimidasi dari pada ayahnya sendiri."Kita sudah sampai."Suara seksi Art menyentak dalam hening. Krystal menoleh dan mendapati pria itu tengah melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu dan keluar. Dia mengikuti hal serupa, tapi saat hendak membuka pintu, sudah terbuka lebih dulu karena Art yang melakukannya."Terima kasih." Krystal nampak canggung setengah mati. Tas diselempangkan lalu keluar d
Hujan masih saja deras. Krystal berdiri, memandang ke luar jendela dengan perasaan resah. Teh hangat di tangan mulai mendingin.Bukan karena hujan, tapi ini kali pertama dia berada satu kamar dengan seorang pria. Hatinya terus berkicau; semoga pagi lekas datang dan dia terbangun dengan perasaan tenang.Berbeda dengan Krystal, Art seperti tak ada beban. Pria itu duduk di atas sofa, fokus pada ponsel dengan dahi mengernyit sesekali, lalu datar kembali.Krystal memerhatikan melalui ekor mata, bibirnya tergerak mencebik dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Sesantai itu. Apa dia sering satu kamar dengan wanita?" Sedikit ingin tahu tentang itu. "Hh, aku lupa, wajah tampannya pasti sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Aku yakin dia sudah meniduri banyak wanita." Memikirkan itu Krystal jadi kesal sendiri."Sial, memangnya siapa dia? Kenapa jadi aku yang pusing. Awas saja kalau sampai malam ini dia berani kurang ajar padaku!" Detik berikutnya gadis 26 tahun itu melang
Dalam tiga hari, berita tentang Raul Abellard yang terserang penyakit kulit aneh langsung menyebar ke seluruh penjuru negeri.Belum diketahui penyebab pasti, yang jelas pria dengan posisi penting di pemerintahan itu harus mendapat perawatan intensif hingga membaik.Art tersenyum puas. Soda kalengan di tangan ditenggak satu teguk dengan elegan. "Selamat menikmati keterpurukanmu dengan bisul-bisul itu, Pak Tua.”Tidak peduli dari mana Daichi mendapatkan serbuk aneh itu, Art hanya perlu berterima kasih. Rekaman cctv parkiran yang menunjukkan perbuatannya juga telah dihapus Daichi melalui peretasan seperti biasa.Satu telapak tangan meraih remote di atas meja lalu mematikan layar yang baru saja menyiarkan berita tentang kondisi Abellard."Itu baru awal. Akan datang waktu aku menuntaskan apa yang telah kau mulai." Berubah dalam sekejap, sorot mata Art berganti tajam. "Kau harus membayar semuanya, Abellard."Dia tak ingin kematian mengenaskan Hanna hanya menjadi tragedi yang terkubur begitu
Ketampanan tak biasa dengan tatanan wajah tak manusiawi, tubuh tinggi di atas 180 senti dengan pundak, dada dan lengan bidang juga berotot. Jago beladiri, pandai berbicara walau tak banyak, kemampuan otomotif juga mekanik yang sejalan. Dan yang paling mengejutkan ... tangan dinginnya, jari-jari lancipnya ... bisa menghasilkan karya yang begitu indah."Bagaimana bisa manusia sesempurna itu?"Pertanyaan itu pasti akan berulang dia ucapkan.Krystal tak bisa mengkondisikan perasaannya. Jantungnya terus bertalu seolah akan meledak. Bayangan wajah Art mengusir semua yang ada di kepalanya, menguasai tak tahu malu. Lukisan dirinya di dinding kamar seperti sihir yang mengantar pikirannya pada sosok sialan itu, sosok yang sudah hampir dua minggu ini terus dilihatnya setiap saat."Sayang."Suara itu entah mengacau, atau justru menyelamatkan Krystal dari dunianya, dunia tentang seorang pria yang tak ada siapa pun lagi di dalamnya. Gadis itu menoleh ke sisi kanan dan mendapati Erica berjalan mende
"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi," celetuk Krystal sembari menurunkan tubuh menduduki sebuah kursi."Takdir akan menjamu yang dikehendaki," balas Art, melakukan hal serupa dengan Krystal. "Nona tidak keberatan 'kan saya duduk di sini?" tanyanya tanpa rasa canggung.Krystal mengangguki. "Silakan." Dalam hati dia menyambung, "Kurasa hanya kau pengawal yang bisa melakukan sesuka hati." Lalu terkikik geli tanpa dia sadari.Art menaikkan pandang dengan curiga. "Boleh saya bertanya apa yang lucu, Nona?"Krystal melengak lalu gelagapan. "Ah, tidak! Tidak ada. Aku hanya mengingat sesuatu yang tidak penting."Jawaban yang sejujurnya Art tahu itu adalah kilah, tapi dia memilih tidak peduli dan mulai menyesap kopi yang baru saja dihidangkan seorang pelayan.Keduanya kini berada di dalam sebuah kafe tak jauh dari tempat yang ditinggali Krystal sementara waktu.Presiden melarang putrinya pulang ke rumah utama sampai hari ulang tahunnya tiba. Akan ada kejutan untuknya, alasan Jared. Yang
"Apa kau tidak ingat itu?" Jared Filmore bertanya pada putrinya. Meninggalkan kursi yang didudukinya untuk mendekat pada Krystal yang duduk berseberangan. Dielusnya rambut gadis itu penuh sayang.Krystal menatap ayahnya tapi belum mau mengatakan apa-apa.Gadis itu baru saja mendengar sebuah cerita klasik yang demi apa pun cukup membuatnya terkejut. Sebuah cerita kecil masa lalu yang mungkin hampir melebur dari pikirnya.Dari Jared, dia beralih menatap Art yang berdiri di satu sisi. Menjalankan otaknya pada kejadian yang baru saja didengar dari mulut ayahnya.Art tetap dalam modenya, datar tanpa ekspresi.Krystal terus mendalami wajah itu. Apakah benar dia orang yang dimaksud Jared dalam ceritanya. Ah, dia bahkan tak ingat seperti apa selain mereka sama-sama tampan.Art mengangguk tipis. "Saya pun baru ingat setelah ayah Anda menjelaskan, Nona." Dia juga sama bodohnya dengan Krystal.Jared tersenyum menyikapi jawaban itu. Anak-anak muda itu seolah memiliki ingatan yang buruk. Tapi pada
Bandara internasional Kota Arvis.Sehelai kertas bertuliskan nama Krystal diangkat tinggi oleh Art. Satu per satu wajah yang muncul tak lepas dari pandangan. Tapi lagi-lagi mereka bukan yang dia tunggu.Mungkinkah Jared Filmore mulai pikun tentang tanggal dan memberinya waktu yang salah menjemput Krystal?Pikiran Art mulai kacau disengat kesal.Dia terus mengumpat kasar dengan suara rendah. Ingin menyerah dan akan berbalik pergi, orang yang ditunggu tak jua muncul."Bau lumut rumah Daichi lebih enak dari pada tempat sialan ini."Kekesalannya muncul dari beberapa hari lalu. Tidak ada yang dia kerjakan lagi setelah lukisan nona muda selesai disempurnakan. Hanya merebah dan menunggu kepulangan Krystal. Markas besar Phantom baginya juga bukan tempat yang menyenangkan. Melihat mereka berlatih bela diri dan menembak, atau menghabiskan waktu di ruang olahraga dengan para pegawai wanita yang genit-genit. Itu membosankan bagi seorang Art yang selalu bekerja di luar nalar."Ah, baiklah."Perset