Share

Goblin

Penulis: Bintang Perak
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Aww! Sakit, Sialan!" Art menarik diri dari tangan yang tengah mengobati pelipisnya dengan kapas dan alkohol.

"Hhh." Pria itu mencebik. "Kukira spesies macam dirimu anti rasa sakit."

Art memanggilnya Daichi, pria 37 tahun asal Jepang yang hampir tiga tahun ini menjadi partner kerjanya.

"Kau kira aku batu?!" hardik Art.

"Kau hantu." Daichi membalas dengan nada rendah. Sehelai plester dibalutkannya ke pelipis Art yang sedikit terluka saat bertarung melawan anak-anak buah Erica di gallery lukis.

Saat ini Art berada di kediaman Daichi.

Sebuah rumah tinggal yang berada di dalam gedung tua terbengkalai belasan tahun di sudut kota. Entahlah, tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa dia memilih tinggal di sana di saat orang lain termakan rumor tentang hantu-hantu penunggu gedung tersebut.

Daichi memang sekonyol itu.

Kotak P3K ditaruh Daichi kembali ke tempatnya di dalam sebuah nakas rendah yang ada di belakang Art.

"Banyak surel yang masuk," celetuk pria sipit itu tiba-tiba. Salah satu dari sekian banyak komputer yang berjejer dihampiri lalu dinyalakannya. Dia menduduki kursi yang terlihat lumayan nyaman. "Permintaan mereka beragam. Uang yang ditawarkan juga lumayan."

Art mendesah kasar mendengar itu. Kepalanya dia sandarkan ke lengan sofa. Melepas lelah karena tenaganya lumayan banyak terbuang sejak semalam. "Aku sedang tidak semangat mengambil misi. Energiku cukup terkuras dua hari ini."

Daichi tak ingin banyak bertanya. Terkadang yang dilakukan Art bukanlah hal yang bisa dia campuri.

"Aku mengerti," kata Daichi tanpa mengalihkan pandang dari layar komputer. "Tapi yang satu ini, kurasa kau akan tertarik."

ΩΩΩΩ

Sepasang kaki beralas sepatu lars, mendarat sempurna di atas tanah setelah melompat dari sebuah pohon yang cukup tinggi di balik pagar.

Wajahnya mendongak ke ketinggian lantai dua dimana jendela yang tadi dia bobol masih menganga.

“Satu!” Dia mula menghitung. “Dua ... tiga!”

“PENCURIIII! TOLOOOONG! RUMAHKU DIBOBOL PENCURI!”

Seringai tipis tercetak di wajahnya yang arogan. Sirat vivid kemenangan tergambar sinis.

“Aku pamit," katanya kemudian dengan gestur seolah memberi hormat. Langsung mencelat menuju mobil hitam yang menunggu dengan siaga, terparkir tak cukup jauh dari sana.

Harus segera pergi sebelum orang-orang berdatangan dan menangkapnya. Tapi tak akan terjadi, kaki panjang miliknya cukup hebat untuk dipakai melarikan diri.

Jalanan lengang di angka jam sebelas malam dilewati mobil hitam itu seperti pusaran angin.

Delapan kilometer berlalu hanya dengan waktu lima belas menit.

Dia sampai di sebuah bangunan panjang dengan banyak pintu berjejer. Rangkaian huruf bertuliskan; PANTI ASUHAN MONTE RIDDA, mengisi sebilah plang tinggi di dekat pagar.

Pasang kakinya melenggang turun dari dalam mobil, menginjak bebatuan yang mengukir jalanan menuju sebuah pintu. Map biru terayun gusar di tangan kiri.

Diketuknya pintu itu dengan hati-hati karena waktu yang tak sepantasnya untuk bertandang.

Ketukan ketiga, pintu terbuka dan menyembulkan seorang wanita paruh baya yang sepertinya memang masih terjaga.

“Anda siapa?” tanya wanita itu dengan kernyitan heran. Dia tak mengenali tamu tanpa undangan di hadapannya sama sekali.

Seorang pria tinggi. Hoodie hitam menutupi kepala lengkap dengan masker serupa gelap.

Si wanita paruh baya perlahan menggerakkan pintu, ingin menutupnya kembali karena mulai merasa ngeri dengan tamu misteriusnya, namun tertahan karena ucapan pria itu di saat yang sama, “Aku sudah mengambil benda yang dirampas orang itu dari tanganmu.” Map biru yang tadi dipegang si pria disodorkan ke hadapannya. “Ini."

Nyalak melebar mata wanita itu. Ditatap dan diamatinya map yang kini ada di tangan. “Sertifikat tanah dan bangunan panti.”

“Ya! Jaga baik-baik, jangan sampai ada orang yang mengambilnya lagi."

Kini si wanita ingat. "Kau ... apakah kau ... Goblin?" Jantungnya berdentam keras mengingat dia pernah mengirim permintaan tolong melalui email Goblin dengan harapan tipis akan direspon. Ditambah, uang yang dia tawarkan tak cukup banyak.

"Hmm."

Jawaban itu semakin mengejutkan wanita itu.

"Oh, Tuhan." Dia menutup mulut, masih tidak percaya. Dia pikir Goblin yang ramai dibicarakan hanya fiksi atau bualan, tapi saat ini dia benar-benar diselamatkan oleh hal yang tidak dia yakini.

"Spesial untukmu dan anak-anak di panti ini, aku menggratiskan jasaku. Permisi, Nyonya."

Wanita itu masih tersihir, dan sadar di lima detik kemudian.

"Heyyy! Aku belum berterima kasih. Setidaknya kau minum teh buatanku dulu, Nak!"

Sayangnya Goblin sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

____

"Membobol rumah orang selalu jadi hal yang mengesankan," Art bergumam seraya melepas masker dan menurunkan hoodie di kepalanya. Tangannya masih sibuk mengemudi, kali ini dengan kecepatan biasa saja.

Kelokan di depan sana ditatap sesaat, lalu tidak peduli dan melewatinya. Itu adalah jalan menuju kediaman Daichi. Demikian berarti dia akan pergi ke tempat lain.

Sampai setengah jam kemudian ....

“Segelas air putih dengan potongan lemon.”

Wanita dengan kemeja putih ketat dan apron hitam di depan perut itu melengak, berhenti sejenak dari aktifitasnya yang tengah memotong apel, lalu mendengus setelah melihat siapa mpunya suara. “Hh, seniman sialan," dengusnya. "Jadi kapan kau akan mencoba cocktail juara buatanku?”

Ximena, dulunya seorang DJ kelab malam, tapi berhenti dan memilih mengelola kafe 24 jam milik ayahnya.

“Sebelum musim dingin tahun ini," jawab pria itu--Art.

“Kenapa tidak sekalian saat kau mati saja.” Air putih lemon tetap juga dia sodorkan ke hadapan Art yang merupakan langganan kafe-nya sejak dua tahun lalu.

“Thanks!” Art mana peduli.

“Ckk! Keparat ini!"

Di sela obrolan santai itu, seorang gadis datang mendekat.

“Tampan! Boleh aku duduk di sini?”

Art dan Ximena menoleh bersamaan.

Rambutnya pirang sebahu dengan penampilan lucu, t-shirt crop dan rok hitam di atas paha, persis tokoh anime, berdiri di samping Art seraya menunjuk bangku kosong di sebelahnya.

Ximena melempar senyuman kecut pada Art lalu menggeleng. “Kuharap kau tak akan menggadaikan ketampananmu setelah ini.”

Art tak menimpal ocehan sahabatnya, memilih beralih pada gadis yang diperkirakan usianya kurang dari dua puluh tahunan itu. “Duduklah.”

Dengan girang gadis itu duduk. Senyum senang di wajahnya terus bertahan. “Jadi, siapa namamu?”

Art tersenyum, "Panggil saja Art."

Gadis itu semakin kegirangan mendapat sambutan semanis gula. "Namamu keren sekali!" pujinya degan nada over-excited. "Aku Irena." Dia mengulurkan tangan dan Art menerimanya dengan kecupan sekilas. Membuat wajah merah gadis itu semakin matang.

Terdengar erangan dari mulut Ximena. "Bedebah gila."

Belum berlanjut perkenalan mereka, ponsel di saku hoodie Art berdering. Pria itu merogohkan tangan ke dalam saku lalu melihat layar ponselnya, nama seseorang terpampang di sana.

Art mengangkat panggilan itu. Gadis di sampingnya memerhatikan tanpa menyela.

“Baiklah. Aku ke sana," kata Art di akhir obrolan. Ponsel dimasukkan lagi ke tempat asal. “Aku harus pergi."

"Kau baru saja sampai," ujar Ximena.

"Ini darurat."

"Baiklah, lakukan sesukamu. Tapi jangan lupa bayar jasaku." Ximena mendengus lagi.

"Akan kuganti dengan satu keranjang lemon."

Art berdiri, tapi tangannya ditahan Irena yang juga ikut berdiri “Kau mau kemana? Kita bahkan belum mengobrol. Bisa minta nomor teleponmu?”

Disikapi Art kembali dengan senyuman. Tangan si gadis dilepas dari tangannya secara lembut. Namun gerakan berikutnya membuat gadis itu membeku diam, lalu terdengar jeritan iri banyak gadis lainnya di sekitaran.

“Kau akan dapatkan nanti," kata Art lalu melenggang pergi setelah kurang lebih lima detik lamanya mengecup bibir gadis itu tak tahu malu.

Ximena tak habis pikir dan geleng-geleng. “Akan kulaporkan kelakuanmu pada Hanna. Mati kau, Bedebah.”

Bab terkait

  • Bukan Pengawal Biasa   Jangan Bermain-main Denganku!

    Hari-hari berlalu.Art semakin meradang, orang-orang sialan itu tak pernah berhenti mengganggu dan ingin membunuhnya. Selain tempat Daichi, dia tidak punya lagi tempat yang aman untuk dirinya. Rumah di jauh sana akan tak baik jika ikut dia libatkan.Tapi Daichi terlalu membosankan diajak bicara dan rumahnya bahkan berbau lumut. Art tak terlalu nyaman di sana. Jadi saat ini, setelah mendapat hasil dari penyelidikannya sebagai Goblin dibantu Daichi melalui keahlian komputernya, Art memutuskan ...."Kau terlalu tenang untuk kategori manusia yang ingin melenyapkan manusia lainnya."Majalah di tangan Erica Filmore terlempar jatuh. Bangun dari tempatnya dengan tampang seperti orang tersengat listrik."K-kau ... ba-bagaimana bisa masuk ke sini?"Bagaimana dia tak akan terkejut, seorang pemuda asing tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya tanpa terdengar kapan dia masuk, yang jelas jendela kamarnya terbuka dengan gordeng berkibar tertiup angin.Art, tentu saja dia, bibirnya tersenyum remeh. "A

  • Bukan Pengawal Biasa   Kematian Kekasih

    "Katakan kau tak mendengar apa pun, Nona?" Pria itu bertanya yang kedua kali. Satu telapak tangannya mencengkram dagu seorang wanita yang terduduk paksa di atas lantai."Ti-tidak, Tuan. A-aku sungguh tak mendengar apa pun. To... long, lepaskan aku." Wanita itu mengiba. Tubuhnya gemetar menahan takut.Pria lainnya nampak sudah berumur, duduk bersilang kaki di hadapannya, menyeringai tipis. Dari tampang dan sikap yang ditunjukkan, dia pasti atasan dari semua pria yang ada di sana. "Tapi ekspresi wajahmu mengatakan sebaliknya ... Nona Milton." Nama itu dia ketahui dari id card yang tergantung di leher wanita naas itu.Hanna Milton, wanita itu melengak pada si pria tua. Kembali kepala digelengkan dengan susah payah karena pria sangar tadi masih mencengkram dagunya dengan sangat kuat.Ya, Hanna Milton, kekasih dan wanita yang akan dinikahi Art Januari mendatang--rencananya, dan itu terhitung kurang lebih satu bulan lebih sepuluh hari dari sekarang.Dan saat ini Hanna tengah mendapat kesuli

  • Bukan Pengawal Biasa   Langkah pertama

    "Si-siapa kau?!"Pria dengan piyama biru itu beringsut hingga ke kepala ranjang. Matanya menatap takut pada sosok tinggi dengan masker hitam dan hoodie menutupi kepala di hadapannya. Dia pasti sudah melawan jika saja sosok itu tak menodongkan pistol ke arah wajahnya."Jika aku katakan aku adalah malaikat mautmu, apa kau akan percaya?"Tubuh pria di atas ranjang mulai gemetar. "Ma-maksudmu ...?"Bukan jawaban dengan kata.JLEBB!"Arrrrgghh!"Meskipun pistol yang ditodongkan, tapi yang digunakan justru sebuah pisau. Dan benda itu baru saja menancap di kaki si pria berpiyama biru."Kau harus mengakui kejahatanmu."*****Art sudah membekuk setidaknya tiga orang yang terlibat dengan pembunuhan kekasihnya. Ketiganya disekap di sebuah gudang yang tak jelas di mana letak keberadaannya. Mereka mengakui telah membantu pelenyapan Hanna Milton, bahkan dua dari ketiga orang itu adalah orang yang membuang jasad Hanna ke arus sungai."Siapa yang menyuruh kalian melakukan ini?" Art bertanya, dan itu

  • Bukan Pengawal Biasa   Phantom

    Sofa berbentuk L di dalam apartemen Hanna, diduduki mereka--Art, Demian Goon, dan dua lain yang sepertinya hanya datang untuk menemani kepala kesatuan mereka.Obrolan baru hanya sampai tahap sapa menyapa.Art nampak masih mengamati gelagat orang-orang di hadapannya. Tetap dalam mode waspada."Jadi apa tujuan kalian menemuiku sampai ke sini?" tanya Art.Lumayan juga pergerakan orang-orang itu sampai mengorek hingga ke ranah pribadi Art yang mendiami apartemen kekasihnya. Entah jalur apa yang mereka gunakan untuk mencari.Selama ini Art memang bersembunyi dari Jared Filmore dan orang-orangnya terhubung aksi ikut campur dalam urusan pemberontakan, walaupun dia jadi pembela untuk pihak presiden.Kepribadian yang tak suka digemborkan, itu alasannya.Tak disangka dia berhasil ditemukan semudah ini. Ternyata kemampuan bersembunyinya masih terbilang lemah--sebagai Art si pelukis, bukan sebagai Goblin yang gaib di mata masyarakat luas, itu dalam konteks berbeda.Mendapat sambutan tak begitu lu

  • Bukan Pengawal Biasa   Krystal Filmore

    Bandara internasional Kota Arvis.Sehelai kertas bertuliskan nama Krystal diangkat tinggi oleh Art. Satu per satu wajah yang muncul tak lepas dari pandangan. Tapi lagi-lagi mereka bukan yang dia tunggu.Mungkinkah Jared Filmore mulai pikun tentang tanggal dan memberinya waktu yang salah menjemput Krystal?Pikiran Art mulai kacau disengat kesal.Dia terus mengumpat kasar dengan suara rendah. Ingin menyerah dan akan berbalik pergi, orang yang ditunggu tak jua muncul."Bau lumut rumah Daichi lebih enak dari pada tempat sialan ini."Kekesalannya muncul dari beberapa hari lalu. Tidak ada yang dia kerjakan lagi setelah lukisan nona muda selesai disempurnakan. Hanya merebah dan menunggu kepulangan Krystal. Markas besar Phantom baginya juga bukan tempat yang menyenangkan. Melihat mereka berlatih bela diri dan menembak, atau menghabiskan waktu di ruang olahraga dengan para pegawai wanita yang genit-genit. Itu membosankan bagi seorang Art yang selalu bekerja di luar nalar."Ah, baiklah."Perset

  • Bukan Pengawal Biasa   Krystal Filmore 2

    "Apa kau tidak ingat itu?" Jared Filmore bertanya pada putrinya. Meninggalkan kursi yang didudukinya untuk mendekat pada Krystal yang duduk berseberangan. Dielusnya rambut gadis itu penuh sayang.Krystal menatap ayahnya tapi belum mau mengatakan apa-apa.Gadis itu baru saja mendengar sebuah cerita klasik yang demi apa pun cukup membuatnya terkejut. Sebuah cerita kecil masa lalu yang mungkin hampir melebur dari pikirnya.Dari Jared, dia beralih menatap Art yang berdiri di satu sisi. Menjalankan otaknya pada kejadian yang baru saja didengar dari mulut ayahnya.Art tetap dalam modenya, datar tanpa ekspresi.Krystal terus mendalami wajah itu. Apakah benar dia orang yang dimaksud Jared dalam ceritanya. Ah, dia bahkan tak ingat seperti apa selain mereka sama-sama tampan.Art mengangguk tipis. "Saya pun baru ingat setelah ayah Anda menjelaskan, Nona." Dia juga sama bodohnya dengan Krystal.Jared tersenyum menyikapi jawaban itu. Anak-anak muda itu seolah memiliki ingatan yang buruk. Tapi pada

  • Bukan Pengawal Biasa   Art dan Steak

    "Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi," celetuk Krystal sembari menurunkan tubuh menduduki sebuah kursi."Takdir akan menjamu yang dikehendaki," balas Art, melakukan hal serupa dengan Krystal. "Nona tidak keberatan 'kan saya duduk di sini?" tanyanya tanpa rasa canggung.Krystal mengangguki. "Silakan." Dalam hati dia menyambung, "Kurasa hanya kau pengawal yang bisa melakukan sesuka hati." Lalu terkikik geli tanpa dia sadari.Art menaikkan pandang dengan curiga. "Boleh saya bertanya apa yang lucu, Nona?"Krystal melengak lalu gelagapan. "Ah, tidak! Tidak ada. Aku hanya mengingat sesuatu yang tidak penting."Jawaban yang sejujurnya Art tahu itu adalah kilah, tapi dia memilih tidak peduli dan mulai menyesap kopi yang baru saja dihidangkan seorang pelayan.Keduanya kini berada di dalam sebuah kafe tak jauh dari tempat yang ditinggali Krystal sementara waktu.Presiden melarang putrinya pulang ke rumah utama sampai hari ulang tahunnya tiba. Akan ada kejutan untuknya, alasan Jared. Yang

  • Bukan Pengawal Biasa   Hari Ulang Tahun

    Ketampanan tak biasa dengan tatanan wajah tak manusiawi, tubuh tinggi di atas 180 senti dengan pundak, dada dan lengan bidang juga berotot. Jago beladiri, pandai berbicara walau tak banyak, kemampuan otomotif juga mekanik yang sejalan. Dan yang paling mengejutkan ... tangan dinginnya, jari-jari lancipnya ... bisa menghasilkan karya yang begitu indah."Bagaimana bisa manusia sesempurna itu?"Pertanyaan itu pasti akan berulang dia ucapkan.Krystal tak bisa mengkondisikan perasaannya. Jantungnya terus bertalu seolah akan meledak. Bayangan wajah Art mengusir semua yang ada di kepalanya, menguasai tak tahu malu. Lukisan dirinya di dinding kamar seperti sihir yang mengantar pikirannya pada sosok sialan itu, sosok yang sudah hampir dua minggu ini terus dilihatnya setiap saat."Sayang."Suara itu entah mengacau, atau justru menyelamatkan Krystal dari dunianya, dunia tentang seorang pria yang tak ada siapa pun lagi di dalamnya. Gadis itu menoleh ke sisi kanan dan mendapati Erica berjalan mende

Bab terbaru

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 18

    Keadaan di pengungsian mendadak ricuh.Hilangnya Krystal dan Art membuat semua penghuni diserang cemas termasuk teman-temannya. Dibantu warga, mereka menyisir semua tempat yang kemungkinan didatangi Krystal dan juga Art pagi ini atau mungkin dari semalam."Barang-barang mereka masih ada, tapi kemana perginya?" Satu teman wanita yang paling dekat dengan Krystal mondar-mandir di depan tenda, cemas. Melly, namanya Melly Howard."Mereka pasti baik-baik saja, Melly. Mungkin hanya berjalan-jalan. Aku yakin hubungannya dengan Art juga tak sederhana seperti katanya. Art setampan itu, Krystal tidak akan mengabaikannya ya, 'kan?" Gadis berambut panjang dengan riasan tebal berasumsi tenang, bahkan diselip senyum---Pearl Odette."Tapi Krys tak membawa ponsel, itu bukan kebiasaannya!" hardik Melly. "Dia juga bukan wanita bodoh yang pergi tanpa izin lalu membuat cemas semua orang, Pearl!" Dia tak peduli hubungan seperti apa yang dijalani Krystal dengan seorang Art, yang jelas keselamatan mereka le

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 17

    "Kalau kau mendekat, gadis ini akan kulempar ke sungai!" Sebenarnya Art bukan tipe orang yang takut dengan ancaman, tapi keadaan saat ini benar-benar di luar dugaan. Dia menoleh ke bawah sana. Aliran sungai terlihat deras dalam keadaan cukup keruh, hujan masih terus turun hingga sore kemarin. Orang itu juga tak ada nampak bercanda, jadi Art harus benar berhati-hati. Berpikir sesaat, sampai .... "Diam di tempatmu atau kau akan menyesal." Sedikit gertakan mungkin akan berhasil. Tapi yang terlihat pria itu justru memasang seringai. "Kapan lagi aku punya kesempatan mati bersama putri presiden." Art langsung membulatkan mata. Pria itu ternyata tahu jika Krystal adalah seorang putri presiden. "Siapa kalian sebenarnya?" Dia menyipitkan mata. Rupanya penculikan ini tak sederhana. Mereka mengetahui jelas siapa Krystal, demikian berarti semua yang mereka lakukan sudah matang direncanakan. "Hahahaha!" Pria itu malah tertawa. Tak nampak sedikit pun raut lelah dan pegal di wajahnya, tubuh K

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 16

    Dalam mobil itu terasa hening. Krystal diam dengan pandangan mengarah ke jalanan di balik kaca, sementara Art fokus pada kemudi.Sesaat sebelum keluar motel, gadis itu sempat meminta maaf untuk kesalahan konyolnya pada Art, tapi tanggapan pria itu terlalu sederhana baginya yang berucap sungguh-sungguh. Alhasil sekarang perasaannya malah bertambah kacau makin tak tenang."Tak perlu berlebihan, aku tak akan terpengaruh dengan hal kecil."Terus terngiang di telinga Krystal, sesombong itu perangai seorang pengawal. Dia tak memiliki kata lain untuk menimpal. Pria itu ... entah kenapa lebih mengintimidasi dari pada ayahnya sendiri."Kita sudah sampai."Suara seksi Art menyentak dalam hening. Krystal menoleh dan mendapati pria itu tengah melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu dan keluar. Dia mengikuti hal serupa, tapi saat hendak membuka pintu, sudah terbuka lebih dulu karena Art yang melakukannya."Terima kasih." Krystal nampak canggung setengah mati. Tas diselempangkan lalu keluar d

  • Bukan Pengawal Biasa   chapter 15

    Hujan masih saja deras. Krystal berdiri, memandang ke luar jendela dengan perasaan resah. Teh hangat di tangan mulai mendingin.Bukan karena hujan, tapi ini kali pertama dia berada satu kamar dengan seorang pria. Hatinya terus berkicau; semoga pagi lekas datang dan dia terbangun dengan perasaan tenang.Berbeda dengan Krystal, Art seperti tak ada beban. Pria itu duduk di atas sofa, fokus pada ponsel dengan dahi mengernyit sesekali, lalu datar kembali.Krystal memerhatikan melalui ekor mata, bibirnya tergerak mencebik dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Sesantai itu. Apa dia sering satu kamar dengan wanita?" Sedikit ingin tahu tentang itu. "Hh, aku lupa, wajah tampannya pasti sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Aku yakin dia sudah meniduri banyak wanita." Memikirkan itu Krystal jadi kesal sendiri."Sial, memangnya siapa dia? Kenapa jadi aku yang pusing. Awas saja kalau sampai malam ini dia berani kurang ajar padaku!" Detik berikutnya gadis 26 tahun itu melang

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 14

    Dalam tiga hari, berita tentang Raul Abellard yang terserang penyakit kulit aneh langsung menyebar ke seluruh penjuru negeri.Belum diketahui penyebab pasti, yang jelas pria dengan posisi penting di pemerintahan itu harus mendapat perawatan intensif hingga membaik.Art tersenyum puas. Soda kalengan di tangan ditenggak satu teguk dengan elegan. "Selamat menikmati keterpurukanmu dengan bisul-bisul itu, Pak Tua.”Tidak peduli dari mana Daichi mendapatkan serbuk aneh itu, Art hanya perlu berterima kasih. Rekaman cctv parkiran yang menunjukkan perbuatannya juga telah dihapus Daichi melalui peretasan seperti biasa.Satu telapak tangan meraih remote di atas meja lalu mematikan layar yang baru saja menyiarkan berita tentang kondisi Abellard."Itu baru awal. Akan datang waktu aku menuntaskan apa yang telah kau mulai." Berubah dalam sekejap, sorot mata Art berganti tajam. "Kau harus membayar semuanya, Abellard."Dia tak ingin kematian mengenaskan Hanna hanya menjadi tragedi yang terkubur begitu

  • Bukan Pengawal Biasa   Hari Ulang Tahun

    Ketampanan tak biasa dengan tatanan wajah tak manusiawi, tubuh tinggi di atas 180 senti dengan pundak, dada dan lengan bidang juga berotot. Jago beladiri, pandai berbicara walau tak banyak, kemampuan otomotif juga mekanik yang sejalan. Dan yang paling mengejutkan ... tangan dinginnya, jari-jari lancipnya ... bisa menghasilkan karya yang begitu indah."Bagaimana bisa manusia sesempurna itu?"Pertanyaan itu pasti akan berulang dia ucapkan.Krystal tak bisa mengkondisikan perasaannya. Jantungnya terus bertalu seolah akan meledak. Bayangan wajah Art mengusir semua yang ada di kepalanya, menguasai tak tahu malu. Lukisan dirinya di dinding kamar seperti sihir yang mengantar pikirannya pada sosok sialan itu, sosok yang sudah hampir dua minggu ini terus dilihatnya setiap saat."Sayang."Suara itu entah mengacau, atau justru menyelamatkan Krystal dari dunianya, dunia tentang seorang pria yang tak ada siapa pun lagi di dalamnya. Gadis itu menoleh ke sisi kanan dan mendapati Erica berjalan mende

  • Bukan Pengawal Biasa   Art dan Steak

    "Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi," celetuk Krystal sembari menurunkan tubuh menduduki sebuah kursi."Takdir akan menjamu yang dikehendaki," balas Art, melakukan hal serupa dengan Krystal. "Nona tidak keberatan 'kan saya duduk di sini?" tanyanya tanpa rasa canggung.Krystal mengangguki. "Silakan." Dalam hati dia menyambung, "Kurasa hanya kau pengawal yang bisa melakukan sesuka hati." Lalu terkikik geli tanpa dia sadari.Art menaikkan pandang dengan curiga. "Boleh saya bertanya apa yang lucu, Nona?"Krystal melengak lalu gelagapan. "Ah, tidak! Tidak ada. Aku hanya mengingat sesuatu yang tidak penting."Jawaban yang sejujurnya Art tahu itu adalah kilah, tapi dia memilih tidak peduli dan mulai menyesap kopi yang baru saja dihidangkan seorang pelayan.Keduanya kini berada di dalam sebuah kafe tak jauh dari tempat yang ditinggali Krystal sementara waktu.Presiden melarang putrinya pulang ke rumah utama sampai hari ulang tahunnya tiba. Akan ada kejutan untuknya, alasan Jared. Yang

  • Bukan Pengawal Biasa   Krystal Filmore 2

    "Apa kau tidak ingat itu?" Jared Filmore bertanya pada putrinya. Meninggalkan kursi yang didudukinya untuk mendekat pada Krystal yang duduk berseberangan. Dielusnya rambut gadis itu penuh sayang.Krystal menatap ayahnya tapi belum mau mengatakan apa-apa.Gadis itu baru saja mendengar sebuah cerita klasik yang demi apa pun cukup membuatnya terkejut. Sebuah cerita kecil masa lalu yang mungkin hampir melebur dari pikirnya.Dari Jared, dia beralih menatap Art yang berdiri di satu sisi. Menjalankan otaknya pada kejadian yang baru saja didengar dari mulut ayahnya.Art tetap dalam modenya, datar tanpa ekspresi.Krystal terus mendalami wajah itu. Apakah benar dia orang yang dimaksud Jared dalam ceritanya. Ah, dia bahkan tak ingat seperti apa selain mereka sama-sama tampan.Art mengangguk tipis. "Saya pun baru ingat setelah ayah Anda menjelaskan, Nona." Dia juga sama bodohnya dengan Krystal.Jared tersenyum menyikapi jawaban itu. Anak-anak muda itu seolah memiliki ingatan yang buruk. Tapi pada

  • Bukan Pengawal Biasa   Krystal Filmore

    Bandara internasional Kota Arvis.Sehelai kertas bertuliskan nama Krystal diangkat tinggi oleh Art. Satu per satu wajah yang muncul tak lepas dari pandangan. Tapi lagi-lagi mereka bukan yang dia tunggu.Mungkinkah Jared Filmore mulai pikun tentang tanggal dan memberinya waktu yang salah menjemput Krystal?Pikiran Art mulai kacau disengat kesal.Dia terus mengumpat kasar dengan suara rendah. Ingin menyerah dan akan berbalik pergi, orang yang ditunggu tak jua muncul."Bau lumut rumah Daichi lebih enak dari pada tempat sialan ini."Kekesalannya muncul dari beberapa hari lalu. Tidak ada yang dia kerjakan lagi setelah lukisan nona muda selesai disempurnakan. Hanya merebah dan menunggu kepulangan Krystal. Markas besar Phantom baginya juga bukan tempat yang menyenangkan. Melihat mereka berlatih bela diri dan menembak, atau menghabiskan waktu di ruang olahraga dengan para pegawai wanita yang genit-genit. Itu membosankan bagi seorang Art yang selalu bekerja di luar nalar."Ah, baiklah."Perset

DMCA.com Protection Status