Bab 109) Pergilah, Deva"Apa?! Devanka meninggalkan apartemen?! Kapan?" Suara Keano menggema memenuhi ruangan kerjanya. Lelaki itu mengeratkan genggamannya pada benda pipih berharga fantastis miliknya itu."Baru saja, Tuan. Nona Devanka pergi dengan mengendarai taksi," jawab seorang lelaki di ujung telepon."Kalau begitu, kamu ikuti dia. Jangan sampai kehilangan jejak," titah Keano spontan."Ini kami sedang mengikuti beliau, Tuan. Tuan jangan khawatir. Nanti kami akan hubungi lagi jika ada informasi penting," sahutnya di sela-sela deru suara kendaraan. "Baik. Awasi terus dia. Kamu jangan sampai lengah. Aku tidak mau kehilangan jejak wanita itu. Di dalam perutnya ada calon anakku. Dia membawa sesuatu yang sangat berarti bagiku. Paham kalian?""Ya Tuan, kami paham dan kami akan menjaga Nona Devanka dengan baik," sahutnya."Baik, aku tunggu informasi berikutnya."Keano menaruh ponsel di mejanya di samping laptop yang masih saja terus menyala. Lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya,
Bab 110) Bandung, Aku Kembali"Bandung, aku kembali," ucap Devanka dalam hati.Begitu banyak perubahan di kota ini setelah bertahun-tahun lamanya ia tidak menginjakkan kakinya di kota yang pernah menjadi tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Kota yang menyimpan begitu banyak kenangan tetapi juga menyimpan kepahitan.Hidup sebatang kara, tidak jelas siapa orang tua dan keluarganya, menjalani hari-hari di panti asuhan, kemudian lepas dari panti setelah ia berusia 18 tahun dan lulus SMA. Dia pernah bekerja serabutan hanya untuk membiayai kuliahnya. Devanka benar-benar mandiri tanpa bergantung kepada siapapun dan kini dia pun berusaha untuk tidak bergantung kepada siapapun untuk melanjutkan hidupnya dan calon bayinya.Sembari bersandar di jok mobil yang membawanya menuju sebuah tempat, Devanka terus mengelus perutnya yang memendarkan gerakan-gerakan halus. Perutnya yang tak lagi rata dengan ukuran janin yang terus membesar dan berbentuk semakin lama semakin sempurna menjadi seorang bayi. "Aku
Bab 111) Bertemu Teman Lama"Aku resign dari perusahaan atas keinginan sendiri dan aku belum menikah," jawab Devanka lugas. Tak ada gunanya ia menyembunyikan semuanya dari Sam, toh pada akhirnya lelaki itu akan tahu sendiri. Sam adalah sahabatnya sejak di panti asuhan. Mereka tumbuh bersama. Lantaran merasa senasib sepenanggungan, membuat Devanka terkadang merasa Sam adalah saudaranya sendiri. Hanya saja yang membedakan, Devanka berhasil menyelesaikan kuliahnya, kemudian merantau dan bekerja di Maharani Jewellery. Sejak itu keduanya terpisah dan tak ada lagi kontak. Devanka kehilangan nomor kontak Sam karena ponselnya hilang dalam perjalanan menuju kota tempat ia mengais rezeki selanjutnya. Sementara Sam tetap setia di Bandung. Sam tidak kuliah, tetapi memilih membuka usaha kecil-kecilan, berjualan batagor, makanan khas Bandung yang terkenal itu.Mendadak suasana menjadi canggung. Sam terlihat salah tingkah. Dia merasa bersalah karena pertanyaannya barusan mungkin membuat Devanka me
Bab 112) Menyusul Ke Bandung"Oh, ya, Sinta. Tolong siapkan bahan-bahan yang diperlukan. Suruh anggota tim marketing untuk segera berkumpul di ruang meeting. Setengah jam lagi kita akan meeting." Lagi-lagi Keano memberi perintah.Sinta mengangguk patuh, kemudian segera undur diri dari ruang kerja bosnya. Sepeninggal sekretarisnya, lelaki itu menghela nafas. Entah kenapa ada yang berbeda saat Ronald menyebut kata teman lama. Mungkinkah Devanka memiliki hubungan dengan lelaki itu di masa lalunya? Mengingat tak ada pertemanan yang benar di antara laki-laki dan perempuan. Entah kenapa hatinya terasa tak rela membayangkan Devanka bercanda ria dengan lelaki itu, meskipun katanya hanya sekedar teman lama. Sementara dengan dirinya, jangankan bercanda, untuk bertemu saja gadis itu enggan. Terbukti sekarang dia malah kabur ke Bandung. "Deva, Deva. Kemanapun kamu pergi, aku pasti akan bisa menemukanmu," gumam Keano. Dia kembali membuka laptop. Masih ada beberapa berkas yang harus ia tanda ta
Bab 113) Beda Kasta"Kamu salah, Keano. Aku merasa nyaman tinggal di sini," bantah Devanka."Tapi tempat ini sungguh tidak layak....""Semua tempat itu layak, Keano." Devanka menggeram. "Kamu jangan pernah membandingkan kehidupanmu dengan kehidupanku. Mungkin kamu tidak pernah merasakan pahitnya hidup di panti asuhan. Kita ini beda kasta!"Senyum Keano terkembang. Getir sekali. Tidakkah Devanka menyadari, jika mereka sama saja? Ayah Keano meninggal saat ia masih sangat kecil dan sejak kecil pula ia terpisah dari ibunya akibat keegoisan sang kakek. Apakah Devanka tidak pernah berpikir bahwa itu lebih menyakitkan? Dia bahkan kadang merasa hidup lebih dari seorang anak yatim. Bedanya ia dipelihara dan diberi fasilitas yang terbaik oleh kakeknya, Albana."Semua manusia sama di hadapan Tuhan, Deva. Tidak ada yang berbeda. Aku tidak pernah merendahkanmu hanya karena status sosial dan kekayaan. Aku hanya ingin agar kamu menjalani kehamilan dan persalinanmu dengan aman dan nyaman sesuai denga
Bab 114) Pulanglah Bersamaku, DevaSam pulang dengan langkah gontai. Rumah kontrakannya memang tidak jauh dari tempat tinggal Devanka, sehingga dia memilih berjalan kaki. Dalam situasi yang seperti ini, entah kenapa ia merasa seperti pecundang. Benar, ia memang pengecut. Dari dulu ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada gadis itu. Padahal mereka sudah melewatkan banyak hal bersama-sama.Sekeluarnya dari panti asuhan, Sam memilih berjualan siomay. Sampai saat ini penghasilannya begitu-begitu saja, bahkan untuk rumah pun ia masih saja mengontrak. Bertahun-tahun berlalu nyaris tidak ada perubahan apapun pada Sam. Entah usahanya yang kurang keras atau mungkin nasibnya saja yang kurang baik. Termasuk soal hubungannya dengan wanita.Setelah ia kehilangan kontak dengan Devanka bertahun-tahun yang lalu, Sam pernah berusaha menjalin hubungan dengan wanita, tetapi semuanya kandas. Tak ada seorang pun wanita yang mau menerimanya apa adanya. Sungguh menyedihkan.Sam terus melangka
Bab 115) Belanja di Mall"Suaminya sudah berangkat kerja, Neng?" sapa mang Kasim, penjual sayuran keliling yang belakangan ini menjadi langganan Devanka untuk membeli sayuran dan keperluan dapurnya yang lain."Iya, Mang," jawab Devanka seraya mengangguk pasrah. Setiap sore menjelang senja, Keano selalu pulang ke rumahnya. Lelaki itu menepati janjinya untuk pulang setiap hari atau dua hari sekali. Ini sudah berlalu lebih dari seminggu. Bagaimana mungkin orang-orang tidak berpikiran jika Keano adalah suaminya? Apalagi jika melihat kondisinya yang tengah hamil."Rajin sekali suami Eneng, pagi-pagi sudah berangkat kerja," ucap mang Kasim."Dia kerjanya di luar kota, Mang. Makanya harus berangkat pagi-pagi biar nggak telat sampai ke tempat kerjanya," sahut Devanka."Beruntung sekali Eneng punya suami kayak gitu, nggak seperti suaminya Dila, putrinya Mamang. Yang ada putri Mamang lah yang kerja jadi buruh cuci, sementara suaminya nggak mau kerja. Gengsi katanya kerja serabutan," cerocos man
Bab 116) Kunjungan Ke Rumah Dila"Loh, Neng Deva." Wanita muda itu seketika menyipitkan matanya, heran dengan kemunculan Devanka yang tiba-tiba saja berada di depan rumah kontrakannya."Iya, Dila. Boleh aku masuk?" angguk sopan gadis itu. "Tentu, Neng. Silakan masuk. Maaf rumahnya berantakan. Maklum ada dua anak kecil di rumah ini," ucap Dila sungkan. Devanka melangkah masuk ke dalam. Pemandangan pertama yang dilihatnya di ruang tamu nan sempit ini adalah suasana yang sangat berantakan. Isi ruang tamu ini penuh dengan tumpukan pakaian yang sudah dicuci dan belum sempat dilipat. Sementara dua orang bocah perempuan cilik nampak asyik bermain dengan menggunakan boneka yang terbuat dari kain bekas. Miris sekali Devanka melihatnya. Satu hal yang kemudian membuatnya menatap barang-barang yang dibawanya. Untung dia sempat membeli dua buah boneka ketika di mall."Ada apa, Neng? Tumben berkunjung kemari?" usik Dila sembari menatap sekilas beberapa paper bag yang dibawa oleh Devanka. "Apakah