Pagi itu di kantor tempat Fandi bekerja. Reno datang menemui temannya itu setelah Fandi menghubungi."Jadi, elo mau batalin pernikahan lo sama Elsa?"Reno menoleh ke arah punggung seorang laki-laki yang sedang berdiri di tepi garis jendela. Fandi mengangguk menanggapi pertanyaan Reno tanpa melihat wajah temannya itu. Matanya lurus ke depan memperhatikan para buruh yang sedang bekerja di bawah terik Matahari.Reno geleng-geleng. "Terus gimana tanggapan orang tua lo nanti? Apa mereka mau terima dengan keputusan lo itu?"Fandi terdiam. Benar juga apa yang dikatakan oleh Reno. Orang tuanya tentu saja tidak akan setuju jika dia membatalkan rencana pernikahannya dengan Elsa. Namun, hubungan ini benar-benar membuatnya tersiksa."Gue udah siap untuk menerima apa pun resikonya nanti," jawabnya kemudian.Reno geleng-geleng. Dia menyayangkan keputusan Fandi. Elsa gadis yang cantik, terpelajar dan berasal dari keluarga terhormat di Jakarta. Pastilah banyak laki-laki mapan yang ingin memperistr
"Mbak, kopinya satu!""Eh, Mas Bagas! Ditunggu ya Mas kopinya!"Bagas mengangguk sambil tersenyum. Kemudian ia duduk dan mulai menyalakan api rokok.Hari ini cuacanya sangat panas. Bagas menghembuskan asap rokoknya seraya berteduh di sebuah warung kopi yang tidak jauh dari lokasi kontruksi."Bagas!"Suara itu mengejutkan Bagas. Ia segera bangkit, lantas menoleh ke sekitar. Dilihatnya seorang perempuan paruh baya yang sedang berjalan cepat menuju padanya.Tidak mungkin! Apa dia tidak salah lihat? Masa iya ibunya berada di tempat ini?"Siapa, Gas?" tanya Basuki, rekan kerja Bagas yang kebetulan berada di warung kopi.Bagas menggeleng. Ia lantas segera melangkah menuju perempuan paruh baya yang sedang menuju padanya sambil terisak-isak."Ibu?"Purwanti tak bisa berkata-kata. Dengan gemetaran ia mengangkat kedua tangannya lalu merangkum wajah laki-laki muda yang kini berdiri di hadapannya."Bagas ..." Tangisnya terpecah seketika. Ia segera memeluk Bagas.Basuki dan semua orang di warun
Lampu-lampu jalan sudah menyala saat Bagas mengendarai motornya menuju pulang. Hatinya berkecamuk dan pikirannya tidak karuan. 'Tinggalkan Perempuan itu dan pulanglah ke rumah. Maka saya akan menerima kamu lagi.'Dipejamkan matanya sesaat seraya berpaling muka. Ucapan ayahnya dan cara ia menatap, tetap saja sama. Sang ayah masih belum mau menerima pernikahannya dengan Laras.Bagas menggeleng. Tidak, tidak! Jika tanpa Laras dia tidak akan pernah kembali ke rumah orang tuanya.'Bagas!'Kali ini tangisan dan rintihan sang ibu yang terdengar di telinganya. Suara itu dan wajah ibunya yang basah oleh air mata, hati Bagas teriris melihatnya.Namun, ia tidak mungkin meninggalkan Laras dan kembali pada keluarganya.Meski hidup dengan berkecukupan dan tentram. Sayangnya, semua itu hanya akan terasa hampa jika tanpa Laras di sampingnya.Tak terasa jalan panjang itu telah Bagas lewati. Pagar rumahnya mulai terlihat. Laki-laki itu segera menepikan motor di pelataran rumah, lantas mengusap pipinya
Pagi yang dingin di penghujung musim panas. Bagas dan Laras tampak keluar dari sebuah mobil taksi yang menepi di daerah Kuningan."Jadi ini rumahnya, Mas?" Laras menoleh ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya.Bagas mengangguk sambil tersenyum. "Rumahnya lumayan besar dan kelihatan apik. Terlebih, rumah ini cukup dekat dengan tempat Mas kerja," jawabnya.Laras tersenyum tipis. Ia segera menyusul saat Bagas melangkah menuju teras rumah di depan mereka.Laras pikir mereka bisa pindah ke sebuah unit apartemen. Karena sebenarnya ia punya uang yang cukup untuk membeli satu unit hunian yang nyaman itu.Namun, dia tidak mungkin mengatakannya pada Bagas. Laras takut suaminya akan curiga tentang uang itu. Akhirnya ia menurut saja saat Bagas mengajaknya ke rumah kontrakan ini.Rumah itu tidak lebih kecil dari rumah kontrakan sebelumnya. Namun lokasinya agak jauh ke jalan besar dan tidak ada tetangga di sekitar. Melihat kondisinya, sepertinya rumah itu sudah lama dikosongkan."Selamat dat
Istriku digilir banyak laki-laki di saat aku pergi bekerja!! ________________ Jakarta 2010 Brak! "Enyah kalian dari rumah saya!" "Tolong kasih saya kesempatan lagi, Bu! Paling tidak tunggu suami saya pulang dulu ..." "Alaaa ... ngapain mesti nunggu suami kamu yang kere itu? Paling juga si Bagas mau minta tempo lagi! Nggak sudi saya!" Laras menangis sambil duduk di teras rumah kontrakan yang sudah ia tempati bersama suaminya selama lima bulan. Perempuan pemilik kontrakan marah besar karena mereka menunggak lagi. Mau bagaimana lagi? Laras tidak punya uang simpanan sepeser pun. Sementara suaminya, Bagas belum dapat kerjaan sejak mereka meninggalkan Solo. Laras tidak menyalahkan sikap kasar pemilik rumah kontrakan yang mengusirnya. Wajar saja dia marah, karena mereka belum membayar hingga dua bulan terakhir. Adzan Magrib terdengar berkumandang dari toa mesjid. Bagas baru saja tiba di pelataran rumah. Dia terkejut setengah mati melihat istrinya yang sedang menangis. Juga pemili
"Saya, Frans!" Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke depan Laras. Ia tersenyum manis sekali saat manik-manik hitam perempuan muda itu menatapnya. Tergugup Laras menjawab, "Aku Laras," katanya seraya menerima tangan Frans. Laki-laki itu tersenyum senang. "Kalo boleh tahu, Mbak Laras kenapa sedih gitu? Lagi ada masalah ya?" Laras buru-buru menggeleng. "Enggak kok! Maaf, aku mesti pulang." Frans manggut-manggut. Matanya memandangi punggung Laras menjauh pergi. Tak lama kemudian dua orang laki-laki menghampirinya. "Ikuti perempuan itu," bisik Frans. Dua orang laki-laki itu mengangguk. Mereka lantas pergi menyusul Laras. * Langkah kecil Laras tiba di depan pintu pagar rumah. Perempuan itu memalingkan wajahnya tampak sedih. Mas Bagas pasti sedang menunggunya pulang. Dengan wajah murung, tangan putih itu membuka pintu pagar. Laras berjalan menuju teras rumah. Dilihatnya Bagas yang sedang sibuk membetulkan motornya. "Maaf, Mas Bagas. Warungnya tutup, jadi Laras nggak bawa kopi b
Langkah kecil Laras terayun meninggalkan teras rumah. Ia menoleh ke sekitar. Tak lama kemudian, sebuah mini bus menepi tepat di depan pagar rumah."Mas Frans meminta saya untuk menjemput Mbak!" Laras cuma mengangguk menanggapi ucapan sopir. Ia lantas masuk ke mobil tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.Sopir bergegas melajukan mini bus menuju sebuah kantor kecil yang berada di pinggiran kota.Sepanjang perjalanan Laras merasa sangat cemas. Entah di mana Mas Bagas saat ini. Dia tidak meminta izin dulu sebelum pergi. Bagaimana jika suaminya itu tidak setuju kalau dia bekerja?"Sudah sampai, Mbak!"Laras terkejut. "Ah, iya Pak! Terima kasih."Sopir cuma mengangguk. Laras mengikuti langkah laki-laki itu menuju sebuah gedung. Sepertinya kantor Frans ada di sana.Selama ini dia tidak pernah bekerja di pabrik apalagi di kantor. Laras punya cita-cita ingin menjadi seorang guru. Sayangnya, itu cuma mimpi belaka. Setelah lulus SMA, dia hanya membantu pengurus panti mengelola toko rotinya.Baga
Hari mulai pagi. Suara kumandang adzan Subuh menyambangi telinga Bagas. Laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Dilihatnya kasur di samping yang masih kosong. Apa Laras tidak pulang?Bergegas ia bangkit. Sambil duduk di tepi ranjang, Bagas mengusap wajahnya lalu menggeleng. Kemana Laras pergi sampai belum pulang pagi ini?Lagi dan lagi, cuma pertanyaan itu yang terus bersarang di kepalanya. Semalam ia sempat mencari Laras. Namun, karena sudah larut malam Bagas tidak bisa meneruskan pencarian. Apa Laras pergi mengunjungi panti?Ah, tidak mungkin!Jikalau istrinya pergi ke suatu tempat, pasti Laras akan berpamitan dan meminta izin padanya lebih dulu. Sedangkan ini tidak. Bagas khawatir jika istrinya kenapa-napa.Sedang kebingungan Bagas, tiba-tiba saja tercium aroma lezat masakan daria arah dapur. Bagas terkesiap."Laras?"Bergegas laki-laki itu beringsut dari ranjang, lantas berjalan cepat menuju dapur. Dilihatnya punggung seorang perempuan yang sedang berdiri menghadap meja makan.Bagas
Pagi yang dingin di penghujung musim panas. Bagas dan Laras tampak keluar dari sebuah mobil taksi yang menepi di daerah Kuningan."Jadi ini rumahnya, Mas?" Laras menoleh ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya.Bagas mengangguk sambil tersenyum. "Rumahnya lumayan besar dan kelihatan apik. Terlebih, rumah ini cukup dekat dengan tempat Mas kerja," jawabnya.Laras tersenyum tipis. Ia segera menyusul saat Bagas melangkah menuju teras rumah di depan mereka.Laras pikir mereka bisa pindah ke sebuah unit apartemen. Karena sebenarnya ia punya uang yang cukup untuk membeli satu unit hunian yang nyaman itu.Namun, dia tidak mungkin mengatakannya pada Bagas. Laras takut suaminya akan curiga tentang uang itu. Akhirnya ia menurut saja saat Bagas mengajaknya ke rumah kontrakan ini.Rumah itu tidak lebih kecil dari rumah kontrakan sebelumnya. Namun lokasinya agak jauh ke jalan besar dan tidak ada tetangga di sekitar. Melihat kondisinya, sepertinya rumah itu sudah lama dikosongkan."Selamat dat
Lampu-lampu jalan sudah menyala saat Bagas mengendarai motornya menuju pulang. Hatinya berkecamuk dan pikirannya tidak karuan. 'Tinggalkan Perempuan itu dan pulanglah ke rumah. Maka saya akan menerima kamu lagi.'Dipejamkan matanya sesaat seraya berpaling muka. Ucapan ayahnya dan cara ia menatap, tetap saja sama. Sang ayah masih belum mau menerima pernikahannya dengan Laras.Bagas menggeleng. Tidak, tidak! Jika tanpa Laras dia tidak akan pernah kembali ke rumah orang tuanya.'Bagas!'Kali ini tangisan dan rintihan sang ibu yang terdengar di telinganya. Suara itu dan wajah ibunya yang basah oleh air mata, hati Bagas teriris melihatnya.Namun, ia tidak mungkin meninggalkan Laras dan kembali pada keluarganya.Meski hidup dengan berkecukupan dan tentram. Sayangnya, semua itu hanya akan terasa hampa jika tanpa Laras di sampingnya.Tak terasa jalan panjang itu telah Bagas lewati. Pagar rumahnya mulai terlihat. Laki-laki itu segera menepikan motor di pelataran rumah, lantas mengusap pipinya
"Mbak, kopinya satu!""Eh, Mas Bagas! Ditunggu ya Mas kopinya!"Bagas mengangguk sambil tersenyum. Kemudian ia duduk dan mulai menyalakan api rokok.Hari ini cuacanya sangat panas. Bagas menghembuskan asap rokoknya seraya berteduh di sebuah warung kopi yang tidak jauh dari lokasi kontruksi."Bagas!"Suara itu mengejutkan Bagas. Ia segera bangkit, lantas menoleh ke sekitar. Dilihatnya seorang perempuan paruh baya yang sedang berjalan cepat menuju padanya.Tidak mungkin! Apa dia tidak salah lihat? Masa iya ibunya berada di tempat ini?"Siapa, Gas?" tanya Basuki, rekan kerja Bagas yang kebetulan berada di warung kopi.Bagas menggeleng. Ia lantas segera melangkah menuju perempuan paruh baya yang sedang menuju padanya sambil terisak-isak."Ibu?"Purwanti tak bisa berkata-kata. Dengan gemetaran ia mengangkat kedua tangannya lalu merangkum wajah laki-laki muda yang kini berdiri di hadapannya."Bagas ..." Tangisnya terpecah seketika. Ia segera memeluk Bagas.Basuki dan semua orang di warun
Pagi itu di kantor tempat Fandi bekerja. Reno datang menemui temannya itu setelah Fandi menghubungi."Jadi, elo mau batalin pernikahan lo sama Elsa?"Reno menoleh ke arah punggung seorang laki-laki yang sedang berdiri di tepi garis jendela. Fandi mengangguk menanggapi pertanyaan Reno tanpa melihat wajah temannya itu. Matanya lurus ke depan memperhatikan para buruh yang sedang bekerja di bawah terik Matahari.Reno geleng-geleng. "Terus gimana tanggapan orang tua lo nanti? Apa mereka mau terima dengan keputusan lo itu?"Fandi terdiam. Benar juga apa yang dikatakan oleh Reno. Orang tuanya tentu saja tidak akan setuju jika dia membatalkan rencana pernikahannya dengan Elsa. Namun, hubungan ini benar-benar membuatnya tersiksa."Gue udah siap untuk menerima apa pun resikonya nanti," jawabnya kemudian.Reno geleng-geleng. Dia menyayangkan keputusan Fandi. Elsa gadis yang cantik, terpelajar dan berasal dari keluarga terhormat di Jakarta. Pastilah banyak laki-laki mapan yang ingin memperistr
"Kok melamun?"Laras dibuat terkejut saat hidungnya di cubit oleh Bagas. Dilihatnya laki-laki itu yang sedang tersenyum menggodanya.Astaga, rupanya cuma halusinasinya saja. Nyatanya mereka masih berada di dalam restoran saat ini.Dan saat mata Laras melihat seorang pelayan restoran menuju pada mereka, ia mulai bergetar. "Selamat malam, Mbak Laras dan Mas Bagas! Dikarenakan hari ini ulang tahun restoran kami, jadi Mas tidak perlu membayar tagihan. Dan sebagai rasa cinta kami pada pelanggan, maka restoran kami menyajikan dessert strawberry ini untuk kalian. Selamat menikmati!"Bagas tercengang mendengar semua penuturan si pelayan. Matanya menatap ke arah Laras. Dan sang istri cuma tersenyum manis menanggapinya.'Mbak, tolong saya. Tolong katakan ini pada suami saya ...'Laras teringat saat ia meminta pelayan itu untuk membantunya membohongi Bagas.Ulang tahun restoran cuma rekayasa saja. Sebenarnya Laras sudah membayar tagihan di bagian kasir restoran tanpa sepengetahuan Bagas.Sement
Mobil taksi yang membawa Bagas dan Laras pun tiba di pelataran sebuah restoran.Bagas memindai tempat di mana mereka saat ini. Dia terkejut dengan restoran yang dipilih Laras. Bagas merasa was-was karena tidak punya cukup uang untuk duduk dan memesan makanan di dalam sana."Laras, apa tidak sebaiknya kita makan di angkringan saja? Mas nggak punya uang lebih jika uang kamu kurang nantinya."Laras tersenyum mendengar ucapan Bagas. Ia lantas menoleh ke arah restoran.Mobil-mobil mewah tampak berderet di area basement. Sedang dari dinding kaca, terlihat tampak orang-orang kaya yang sedang duduk di dalam sana.Bagas masih menatap saat mata Laras tertuju padanya. "Mas nggak usah kuatir, uang Laras insyaallah cukup kok!""Tapi ...""Udah, ayo!"Laras segera menggamit lengan Bagas, lantas menggandeng suaminya memasuki area restoran.Meja yang berada di tengah restoran yang Laras pilih. Sebagai orang yang dulu pernah hidup mewah, Bagas tahu jika itu meja VIP."Laras, kok kita duduk di sini? Me
Laras sedang mematut penampilannya di depan cermin saat terdengar suara motor yang menepi di pelataran rumah. Ah, itu pasti Mas Bagas sudah pulang. Dengan bersemangat ia segera meninggalkan kamar.Di luar rumah Bagas baru saja menepikan motornya. Dilihatnya rumah yang lampunya sudah menyala. Sepertinya Laras sudah pulang, pikir Bagas seraya berjalan mantap menuju pintu."Mas Bagas!"Kemunculan seorang perempuan saat kedua daun pintu terbuka membuat Bagas terkejut. Laras melempar senyum manis ke arahnya dengan pipi yang bersemu merah.Bagas tertegun melihat penampilan sang istri yang teramat berbeda sore ini. Laras mengenakan gaun malam warna merah panjang sampai ke lutut. Rambutnya yang panjang berkumpul di bahu kirinya. Sementara bahu kanan menampilkan kulitnya yang putih mulus disebabkan model gaunnya yang terbuka."Laras."Ia masih terkesima akan kecantikan Laras. Tatapannya membuat perempuan itu jadi tersipu malu."Mas sudah pulang?" Laras segera memecah keheningan di antara mere
Siang itu di lokasi kontruksi tempat di mana Bagas bekerja."Tambah lagi, Mas?""Sepertinya sudah cukup. Kamu bisa membantu yang lainnya menurunkan bahan bangunan yang baru datang!""Baik, Mas!"Bagas segera berjalan menuju para buruh yang sedang berkumpul di samping mobil yang mengangkut bahan bangunan."Kiri! Kiri!""Stop!"Sopir segera turun setelah menepikan mobil. Sementara para buruh segera maju untuk menurunkan ratusan semen yang diangkut."Ayo bantu!" Mandor berseru. Maka para buruh yang sedang berdiri segera maju. Tidak terkecuali dengan Bagas.Satu demi satu bahan bangunan dipikul oleh para buruh menuju tempat penyimpanan. Dari dalam mobil, Elsa memperhatikan.Meski cuaca teramat terik, dan perempuan itu sangat sensitif dengan panasnya Matahari Elsa tetap mendatangi lokasi kontruksi.Pintu mobil dibanting cukup keras. Elsa segera berjalan menuju seorang laki-laki yang sedang mencuci tangan di dekat toilet."Ehem!"Bagas yang sedang bicara dengan rekan kerjanya dibuat terkej
Pagi telah tiba. Laras dibuat terkejut saat mendapati kasur di sampingnya yang sudah kosong. Kemana Mas Bagas? Apa dia sudah berangkat bekerja?Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar, Laras segera menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh. Lantas ia beringsut dari ranjang.Di mana Mas Bagas?Langkah kecil itu terayun menuju kamar mandi. Mungkin dia bisa melihat punggung suaminya di sana, karena tidak mungkin jam segini Mas Bagas sudah berangkat bekerja. Bahkan kumandang adzan subuh saja belum terdengar.Sepasang mata Laras memindai ke sekitar lalu fokus ke pintu kaca kamar mandi. Namun, aroma lezat nasi goreng dari arah dapur membuyarkan rasa gelisahnya."Mas Bagas?"Laki-laki yang sedang berdiri menghadap meja makan di dapur dibuat menoleh saat ia memanggilnya.Bagas menyambutnya dengan menyematkan senyum manis di wajahnya yang tampan."Laras, kamu sudah bangun?"Laras belum menjawab. Matanya melihat ke arah meja makan. Dua piring nasi goreng sudah tersaji di sana.