Selama perjalanan pulang, beberapa kali Marina sempat menolehkan kepala ke arah kursi kemudi. Marco jadi membisu sejak telepon yang diterimanya, yang mana itu malah membuat Marina penasaran banyak hal termasuk soal si ‘tikus kecil’.
Di tengah-tengah perjalanan, Marco harus menginjak rem dengan cepat setelah sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. “Sialan!” umpat Marco sambil memukul kemudi mobil. “Bosan hidup rupanya.” Marina yang berada di sebelahnya hanya bisa melongo karena tak paham akan situasinya. Marina hanya tahu kalau pintu mobil yang menghalangi mereka tiba-tiba terbuka dan seorang pria turun dari sana. “Ternyata kita bertemu di sini ‘tikus kecil’.” Marina menoleh. “Tikus kecil?” cicitnya. “Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan turun dan membasmi hama penggangu itu.” Marco coba bersikap santai, malah, masih sempat tebar pesona kepada Marina. Namun begitu pintu dibuka, senyum itu turun dan berganti menjadi kebengisan tiada tara. Marina turut perintah. Dia tetap di mobil sambil mengamati dari jauh. Sampai lagu I Will Always Love You dari penyanyi terkenal Whitney Houston pada saat modulasi mau masuk reff, tiba-tiba mengalun dari ponselnya. Setelah kaget, Marina lekas menjawab panggilan tersebut. “Halo, siapa ini?” Nomor tak dikenal makanya langsung ke inti pertanyaan. [“Ini aku, Nami. Tolong aku!”] “Na-Nathan?” Marina tahu identitas si penelepon dengan sangat cepat. Sebab Nami adalah adalah panggilan sayang Nathan untuknya yang merupakan singkatan nama mereka berdua, NAthan dan Marina. “Kamu di mana? Kenapa kamu ninggalin aku?” Tak sadar emosinya malah memuncak. [“Aku enggak bisa jelasin sekarang. Nyawaku sedang terancam dan ini bisa mengancam kamu juga.”] Mata Marina membola. “Kamu ngomong apa sih? Sekarang kamu di mana, aku mau ketemu sama kamu!” [“Kamu keluar dari mobil itu. Larilah ke seberang, di dekat hutan-hutan, aku menunggu di sana.”] Tanpa pikir panjang. Marina membuka pintu mobil kemudian mengikuti instruksi yang diberikan oleh Nathan. Dia sama sekali tak memperdulikan larangan Marco tadi. [“Kamu terus saja, aku ada di pohon ketiga sebelah kanan.”] Nathan masih terus memberi instruksi untuk Marina yang juga menuruti perintahnya. Sementara itu Marco dan pria yang menghentikan perjalanannya, terlibat percakapan yang serius. “Jangan mimpi terlalu ketinggian, Marco. Barkley itu tetap akan jatuh ke tanganku.” “Hahaha!” tawa Marco, meledek. “Kamu yang harusnya bangun dari tidur panjangmu itu, adik terlaknatku, mama-boys.” Yah, pria di depannya itu memang sang adik tiri. Anak yang selalu berlindung di ketiak ibunya makanya dia dapat julukan mama-boys dari Marco. Sindiran Marco menyentil telak. Adiknya kelihatan emosi. Namun, berusaha menahan. Dia kembali kepada tujuannya untuk memberikan map cokelat kepada Marco. “Hadiah kecil untukmu. Anggap saja itu bentuk kemurahan hatiku.” Setelah menyerahkan benda tersebut, dia berbalik badan dan masuk ke dalam mobilnya. Kemudian menghilang dari pandangan Marco. Sedangkan Marco, memilih untuk kembali ke mobilnya sendiri sesudah menatap tak minat pada amplop cokelat tersebut. Dan saat itu pula dia sadar kalau Marina telah kabur. “Oh, shit!” umpatnya. “Marina!” Marco berkeliling sambil meneriakkan nama Marina, berharap wanita itu bisa mendengarnya. [“Buruan, Nami. Pria itu kini mencarimu.”] Benar saja perkiraan Marco, akan tetapi bukan hanya Marina yang bisa mendengar teriakannya, tetapi Nathan yang ada di seberang telepon juga. “Kamu di mana sih? Aku takut loh, Nathan.” Tadi katanya dekat, eh, dia malah merasa makin masuk ke dalam hutan. Mana kakinya sekarang lecet terkena duri-duri tanaman liar. [“Sedikit lagi, sayang. Aku menunggu di depan.”] Napas wanita itu mulai memburu. Keringat sampai mengucur deras. Dia berharap bisa bertemu Nathan dan keluar dari sana secepatnya. [“Kamu lihat pohon besar sekitar lima puluh meter di depanmu, aku bersembunyi di situ, sayang.” Marina memandang ke depan, memang benar ada satu pohon yang berada tak jauh darinya. Merasa jarak mereka makin dekat, Marina memaksa kakinya meski mulai terasa lelah dan pedih untuk bergerak lebih cepat lagi. Jarak Marina dan pohon tempat Nathan bersembunyi tinggal beberapa langkah sampai sebuah tangan meraih pundaknya. “Ahhhhhh!” Marina sontak berteriak. Ponselnya jatuh dan sambungannya dengan Nathan seketika terputus. “Marina ini aku,” kata Marco. “Kenapa kamu di sini?” “Malah balik nanya. Dasar kepala batu. Kamu lupa aku pesan apa tadi ke kamu, heh?” Tak memperdulikan pertanyaan Marco, Marina langsung menunduk untuk memungut ponselnya yang terjatuh lalu, “Halo? Halo Nathan ....” Berapa keras pun Marina memanggil, sayangnya mantan kekasihnya itu tak lagi bisa dihubungi. Handphone-nya telah dimatikan secara total. “Ayo kita pulang, Marina. Di sini berbahaya.” “Ngak!” Tangan Marco disentak. Sambil tetap mencoba berbagai cara untuk terhubung kembali dengan Nathan. “Ke mana mantanmu itu? Kenapa harus sembunyi-sembunyi segala?” “Kalau aku tahu alasannya, mana mungkin aku ada di sini!” jawab Marina ketus. “Harusnya tadi kami ketemu, kamu malah datang. Pasti dia kabur gara-gara kamu.” Lalu balik menyalahkan Marco. Tetapi tak salah juga sih, karena Nathan memang memutus kontak sebab tahu Marco berhasil menyusul Marina. “Ah!” Ingin rasanya Marina menangis kencang saat itu. “Kita balik sekarang juga. Di sini berbahaya,” tekan Marco sekali lagi. “Kalau kamu mau balik, balik aja sendiri. Aku harus ketemu Nathan. Surat-surat rumahku harus dia kembalikan.” Marina sibuk dengan layar ponselnya, tengah mengirimkan pesan. Pikirnya, Nathan pasti akan membaca pesannya setelah kembali aktif. Andai kata, Nathan punya kesempatan untuk sekedar mengecek hape. “Keras kepala!” maki pria berwajah blasteran tersebut. Tanpa aba-aba dia menunduk untuk kemudian mengangkat Marina ke atas pundaknya. Seperti sedang memanggul karung beras. “Turunkan aku ... aku harus ketemu Nathan.” Tak serta merta menerima, Marina tentu saja protes. Dia coba berontak minta diturunkan. Namun Marco malah acuh tak acuh, dia mengokohkan tubuh demi bertahan dari pukulan-pukulan yang dilayangkan ke arahnya. Mereka akhirnya sampai di dekat mobil. Pintu di kursi depan dibuka, Marina diturunkan di sana. Marco menyusul masuk dan mengunci semua pintu. “Jangan pikir kamu bisa kabur dariku, Marina.” Nada bicara Marco memang pelan, tetapi suara beratnya membuat Marina ketar-ketir dan memupuskan niatnya untuk kabur. “Kita balik!” Gerakan Marina yang mencoba untuk membuka pintu terhenti. Mobil telah bergerak dalam kecepatan penuh kembali ke rumah. “Hiks!” Masih setia membelakangi pria tersebut, bulir-bulir kesedihan Marina mulai membuat sesak. Pikirannya benar-benar kalut saat itu. Kesempatan bertemu Nathan dirasa terbuang percuma. “Kamu lupa sama perjanjian kita?” Marina dengar, namun enggan menyahut. “Saat aku setuju akan bantu, maka aku akan bantu. Aku tegaskan sekali lagi padamu ... aku bukan pembohong! Apa yang keluar dari mulutku, itu yang akan aku lakukan. Lagian kenapa kamu gampang percaya sih. Gimana kalau yang nelpon tadi itu bukan Nathan?” “Dia pasti Nathan.” “Oke taruhlah dia benar Nathan. Tetapi bagaimana kalau dia berbohong? Dia sengaja nelpon untuk menjebak kamu.” “Tidak mungkin ... Nathan bukan orang seperti itu.” Marco terkekeh pelan. “Tidak katamu? Trus masalah rumah kamu yang dijadikan jaminan bank, itu apa namanya kalau bukan menjebak?” Mulut Marina terkatup otomatis. Marco menghela napas. “Kamu percayakan saja padaku. Orang suruhanku pasti bisa mencarinya.” Dari yang tadinya masih tak mau berbalik, sekarang Marina pelan-pelan mensejajarkan posisi duduknya. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, benda pipih berteknologi tinggi di kantung Marco berbunyi. “Nah apa kubilang, anak buahku pasti berhasil nemuin Nathan,” kata Marco bangga.[“Kami sudah berhasil menemukannya, bos!”]Marco berdeham sebagai jawaban, ia tak perlu menjawab panjang lebar anak buahnya langsung paham arti dehaman tersebut.“Sekarang kita ke rumah dan obati kakimu.” Di kaki mulus Marina terdapat banyak baret yang mengeluarkan darah segar. “Kamu jadi abai sama diri sendiri demi pria sepertinya. Sungguh sangat disayangkan, Marina.”Kepala Marina terangkat dan menatap sinis ke arah Marco. Bukannya, marah atau takut, pria yang berdandan kasual itu justru memasang seringai mengejek. Makin manyunlah bibir Marina. Tiba di rumah, Marco mengajak masuk. Lekas memanggil para maid untuk mengambilkan kotak P3K. “Biar aku sendiri aja yang obati.”Marco mendesis. “Jangan banyak protes, jarang-jarang aku mau berbaik hati seperti ini.” Marina tetap disuruh berselenjor di sofa lalu pahanya dijadikan sebagai pengganjal kaki wanita itu. “Aku bisa sendiri kok,” ketus Marina.“Bisa diam ngak sih? Aku lagi fokus nih.” Marco tak kalah ketus. “Salah yah
Pria yang memiliki darah Jerman dari almarhum ibunya itu sedang gusar. Kondisi hatinya terus memburuk setelah keputusan rapat tadi siang. Tampaknya 2 botol Jhonnie Walker yang punya kisaran harga 5-10 juta per botolnya itu belum mampu membuat perasaanya membaik. Ting! Sudut gelasnya berdenting setelah dijentik menggunakan jari. Mulutnya terus mendecap tengah meresapi rasa lembut dari minuman yang kaya akan aroma buah dan rempah-rempah di tangannya. “Sie mussen die dinge tun von denen sie glauben, dass sie sie nicht tun konne.” Kutipan yang sangat dia sukai. Artinya kurang lebih untuk lebih semangat dalam menyelesaikan semua masalah. “Haaah!” Tubuhnya merosot turun dan langsung mengambil posisi berselenjor di atas sofa. Gelas di tangannya dilepaskan begitu saja. Alkohol mungkin belum mampu membuat mood-nya baik tetapi paling tidak dia bisa tertidur nyenyak selama beberapa waktu ke depan. Sementara itu Marina di dalam kamarnya, maksudnya kamar tamu di rumah Marco, tampaknya menghad
"Siapa wanita yang tadi dibawa Marco?”Sementara itu di kediaman saudara tiri Marco, kejutan yang diberikan oleh Marco membuat bincang siang mereka terasa kian berat.“I don’t know, mom,” jawab wanita cantik berambut sebahu di dekat guci besar.“Tapi dia cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibir merah merona, wah ... pakai baju saja dia seindah itu apalagi tidak.”“Hei, Reza!” seru dua wanita di dekatnya itu bersamaan.“Yah ... ternyata adikku sudah besar.”“Stop nonton film biru atau otongmu mama bikin impoten.” Bila sang kakak membela, mamanya kelihatan kurang senang. Dia senang kalau melihat anaknya ketakutan sambil merapatkan kaki guna menyembunyikan senjata pusakanya.“Di mana dia dapat perempuan secepat itu? Bukannya kemarin dia masih jomlo?”“Wanita itu sudah ada bersamanya sejak dua hari lalu.”“Kamu kok bisa tahu?”“Anak buah Reza yang kasih tahu.” Pria berkulit sawo matang itu terlihat menyembunyikan sesuatu dari mama dan kakaknya. “Yah anak mama yang
“Kenapa bisa lepas?”Sesaat setelah mendapat pesan dari anak buahnya, Marco pergi menemui mereka di rumah sakit. Tepatnya di kamar mayat. Marco yang putuskan sendiri tetap membiarkan mayatnya di autopsi terlebih dulu.“Maafkan kami, bos.”Mereka bisa saja sasaran empuk kemarahan Marco. Namun, tak akan dilakukan demi menjaga tubuhnya dari seragan darah tinggi. Bila menilik dari sisi lain masalah ini, pria yang kini terbujur di depannya, bisa membersihkan tangannya dari darah. Berarti kalau ada apa-apa, bukan dia yang akan kena getah. Sebagai bahan pertimbangan lain Marco membatalkan niat marah-marahnya.“Tetap cari tahu apakah ini suruhan si rubah licik atau ada orang lain yang ingin bermain-main denganku.”“Baik, bos. Siap, bos!”Karena urusannya sudah selesai, Marco kembali berkendara di tengah dinginnya malam kembali ke rumah. Ada yang mesti dia lakukan sebelum fajar kembali menyingsing. Hal itu adalah kontrak dengan calon istri bohongannya.Tak banyak hal yang perlu diubah,
“Marco itu memang tampan, tapi sayang perangai buruk. Emosinya setipis tisu. Gesekan sedikit saja, emosinya bisa langsung tersulut. Semoga saja tuanya tidak hipertensi kayak kakeknya.”“Jadi nyalahin aku. Aku tekanan darah tinggi bukan karena suka marah-marah loh.” Kakek Marco langsung protes. “Perasaan dari tadi aku diam saja, kenapa jadi malah kena sasaran?”“Masa sih? Kamu ‘kan mudanya kayak anak dan cucumu.”“Kalau gantengnya, harus aku akui.”Marina menghela napas panjang. Berada di dekat dua orang ini, membuatnya harus punya rasa sabar seluas semesta. Apalagi meladeni semua kerandoman yang dimiliki dua orang tua tersebut. Meski begitu perasaan Marina jauh lebih tenang. Bila membandingkan hidupnya, hanya orang tua dari papanya yang punya rasa sayang untuknya, itu pun tidak lama. Kakek nenek dari sang mama, malah tak pernah melihat wajahnya sama sekali. Perang dingin antar keluarga adalah penyebab hal tersebut terjadi.Setiap kali almarhum papanya mengajak liburan ke rumah s
“Kenapa kita ke rumah sakit? Nathan sakit? Dia sakit apa?”Pengkhianatan Nathan memang menyakiti perasaan Marina. Namun, rasa cinta itu tetap ada. Marina mencintainya tulus. Nathan harusnya bersyukur untuk hal ini, bukannya malah berkhianat.Marco melirik, dia pilih tetap diam. Memikirkan bahwa Marina akan heboh, jejeritan di depan rumah sakit, mereka akan jadi bahan tontonan, lebih baik di depan kamar mayat saja baru dijelaskan. Kalau pun nanti dia teriak-teriak, tak akan ada yang bakal terganggu kecuali mayat-mayat itu bisa hidup lagi.“Nathan sakit?” Merasa dianggurin, jaket Marco dia tarik-tarik. “Dia sakit apa, Marco?” Menatap pemilik mata kacang kastanye itu penuh harap. “Puhh!” Makin tak tega menyembunyikannya lama-lama. Satu jari telunjuknya terarah pada tulisan ruangan ‘Kamar Mayat’ di depan pintu.Begitu Marina mengikuti petunjuk Marco, seluruh tubuhnya seketika bergetar hebat. Matanya diselimuti kaca bening yang tak butuh waktu lama untuk pecah dan mengalirkan rasa
“Kematian pria itu tidak wajar. Harus kita selediki.”“Tetapi, dia ‘kan musuh bos, kenapa sampai segitunya diselidiki? Bisa dibiarkan saja, malah justru bagus dendam bos terbalaskan tanpa perlu mengotori tangan sendiri.”Apa yang dikatakan oleh anak buah Marco, memang benar. Namun itu sebelum dia tahu kalau Nathan adalah salah satu dari permintaan Marina. Terikat kontrak, terpaksa dia harus mengusutnya sampai tuntas.“Lakukan saja apa permintaanku. Selanjutnya biar aku yang urus sisanya. Jangan lupa cari tahu juga tentang asal-usul pria itu.”Pemimpin, salah satu anak buahnya yang dipercayakan berkomunikasi langsung dengan Marco, mengangguk paham. Berputar 180 derajat, meninggalkan Barkley. Setelah anak buahnya pergi, Marco menghubungi sekretarisnya lewat telepon pesawat.“Iya ada apa, pak?” Berselang beberapa menit, sebuah kepala terjulur di balik pintu ruangan kerja Marco. Seorang wanita berpakaian rapi masuk dan membawa beberapa map berwarna. Jalannya sedikit lambat, selain
“Aduh, harusnya tadi aku tuh naik ojek. Ah ... ternyata minimarketnya jauh. Mana perut masih sakit lagi.”Gadis cantik bergaun cokelat motif bunga-bunga itu, berjalan di trotoar sambil memperhatikan maps mencari lokasi keberadaan minimarket terdekat dari rumah. Meski kesusahan ―karena wanita memang sulit bila berhubungan dengan arah― akhirnya dia sampai juga. Paling yang gempor cuman betisnya saja.Dia berniat membeli beberapa pembalut, sebab berdasarkan perhitungan tanggal dan rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang, sebentar lagi dia akan kedatangan tamu bulanan. Sebagai tamu di rumah Marco, tidak lah mungkin Marco menyiapkan hal-hal seperti itu. Siapa pula yang mau pakai, Marco? Neneknya? Para maid yang rata-rata sudah berumur?Maka dengan inisiatif sendiri Marina pergi membeli keperluannya di minimarket. Dia membeli satu merek yang biasa dipakai setelah itu ke kasir untuk membayar. Pada rak di dekat meja kasir, ada banyak roti dengan berbagai merek. “Sepuluh ribu satu kak
“Dari mana aja sih, Reza?”Reza, yang baru kembali dari rumah Marco langsung disambut tanya dari sang mama.“Dari kantor kak Marco.” Dia menyembunyikan satu bagian cerita, tentang singgah ke rumah kakak tirinya demi menyelamatkan Marina.“Lama amat. Jangan sering-sering kelayapan.”“Iya, ma.” Reza mengangguk patuh. Dia memang anak yang penurut. Harus tunduk apa perintah mama. Makanya tak salah Marco menyematkan julukan mama-boys untuknya. “Jadi gimana ma, si Marina udah diamanin?” Mesti pakai bahasa eksplisit agar mamanya tak menaruh curiga sama sekali.Mamanya menjentikkan jari. “Off course.”Muka Reza panik. “Di tempat yang biasa kan, ma?”Mata mamanya menyipit. “Kenapa kamu tanya-tanya begitu?”“Ah ngak kok, ma. Cumanya nanya aja.” Dia memasang ekspresi tenang, seakan tak ada apa-apa. Mata mamanya memicing lagi, tampak masih belum yakin. “Kakak ke mana?” Akhirnya dia mengalihkan perhatian dengan membahas sang kakak yang belum kelihatan batang hidungnya sedari pagi.“Ada
Setelah Marina pingsan, tubuhnya langsung diangkat masuk ke dalam sebuah van yang telah menunggu di ujung gang. Satu dari tiga pria bertopeng itu sebelum masuk ke dalam mobil, menghampiri si nenek tadi.“Ambil ini!” Dia menyerahkan beberapa lembar uang lalu memberi kode seperti mengunci mulut. Harga untuk keberhasilannya memancing Marina ke sarang penyamun.Nenek itu menerimanya dengan hati penuh rasa bersalah. Apalagi saat melihat tiga bungkus roti dalam buntalan kainnya, rasa bersalah itu makin menjadi-jadi. Hanya bisa berdoa dalam hati agar Marina segera dapat pertolongan. Karena sebenarnya dia terpaksa melakukan perbuatan kejam tersebut. Cucunya butuh uang untuk berobat ke rumah sakit.Mobil van melaju meninggalkan gang sempit, masuk ke jalan besar, selap-selip di antara kendaaran lain. Dalam kecepatan 100 km/ jam, hitungan menit saja para penculik telah meninggalkan jalanan ibukota. Masuk ke jalan berbatu sedikit becek sebab hujan semalam. Begitu mulai memasuki kawasan di
“Aduh, harusnya tadi aku tuh naik ojek. Ah ... ternyata minimarketnya jauh. Mana perut masih sakit lagi.”Gadis cantik bergaun cokelat motif bunga-bunga itu, berjalan di trotoar sambil memperhatikan maps mencari lokasi keberadaan minimarket terdekat dari rumah. Meski kesusahan ―karena wanita memang sulit bila berhubungan dengan arah― akhirnya dia sampai juga. Paling yang gempor cuman betisnya saja.Dia berniat membeli beberapa pembalut, sebab berdasarkan perhitungan tanggal dan rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang, sebentar lagi dia akan kedatangan tamu bulanan. Sebagai tamu di rumah Marco, tidak lah mungkin Marco menyiapkan hal-hal seperti itu. Siapa pula yang mau pakai, Marco? Neneknya? Para maid yang rata-rata sudah berumur?Maka dengan inisiatif sendiri Marina pergi membeli keperluannya di minimarket. Dia membeli satu merek yang biasa dipakai setelah itu ke kasir untuk membayar. Pada rak di dekat meja kasir, ada banyak roti dengan berbagai merek. “Sepuluh ribu satu kak
“Kematian pria itu tidak wajar. Harus kita selediki.”“Tetapi, dia ‘kan musuh bos, kenapa sampai segitunya diselidiki? Bisa dibiarkan saja, malah justru bagus dendam bos terbalaskan tanpa perlu mengotori tangan sendiri.”Apa yang dikatakan oleh anak buah Marco, memang benar. Namun itu sebelum dia tahu kalau Nathan adalah salah satu dari permintaan Marina. Terikat kontrak, terpaksa dia harus mengusutnya sampai tuntas.“Lakukan saja apa permintaanku. Selanjutnya biar aku yang urus sisanya. Jangan lupa cari tahu juga tentang asal-usul pria itu.”Pemimpin, salah satu anak buahnya yang dipercayakan berkomunikasi langsung dengan Marco, mengangguk paham. Berputar 180 derajat, meninggalkan Barkley. Setelah anak buahnya pergi, Marco menghubungi sekretarisnya lewat telepon pesawat.“Iya ada apa, pak?” Berselang beberapa menit, sebuah kepala terjulur di balik pintu ruangan kerja Marco. Seorang wanita berpakaian rapi masuk dan membawa beberapa map berwarna. Jalannya sedikit lambat, selain
“Kenapa kita ke rumah sakit? Nathan sakit? Dia sakit apa?”Pengkhianatan Nathan memang menyakiti perasaan Marina. Namun, rasa cinta itu tetap ada. Marina mencintainya tulus. Nathan harusnya bersyukur untuk hal ini, bukannya malah berkhianat.Marco melirik, dia pilih tetap diam. Memikirkan bahwa Marina akan heboh, jejeritan di depan rumah sakit, mereka akan jadi bahan tontonan, lebih baik di depan kamar mayat saja baru dijelaskan. Kalau pun nanti dia teriak-teriak, tak akan ada yang bakal terganggu kecuali mayat-mayat itu bisa hidup lagi.“Nathan sakit?” Merasa dianggurin, jaket Marco dia tarik-tarik. “Dia sakit apa, Marco?” Menatap pemilik mata kacang kastanye itu penuh harap. “Puhh!” Makin tak tega menyembunyikannya lama-lama. Satu jari telunjuknya terarah pada tulisan ruangan ‘Kamar Mayat’ di depan pintu.Begitu Marina mengikuti petunjuk Marco, seluruh tubuhnya seketika bergetar hebat. Matanya diselimuti kaca bening yang tak butuh waktu lama untuk pecah dan mengalirkan rasa
“Marco itu memang tampan, tapi sayang perangai buruk. Emosinya setipis tisu. Gesekan sedikit saja, emosinya bisa langsung tersulut. Semoga saja tuanya tidak hipertensi kayak kakeknya.”“Jadi nyalahin aku. Aku tekanan darah tinggi bukan karena suka marah-marah loh.” Kakek Marco langsung protes. “Perasaan dari tadi aku diam saja, kenapa jadi malah kena sasaran?”“Masa sih? Kamu ‘kan mudanya kayak anak dan cucumu.”“Kalau gantengnya, harus aku akui.”Marina menghela napas panjang. Berada di dekat dua orang ini, membuatnya harus punya rasa sabar seluas semesta. Apalagi meladeni semua kerandoman yang dimiliki dua orang tua tersebut. Meski begitu perasaan Marina jauh lebih tenang. Bila membandingkan hidupnya, hanya orang tua dari papanya yang punya rasa sayang untuknya, itu pun tidak lama. Kakek nenek dari sang mama, malah tak pernah melihat wajahnya sama sekali. Perang dingin antar keluarga adalah penyebab hal tersebut terjadi.Setiap kali almarhum papanya mengajak liburan ke rumah s
“Kenapa bisa lepas?”Sesaat setelah mendapat pesan dari anak buahnya, Marco pergi menemui mereka di rumah sakit. Tepatnya di kamar mayat. Marco yang putuskan sendiri tetap membiarkan mayatnya di autopsi terlebih dulu.“Maafkan kami, bos.”Mereka bisa saja sasaran empuk kemarahan Marco. Namun, tak akan dilakukan demi menjaga tubuhnya dari seragan darah tinggi. Bila menilik dari sisi lain masalah ini, pria yang kini terbujur di depannya, bisa membersihkan tangannya dari darah. Berarti kalau ada apa-apa, bukan dia yang akan kena getah. Sebagai bahan pertimbangan lain Marco membatalkan niat marah-marahnya.“Tetap cari tahu apakah ini suruhan si rubah licik atau ada orang lain yang ingin bermain-main denganku.”“Baik, bos. Siap, bos!”Karena urusannya sudah selesai, Marco kembali berkendara di tengah dinginnya malam kembali ke rumah. Ada yang mesti dia lakukan sebelum fajar kembali menyingsing. Hal itu adalah kontrak dengan calon istri bohongannya.Tak banyak hal yang perlu diubah,
"Siapa wanita yang tadi dibawa Marco?”Sementara itu di kediaman saudara tiri Marco, kejutan yang diberikan oleh Marco membuat bincang siang mereka terasa kian berat.“I don’t know, mom,” jawab wanita cantik berambut sebahu di dekat guci besar.“Tapi dia cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibir merah merona, wah ... pakai baju saja dia seindah itu apalagi tidak.”“Hei, Reza!” seru dua wanita di dekatnya itu bersamaan.“Yah ... ternyata adikku sudah besar.”“Stop nonton film biru atau otongmu mama bikin impoten.” Bila sang kakak membela, mamanya kelihatan kurang senang. Dia senang kalau melihat anaknya ketakutan sambil merapatkan kaki guna menyembunyikan senjata pusakanya.“Di mana dia dapat perempuan secepat itu? Bukannya kemarin dia masih jomlo?”“Wanita itu sudah ada bersamanya sejak dua hari lalu.”“Kamu kok bisa tahu?”“Anak buah Reza yang kasih tahu.” Pria berkulit sawo matang itu terlihat menyembunyikan sesuatu dari mama dan kakaknya. “Yah anak mama yang
Pria yang memiliki darah Jerman dari almarhum ibunya itu sedang gusar. Kondisi hatinya terus memburuk setelah keputusan rapat tadi siang. Tampaknya 2 botol Jhonnie Walker yang punya kisaran harga 5-10 juta per botolnya itu belum mampu membuat perasaanya membaik. Ting! Sudut gelasnya berdenting setelah dijentik menggunakan jari. Mulutnya terus mendecap tengah meresapi rasa lembut dari minuman yang kaya akan aroma buah dan rempah-rempah di tangannya. “Sie mussen die dinge tun von denen sie glauben, dass sie sie nicht tun konne.” Kutipan yang sangat dia sukai. Artinya kurang lebih untuk lebih semangat dalam menyelesaikan semua masalah. “Haaah!” Tubuhnya merosot turun dan langsung mengambil posisi berselenjor di atas sofa. Gelas di tangannya dilepaskan begitu saja. Alkohol mungkin belum mampu membuat mood-nya baik tetapi paling tidak dia bisa tertidur nyenyak selama beberapa waktu ke depan. Sementara itu Marina di dalam kamarnya, maksudnya kamar tamu di rumah Marco, tampaknya menghad