"Rin, Airin Kau kenapa?"Aku menepuk-nepuk pipi putih mulus itu, karena tiba-tiba saja ia terkulai lemah di sisiku. Airin pingsan? Tanpa menunggu lama aku pun segera memangkunya."Alah... palingan cuma akting itu, Kak," ucap Resti santai. Aku menggelengkan kepala, memang terlihat wajah Airin begitu pucat."Ini benerin, Res," ucapku pada Resti, "Rido, tolong angkat Resti ke dalam," pintaku pada Rido."Kakak yakin, kalau Airin ini nggak lagi akting saja," sahut Rido tak kalah santainya seperti Resti tadi."Kalian punya hati nggak sih, ada orang pingsan kok Kalian masih saja santai," ucapku dengan lantang, karena tak seorang pun yang berniat membantu Airin. Iya, aku tahu Airin jahat dan licik, tapi apa iya kita tega membiarkannya tergeletak pingsan seperti ini."Pa, tolong mama..." rengek Raffa, bocah tampan itu terlihat khawatir melihat keadaan mamanya."Rido, Rozi...ayo angkat Airin ke dalam. Kita ini punya hati, tak mungkin membiarkan ada orang pingsan begitu saja di teras rumah kita,
"Rin, Rin...bangun " terdengar suara emak pelan membangunkan Airin. Seusai solat subuh tadi, aku memang langsung berkutat dengan urusan dapur. Resti pun sudah bangun, ia lagi mencuci baju seraya mengajak si kecil Abella bermain, sedangkan para lelaki di rumah ini belum pulang dari mushola. Kecuali Rido, adik iparku itu belum pulang dari rumahku."Ah...ganggu orang tidur saja..." ucap Airin, ya memang begitulah Airin tak pernah bisa untuk bangun pagi."Dasar pemalas," gerutu Resti. Aku tersenyum, rupanya Resti juga ikut mendengar suara emak yang membangunkan Airin "Heh! Airin bangun, ini sudah pagi... di sini tak ada orang yang bangun kesiangan," ucap emak lagi dengan lantang, "Bangun, Rin... Kau harus pergi secepatnya dari sini, tak enak di lihat tetangga, Kau bukan istri Rido lagi tak patut menginap di sini.""Iya, Mak...iyaaa. Bawel banget sih!" seru Airin pula."Kak, mas Rido belum pulang?" tanya Airin tiba-tiba muncul di dapur. "Ngapain Kau nanya-nanya abangku," sewot Resti pul
Airin akhirnya menyerah, ia lebih memilih pergi saat itu juga. Sebenarnya, ada rasa tak tega melihat Airin mendapatkan penolakan dari Raffa. Tapi, itulah kehidupan, apa yang kita tanam itu yang kita tuai. Tapi sebelum pergi, Airin seperti membisikkan sesuatu pada Rido."Awas kalau Kau berani lakukan itu!" bentak Rido dengan raut wajah memerah menahan amarah. Entah apa yang di bisikin Airin sehingga Rido jadi tersulut emosinya."Kita lihat saja nanti," ucap Airin seraya hendak melenggang pergi."Kau mengancamku Airin!" Rido menarik tangan Airin dan memelintirnya ke belakang. Tapi, Airin tak meringis kesakitan sedikit pun, malah dia tersenyum sinis.Beruntung anak-anak sudah di bawa Resti ke dalam rumah untuk menonton kartun, sehingga mereka tak sempat melihat adegan itu. Apalagi Raffa, betapa terpukulnya hati anak itu kalau sampai melihat percekcokan antara papa dan mamanya ini.Airin bergeming, ia masih dengan senyuman angkuhnya, karena telah mampu menyulut emosi Rido."Apa-apaan ini
"Kau menipu kami lagi ya, Airin!" teriak emak saat kami sampai di klinik yang katanya tempat Airin di rawat. Bukan rumah sakit besar seperti yang ku pikirkan, hanya klinik kecil yang hanya mempunyai beberapa kamar. Klinik ini juga sepi, mungkin di sini lebih banyak orang-orang berobat rawat jalan saja. Tak ada juga tanda-tanda kalau Airin baru saja mengalami kecelakaan, hanya ada luka-luka lecet di bagian tangannya, itupun sudah mengering, sepertinya luka-luka itu sudah berhari-hari.Airin tersenyum penuh kemenangan, "Mana mas Rido? Pasti dia khawatir banget mendapatkan kabar kalau aku kecelakaan.""Nggak ada," sahut emak cepat."Mana mas Rido, Bang?" tanya Airin pada bang Rozi. Ya, selain aku ada juga bang Rozi yang menemani emak ke ruangan yang katanya tempat Airin di rawat. Sedangkan yang lain menunggu di mobil. Belum lagi bang Rozi menjawab, Airin sudah beralih dan berbicara kepadaku."Jangan katakan kalau suamiku sudah menikahi wanita gatal itu. Kak Yati, ini pasti ulahmu, sebe
"Dek, anak-anak sudah semakin besar, sepertinya rumah kita ini terlalu kecil untuk kita tinggali..."Malam ini, seperti biasa aku dan bang Rozi mengobrol sebelum tidur."Jadi, maksud Abang rumah ini kita renovasi gitu?""Iya, Dek. Abang rasa tabungan kita sudah cukuplah. Tapi, kalau mau merenovasi rumah nggak mungkin deh, tanah kita sudah mentok...""Terus... maunya bagaimana, Bang?""Bagaimana kalau kita bangun rumah di tanah pemberian bapak itu, jadi kita bisa lebih leluasa berkebun di sana nantinya...""Tapi, Bang. Apa uang kita cukup kalau untuk membangun rumah dari awal.""Kita jual saja rumah ini, Dek...""Jual?..." tanyaku kaget."Iya, itupun kalau Adek setuju.""Ya sudah, Bang. Aku setuju saja, aku tahu yang Abang lakukan itu pasti yang terbaik untuk keluarga kita.Bang Rozi tersenyum mendengar ucapanku, lalu berbisik, "Terima kasih istriku yang cantik."_____________________"Rozi, Yati. Ini uang, pakailah dulu buat tambahan Kalian membangun rumah," ucap bapak pada kami sore
"Bagaimana hasilnya?" tanya emak saat Rido dan Santi baru saja turun dari mobil, mereka berdua baru saja dari klinik untuk memeriksakan Santi."Alhamdulillaah, Mak. Bentar lagi Raffa akan punya adik," jawab Rido dengan antusias."Selamat ya, buat Kalian berdua," ucapku seraya memeluk Santi."Terima kasih, Kak," sahut Santi pelan."Kamu kenapa, San?" tanyaku pula, karena Santi terlihat murung.Santi menggeleng dan menoleh pada Rido."Ada apa, Do?" tanya emak."I-itu, Mak..." "Hai... semua..." Mata kami pun tertuju dengan asal suara, betapa terkejutnya kami melihat Airin turun dari mobil Rido."Apa-apaan ini, Do? Mengapa Kau bawa dia ke sini!" seru emak seraya menunjuk ke arah Airin."Dengarkan dulu, Mak. Tadi, kami tidak sengaja bertemu dengan Airin, dia ingin bertemu dengan Raffa, dan mobil yang di bawanya mogok, jadi nggak ada salahnya dia menumpang dengan kami," jelas Rido."Iya, Mak. Benar yang dikatakan mas Rido, aku hanya ingin bertemu dengan anakku kok, nggak ada maksud lain,"
Aku tak bisa terima begitu saja, mas Rido menikah dengan wanita lain. Tak akan aku biarkan mereka bahagia, sedangkan aku hancur sendirian.Masih teringat enam bulan yang lalu, aku telah membuat rencana yang matang untuk menggagalkan pernikahan mas Rido. Tapi, orang tua sialan itu mengancamku, seminggu sebelum hari pernikahan mas Rido, bapak meneleponku, dia bilang polisi akan standby di sekitaran rumah Santi. Jadi, kalau aku berani datang dan mengacaukan acara pernikahan anaknya, polisi akan langsung membekukku.Aku marah dong, di ancam seperti itu. Aku berpikir keras mencari ide untuk menggagalkan pernikahan mas Rido. Tapi, seakan-akan otakku buntu, satu ide pun tak muncul di kepalaku.Kalau situasi seperti ini, biasanya aku butuh refreshing untuk menyegarkan pikiran. Ya, satu-satunya refreshing yang tepat buatku adalah shoping. Ku cek saldo di ATM-ku, kemarin aku baru dapat transferan dari sugar Daddy-ku yang baru. Lumayan cukuplah untuk memuaskan hasrat belanjaku.Aku pun berangkat
"Dek, rumah kita sudah ada yang beli," ucap bang Rozi dengan senyum sumringah."Betul, Bang... Alhamdulillaah." Aku mengucapkan syukur, akhirnya uang bapak bisa kami kembalikan. Jujur, aku merasa tak enak hati, karena kedua orang tua suamiku itu sudah banyak membantu kami."Iya, Dek. Besok orang yang mau membeli rumah kita akan datang sekaligus membawa uangnya.""Orang mana yang membelinya, Bang?""Abang tidak tahu juga, Dek. Yang jelas teman abang yang mengenali orang itu dan katanya orang itu dari kota," jelas suamiku pula.Aku mengangguk, pertanda paham. Ya, sudahlah yang penting rumah itu sudah terjual._____________________Benar yang dikatakan bang Rozi. Keesokan harinya, orang yang akan membeli rumah kami pun datang ke rumah bersama teman bang Rozi. Dia membayar lunas rumah kami, tanpa di tawar sedikit pun. Alhamdulillaah, semua di permudahkan.Setelah surat-menyurat selesai, dan uang pun sudah di tangan kami. Tak menunggu lama, aku pun mengajak bang Rozi ke rumah emak untuk me
"Dek...Dek...bukan itu Rido yang mengetuk-ngetuk pintu," ucap bang Rozi seraya menggoyang-goyangkan tubuhku.Aku terkesiap bangun, "Iya, Bang. Ada apa ya?""Nggak tahu, ayo kita bukakan pintu," ucap suamiku seraya bangkit dari peraduan kami.Aku pun mengekor di belakang bang Rozi, saat melewati ruang tamu kulirik jam dinding, menunjukkan hampir pukul setengah empat pagi."Ada apa, Do?" tanya bang Rozi pada adiknya itu saat pintu rumah kami terbuka."Bang...aku baru saja dapat kabar kalau Airin meninggal...""Hah!..." Aku dan bang Rozi serentak terkejut."Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un," ucapku pelan, "Siapa yang ngabarin, Om? Nanti jangan..." tanyaku pula."Nggak, Kak. Ini beneran, Joe yang menelpon ku tadi," sahut Rido cepat."Astaghfirullah...maaf, Do," ucapku sungkan, wajar saja aku suudzon Airin sudah berulangkali bersandiwara membohongi kami dengan tujuan untuk menarik perhatian Rido."Iya, Kak nggak apa-apa, awalnya tadi aku sempat mikir gitu juga," ucap Rido pelan, "Kasihan
Hari ini, hari minggu kami semua berkumpul di rumah emak, kami masak tumpeng bersama. Karena hari ini ulang tahun emak, tidak ada salahnya kami anak-anaknya memberi sedikit kejutan untuknya.Potong tumpeng sudah selesai, makan bersama pun juga sudah. Emak dan bapak terlihat begitu bahagia, bermain bersama ketujuh cucu-cucunya di halaman belakang. Emak dan bapak tak henti-hentinya tersenyum melihat tingkah polah cucu-cucunya itu.Santi dan Resti membereskan dapur. Sedangkan aku menyapu seluruh rumah, karena rumah sudah seperti kapal pecah, karena ulah dari anak-anak kami. 'Drett...drett''Dret...drett...'Berulang kali ponsel milik Rido bergetar, ponsel itu tergeletak di atas meja ruang tamu. Sedangkan Rido mengobrol di teras bersama bang Rozi dan suami Resti.Aku ambil ponsel itu, dan melihat nama yang memanggil. Ternyata mama Airin yang berulang kali menghubungi Rido."Om, dari tadi hpnya berbunyi," ucapku seraya menyerahkan ponsel itu pada Rido.Rido pun menyambut ponselnya dari ta
"Mama, Afa mau tidur dengan Mama," rengek anak sulungku pada Airin. Mungkin ia begitu rindu pada mamanya itu."Tapi, mama nggak bisa lama-lama di sini, Nak," sahut Airin dengan lembut."Kemarin mama janji mau tidur di sini sama Afa," ucap Raffa lagi, Ia terlihat begitu kecewa."Iya, tapi...""Mama jahat!" Seru Raffa, lalu pergi berlari ke kamarnya.Nggak bisa dipungkiri, hati ayah mana yang tak terluka melihat anaknya bersedih seperti itu. Ya Tuhan, andaikan aku dan Airin tak bercerai, pasti hati anakku tak akan terluka seperti itu.Apa yang ku pikirkan ini, sekarang ada Santi dan Raisa di hidupku. Walau bagaimanapun, Santi, Raisa dan Raffa adalah hal yang terpenting dalam hidupku. Airin masa lalu, akan tetap jadi masa lalu. Masa depanku adalah keluarga kecilku saat ini."Kau mau pulang sekarang, Rin?" tanyaku pada Airin.Aku keluar dari kamar dan menemui Airin yang duduk termenung di ruang tamu sendirian."Eh... iya, Mas," sahut Airin sedikit terkejut."Apa Kau tak ingin tidur sama R
"Kau sakit, Rin?" tanyaku pada Airin, saat aku baru saja masuk ke dalam rumah Rido.Resti tertawa mendengar ucapanku, entahlah, mungkin ucapanku terdengar lucu di kupingnya. "Ada yang lucu, Res. Kok ketawa?" tanyaku terheran-heran."Hahaha... nggak ada, Kak. Cuma lagi pengen ketawa ajah." Tawa Resti tambah lebar.Aku garuk-garuk kepala, bingung melihat ekspresi Resti, ada apa dengan adik iparku itu. Dia tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Airin tertunduk lesu, dan diam seribu bahasa."Kakak mau tahu, Kak Airin kenapa?"Aku mengangguk, dan Airin menoleh cepat ke arah Resti."Kak Airin itu memang sedang sakit...""Sakit apa? Pantes pucat begitu...""Kak Airin itu mengidap penyakit hati, dan itu susah sembuhnya...""Res... sudah," sela Airin serak, suaranya seperti tercekat di tenggorokannya."Mengapa, Kak? Takuuuuut..." ucap Resti sinis.Airin tertunduk lesu."Res, ini ada apa?" tanyaku pula."Nggak ada apa-apa, Kak. Aku cuma sedang bersilaturahmi saja dengan kak Airin," ucap Resti p
Aku terkejut mendengar ucapan bang Rido, kalau wanita yang berusaha mendekati bang Ferdi itu sepupunya Airin. Aku yakin tak yang kebetulan saja, semua ini pasti ada campur tangan Airin di dalamnya. Awas Kau Airin, suatu saat pasti aku akan buat perhitungan.Ka tatap bang Ferdi, dari kemarin di tuduh selingkuh, padahal dia tidak melakukan apapun."Maafkan aku, Bang..." lirihku seraya menunduk."Iya, Dek. Abang juga minta maaf, karena ulah wanita itu membuat Adek tak nyaman.""Aku yang salah, Bang..."Bang Ferdi menggeleng, "Nggak, Dek aku yang bodoh, seharusnya dari awal aku sudah curiga kalau wanita bernama Siska itu bukan fatner bisnis yang tepat buat usaha baru kita. Bahkan dia sama sekali tidak mengerti tentang kuliner tradisional.""Eh, sudah...kok Kalian jadi saling menyalahkan sih," sela bang Rido pula."Anggap saja yang terjadi kemarin adalah ujian rumah tangga kalian," tambah kak Yati.Aku dan Ferdi tersenyum, lalu kami saling berpelukan."Percayalah, Dek. Tak akan ada yang bi
Hatiku hancur melihat keharmonisan mas Rido dan Santi. Mas Rido memperlakukan Santi dengan lembut, sama seperti yang dilakukannya padaku dulu. Mas Rido adalah sosok suami yang selalu ingin membuat istrinya bahagia, oh aku rindu padamu mas Rasa cemburu menyelinap ke dalam hatiku, aku tak bisa terima semua ini, aku harus melakukan sesuatu untuk membalas rasa sakit ini. Aku hancur mas, dan kau juga sama denganku.Berbagai macam cara aku lakukan untuk memisahkan mas Rido dan Santi, tapi itu tak berhasil juga. Baiklah, kalau aku tak bisa menghancurkan mereka, aku akan cara lain untuk membuat keluarga itu sedih dan sakit hati. Kalau salah satu keluarganya hancur pasti mas Rido ikut merasakan sedihnya, dan aku suka itu.Hari ini, sepulang bekerja aku sengaja mampir ke rumah Siska sepupu jauhku yang juga sahabat karib di masa sekolah dulu. Aku akan meminta bantuan padanya, iya hanya Siska yang ku rasa bisa menjalankan misi ku kali ini."Tumben Lo ke sini," ucap Siska saat aku baru saja duduk
Tahun berlalu, hari-hari kami jalani sangat damai. Airin tak lagi berusaha menganggu ketentraman keluarga ini. Dia sering datang menengok Raffa, juga sekali-kali Raffa di bawanya pergi ikut dengannya.Airin memang banyak berubah, penampilannya tak seperti dulu lagi, lebih sopan dan terkesan sederhana. Mungkin karena faktor keuangan juga, Airin sekarang bekerja di sebuah butik milik temannya. Rido dan Santi pun sudah menempati rumah mereka yang dibangunnya di sebelah rumah kami. Anak mereka pun sudah besar, sudah berusia setahun dan berjenis kelamin perempuan bernama Raisa. Dan itu menjadi pelengkap kebahagiaan mereka.____________________"Kak, mari ke rumahku, mbak Airin datang." "Kapan Airin datang, San?" tanyaku saat kami berjalan menuju rumahnya."Barusan, Kak.""Rido...ada?""Belum pulang, Kak. Palingan sebentar lagi," ucap Santi pula.Saat kami masuk rumah, terlihat Airin duduk di sofa ruang tamu seraya memangku Raisa. Dadaku berdegup kencang, takut Airin melakukan sesuatu pad
"Kak, Raffa main di sini, ya." Rido dan Raffa mendatangi rumahku siang ini.Aku mengangguk, "Ayo Afa masuk, main dengan iIham di belakang gih," ucapku.Rido pun terduduk lesu di teras rumahku."Ada apa, Om?" tanyaku pula."Aku pusing, Kak. Sudah dua Minggu ini Raffa murung saja, makan pun tak berselera," cerita Rido."Emang kenapa? Raffa lagi tak sehat ya?"Rido menggeleng, "Raffa kangen mamanya, sedangkan Airin sudah sebulan ini tak bisa di hubungi.""Terus bagaimana, Om?""Entahlah, Kak. Aku hanya takut Raffa jatuh sakit, karena terlalu memikirkan mamanya.""Iya juga ya, Om," sahutku ikut mengkhawatirkan Raffa."Bawa saja Raffa menemui Airin, Om.""Iya, Kak. Santi juga menyarankan begitu, tapi emak tak mengizinkan," ucap Rido lagi seraya menarik napas panjang. Adik iparku itu terlihat frustasi."Nanti, Kakak bantu bicara dengan emak ya, Om," ucapku lagi.Rido mengangguk, "Iya, Kak. Aku memang mau meminta tolong Kakak untuk berbicara pada emak.""Baiklah, nanti sore Kakak dan abangmu
ATM-ku sudah menipis, transferan dari sugar Daddy-ku Minggu lalu sudah ku habiskan untuk menyewa mobil yang ku pakai pergi menemui Raffa. Kemarin itu aku sangat merindukan anak itu, ingin rasanya kubawa dia bersamaku saja. Tapi, hidupku yang tak terarah ini membuatku buang jauh-jauh keinginan itu Belum lagi mama, hampir setiap hari meminta uang padaku. Sekarang mama mempunyai kebiasaan baru, hampir setiap ia malam ke clubbing dan pulang-pulangnya pasti sudah teler.Kemana lagi, aku mencari uang yang banyak dengan cepat untuk memenuhi biaya hidupku dan mama, kalau tidak dengan cara merayu om-om hidung belang. Aku cantik, postur tubuh menarik, lelaki hidung belang mana yang tak tergoda saat aku merengek memanja merayunya."Sayang, mama minta uang dong," ucap mama malam ini."Mau kemana lagi, Ma?" tanyaku pelan."Kamu nggak usah banyak tanya, Sayang. Membuat kepala mama yang pusing ini tambah pusing saja. Berikan saja mama uang, teman mama sudah menunggu tuh diluar," sahut mama seraya m