"Rin, Rin...bangun " terdengar suara emak pelan membangunkan Airin. Seusai solat subuh tadi, aku memang langsung berkutat dengan urusan dapur. Resti pun sudah bangun, ia lagi mencuci baju seraya mengajak si kecil Abella bermain, sedangkan para lelaki di rumah ini belum pulang dari mushola. Kecuali Rido, adik iparku itu belum pulang dari rumahku."Ah...ganggu orang tidur saja..." ucap Airin, ya memang begitulah Airin tak pernah bisa untuk bangun pagi."Dasar pemalas," gerutu Resti. Aku tersenyum, rupanya Resti juga ikut mendengar suara emak yang membangunkan Airin "Heh! Airin bangun, ini sudah pagi... di sini tak ada orang yang bangun kesiangan," ucap emak lagi dengan lantang, "Bangun, Rin... Kau harus pergi secepatnya dari sini, tak enak di lihat tetangga, Kau bukan istri Rido lagi tak patut menginap di sini.""Iya, Mak...iyaaa. Bawel banget sih!" seru Airin pula."Kak, mas Rido belum pulang?" tanya Airin tiba-tiba muncul di dapur. "Ngapain Kau nanya-nanya abangku," sewot Resti pul
Airin akhirnya menyerah, ia lebih memilih pergi saat itu juga. Sebenarnya, ada rasa tak tega melihat Airin mendapatkan penolakan dari Raffa. Tapi, itulah kehidupan, apa yang kita tanam itu yang kita tuai. Tapi sebelum pergi, Airin seperti membisikkan sesuatu pada Rido."Awas kalau Kau berani lakukan itu!" bentak Rido dengan raut wajah memerah menahan amarah. Entah apa yang di bisikin Airin sehingga Rido jadi tersulut emosinya."Kita lihat saja nanti," ucap Airin seraya hendak melenggang pergi."Kau mengancamku Airin!" Rido menarik tangan Airin dan memelintirnya ke belakang. Tapi, Airin tak meringis kesakitan sedikit pun, malah dia tersenyum sinis.Beruntung anak-anak sudah di bawa Resti ke dalam rumah untuk menonton kartun, sehingga mereka tak sempat melihat adegan itu. Apalagi Raffa, betapa terpukulnya hati anak itu kalau sampai melihat percekcokan antara papa dan mamanya ini.Airin bergeming, ia masih dengan senyuman angkuhnya, karena telah mampu menyulut emosi Rido."Apa-apaan ini
"Kau menipu kami lagi ya, Airin!" teriak emak saat kami sampai di klinik yang katanya tempat Airin di rawat. Bukan rumah sakit besar seperti yang ku pikirkan, hanya klinik kecil yang hanya mempunyai beberapa kamar. Klinik ini juga sepi, mungkin di sini lebih banyak orang-orang berobat rawat jalan saja. Tak ada juga tanda-tanda kalau Airin baru saja mengalami kecelakaan, hanya ada luka-luka lecet di bagian tangannya, itupun sudah mengering, sepertinya luka-luka itu sudah berhari-hari.Airin tersenyum penuh kemenangan, "Mana mas Rido? Pasti dia khawatir banget mendapatkan kabar kalau aku kecelakaan.""Nggak ada," sahut emak cepat."Mana mas Rido, Bang?" tanya Airin pada bang Rozi. Ya, selain aku ada juga bang Rozi yang menemani emak ke ruangan yang katanya tempat Airin di rawat. Sedangkan yang lain menunggu di mobil. Belum lagi bang Rozi menjawab, Airin sudah beralih dan berbicara kepadaku."Jangan katakan kalau suamiku sudah menikahi wanita gatal itu. Kak Yati, ini pasti ulahmu, sebe
"Dek, anak-anak sudah semakin besar, sepertinya rumah kita ini terlalu kecil untuk kita tinggali..."Malam ini, seperti biasa aku dan bang Rozi mengobrol sebelum tidur."Jadi, maksud Abang rumah ini kita renovasi gitu?""Iya, Dek. Abang rasa tabungan kita sudah cukuplah. Tapi, kalau mau merenovasi rumah nggak mungkin deh, tanah kita sudah mentok...""Terus... maunya bagaimana, Bang?""Bagaimana kalau kita bangun rumah di tanah pemberian bapak itu, jadi kita bisa lebih leluasa berkebun di sana nantinya...""Tapi, Bang. Apa uang kita cukup kalau untuk membangun rumah dari awal.""Kita jual saja rumah ini, Dek...""Jual?..." tanyaku kaget."Iya, itupun kalau Adek setuju.""Ya sudah, Bang. Aku setuju saja, aku tahu yang Abang lakukan itu pasti yang terbaik untuk keluarga kita.Bang Rozi tersenyum mendengar ucapanku, lalu berbisik, "Terima kasih istriku yang cantik."_____________________"Rozi, Yati. Ini uang, pakailah dulu buat tambahan Kalian membangun rumah," ucap bapak pada kami sore
"Bagaimana hasilnya?" tanya emak saat Rido dan Santi baru saja turun dari mobil, mereka berdua baru saja dari klinik untuk memeriksakan Santi."Alhamdulillaah, Mak. Bentar lagi Raffa akan punya adik," jawab Rido dengan antusias."Selamat ya, buat Kalian berdua," ucapku seraya memeluk Santi."Terima kasih, Kak," sahut Santi pelan."Kamu kenapa, San?" tanyaku pula, karena Santi terlihat murung.Santi menggeleng dan menoleh pada Rido."Ada apa, Do?" tanya emak."I-itu, Mak..." "Hai... semua..." Mata kami pun tertuju dengan asal suara, betapa terkejutnya kami melihat Airin turun dari mobil Rido."Apa-apaan ini, Do? Mengapa Kau bawa dia ke sini!" seru emak seraya menunjuk ke arah Airin."Dengarkan dulu, Mak. Tadi, kami tidak sengaja bertemu dengan Airin, dia ingin bertemu dengan Raffa, dan mobil yang di bawanya mogok, jadi nggak ada salahnya dia menumpang dengan kami," jelas Rido."Iya, Mak. Benar yang dikatakan mas Rido, aku hanya ingin bertemu dengan anakku kok, nggak ada maksud lain,"
Aku tak bisa terima begitu saja, mas Rido menikah dengan wanita lain. Tak akan aku biarkan mereka bahagia, sedangkan aku hancur sendirian.Masih teringat enam bulan yang lalu, aku telah membuat rencana yang matang untuk menggagalkan pernikahan mas Rido. Tapi, orang tua sialan itu mengancamku, seminggu sebelum hari pernikahan mas Rido, bapak meneleponku, dia bilang polisi akan standby di sekitaran rumah Santi. Jadi, kalau aku berani datang dan mengacaukan acara pernikahan anaknya, polisi akan langsung membekukku.Aku marah dong, di ancam seperti itu. Aku berpikir keras mencari ide untuk menggagalkan pernikahan mas Rido. Tapi, seakan-akan otakku buntu, satu ide pun tak muncul di kepalaku.Kalau situasi seperti ini, biasanya aku butuh refreshing untuk menyegarkan pikiran. Ya, satu-satunya refreshing yang tepat buatku adalah shoping. Ku cek saldo di ATM-ku, kemarin aku baru dapat transferan dari sugar Daddy-ku yang baru. Lumayan cukuplah untuk memuaskan hasrat belanjaku.Aku pun berangkat
"Dek, rumah kita sudah ada yang beli," ucap bang Rozi dengan senyum sumringah."Betul, Bang... Alhamdulillaah." Aku mengucapkan syukur, akhirnya uang bapak bisa kami kembalikan. Jujur, aku merasa tak enak hati, karena kedua orang tua suamiku itu sudah banyak membantu kami."Iya, Dek. Besok orang yang mau membeli rumah kita akan datang sekaligus membawa uangnya.""Orang mana yang membelinya, Bang?""Abang tidak tahu juga, Dek. Yang jelas teman abang yang mengenali orang itu dan katanya orang itu dari kota," jelas suamiku pula.Aku mengangguk, pertanda paham. Ya, sudahlah yang penting rumah itu sudah terjual._____________________Benar yang dikatakan bang Rozi. Keesokan harinya, orang yang akan membeli rumah kami pun datang ke rumah bersama teman bang Rozi. Dia membayar lunas rumah kami, tanpa di tawar sedikit pun. Alhamdulillaah, semua di permudahkan.Setelah surat-menyurat selesai, dan uang pun sudah di tangan kami. Tak menunggu lama, aku pun mengajak bang Rozi ke rumah emak untuk me
ATM-ku sudah menipis, transferan dari sugar Daddy-ku Minggu lalu sudah ku habiskan untuk menyewa mobil yang ku pakai pergi menemui Raffa. Kemarin itu aku sangat merindukan anak itu, ingin rasanya kubawa dia bersamaku saja. Tapi, hidupku yang tak terarah ini membuatku buang jauh-jauh keinginan itu Belum lagi mama, hampir setiap hari meminta uang padaku. Sekarang mama mempunyai kebiasaan baru, hampir setiap ia malam ke clubbing dan pulang-pulangnya pasti sudah teler.Kemana lagi, aku mencari uang yang banyak dengan cepat untuk memenuhi biaya hidupku dan mama, kalau tidak dengan cara merayu om-om hidung belang. Aku cantik, postur tubuh menarik, lelaki hidung belang mana yang tak tergoda saat aku merengek memanja merayunya."Sayang, mama minta uang dong," ucap mama malam ini."Mau kemana lagi, Ma?" tanyaku pelan."Kamu nggak usah banyak tanya, Sayang. Membuat kepala mama yang pusing ini tambah pusing saja. Berikan saja mama uang, teman mama sudah menunggu tuh diluar," sahut mama seraya m