Dua Minggu lagi di rumah emak akan di adakan acara pernikahan Resti. Aku tambah sering datang ke rumah itu, membantu apa saja yang ku bisa ku kerjakan di rumah itu. Terkadang juga kami di minta emak untuk menginap, ku merasa ada perubahan dari sikap emak. Emak sedikit lebih baik kepadaku dan anak-anak, entahlah aku tak mau menanggapi terlalu senang, aku takut nanti kecewa. Bisa saja emak bersikap demikian karena memang saat sekarang lagi membutuhkan tenagaku. Ya Tuhan mengapa aku berpikiran buruk kepada orang tuaku sendiri. Lebih baik aku berdoa saja, mudah-mudahan perlakuan emak benar-benar berubah lebih baik kepada kami.Airin sudah kembali ke kotanya, katanya ia mau menemani mamanya, sekaligus pergi mengunjungi papanya di lapas. Kasus papanya sudah di putuskan, papanya terbukti bersalah menggelapkan uang perusahaan. Aku tak tahu vonisnya berapa lama, karena Airin memang tak pernah memberi tahu pada kami di sini. Setiap di tanya siapa pun tentang kasus papanya, raut wajah Airin beru
Senyum sumringah emak tak henti-hentinya tercipta di wajah keriputnya itu, dia terlihat begitu bahagia bersenda gurau bersama cucu-cucunya, kebetulan Raffa juga ikut bersamanya tadi. Tangannya pun tak henti-hentinya memilah-milah timun yang baru saja kami panen. Ya, emak emang sengaja kami minta hanya di pondok saja, cuaca hari ini panas sebab itu kami tak izinkan ia ikut memanen di kebun."Banyak juga ya, Ti," ucapnya padaku saat aku mengantarkan sekeranjang kangkung yang baru di panen. Kebetulan hari ini kami panen mengajak beberapa orang tetangga di sekeliling rumahku, sehingga sebentar saja panen bisa dapat banyak."Iya, Mak," sahutku pula. Memang lahan ini cukup luas, wajar saja suamiku bisa menanam bermacam-macam sayuran secara bersamaan. Bang Rozi juga tak menggarap lahan ini sendiri, ada suami kak Minah yang membantunya setiap hari.Selain cukup luas untuk bertani, tanah ini juga cocok juga untuk membangun rumah karena terletak di pinggir jalan dan juga sudah beberapa rumah wa
"Ya Tuhan...ini gaun apaan sih, bahannya juga bikin gerah," ucap Airin seraya mendengus kesal. Ya, hari ini baju seragam keluarga yang nantinya akan kami pakai di acara sakral Resti dan Ferdi sudah jadi dan di antar oleh penjahit ke rumah emak. Waktu kami akan membuat baju seragam itu memang Airin lagi tak ada di sini. Jadi, ukuran dan mode untuk Airin Rido yang menentukan. Sedangkan waktu akan di hubungi no ponsel Airin tak aktif. Memang no ponsel Airin jarang aktif saat ia pergi kemarin. "Apa yang salah, Dek. Ini bagus kok," sahut Rido pula. Rido terlihat sungkan karena penjahit itu saja belum pergi dari rumah ini."Rendahan banget selera Kalian," gerutu Airin. Semua orang kaget mendengarnya, termasuk emak. Mata emak melotot tajam melihat Airin."Apa Mak, ini jelek 'kan. Emak sih, nggak tanya Airin dulu kemarin," ucap Airin seolah menyadari kalau emak memperhatikannya dari tadi."Kau tak suka dengan gaunnya, Rin?" tanya emak lembut."Nah, emakku tahu," ucap Airin seraya tersenyum,
"Mana Airin, Do. Sebentar lagi pasti tamu-tamu pada datang," ucap emak pada bang Rido. Ya, sekarang waktunya sesi foto pengantin dan keluarga. Semua sudah berkumpul di dekat pelaminan, tinggal kak Airin saja yang belum tampak batang hidungnya."Tadi, pas aku tinggal dia masih dandan, Mak," sahut abangku itu."Lama banget, sih," gerutu emak, "Sudah Kau panggil cepat sana," perintah emak pada bang Rido.Bang Rido pun bergegas pergi untuk memanggil istrinya. Jadi penasaran seperti apa sih dandanan tuh nenek sihir, sehingga jam segini belum juga kelar."Kak," panggilku pada kak Yati yang terlihat sedang asyik ngobrol dengan emak sembari menunggu kak Airin datang untuk sesi foto keluarga. Bahagia sekali rasanya melihat kak Yati dan emak bisa seakur itu."Iya, Res," sahutnya dengan cepat. Ku lambaikan tangan mengisyaratkan agar dia mendekat ke pelaminan."Mau apa, Res? mau minum?" tanyanya padaku, sungguh luar biasa, kak Yati bisa tahu apa yang ku mau.Aku mengangguk cepat, memang aku meras
"Kak Airin kabur, Kak."Aku terperangah mendengar ucapan Resti, baru saja sampai di rumah emak, aku sudah mendapatkan berita yang tidak mengenakkan."Tadi malam perginya, Kak," lanjut Resti lagi."Emang apa masalahnya, Res?""Nggak tahu. Dia bosan hidup susah kali, Kak," sahut Resti dengan santainya. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Resti dan tak ingin bertanya lebih lanjut lagi."Emak tak mengizinkan Kau pergi, Rido!" teriak emak dari depan. Aku dan Resti saling berpandangan, seolah penasaran apa yang terjadi."Aku harus cari Airin, Mak," ucap Rido dengan lantang juga."Tak usah repot-repot Kau mencari wanita tak tahu di untung itu," teriak emak tak kalah keras dari tadi."Tapi, Airin itu istriku Mak," ucap Rido terdengar lirih."Baik Kau boleh pergi, tapi emak tak Sudi Kau bawa Airin ke rumah ini lagi," sahut emak dengan tegas."Iya, Mak. Aku hanya ingin tahu di mana keberadaan Airin saja. Agar hatiku tenang.""Lelaki bodoh..."Mataku melotot ke arah Resti, sungguh tak pe
Sudah satu bulan aku tak ke rumah emak, sesuai dengan keinginan Airin, sekarang dialah yang mengurus semua keperluan di rumah itu. Aku yakin Airin pasti bisa, dan emak kembali bersikap baik padanya. Karena memang dulu emak sudah sangat sayang padanya.Sedangkan Resti ikut Ferdi pindah ke kota, agar Ferdi tak bolak-balik dari kampung ke kota untuk bekerja. Selain itu, Resti juga ingin membantu suaminya. Ferdi itu bekerja di bank dan kebetulan mempunyai usaha sampingan yaitu sebuah konter HP. Jadi, nantinya konter HP itu Resti yang akan mengurusnya.Dan aku, di sinilah aku sekarang, hari-hariku di sibukkan di kebun sayuran ini. Bekerja semampuku di sini, pagi-pagi aku dan si bungsu diantar oleh bang Rozi ke sini dan ia pergi menyadap, sedangkan tiga anakku yang lainnya bersekolah. Baru siangnya nanti bang Rozi kembali ke sini bersama ketiga anakku dan suaminya kak Minah juga. Terkadang kak Minah juga ikut. Sekarang kebun ini selalu ramai setiap hari, bahagia sekali rasanya."Kak Yati! K
'Drrreettt! Drrrettt!' ponselku bergetar di atas nakas. Baru saja akan rebahan setelah beres-beres rumah mertuaku hari ini. Aku pun bangkit dengan malasnya, ternyata pesan dari mama. Tanpa menunggu lama aku pun membaca pesan itu.[Sayang, kirimin mama uang lagi, dong]Padahal baru saja dua hari yang lalu mama ku kirimkan uang.[Dua hari yang lalu aku kirim uang satu juta, emang sudah habis, Ma?][Sayang uang segitu masih saja di tanyakan] balas mama disertai dengan emoticon menangis.Memang uang segitu tidak ada artinya bagi mama sebelum papa masuk penjara dulu. Apa yang mama inginkan ia tinggal gesek saja. Sebenarnya kasihan juga mama, dia pasti sangat terkejut dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat ini.[Iya, Ma. Nanti aku usahakan ya][Iya, Sayang. Mama tunggu ya] balas mama dengan emoticon love berjejer.Aku menarik napas dalam-dalam, berpikir bagaimana caranya aku mendapatkan uang untuk mama. Meminta pada mas Rido pun tak mungkin, dia baru saja memberikan
Hatiku hancur berkeping-keping melihat wanita yang paling ku hormati terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Rasa bersalah selalu menghantui pikiranku, kalau saja aku tak memaksa kehendak ku agar Airin pulang pasti semua ini tak akan terjadi."Do... Rido." serak suara emak memanggilku namaku. Ku lirik jam di tanganku menunjukkan pukul dua dini hari, berati hampir dua belas jam emakku tak sadarkan diri."Iya, Mak. Ini Rido," sahutku seraya memegang tangan wanita yang telah melahirkanku itu. "A...irin, Do..." ucap emak lemah."Iya, Mak. Aku tahu.""Emak sudah sadar, Do?" tanya bang Rozi yang juga terbangun dari tidurnya. Ya, aku tak sendirian di sini, ada bang Rozi dan bapak bersamaku. Mungkin lelah dan kantuk, mereka berdua pun ketiduran."Iya, Bang. Abang di sini dulu bersama emak, aku mau panggilkan suster."Emak sudah di periksa oleh suster jaga, dan sekarang emak pun kembali tertidur. Tinggal besok nunggu diagnosa dokter, mudah-mudahan emak nggak kenapa-napa."Kau istirahat saja,
"Dek...Dek...bukan itu Rido yang mengetuk-ngetuk pintu," ucap bang Rozi seraya menggoyang-goyangkan tubuhku.Aku terkesiap bangun, "Iya, Bang. Ada apa ya?""Nggak tahu, ayo kita bukakan pintu," ucap suamiku seraya bangkit dari peraduan kami.Aku pun mengekor di belakang bang Rozi, saat melewati ruang tamu kulirik jam dinding, menunjukkan hampir pukul setengah empat pagi."Ada apa, Do?" tanya bang Rozi pada adiknya itu saat pintu rumah kami terbuka."Bang...aku baru saja dapat kabar kalau Airin meninggal...""Hah!..." Aku dan bang Rozi serentak terkejut."Inalillahi wa Inna ilaihi Raji'un," ucapku pelan, "Siapa yang ngabarin, Om? Nanti jangan..." tanyaku pula."Nggak, Kak. Ini beneran, Joe yang menelpon ku tadi," sahut Rido cepat."Astaghfirullah...maaf, Do," ucapku sungkan, wajar saja aku suudzon Airin sudah berulangkali bersandiwara membohongi kami dengan tujuan untuk menarik perhatian Rido."Iya, Kak nggak apa-apa, awalnya tadi aku sempat mikir gitu juga," ucap Rido pelan, "Kasihan
Hari ini, hari minggu kami semua berkumpul di rumah emak, kami masak tumpeng bersama. Karena hari ini ulang tahun emak, tidak ada salahnya kami anak-anaknya memberi sedikit kejutan untuknya.Potong tumpeng sudah selesai, makan bersama pun juga sudah. Emak dan bapak terlihat begitu bahagia, bermain bersama ketujuh cucu-cucunya di halaman belakang. Emak dan bapak tak henti-hentinya tersenyum melihat tingkah polah cucu-cucunya itu.Santi dan Resti membereskan dapur. Sedangkan aku menyapu seluruh rumah, karena rumah sudah seperti kapal pecah, karena ulah dari anak-anak kami. 'Drett...drett''Dret...drett...'Berulang kali ponsel milik Rido bergetar, ponsel itu tergeletak di atas meja ruang tamu. Sedangkan Rido mengobrol di teras bersama bang Rozi dan suami Resti.Aku ambil ponsel itu, dan melihat nama yang memanggil. Ternyata mama Airin yang berulang kali menghubungi Rido."Om, dari tadi hpnya berbunyi," ucapku seraya menyerahkan ponsel itu pada Rido.Rido pun menyambut ponselnya dari ta
"Mama, Afa mau tidur dengan Mama," rengek anak sulungku pada Airin. Mungkin ia begitu rindu pada mamanya itu."Tapi, mama nggak bisa lama-lama di sini, Nak," sahut Airin dengan lembut."Kemarin mama janji mau tidur di sini sama Afa," ucap Raffa lagi, Ia terlihat begitu kecewa."Iya, tapi...""Mama jahat!" Seru Raffa, lalu pergi berlari ke kamarnya.Nggak bisa dipungkiri, hati ayah mana yang tak terluka melihat anaknya bersedih seperti itu. Ya Tuhan, andaikan aku dan Airin tak bercerai, pasti hati anakku tak akan terluka seperti itu.Apa yang ku pikirkan ini, sekarang ada Santi dan Raisa di hidupku. Walau bagaimanapun, Santi, Raisa dan Raffa adalah hal yang terpenting dalam hidupku. Airin masa lalu, akan tetap jadi masa lalu. Masa depanku adalah keluarga kecilku saat ini."Kau mau pulang sekarang, Rin?" tanyaku pada Airin.Aku keluar dari kamar dan menemui Airin yang duduk termenung di ruang tamu sendirian."Eh... iya, Mas," sahut Airin sedikit terkejut."Apa Kau tak ingin tidur sama R
"Kau sakit, Rin?" tanyaku pada Airin, saat aku baru saja masuk ke dalam rumah Rido.Resti tertawa mendengar ucapanku, entahlah, mungkin ucapanku terdengar lucu di kupingnya. "Ada yang lucu, Res. Kok ketawa?" tanyaku terheran-heran."Hahaha... nggak ada, Kak. Cuma lagi pengen ketawa ajah." Tawa Resti tambah lebar.Aku garuk-garuk kepala, bingung melihat ekspresi Resti, ada apa dengan adik iparku itu. Dia tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Airin tertunduk lesu, dan diam seribu bahasa."Kakak mau tahu, Kak Airin kenapa?"Aku mengangguk, dan Airin menoleh cepat ke arah Resti."Kak Airin itu memang sedang sakit...""Sakit apa? Pantes pucat begitu...""Kak Airin itu mengidap penyakit hati, dan itu susah sembuhnya...""Res... sudah," sela Airin serak, suaranya seperti tercekat di tenggorokannya."Mengapa, Kak? Takuuuuut..." ucap Resti sinis.Airin tertunduk lesu."Res, ini ada apa?" tanyaku pula."Nggak ada apa-apa, Kak. Aku cuma sedang bersilaturahmi saja dengan kak Airin," ucap Resti p
Aku terkejut mendengar ucapan bang Rido, kalau wanita yang berusaha mendekati bang Ferdi itu sepupunya Airin. Aku yakin tak yang kebetulan saja, semua ini pasti ada campur tangan Airin di dalamnya. Awas Kau Airin, suatu saat pasti aku akan buat perhitungan.Ka tatap bang Ferdi, dari kemarin di tuduh selingkuh, padahal dia tidak melakukan apapun."Maafkan aku, Bang..." lirihku seraya menunduk."Iya, Dek. Abang juga minta maaf, karena ulah wanita itu membuat Adek tak nyaman.""Aku yang salah, Bang..."Bang Ferdi menggeleng, "Nggak, Dek aku yang bodoh, seharusnya dari awal aku sudah curiga kalau wanita bernama Siska itu bukan fatner bisnis yang tepat buat usaha baru kita. Bahkan dia sama sekali tidak mengerti tentang kuliner tradisional.""Eh, sudah...kok Kalian jadi saling menyalahkan sih," sela bang Rido pula."Anggap saja yang terjadi kemarin adalah ujian rumah tangga kalian," tambah kak Yati.Aku dan Ferdi tersenyum, lalu kami saling berpelukan."Percayalah, Dek. Tak akan ada yang bi
Hatiku hancur melihat keharmonisan mas Rido dan Santi. Mas Rido memperlakukan Santi dengan lembut, sama seperti yang dilakukannya padaku dulu. Mas Rido adalah sosok suami yang selalu ingin membuat istrinya bahagia, oh aku rindu padamu mas Rasa cemburu menyelinap ke dalam hatiku, aku tak bisa terima semua ini, aku harus melakukan sesuatu untuk membalas rasa sakit ini. Aku hancur mas, dan kau juga sama denganku.Berbagai macam cara aku lakukan untuk memisahkan mas Rido dan Santi, tapi itu tak berhasil juga. Baiklah, kalau aku tak bisa menghancurkan mereka, aku akan cara lain untuk membuat keluarga itu sedih dan sakit hati. Kalau salah satu keluarganya hancur pasti mas Rido ikut merasakan sedihnya, dan aku suka itu.Hari ini, sepulang bekerja aku sengaja mampir ke rumah Siska sepupu jauhku yang juga sahabat karib di masa sekolah dulu. Aku akan meminta bantuan padanya, iya hanya Siska yang ku rasa bisa menjalankan misi ku kali ini."Tumben Lo ke sini," ucap Siska saat aku baru saja duduk
Tahun berlalu, hari-hari kami jalani sangat damai. Airin tak lagi berusaha menganggu ketentraman keluarga ini. Dia sering datang menengok Raffa, juga sekali-kali Raffa di bawanya pergi ikut dengannya.Airin memang banyak berubah, penampilannya tak seperti dulu lagi, lebih sopan dan terkesan sederhana. Mungkin karena faktor keuangan juga, Airin sekarang bekerja di sebuah butik milik temannya. Rido dan Santi pun sudah menempati rumah mereka yang dibangunnya di sebelah rumah kami. Anak mereka pun sudah besar, sudah berusia setahun dan berjenis kelamin perempuan bernama Raisa. Dan itu menjadi pelengkap kebahagiaan mereka.____________________"Kak, mari ke rumahku, mbak Airin datang." "Kapan Airin datang, San?" tanyaku saat kami berjalan menuju rumahnya."Barusan, Kak.""Rido...ada?""Belum pulang, Kak. Palingan sebentar lagi," ucap Santi pula.Saat kami masuk rumah, terlihat Airin duduk di sofa ruang tamu seraya memangku Raisa. Dadaku berdegup kencang, takut Airin melakukan sesuatu pad
"Kak, Raffa main di sini, ya." Rido dan Raffa mendatangi rumahku siang ini.Aku mengangguk, "Ayo Afa masuk, main dengan iIham di belakang gih," ucapku.Rido pun terduduk lesu di teras rumahku."Ada apa, Om?" tanyaku pula."Aku pusing, Kak. Sudah dua Minggu ini Raffa murung saja, makan pun tak berselera," cerita Rido."Emang kenapa? Raffa lagi tak sehat ya?"Rido menggeleng, "Raffa kangen mamanya, sedangkan Airin sudah sebulan ini tak bisa di hubungi.""Terus bagaimana, Om?""Entahlah, Kak. Aku hanya takut Raffa jatuh sakit, karena terlalu memikirkan mamanya.""Iya juga ya, Om," sahutku ikut mengkhawatirkan Raffa."Bawa saja Raffa menemui Airin, Om.""Iya, Kak. Santi juga menyarankan begitu, tapi emak tak mengizinkan," ucap Rido lagi seraya menarik napas panjang. Adik iparku itu terlihat frustasi."Nanti, Kakak bantu bicara dengan emak ya, Om," ucapku lagi.Rido mengangguk, "Iya, Kak. Aku memang mau meminta tolong Kakak untuk berbicara pada emak.""Baiklah, nanti sore Kakak dan abangmu
ATM-ku sudah menipis, transferan dari sugar Daddy-ku Minggu lalu sudah ku habiskan untuk menyewa mobil yang ku pakai pergi menemui Raffa. Kemarin itu aku sangat merindukan anak itu, ingin rasanya kubawa dia bersamaku saja. Tapi, hidupku yang tak terarah ini membuatku buang jauh-jauh keinginan itu Belum lagi mama, hampir setiap hari meminta uang padaku. Sekarang mama mempunyai kebiasaan baru, hampir setiap ia malam ke clubbing dan pulang-pulangnya pasti sudah teler.Kemana lagi, aku mencari uang yang banyak dengan cepat untuk memenuhi biaya hidupku dan mama, kalau tidak dengan cara merayu om-om hidung belang. Aku cantik, postur tubuh menarik, lelaki hidung belang mana yang tak tergoda saat aku merengek memanja merayunya."Sayang, mama minta uang dong," ucap mama malam ini."Mau kemana lagi, Ma?" tanyaku pelan."Kamu nggak usah banyak tanya, Sayang. Membuat kepala mama yang pusing ini tambah pusing saja. Berikan saja mama uang, teman mama sudah menunggu tuh diluar," sahut mama seraya m