"Kak Airin kabur, Kak."Aku terperangah mendengar ucapan Resti, baru saja sampai di rumah emak, aku sudah mendapatkan berita yang tidak mengenakkan."Tadi malam perginya, Kak," lanjut Resti lagi."Emang apa masalahnya, Res?""Nggak tahu. Dia bosan hidup susah kali, Kak," sahut Resti dengan santainya. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Resti dan tak ingin bertanya lebih lanjut lagi."Emak tak mengizinkan Kau pergi, Rido!" teriak emak dari depan. Aku dan Resti saling berpandangan, seolah penasaran apa yang terjadi."Aku harus cari Airin, Mak," ucap Rido dengan lantang juga."Tak usah repot-repot Kau mencari wanita tak tahu di untung itu," teriak emak tak kalah keras dari tadi."Tapi, Airin itu istriku Mak," ucap Rido terdengar lirih."Baik Kau boleh pergi, tapi emak tak Sudi Kau bawa Airin ke rumah ini lagi," sahut emak dengan tegas."Iya, Mak. Aku hanya ingin tahu di mana keberadaan Airin saja. Agar hatiku tenang.""Lelaki bodoh..."Mataku melotot ke arah Resti, sungguh tak pe
Sudah satu bulan aku tak ke rumah emak, sesuai dengan keinginan Airin, sekarang dialah yang mengurus semua keperluan di rumah itu. Aku yakin Airin pasti bisa, dan emak kembali bersikap baik padanya. Karena memang dulu emak sudah sangat sayang padanya.Sedangkan Resti ikut Ferdi pindah ke kota, agar Ferdi tak bolak-balik dari kampung ke kota untuk bekerja. Selain itu, Resti juga ingin membantu suaminya. Ferdi itu bekerja di bank dan kebetulan mempunyai usaha sampingan yaitu sebuah konter HP. Jadi, nantinya konter HP itu Resti yang akan mengurusnya.Dan aku, di sinilah aku sekarang, hari-hariku di sibukkan di kebun sayuran ini. Bekerja semampuku di sini, pagi-pagi aku dan si bungsu diantar oleh bang Rozi ke sini dan ia pergi menyadap, sedangkan tiga anakku yang lainnya bersekolah. Baru siangnya nanti bang Rozi kembali ke sini bersama ketiga anakku dan suaminya kak Minah juga. Terkadang kak Minah juga ikut. Sekarang kebun ini selalu ramai setiap hari, bahagia sekali rasanya."Kak Yati! K
'Drrreettt! Drrrettt!' ponselku bergetar di atas nakas. Baru saja akan rebahan setelah beres-beres rumah mertuaku hari ini. Aku pun bangkit dengan malasnya, ternyata pesan dari mama. Tanpa menunggu lama aku pun membaca pesan itu.[Sayang, kirimin mama uang lagi, dong]Padahal baru saja dua hari yang lalu mama ku kirimkan uang.[Dua hari yang lalu aku kirim uang satu juta, emang sudah habis, Ma?][Sayang uang segitu masih saja di tanyakan] balas mama disertai dengan emoticon menangis.Memang uang segitu tidak ada artinya bagi mama sebelum papa masuk penjara dulu. Apa yang mama inginkan ia tinggal gesek saja. Sebenarnya kasihan juga mama, dia pasti sangat terkejut dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat ini.[Iya, Ma. Nanti aku usahakan ya][Iya, Sayang. Mama tunggu ya] balas mama dengan emoticon love berjejer.Aku menarik napas dalam-dalam, berpikir bagaimana caranya aku mendapatkan uang untuk mama. Meminta pada mas Rido pun tak mungkin, dia baru saja memberikan
Hatiku hancur berkeping-keping melihat wanita yang paling ku hormati terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Rasa bersalah selalu menghantui pikiranku, kalau saja aku tak memaksa kehendak ku agar Airin pulang pasti semua ini tak akan terjadi."Do... Rido." serak suara emak memanggilku namaku. Ku lirik jam di tanganku menunjukkan pukul dua dini hari, berati hampir dua belas jam emakku tak sadarkan diri."Iya, Mak. Ini Rido," sahutku seraya memegang tangan wanita yang telah melahirkanku itu. "A...irin, Do..." ucap emak lemah."Iya, Mak. Aku tahu.""Emak sudah sadar, Do?" tanya bang Rozi yang juga terbangun dari tidurnya. Ya, aku tak sendirian di sini, ada bang Rozi dan bapak bersamaku. Mungkin lelah dan kantuk, mereka berdua pun ketiduran."Iya, Bang. Abang di sini dulu bersama emak, aku mau panggilkan suster."Emak sudah di periksa oleh suster jaga, dan sekarang emak pun kembali tertidur. Tinggal besok nunggu diagnosa dokter, mudah-mudahan emak nggak kenapa-napa."Kau istirahat saja,
Satu Minggu Rido pergi mencari Airin, tak memberi kabar dan tak bisa di hubungi. Semua orang di sini cemas menunggu kepulangannya, apalagi Raffa bocah itu selalu menanyakan keberadaan papa dan mamanya."Rido, Kau kenapa?" tanyaku sesaat setelah Rido turun dari sepeda motor yang ia tumpangi-nya. Aku letakkan sapu lidi di tanganku dan segera menghampiri adik iparku itu. Wajah tampan itu terlihat pucat dan penampilannya pun acak-acakan.Rido tak menjawab ucapanku, dia hanya menyerahkan tas ransel yang tadi di sandangnya kepadaku. Sepertinya Rido lagi tak sehat."Mak... maafkan Rido..." lirih Rido seraya berhamburan memelukku emak."Kau kenapa, Nak?" tanya emak seraya memegang kening Rido."Kau sakit?"Rido menggeleng, "Selama ini aku tak pernah mendengar ucapan Emak. Airin...dia...""Ulah apa lagi yang dibuat oleh istrimu itu.""A-airin selingkuh, Mak," ucap Rido sembari tertunduk."Kurang ajar," ucap emak dengan penuh emosi."Aku sudah menalak Airin, Mak...""Yang Kau lakukan itu sudah
Dia, tanpa disadari, kesederhanaannya mampu membuatku terkagum-kagum. Tutur katanya yang santun membuat hatiku luluh. Apalagi saat ia tersenyum, seakan meruntuhkan benteng hati yang tak ingin ku buka lagi untuk mahluk yang disebut wanita. Dia, apakah dia tahu segala kesederhanaannya itu, sangat membuatku terpesona.Hatiku girang, hari ini aku mendapatkan nomor ponsel gadis itu. Gadis manis dengan segala kesederhanaannya yang telah mencuri hatiku pada pandangan pertama itu.[Assalamualaikum, Dek Santi][Ini aku Rido, adiknya bang Rozi][Maaf aku menganggu, aku cuma ingin bersilaturahmi saja dengan Dek Santi] malam telah larut tapi mata tak kunjung terpejam. Senyuman yang menampilkan ceruk di pipi gadis sederhana itu selalu menghantui pikiranku. Ku beranikan untuk mengirimkannya pesan melalui aplikasi berwarna hijau itu.Satu jam, dua jam tak kunjung di balas. Berulang kali aku mengecek aplikasi hijau itu, tapi tak jua centangnya berubah berwarna biru. Mungkin sang pemilik senyuman mani
Aku dan Rido pun pamit pada Santi. Di sepanjang perjalanan Rido hanya terdiam dan fokus mengendarai sepeda motornya saja. Berbeda dengan sebelum kami pergi tadi, duda keren itu tadi terlihat sangat gelisah."Oi...Om, jangan seperti orang bingung gitu dong, kalau belum siap. Ya sudah nggak usah di paksakan," ucapku saat kami baru saja sampai di rumah emak."Bukan begitu, Kak...""Terus kenapa?" tanyaku kepada adik iparku itu."Aku hanya tak menyangka tanggapan Santi seperti itu," jawab Rido pelan dan terlihat masih seperti orang kebingungan.Aku terkekeh, "Yang harus dilakukan sekarang adalah tunjukkan keseriusan Om, kalau Om itu benar-benar nggak main-main...""Aku serius, Kak. Tapi...""Apa?...kalau memang serius, ayo buruan di lamar. Ntar keduluan orang lain, nyesal lagi.""Iya...Kak, iyaaa... tapi, bantuin ngomong sama emak ya," ucap Rido dengan raut wajah memelas.Aku mengacungkan jempolku seraya tersenyum."Ada yang mau lamar-lamaran nih?"Baru saja kami hendak masuk rumah, kami
Gunawan namanya, aku memanggilnya om Gun. Dia adalah teman lama papaku yang berprofesi sebagai seorang pengacara. Aku mengenalnya sudah lama, tapi aku mulai dekat dengannya saat om Gun mendampingi papaku dalam menghadapi kasus hukum yang tengah di jalaninya.Om Gun begitu baik, dia tak mau di bayar sepeserpun. Dalam artian dia hanya membantu papaku secara cuma-cuma. Bahkan saat itu kami yang sedang terpuruk dibantu secara finansial oleh om Gun.Tapi, ada yang aneh. Om Gun lebih suka dipanggil dengan sebutan mas olehku, katanya biar lebih akrab. Sebagai wanita dewasa, aku cukup memahami kalau Om Gun berharap lebih dariku, ya om Gun tertarik padaku. Tentu saja aku tak menanggapinya secara serius, karena aku masih punya suami dan aku yakin suamiku masih mampu menafkahi aku, Raffa dan mama. Tapi, mama seakan merestui hubungan terlarang antara aku dan om Gun tersebut. Bahkan mama tak segan-segan meminta uang pada om Gun. Hingga suatu hari, aku lebih memilih pulang ke rumah mertuaku. Mas R