*Happy Reading*
"Aa, ih! Jangan ambekan kenapa? Bukan gitu maksud Hasmi." Aku ingin meralat ucapanku, agar mood Alan kembali. "Hasmi cuma ..."
Kemudian aku pun terdiam sejenak. Memikirkan cara lain untuk mengurangi rasa bersalahku, dan juga tak membiarkan Alan makin salah paham.
"Cuma apa?" Alan tidak sabaran.
"Cuma belanja sendiri, biar bisa nawar."
"Berarti kehadiran saya memang sangat mengganggu?"
"Bukan!"
Ih, nyebelin! Tumbenan dia ambekan gini.
Aku kembali terdiam, memikirkan jalan tengah masalah ini. Gimana caranya bisa belanja sendiri tanpa menyinggung Alan? Tapi juga tidak membuat Alan menunggu dengan bosan.
Tau sendiri kan, kalau ibu-ibu udah belanja. Pasti gak bisa bentar. Sekalipun aku belum jadi ibu-ibu. Tapi kadang jiwa ibu-ibu selalu terpanggil jika sedang belanja. Kasian Alan kalau harus kubuat menunggu lama. Karena itulah, sebisa mungkin aku harus cari cara biar Alan sibuk atau--
Aha! Aku punya ide
*Happy Reading*Aku mematut diriku cukup lama di cermin kamar. Berlatih beberapa ekspresi berkali-kali. Juga memeriksa setiap detail wajahku dengan seksama.Akan tetapi, tetap saja pada akhirnya aku mendesah kecewa.Sial!Apa aku memang sudah setua itu?"Kamu ngapain?""Astagfirullahaladzim ..."Aku langsung berjengit kaget. Saat sebuah suara berat tiba-tiba muncul tanpa peringatan."Aa ih! Ngagetin aja tau, gak?" omelku akhirnya. Sambil mencebik kesal ke arah Alan, yang sore ini sangat tampan dengan peci dan koko putihnya.Ah, dia pasti baru pulang sholat dari masjid."Saya udah ucap salam tadi. Tapi gak ada sahutan," jawab Alan enteng, sambil membuka peci dan koko yang langsung memperlihatkan kaos polos yang dia kenakan didalamnya.Setelah menggantung koko dan peci di belakang pintu, pria itu berlalu pergi dan duduk di tepian tempat tidur. Sambil lewat, dia pun menyugar rambutnya yang masih sedikit
*Happy Reading*"APA YANG KAMU LAKUKAN PADA ANAK SAYA ALAN?! SAYA BUNUH KAMU KALAU TERJADI SESUATU SAMA ANAK SAYA?!"Alan langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Saat baru saja akan menyapa si penelepon, namun sudah di sambut seruan lantang penuh emosi. Membuatku cukup terkejut mendengarnya."Maaf. Tapi apa maksud Bapak? Saya tidak mengerti," balas Alan akhirnya. Menempelkan kembali ponselnya di telinga.Pria di depanku ini terdiam beberapa saat, menyimak dengan seksama ucapan orang di seberang sana. Keningnya tiba-tiba berlipat dalam."Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar tidak mengerti maksud Bapak. Memanfaatkan? Membuang? Saya tidak pernah merasa melakukan itu." Alan kembali membuka suara lagi.Pria di hadapanku ini kembali terdiam menyimak. Dengan kening berkerut makin dalam. Alan lalu mendesah panjang dan berat, kemudian memijat keningnya beberapa kali."Saya turut prihatin dengan apa yang menimpa anak bapak. Tapi sek
*Happy Reading*Flashback onHari ini,adalah hari ulang tahun pacarku yang ke 27. Namanya Dimas dan dia adalah Dokter umum di kampungku.Sebenarnya aku udah sengaja ambil cuti beberapa hari buat merayakan ultah Dimas hari ini. Tetapi karena aku ingin memberikan kejutan padanya, semalam aku menelponnya jam 12.01 malam untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan pura-pura meminta maaf karena tahun ini tidak bisa pulang untuk menemaninya merayakan hari jadinya itu.Aku ini memberikan surprise gitu ceritanya, gengs. Seperti di tivi-tivi.Biar romantis aku bakalan datang tiba-tiba di depan kontrakannya, dan memberikan kejutan juga hadiah yang sangat dia idamkan selama ini.Sebuah henpon terbaru yang sangat dia idam-idamkan.Terus acara selanjutnya. Nanti aku bakalan ajak dia makan malam berdua dan ya ... pokoknya bakal menghabiskan waktu sama-sama. Apa aja? Yang penting kami bakal pacaran sampe puas.Sekaligus melepaskan rindu, yang su
*Happy Reading*Sebenarnya, saat mendengar nama itu dari umi tadi. Aku ingin sekali mengajukan seribu alasan untuk menolaknya. Bagaimana pun, rasa sakit itu masih kerap kali terasa kala aku mengingat mereka berdua.Nah, jika dengan mengingat mereka saja hatiku udah nyeri. Kalian bisa bayangin kan, gimana sakitnya kalau aku bertemu langsung dengan dua penghianat itu?Sakitnya sampe pengen nyakar kedua wajah mereka!!Tidak, aku bukannya belum bisa move on atau apa? Aku udah bisa move on kok, setelah kejadian itu. Serius, deh! Buktinya sejak kejadian itu, aku sempet menjalin hubungan dengan beberapa pria. Ya ... walaupun tidak ada yang berhasil satu pun. Akan tetapi, yang penting aku nggak trauma sama laki-laki, kan?Hanya saja, entah kenapa hatiku masih saja sakit, jika ingatan itu tak sengaja melintas di kepalaku. Rasanya nyesek gitu. Apalagi yang aku rasakan langsung doubel penghianatan. Dari cinta pertama, plus sahabatku. Jadi, ya ... kalian ngert
*Happy Reading*"Oh ya? Wah, selamat ya, Rin."Alih-alih sakit hati. Aku lebih suka mengikuti permainan Rina saja yang benar-benar keliatan ingin membandingkan aku dengan kakak perempuannya itu.Akan tetapi gak papa, katanya doa itu berbalik, kan? Makanya, aku sih doa yang baik-baik saja buat mereka, biar nanti baliknya baik juga sama aku."Makasih ya, Mi. Alhamdulilah rezeki si jabang bayi kayaknya," jawab Ririn, polos-polos ngeselin gimaaa gitu. Sambil mengusap perutnya yang sebenarnya masih rata, dan menggandeng tangan suaminya yang dari tadi hanya diam.Oh, dia hamil lagi."Wah, doubel selamat dong, ya? Moga sehat-sehat selalu ya, ibu sama debaynya sampai harinya." Doaku setulus mungkin.Tenang pemirsah, aku gak sejahat itu kok, sampai doain dia keguguran. Karena, seperti yang aku bilang tadi, doa itu berbalik. Jadi, siapa tahu abis ini aku yang isi, yee kan?Eh, iya lupa belum toel Alan. Gak papa. Nanti aku toe
*Happy Reading*"Nanti saya delivery order buat situ," jawabku akhirnya dengan sinis.Tamu kok ya ngerepotin."Emang di sini bisa delivery juga? Bukannya ini kampung terpencil?"Allahhu robbi, nih orang gak ngerti sindiran apa gimana, sih?"Tentu aja bisa. Tapi mungkin datangnya dua tahun kemudian," jawabku lagi, yang sukses membuat Gito meradang."Kamu--""Gito cukup!! Kita ini lagi ngelayat. Bukan lagi me time di cofee shop. Jadi berhenti merengek." Dimas memotong omongan Gito dengan pedas. Membuat Gito kembali mendengus kesal.Mamam tuh!!Lalu tak lama kemudian. Teh Laras pun datang, dengan salep luka bakar yang kumaksudkan tadi, dan sebelum Dimas meraih salep itu. Aku lebih dulu mengambilnya, kemudian langsung mengoleskannya pada Umi dengan perlahan. Agar tidak menyakiti kulit tangan Umi yang benar-benar merah akibat ulah si Gito-Gito itu.Bangsul emang tuh cowok! Pepes juga dah nih lama-lama, sama cabe sekilo
*Happy Reading*"Pak Alan?! Astaga! Apa kabar, Pak? Gak nyangka saya bisa ketemu Bapak di sini."Gito tiba-tiba menyeruak ke hadapan Alan, yang baru saja ingin melangkah ke rumah. Kemudian langsung menjabat tangan Alan dengan hormat dan buru-buru. Mirip orang yang sedang cari muka.Jujur, aku masih bingung dengan keadaan ini. Karenanya, lebih baik aku menyimak saja apa yang akan terjadi selanjutnya."Kamu siapa?" tanya Alan datar, ternyata tidak mengenal Gito sama sekali.Alan melihat Gito dengan bingung, sebelum melirik aku dan menaikan alis satu tanda minta clue soal Gito. Tetapi karena aku juga gak tahu, ya sudah kujawab saja dengan bahu terangkat."Saya salah satu karyawan Bapak di Jakarta." Gito mengenalkan diri dengan sopan."Karyawan saya? Baru?" Alan memastikan."Betul, Pak. Saya Karyawan baru di firma hukum Bapak." Gito masih menjawab dengan senyum ala bintang iklan pasta gigi."Oh
*Happy Reading*"Uhm ... Mi, boleh kita bicara?"Aku baru saja melepas pelukan Ibunya Dimas, yang tidak berhenti menangis saat kuantar ke mobil. Saat Dimas tiba-tiba menghampiri, mengabaikan tatapan kesal dan tajam istrinya.Mau apa lagi pria ini?"Sebentar. Aa?" Aku pun lalu memanggil Alan, yang baru saja membantu Gito menaikan Mertua dan istrinya yang pingsan ke dalam Mobil yang berada di sebelah mobil Dimas. Mereka memang menggunakan dua mobil berbeda."Ya?""Sini, deh." Aku melambai, meminta Alan menghampiriku. Pria itu pun menurut."Kenapa?" tanya Alan saat sudah di dekatku."Aa ada waktu? Katanya Pak Dimas ini ingin bicara sama kita." Dengan sengaja, aku menggandeng lengan Alan dengan mesra."Eh, bukan. Maksud Kakak. Kita berdua aja, Mi. Tidak dengan suami kamu. Soalnya, Kakak ada--""Kalau gitu maaf. Saya tidak bisa!" putusku tegas, tanpa menunggu Dimas melanjutkan kalima
"Aduh! Terus kumaha iye? Mana si Bapak udah pergi? Saya telepon Bapak lagi aja, gimana? Pasti belum jauh, kan?" Asisten yang bernama Mbok Minah itu pun seketika panik. "Jangan, Mbok. Jangan ganggu Bapak," larang Hasmi yang kini berusaha mengatur napasnya, demi meredakan sakit yang semakin mendera perut bawahnya. "Ya, terus. Ini gimana, Bu? Saya harus apa?" Meski agak heran dengan permintaan sang nyonya. Mbok Minah pun kembali bertanya. "Suruh Pak Komang siapin mobil. Terus, tolong ambilin tas bayi di kamar yang sudah saya siapin. Mbok nanti temenin saya ke Rumah sakit, mau, ya?" pinta Hasmi setelah memberi titah pad sang asisten. "Iya, iya, Bu. Nanti saya temani. Kalau gitu, ibu tunggu bentar, ya? Saya nyari si Komang dulu." Mbok Minah pun pamit, mencari sopir yang sengaja Alan pekerjakan untuk mengantar-antar Hasmi jika ingin bepergian sendiri. Sementara Mbok Minah melaksanakan titah Sang nyonya. Hasmi sendiri kini tengah sibuk mera
Ektra part 5*Happy Reading*Hasmi mendesah berat, saat terbangun dari tidur malamnya tapi tidak menemukan Alan di sisi tempat tidur. Melirik jam di atas nakas sejenak, yang menunjukan pukul dua pagi. Hasmi pun memutuskan turun dari tempat tidur, dan menghampiri suaminya itu. Ruang kerja menjadi tujuan Hasmi. Karena setelah makan malam, Alan memang pamit meneruskan pekerjaan yang belum sempat dia selesaikan di kantor. Sementara Hasmi, memilih langsung tidur setelah sholat isya.Kehamilan yang sudah semakin besar membuatnya mudah lelah. Itulah kenapa, Hasmi jadi sering mengantuk dan mageran. Ditambah lagi, sekarang ada beberapa asisten rumah tangga di rumahnya. Makin-makin saja kemagerannya itu. Hasmi kembali menghela napas panjang, saat menemukan kebenaran atas dugaannya. Di sana, di dalam ruang kerjanya. Alan tengah menatap layar laptopnya dengan tampang serius sekali. Membuatnya terlihat bersahaja dan tampan sekali. Ah, mema
Ekstra part 4"Sudahlah, Alan. Biar aku saja yang jadi mengajak istrimu berkeliling. Aku janji tidak akan membuat istrimu lecet. Jadi, kau tidak harus menyusahkan diri sendiri seperti itu."Alan langsung mendengkus kesal, saat lagi-lagi Frans mengejeknya ketika jatuh dari motor.Ya. Demi Hasmi. Alan akhirnya memutuskan belajar motor kembali, agar bisa memenuhi ngidam sang istri. Meminta bantuan pada Frans yang memang lihai dalam hal kendaraan beroda dua itu. Awalnya Alan ingin minta di ajarkan lagi dalam mengendarai motor. Siapa sangka? Ternyata pria itu malah terus mengejeknya sepanjang latihan."Terima kasih, Frans. Aku masih bisa menuruti ngidam istriku seorang diri. Kau diam menyimak saja," balas Alan kemudian. Tidak akan pernah mengijinkan Frans berdekatan dengan istrinya lagi. Apalagi, setelah tahu perasaan pria itu pada sang istri. Alan tidak ingin memberi celah sedikitpun untuk sebuah perselingkuhan. Ah, ya! Satu rahasia ya
*Happy Reading*Entah sudah jadi sugesti atau memang kebetulan saja. Sejak mengetahui jika sudah berbadan dua, tubuh Hasmi pun mulai merasakan kodisi yang biasa ibu hamil rasakan. Mual-mual dan lain macamnya. Namun, yang paling membuat Hasmi kewalahan adalah muntah-muntah yang di alaminya. Karena hal itu bukan cuma saat pagi hari saja, tetapi bisa seharian full dan membuatnya tidak bisa berjauhan dari kamar mandi. Selain muntah yang berlebihan, Hasmi juga tidak berselera makan sejak hamil. Semakin dia makan, semakin sering dia muntah. Terutama dengan makanan pokok negara kita, yaitu nasi. Jangankan memakannya, mendengar namanya saja dia sudah mual. Dengan kondisinya yang seperti itu, sudah bisa dipastikan. Hanya dalam hitungan hari saja, Hasmi pun drop. Mengharuskannya bedrest total dan mendapat asupan makanan dari selang infus.Sebagai seorang suami, Alan pun dirundung kesedihan melihat kondisi Hasmi. Seandainya saja dia bisa menggant
*Happy Reading*"Nah, udah kelar! Lo? Udah kelar juga, gak?" Hasmi melirik Mira, menanyakan pekerjaan gadis itu. "Bereslah! Miwra gitchu, loh!""Najis! So imut bet lo!" Hasmi misuh-misuh kesal melihat tingkah Mira. "Emang imoet kakak ...." sahut Mira sengaja mengedip-ngedipkan mata seperti orang cacingan. Ingin menggoda Hasmi"Semerdeka lo aja dah, Mir. Males debat gue." Hasmi mengalah. "Dahlah, yuk sholat dulu. Udah masuk waktunya, kan?" Hasmi memilih mengalihkan obrolan pada yang lebih berfaedah. "Udah, sih. Tapi lo duluan aja.""Lah, Ngapa? Lagi males atau ngerasa udah banyak pahala?" sindir Hasmi."Bukan, gela! Gue lagi dateng bulan."Owh ... pantas saja. Soalnya setahu Hasmi, meski si Mira ini bar-bar dan adminnya lambe jemblehnya rumah sakit ini. Tetapi perkara sholat, gak pernah ketinggalan. Bahkan bisa dikatakan jempolan, soalnya gak nunda-nunda waktu. "Oh gitu ...." Hasmi menganggu
*Happy Reading*(Author pov)Hari ini sabtu dan Alan sedang libur. Pria itu sengaja tidur lagi sehabis sholat subuh, karena memang tak punya rencana apapun hari ini. Hanya bersantai ria dengan istri tercinta yang pastinya sedang sibuk membersihkan rumah.Jangan salah kira. Alan bukannya mau menjadikan istrinya itu sebagai pembantu di rumahnya sendiri. Hanya saja, Hasmi memang suka bebenah orangnya, dan tidak ingin memiliki pembantu dulu."Nanti saja punya pembantunya, A. Sekarang Hasmi belum butuh. Lagian, di rumah ini juga hanya kita berdua. Hasmi masih bisa mengurus semuanya sendirian."Itu katanya, saat Alan tawarkan seorang pembantu untuk membantunya mengurus rumah mereka. Meski sudah dibujuk bagaimana pun. Jawaban wanita itu tetap sama. Belum butuh. Begitu saja terus. Sampai Alan menyerah dalam membujuk wanitanya. Karena tak ingin malah jadi ribut nantinya. Kadang, istrinya itu memang sangat keras kepala. Makanya Alan memilih me
*Happy Reading*"Jangan iseng, ya? Aku gak mau sampai kehilangan kontrol di sini," ucapnya lembut membuat aku tertegun. "Kecuali ... kamu mau coba bikin anak di dalam mobil, aku sih gak akan keberatan sama sekali."Eh? "Bikin anak dalam mobil?" Aku membeo. "Atuh jangan Aa. Sempit, ih! Di kamar Apartemen yang luas aja saya engap kalau Aa udah naek. Nah ini malah di dalam mobil. Gepen nanti saya," lanjutku dengan tak habis pikir. "Kamu nanti di atas, biar saya yang di bawah," balas Alan, setelah mengulum senyum berapa saat. Apa, sih? Dia pasti mau ngisengin aku lagi."Di atas gimana? Nanti kepala saya benjol, dong. Mentok mulu pas goyangin Aa." Aku memukul dada bidangnya dengan kesal. "Udahlah jan ngadi-ngadi. Bikin anaknya di rumah aja. Jangan di tempat macem-macem.""Ya, makanya kamu juga jangan iseng di sini. Kalau mau di rumah aja. Biar nanti kalau si 'itu' bangun. Gak susah nyari tempatnya, ya?"Kali ini a
*Happy Reading*Keesokan harinya, kami semua memutuskan untuk liburan bersama ke tempat wisata di Tokyo. Tidak, lebih tepatnya, Dokter Karina yang mempunyai rencana itu, dan aku memaksa ikut.Kenapa memaksa? Ya, karena aku awalnya gak diijinkan. Nyebelin banget, kan? Masa pengen ikut liburan gak boleh? Pelit bet dah, ah."Gak habis pikir saya sama kamu. Orang abis nikah tuh honeymoon Hasmi. Jalan ke mana gitu, beduaan sama Alan. Atau ngedekem di kamar bikin anak tujuh hari tujuh malam juga gak papa. Pokoknya penting beduaan dulu sama suami. Ini kok malah ikut kami. Aneh, kamu!"Itu komentar Dokter Karina saat aku bersikukuh ikut mereka kemarin. Membuat aku cemberut kesal plus gemes banget.Ck, dikira bikin anak mulu kagak capek, apa? Capek kali, Mak! Apalagi ini disuruh begituan tujuh hari tujuh malam. Bah! Ledes nanti dorayakiku. Ganti bentuk jadi okonomiyaki. Haduh, haduh ... tuh dokter kalau ngomong emang bikin orang pengen nguncir mul
*Happy Reading*"Uhuk! Cie pengantin baru, akhirnya keluar kandang juga. Gimana? Dapat berapa ronde semalam? Ugh ... kayaknya gempur abis-abisan, tuh! Jalannya udah beda, cuy!"Aku ingin sekali menyumpel mulut bocor Dokter Karina dengan Burger jumbo di hadapannya, saat mendengar celetukan jahilnya itu ketika waktunya makan malam di restaurant bawah. Ya, ternyata kami semua satu apartemen. Hanya beda lantai saja, soalnya si Nyonya Sultan sudah pasti membutuhkan Apartemen lebih besar, untuk menampung orang-orang yang dia bawa turut serta ke negara ini.Maksudku, ketiga anaknya dan baby sitter mereka masing-masing. Tahu sendiri, kan, dia dan suaminya sangat sibuk. Jadi pastinya butuh bantuan Baby sitter untuk mengurus anak-anaknya. Hanya saja, untuk urusan memandikan dan makanan. Dokter Karina biasanya turun tangan langsung mengurus ketiga anaknya. Dia itu ibu yang hebat. Tapi atasan yang nyebelin kadang. Terutama mulut bocornya. Suka nyeplos gak pandang tempat. Sepert