Aku masih diam setelah mendengarkan penjelasan dokter tadi pagi. Rupanya ibuku didiagnosis terkena serangan jantung, untung masih bisa diselamatkan. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi yang tersedia.
“Ya Allah, astaghfirullah.” Aku mengusap mukaku dengan telapak tangan. Kupandangi wajah Ibu yang masih sangat pucat. Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku.“Mbak Ambar.”“Anggi.” Kami berpelukan bahkan kami sudah menangis bersama.“Mbak.”Aku melepas pelukanku pada Anggi dan menyambut Saras dan Wulan. Kami berempat berpelukan lagi. Tak ada satupun yang bicara. Kami hanya menangis, saling memeluk dan menguatkan.“Maafkan Mbak. Mbak lalai. Maaf.”“Enggak, Mbak. Ini semua musibah. Bukan salah Mbak Ambar,” hibur Saras.“Iya Mbak, kita semua tahu kok. Mbak Ambar udah jagain Ibu dengan baik,” sambung Wulan.“Mbak gak tahu akan begini. Harusnya mbak gak p“Ambar gak marah ‘kan kalau ibu jodohin Ambar sama anaknya Kinanti,” ucap Ibu terdengar sedih.“Gak, Bu. Ambar cuma sedikit kaget. Tapi Ambar mantap Bu, mungkin memang jodoh Ambar melalui tangan Ibu.”“Kamu serius ‘kan Nduk?”“Serius, Bu.”“Bisa ibu minta kalian segera menikah?”Deg. Aku menatap Ibu dengan kaget.“Bisakan, Mbar? Biar ibu merasa tenang karena kamu sudah ada yang jaga?”“Bu ....”“Nduk. Ikuti kemauan Dek Inayah, ya?” Pakdhe Rusdi menatapku dengan sorot permohonan. Aku menatap semua orang yang ada di ruangan. Mereka semua juga mengeluarkan sorot mata yang sama. Bahkan Anggi menggenggam tanganku, meyakinkanku.“Baiklah, Ambar terima, Bu. Tapi Ambar punya syarat. Hari ini juga kami harus menikah.”Semua orang menatapku kaget pun Ibu.“Nduk, kamu bercanda, ‘kan? Kamu gak pengen kete
Air mataku sudah menetes sejak tadi bahkan aku memilih kembali ke kamar. Jadi, aku mau nikah sama Rafi? Ya Allah ini sungguh kiamat kubro.“Mbar, kamu kenapa?”“Tut ... aku gak mau nikah. Hiks ... hiks ....”“Jangan gila kamu! Kamu sendiri yang minta langsung akad. Kamu mau bikin keluarga kamu malu.”“Ta-tapi ... hiks ... ta-tapi ... hiks ... aku gak mau nikah sama Rafi.”“Rafi?” Tuti menatapku penuh selidik. Kemudian matanya membola.“Maksud kamu?”“Iya.”“Astaga? Kok bisa?”“G-gak tahu. Yang jelas Rafi ... hiks ... da-tang terus ma-nggil Umi sa-ma Umi Ki-nanti.”Aku menangis lagi. Dandananku sudah tak berbentuk akibat menangis terus. Bahkan ketiga adikku sampai bingung melihatku yang sudah tersedu-sedu dengan penampilan yang acak-acakan. Tuti meminta ketiga adikku keluar sementara aku masih berusaha ia tenangkan. Tapi b
Aku mendudukkan diri di kursi meja rias. Tatapanku tertuju ke arah ranjang. Entah siapa yang telah mengganti sprei dan menabur bunga disana. Mana dibikin bentuk cinta lagi. Jadi gak tega buat didudukin. Suara notifikasi mampir di ponselku. Aku meraih ponselku dan membuka chat yang masuk. Mataku langsung membelalak.🍁 0857xxxxxxxx 🍁[Ambar, Sayang. Maafkan ulahku selama ini. Aku tahu aku salah dengan mengabaikanmu sangat lama. Aku juga salah karena tak jujur padamu. Tapi aku butuh waktu, aku malu, Ambar. Karena waktu itu aku gagal. Tapi percayalah, aku masih cinta sama kamu]Aku menatap nanar chat dari Ilo. Aku bimbang antara harus membalas atau membiarkan saja chat itu. Tiba-tiba air mataku menetes. Ternyata, rasa itu masih ada. Ponselku berdering. Aku melirik nomer yang tertera. Berkali-kali nomer itu menelepon, tapi aku sama sekali tak mengangkatnya. Rupanya si penelepon tidak menyerah. Ponselku terus berbunyi. Aku mengelap air mataku, mencoba memantapkan hati
Aku masih menatap Mas Syafiq. Kok ada ya cowok ganteng banget kayak gini. Dari dulu aku kemana aja ya? Pantes Yuyun sama Tuti selalu bilang aku tuh perlu kaca mata.“Aw aw aw. Aku tahu Mas, hidungku minimalis. Tapi percuma kamu cubit. Gak bakalan mancung kayak punya kamu.”“Minimalis tapi gemesin, unik tahu. Kan, jadi enak buat diginiin.”Mas Syafiq lagi-lagi mencubit hidungku. Ya Allah, ini Mas Syafiq? Lelaki kalem yang lebih banyak diam kalau ketemu aku?“Ini Mas Syafiq bukan sih? Cowok yang Ambar kenal orangnya pendiam dan kalem?” tanyaku sambil berusaha mengalihkan tangannya dari hidungku.“Bukan.”“Terus siapa?”“Suami kamu.”Blush. Pipiku menghangat, ah pasti kayak kepiting rebus.Cup.Mataku melotot, pipiku dicium.“Sudah sana ganti baju! Kita sholat.”“Mas Syafiq belum sholat isya?”“Sholat sunah penganti
Aku menggeliat dan merasakan sebuah lengan yang memelukku. Bisa kurasakan kulit kami bersinggungan. Ya Allah, aku masih tak percaya bahwa aku dan dia sudah ....Ah, pipiku menghangat. Aku pikir malam pertama kami bakalan kayak di novel-novel yang bercerita tentang pernikahan karena perjodohan. Dimana pasangan suami istri menjalani malam pertamanya dalam suasana dingin, tidur saling memunggungi atau salah satu tidur di sofa. Ternyata malam pertama yang aku alami sungguh panas, mendebarkan dan sakit. Ya sakit, tapi juga enak. Mbuhlah. Pokoknya gitu.Aku membalikkan badan kemudian menatap wajah seseorang yang masih terlelap. Dia bahkan mendengkur halus. Aku tersenyum melihat wajah damainya. Aku masih tak percaya jika jodohku adalah dia. Jodoh yang tidak disangka.“Kenapa?” Suaranya terdengar serak.“Hah? Mas udah bangun?”“Udah dari tadi. Tapi sengaja gak buka mata biar yang lain bangun dulu.”“Maksudnya?&rdq
Usia pernikahanku sudah berjalan satu minggu. Selama satu minggu pula Mas Syafiq bolak balik Gumilang-Purwokerto. Aku sungguh kasihan dengan Mas Syafiq kalau setiap hari harus menempuh jarak kurang lebih satu setengah sampai dua jam. Bolak balik lagi. Tapi aku juga gak tega meninggalkan Ibu begitu saja.Rupanya apa yang kurasakan juga dirasakan oleh Ibu. Dengan bijak beliau menasehatiku untuk mengikuti Mas Syafiq kembali ke Purwokerto. Ibu meyakinkanku bahwa Ibu akan baik-baik saja karena ada Miko dan Saras. Ibu juga berjanji tidak akan membuka warung lagi karena warung akan dijadikan bengkel oleh Miko. Sewa tempat untuk bengkelnya sudah habis jadi Miko memutuskan merenovasi warung menjadi bengkel.Hari ini dengan penuh keharuan aku dan Mas Syafiq pamit pada Ibu, adik-adikku dan juga keluarga Pakdhe. Meski Purwokerto dekat namun tetap saja aku sedih karena tidak akan setiap waktu bersama mereka. Sebelum kami pamit, Ibu memberikan banyak nasehat untuk kami. Tak lupa d
"Kecapnya banyak banget Dek? Mau nyoba semua merek?”“Bukan Mas. Lihat nih, ‘kan ada kecap asin, kecap manis, ada saus tiram dan teriaki.”“Ooo. Mas yang penting kamu masak dan rasanya enak.”“Dasar tukang makan.”“Iyes. Apalagi makan kamu.”Aku mencubit perut Mas Syafiq. Dia sedikit mengaduh tapi tetap tertawa. Suwer ewer ewer deh. Beneran kejutan banget setelah tahu sifat asli suamiku. Setelah membayar kami membawa semua belanjaan ke mobil.“Mau makan di area foodcourt atau nyari di luar?”“Foodcourt aja. Sekalian nanti balik lagi,” ucapku dengan binar mata bahagia.“Pasti mau belanja, ‘kan?” ucapnya sambil mencubit hidungku.“Iya, soalnya udah punya suami ya manfaatin aja.”“Harus, percuma suami kerja capek-capek tapi bininya gak mau make. Asal jangan boros ya?”“Siap Bos,” ucapku sam
Aku sedang bercengkrama dengan Tuti dan Yuyun. Sementara Joko, Rafi dan Mas Syafiq sedang berada di ruang tamu. Setiap minggu, kami menyempatkan mengunjungi Ibu. Kalau sempat ya menginap seperti sekarang ini. Tadi malam kami tidur disini. Niatnya kembali ke Purwokerto besok senin.“Gimana?” tanya Tuti.“Gimana apanya?”“Jadi istrilah.”Aku tersenyum, “Menurutmu?”“Ck. Udah gak nangis-nangis lagi, ‘kan?”“Ah, kamu Tut,” ucapku dengan menahan malu.“Hahaha. Kayaknya langsung buka segel juga ini hahaha.”“Tutiii,” rengekku. Ah, aku jadi malu.“Buka segel apa? Emangnya Mbak Ambar habis beli apa sih? Baju?”“Astaga! Aku lupa masih ada satu gadis polos. Kalau yang ini lagi suka volos di kamar. Hahaha.”“Tutiiii.” Aku memukul lengan Tuti keras. Tuti sendiri hanya tertawa saja. Puas memukuli Tuti, aku