Dengan senyum manis, Adara menjawab, "Saya ingin satu kali pertemuan saja, Miss."Ziva terlihat kecewa berat. "Kamu pasti sangat marah dengan sikap Ibu Anis. Saya akan tegur Ibu Anis agar kamu tidak lagi sungkan kalau masuk kelas. Saya janji akan membuat kamu nyaman kembali, Dara."Ziva tidak akan pernah rela kalau salah satu anggota potensial yang dia miliki harus pergi karena kesalahpahaman. Dia akan membantu menyelesaikan masalah mereka agar tidak ada lagi ganjalan yang membuat keduanya bermusuhan. Sebagai coach sudah sepantasnya dia mendamaikan anggotanya. Dengan sungguh-sungguh dan tekad yang kuat, Ziva menyentuh telapak tangan Adara. "Kamu jangan cemas. Saya selalu membela yang benar. Tidak ada bedanya mau anggota lama atau baru, saya tetap membela yang pantas untuk dibela. Kalau perlu saya minta Ibu Anis untuk bicara sama kamu, meminta maaf secara langsung."Adara bukan tipe pendendam, meskipun sesekali dia sering membalas dendam pada orang-orang yang jahat padanya. Kalau buka
"Loh? Lamaran tiba-tiba? Ini maksudnya apa sih, Ma? Kenapa Mama tiba-tiba mengatakan soal perundungan atau apapun itu yang aku bahkan nggak mengerti. Please, tolong jelasin sama aku, Ma!" tuntut Candra sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di sampingnya. "Apa yang kamu lihat tadi?""Ini nggak ada hubungannya dong sama apa ya Mama bicarakan tadi.""Tentu saja ada. Sekali lagi Mama tanya, Apa yang kamu lihat tadi? Siapa yang kamu lihat? Suami siapa yang kamu perhatikan?" tuntut Ziva balik. Awalnya dia tidak percaya kalau putrinya menstalking suami orang. Ketika melihat buktinya dengan mata kepalanya sendiri, Ziva seakan syok dengan perubahan putrinya itu. Candra tidak gelagapan sama sekali karena dia pikir mamanya tidak akan tahu siapa yang dia lihat sedari tadi. "Cuma teman yang lewat di berandaku. Dia masih single kok belum punya istri jadi aku sah-sah aja kalau ngeliatin, Ma. Jangan terlalu baper deh, Ma.""Baper katamu? Coba buka lagi laptopmu! Mama mau lihat pria single mana ya
Makam yang rutin dibersihkan oleh penjaga yang ditugaskan Radit, terlihat bersih terbebas dari rumput-rumput liar. Sudah bertahun-tahun lamanya wanita yang disemayamkan di dalam sana, meninggalkan keluarga kecil yang seringkali berdebat. Terutama jika menyangkut anak semata wayang mereka. Ada banyak penyesalan yang membuat anak dan ayah itu sulit untuk berkomunikasi. Namun pada akhirnya setelah banyak masalah yang terjadi, kini mereka berhasil mengatasi penyesalan tersebut. Adara menabur kelopak bunga mawar ke atas gundukan tanah tersebut. Sesekali dia mengusap nisan yang bertuliskan nama mamanya. Chelsea Anggraeni. Kalau dulu wanita itu pasti menangis tapi sekarang dia sudah sanggup merelakan kepergian mamanya. Wanita yang sudah tumbuh dewasa itu menceritakan segala kisah yang dialaminya. Meskipun di sampingnya ada Radit dan juga suaminya, dia tidak sopan mengatakan bahwa dia tidak menyesal telah menikah dengan suaminya sekarang."Seandainya Mama masih ada pasti Mama akan menyukai
Adara harus mundur dari antrian karena satpam memintanya untuk keluar dari barisan. Wanita itu terpaksa beralih ke belakang kemudi karena Ansel tidak juga kembali. Penasaran dengan siapa yang menabrak mobil mereka membuat Adara mencari tahu di mana lokasi pemberhentian kendaraan itu. Di area pojok pagar yang berbatasan dengan trotoar jalan, dia melihat Ansel keluar dari mobil yang menabrak mereka tadi.Serentak Adara menghentikan mobilnya. Dia turun dari mobil lalu melangkah dengan tergesa-gesa menuju suaminya. Terlihat lengan suaminya ditarik seseorang dari dalam. Kalau pengendara mobil itu berani melakukan tindakan yang ekstrim, berarti suaminya mengenal siapa orang itu."Ansel," panggil Adara pelan.Ansel menoleh, sekilas dia menunjukkan tanda kekhawatiran. "Tunggu di sana!"Refleks Adara langsung berhenti. "Kenapa?"Ansel melepaskan secara paksa tarikan itu. Dia berlari menuju istrinya. "Maaf, Sayang. Aku nggak sengaja ninggalin kamu. Aku baru mau kembali ke sana. Yuk!"Adara tid
"Kamu yakin kan kalau dia nggak lagi kerasukan?" tanya Adara tidak percaya ketika suaminya mengatakan bahwa Emma mengundang mereka untuk makan malam di sebuah cafe. Satu hal yang paling mustahil di dunia ini adalah Emma tiba-tiba berubah baik. Selama ini wanita itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kebaikan hatinya atau merelakan mantan kekasihnya, lalu hanya karena pertolongan kecil itu dia tiba-tiba berubah? Mustahil kan?Ansel berpura-pura memikirkan pertanyaan istrinya. Cukup lama dia mengheningkan cipta sebelum akhirnya menjawab, "Kayaknya sih nggak. Orang cara bicaranya aja sama.""Lalu waktu dia ngomong begitu, dia langsung pergi?"Ansel mengangguk yakin. "Iya. Dia cuma bilang luangkan waktu kalian malam ini karena aku ingin berterima kasih atas bantuan kalian. Di cafe Rainy jam tujuh."Adara masih tidak habis pikir apa yang terjadi sebenarnya. "Tapi kalau kita menolak, bukannya dia akan semakin benci sama kita? Ya udah deh apa boleh buat, kita siap-siap sekarang saja. Mump
"Sayang, apa yang kamu bicarakan?" sahut Ansel. Antara kesal dan gemas, dia menarik kursinya akan lebih dekat dengan istrinya. "Sudah aku katakan berkali-kali kalau aku dan Emma nggak pernah melakukannya."Emma merasa tersindir karena Ansel mengatakan yang sejujurnya. "Ya, emang nggak pernah sih. Tapi kalau hampir melakukannya sih sering. Siapa juga yang nggak terpikat oleh rayuan mautku?"Adara mulai menyesal kenapa dia hampir mempercayai sikap baik Emma. "Aaa, jadi kamu suka merayu ya?""Nggak juga. Banyak pria yang tergoda olehku meskipun aku nggak merayunya," puji Emma pada dirinya sendiri. Lalu dia sengaja melirik Ansel. "Tergoda tapi bukan berarti Bisa memiliki. Contohnya suamiku ini karena dia berhasil keluar dari godaan maut kamu," sahut Adara tenang. "Apa kita akan masih membahas masalah ini? Bukannya tujuan kita datang kemari untuk makan malam?""Tentu saja. Kamu kan udah mulai duluan. Oke, karena aku nggak mau merusak suasana jadi kita makan saja. Aku juga udah lapar," uca
"Iya! Sok bijak! Nggak semua hal bisa diceritakan pada orang lain termasuk saudara sendiri. Jadi tolong berusahalah untuk nggak ikut campur dalam permasalahanku selagi aku bicara baik-baik, Kak," tegas Mimi. Ketakutannya lah yang membuat dia harus memaksa dirinya untuk bersikap kasar. Adara menatapnya dengan nanar. "Kamu sudah banyak berubah. Ingat terakhir kali kita menginap bersama? Kamu bahkan membela Kakak daripada dia. Sekarang kamu justru bersikap seolah kamu nggak mau dia tersakiti. Apa yang udah dia perbuat sampai kamu berubah begini?"Mimi memutar bola matanya setengah jengah. "Aku nggak peduli dengan apa yang kakak pikirkan yang jelas sekarang aku mau pergi! Ada banyak hal yang harus aku lakukan. Kalau kakak nggak mau di sini ya udah pergi sana! Lagi pula aku bisa minta Gina untuk mengcover pekerjaan." Kalimat pedas itu menjadi penutup perdebatan mereka. Mimi akhirnya berbalik pergi meninggalkan Adara yang masih menatap nanar pada kenyataan yang dia terima. "Kamu bahkan n
Mimi refleks menopang punggung Adara dengan tubuhnya. Punggung Mimi terantuk badan mobil dan menimbulkan suara lumayan keras. Pria yang mendorong Adara tadi, malah menatap sengit pada Mimi karena upayanya menjatuhkan Adara tidak berhasil."Hei, aku akan membuat perhitungan sama kamu," tuntut Mimi murka. Dia membantu Adara untuk berdiri, "kakak nggak apa-apa?"Adara menyentuh perutnya dengan cemas. Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh dari perutnya. Apa ini pertanda bahwa getaran tadi tidak berakibat buruk padanya? "Kak," panggil Mimi lagi. Dia khawatir karena Adara diam saja."Tidak apa-apa. Kamu gimana?" tanya Adara yang segera tersadar dari lamunannya. "Nggak apa-apa, Kak.""Ada apa?" Suara seseorang menginterupsi mereka. Adara mengerutkan keningnya karena dia tidak mengenal siapa pria itu. Tapi dilihat dari kamera yang dia bawa, mungkin saja pria itu fotografer."Ini, Mas, Roy bikin ulah," adu Mimi. Dia jelas tahu siapa pria yang bertanya tadi.Pria yang usianya lebih tua dari p
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c