"Kamu tahu kamu nggak boleh begini, Sel. Aku bukan istri yang menginginkan kamu sebagai suami. Aku juga sudah bilang kalau kita sudah nggak punya hubungan yang lebih dari status suami istri," tegas Adara. Dia mencengkeram salah satu lengan Ansel karena tangan kanannya masih memegang piring berisi ayam bumbu kecap tersebut.Ansel semakin mengeratkan pelukannya. Dia tidak mungkin membiarkan Adara pergi darinya setelah apa yang Adara lakukan. Perhatian wanita itu lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. "Aku tahu tapi aku menolak untuk melepaskan kamu. Berikan aku waktu agar aku bisa membuat kamu mengerti bahwa semuanya sudah berubah. Dari awal memang kita menikah atas dasar paksaan tapi sekarang aku mulai mencintaimu.""Cinta? Kamu lebih mirip anak SMA yang mendesak pacar kamu untuk tidur sama kamu," ucap Adara asal."Nggak masalah. Apapun yang kamu pikirkan, aku tetap menerimanya. Selagi kita bersama, aku ingin menggetarkan hati kamu, Dara. Cintai aku juga, please! Kamu mau hidup s
"BRENGSEK! KAMU MENYEBALKAN SEKALI. KENAPA SIH HARUS BERCANDA? NGGAK LUCU! AKU BENCI SAMA KAMU, ANSEL! BENAR-BENAR BENCI!" Teriak Adara kesal. Adara benar-benar takut setengah mati. Takut jika terjadi sesuatu pada Ansel. Setelah ditinggal pergi oleh Dianti, dia tidak ingin lagi melihat orang yang dekat dengannya tiba-tiba pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Rasanya penyesalan dalam dirinya teramat sulit untuk disingkirkan. Andai saja dia bisa memutar kembali waktu, dia ingin mengucapkan selamat tinggal dan memberikan kesan terbaik untuk neneknya. Ansel tidak pernah menyangka jika Adara akan semarah itu. Dia berusaha memeluk istrinya supaya tidak lagi berteriak histeris namun dia tidak berhasil. Tenaga Adara seolah lebih kuat dari dirinya. "Adara, stop! Maafkan Aku! Aku hanya bercanda tadi. Please, berhenti memukulku!" pinta Ansel."Brengsek! Kamu menyebalkan," Isak Adara. Tanpa sadar dia menghentikan pukulannya lalu terdiam dengan tangisan yang terus berdenging."Maaf. Please
Pemandangan yang sudah biasa ketika semalaman pasangan suami istri berebut untuk saling memuaskan, terlihat menenangkan. Apalagi ketika kaki-kaki Mereka terlihat di di bawah selimut, saling bertautan untuk menghangatkan satu sama lain. Di bawah selimut yang sama, di pelukan yang memabukkan, Adara dan Ansel tidak berniat untuk beranjak dari sana. Meskipun tenaga mereka harus kembali diisi untuk mengantisipasi hari yang panjang, mereka tidak peduli. Adara menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Ansel. Dia masih memejamkan mata. Di bawah sana, rasa ngilu memenuhi dirinya. Wanita itu tidak berniat menghalangi suaminya ketika mereka harus mengulangnya hingga tiga kali dalam semalam. Anggap saja Dia sedang menebus dosa atas kesalahannya beberapa minggu ini. "Jam berapa sih?" gumam Adara. Suaranya teredam oleh dada Ansel tapi Ansel masih bisa mendengarnya. "Jam enam. Kamu mau bangun atau enggak?""Em, tunggu sebentar," jawab Adara pelan."Atau kita libur saja hari ini? Kita kan nggak p
"Sayang, tunggu dulu! Aku udah siapin bekal untuk kamu makan nanti di kantor. Ini Ada oseng ayam suwir pedas dan buah-buahan. Jangan lupa dihabiskan!" pesan Ansel sebelum istrinya berangkat ke kantor. Dia memilih untuk membuatkan bekal karena kemarin Adara berkata kalau dia tidak sempat untuk makan siang. Ansel yang sudah berjanji akan menyiapkan makanan untuk istrinya, rela bangun pagi hanya demi sekotak bekal. Pria itu segera merapikan penampilannya sebelum ikut keluar dari rumah. Adara melihat kotak berwarna biru muda itu dengan tatapan sarat akan kebingungan. "Emangnya aku anak kecil?""Udah, jangan bawel! Bawa aja. Kalau sampai nggak kamu habiskan, kamu akan tahu sendiri akibatnya nanti di rumah. Oke, Sayang?" goda Ansel dengan mata mengerling jenaka. Adara terpaksa menerimanya karena dia harus terburu-buru untuk ke kantor. Ada rapat pagi ini tentang perluasan lahan minimarket di area Bandung yang harus diselesaikan minggu ini juga. Mungkin akhir pekan ini dia akan pergi ke Ba
Ansel terus mengarahkan senter ponselnya pada pintu tangga darurat berharap sang istri segera muncul. Tapi sekian menit ditunggu, sosok Adara tidak juga terlihat. Pria itu panik. Dia menghampiri satpam yang bersiap untuk mengitari gedung tersebut untuk membantu mencari Adara."Ibu Adara belum pulang, Pak? Saya kira tadi sudah turun soalnya Pak Er bilang lantai atas sudah clear," lapor satpam bertubuh tegap itu. Dia baru saja melakukan walkie talkie dengan kawannya untuk melihat keadaan kantor. Er kebetulan ada di atas ketika lampu tiba-tiba padam.Di sanalah Ansel mulai was-was. "Bisa minta tolong Pak Er untuk mencari lagi, Pak? Istri saya belum memberi kabar soalnya." Dia menghidupkan layar ponselnya dan ternyata tidak ada sinyal yang ditemukan."Dari tadi sinyal mati, Pak. Begini saja, Pak. Bapak tunggu di sini, saya akan cari ke atas lewat tangga darurat."Ansel tidak punya pilihan selain mengiyakan. Dia mengangguk. Sembari menunggu, dia mencoba mengirim pesan siapa tahu jaringanny
"Heiii," pekik Ansel dengan mulut penuh makanan. Adara menjejalkan sepotong ayam ke dalam mulutnya sebagai usaha agar dia tidak menjawab pertanyaan darinya."Kalau makan, fokus aja makan jangan banyak bicara," goda Adara. Dia tersenyum geli sembari melihat ke arah lain. Kedekatannya dengan Ansel sudah mengalami perubahan. Adara sendiri mencoba untuk bersikap selayaknya istri karena Ansel selalu membuat dirinya nyaman. Tidak mungkin kan kalau dia harus bersikap egois sementara suaminya berusaha untuk memperbaiki hubungan mereka? Ansel melihat senyum yang disembunyikan oleh istrinya. Dia pun ikut tersenyum dan mengambil nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang tapi ukurannya benar-benar mini. Dia sanggup menghabiskan beberapa bungkus kalau tidak ingat kalau Adara lebih membutuhkan asupan makanan. Pria itu menoleh pada istrinya, lalu mengulurkan tangan untuk menyeka sebutir nasi yang menempel di ujung bibir istrinya. Begitu istrinya berbalik menatapnya, dia balas tersenyum. "Ngomo
Ansel ingin memperlihatkan kekesalannya karena merasa dibohongi tapi sayangnya dia tidak bisa. Orangtua dan istrinya tengah menatapnya dengan sumringah. Adara memegang sebuah kue yang bertulisan 'Happy Birthday Suamiku' sementara orangtuanya membawa hadiah super besar untuknya.Perlahan pria itu menghampiri barisan pembuat kejutan untuknya."Ayo, buat permohonan! Kamu pasti malu kalau kita bernyanyi kan? Jadi, mintalah sesuatu pada Tuhan," pinta Adara sembari menyorongkan kue tersebut ke depan wajah suaminya. "Awas ya kamu," bisik Ansel iseng. Dia akan membuat perhitungan."Ayo, bisik-bisiknya nanti saja! Buat permohonan lalu kita makan malam," seloroh Felicia. Dia dan Jaka saling berpelukan.Ansel menutup matanya, membuat permohonan untuk kebahagiaan istri dan orang-orang di dekatnya. Dia juga ingin segera diberi kepercayaan untuk jadi ayah. Setelah selesai memanjatkan doa, dia meniup lilinnya."Kamu sengaja mempermainkanku?" tuduh Ansel pada Adara. Pasti urusan ke Bandung hanya omo
Ansel galau. Dia dalam posisi yang sulit karena harus memutuskan antara melanjutkan bisnis orang tuanya sendiri atau bisnis papa mertuanya. Di lain sisi Dia sangat menghargai permintaan Radit kepadanya. Namun melihat sikap Adara yang seolah enggan untuk ditinggalkan, mengharuskan dia memikirkan ulang. Jarak Antara Jakarta dan Singapura tidak terlalu jauh. Kemungkinan besar Ansel masih bisa menanganinya. Itupun kalau istrinya memberikan izin. Haruskah pria itu meminta lebih intens lagi agar dia mendapat restu."Gimana? Apa kamu sudah memutuskan?" tanya Radit ketika dia bertemu dengan Ansel di kantor. Radit bukan sengaja datang tapi secara kebetulan dia melewati didengung perkantoran milik keluarga Ansel."Maaf, Pa. Jujur saja aku tertarik tapi masalahnya Adara kurang setuju Kalau aku bekerja di Singapura. Aku memahami masalahnya. Kita akan jarang bertemu dan otomatis lebih banyak timbul masalah lainnya. Jadi setelah aku pikir-pikir, aku belum siap untuk menjalankan bisnis Papa di sana
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c