Sebuah iklan tentang liburan di tempat yang memuakkan bagi Adara yaitu Cappadocia, membuat wanita itu merengut sengit. Ansel berjanji padanya akan mengajaknya honeymoon ke tempat itu namun janji itu terdengar palsu.Brengsek! Jika Adara mengingat ucapan Ansel tentang pemutusan hubungan sepihak mereka, Adara ingin memakinya berulangkali. Apalagi setelah melihat muka tanpa dosanya yang datang ke kantor, seenaknya menyapanya dengan muka datar, Adara semakin ingin menendang kakinya. Cinta apanya? Bulshit! Adara benci pada kata itu. Ansel benar-benar sudah mematahkan hatinya."Untuk laporan hari ini, aku sudah melihatnya," ucap Ansel. Entah sejak kapan dia ada di depan meja Adara karena wanita itu tersentak melihatnya datang. "Iya, Pak. Sudah saya periksa juga dan saya serahkan pada manager keuangan. Untuk masalah kebakaran kemarin, kerugian sepenuhnya akan ditanggung oleh kantor berikut ganti rugi pada korban.""Em, aku mengerti." Ansel kurang suka dengan panggilan Adara padanya. "Kamu
Adara gemetar ketika merasakan sentuhan yang tidak biasa pada dirinya. Ansel menghapus segala jejak hujan yang ada di tubuhnya dengan cara yang tidak biasa. Wanita itu bahkan tidak menyadari jika bibirnya tidak henti-hentinya mendesis."Boleh kubuka?" Tanya Ansel pelan. Dia menatap nanar pada Adara. Sudah setengah jalan, tinggal melepaskan pakaian mereka lalu semuanya akan terjadi."Kamu masih bertanya? Kalau aku bilang nggak boleh, emang kamu mau menyingkir?" canda Adara. Dia menyeringai kecil."Tentu saja ... nggak."Adara menyunggingkan senyum tipis lalu menunduk malu ketika Ansel membuang pakaiannya. Untuk pertama kalinya dia malu memperlihatkan apa yang dia miliki. "Mau kumatikan lampunya?" tanya Ansel dengan suara parau. Tatapan matanya tertuju pada sesuatu di balik underwear. "Nggak perlu.""Bukannya kamu malu?" goda Ansel."Malu, iya. Tapi mau gimana lagi?"Ansel mulai menyukai sikap Adara. Dia membawa istrinya untuk bangkit, sementara dia membubuhkan ciuman penuh hasrat di
Emma mempunyai firasat buruk ketika Ansel tidak memberinya kabar. Padahal pria itu harusnya menginap di rumahnya sesuai dengan janji mereka. Paginya, dia berusaha menghubungi Ansel untuk mempertanyakan alasannya. Tapi sayangnya pria itu tidak menjawab panggilannya. "Kamu berubah pikiran? Apa yang dilakukan Adara sampai kamu bisa kembali sama dia?"°°°"Kenapa nggak dijawab?" tanya Adara sembari mencuri pandang ke arah ponsel Ansel. Sayangnya dia tidak melihat siapa penelepon itu karena Ansel berusaha menyembunyikannya."Nomor asing," jawab Ansel singkat. Jelas-jelas yang terlihat bukanlah nomor tanpa nama. Apa yang sedang disembunyikan oleh Ansel?"Ya sudah kalau nggak mau ngaku. Pekerjaan yang kamu lewatkan sudah aku susun rapi di meja kamu. Tinggal tanda tangan saja," ucap Adara. Dia tidak ingin peduli dengan urusan suaminya. Kalau bukan Emma siapa lagi yang bisa merubah raut muka Ansel. "Oke." Ansel mendahului Adara untuk masuk ke dalam ruangannya. Dia mengeluarkan ponselnya da
Plakk!!Ansel tidak bergeming ketika Adara memukul wajahnya. Dia hanya bingung dengan sikap istrinya yang tiba-tiba marah. "Aku salah apa lagi?""Brengsek! Kenapa kamu bohong sama aku? Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu belum bilang sama nenek tentang perceraian kita? Kamu sengaja? Hah? Untuk apa kamu bersikap sok perhatian padaku kalau niat kamu busuk! Benar-benar brengsek!"Ansel mulai menyadari ada yang salah dengan Dianti. Kalau sikap Adara seheboh ini, pasti ada sesuatu yang terjadi. "Nenek masuk rumah sakit?"Emosi di kepala Adara memuncak. "Jangan pernah injakkan kaki kamu di rumah sakit! Kalau aku sampai lihat kamu di sana, aku nggak akan segan-segan teriak maling."Ansel masih berani menggenggam tangan Adara sebelum wanita itu pergi. "Aku minta maaf. Waktu itu kondisinya nggak memungkinkan untuk bicara jujur. Aku juga nggak bisa jujur sama kamu, Dara. Aku hanya mengulur sampai dapat moment yang pas. Maaf.""Brengsek! Sekali brengsek tetap brengsek! Aku benci sama kamu!" desi
Ada yang tidak beres dengan tubuh Adara. Bangun tidur tubuhnya terasa kaku Begitu juga dengan kepalanya yang tidak bisa berdiri dengan tegak. Apa yang sedang terjadi? Apa karena beberapa hari ini dia tidur di rumah sakit dan sering begadang hanya untuk memastikan neneknya sudah bangun atau belum, kondisi tubuhnya jadi tidak memungkinkan?Marina yang melihat kelesuan Adara segera menghampiri. "Kamu baik-baik saja?"Adara mengangguk ragu, "Baik, Tan.""Tapi kamu kelihatan pucat loh. Istirahatlah dulu di rumah. Biar Tante saja yang menunggu di sini. Nanti juga Mimi ikut bergantian. Lagi pula papa kamu juga sering datang. Kamu nggak perlu cemas soal nenek. Tante akan segera menghubungi kamu kalau nenek sudah sadar," ucap Marina bijak.Adara ingin begitu tapi dia enggan meninggalkan neneknya. "Aku pesan satu kamar saja yang dekat di sini, Tan, biar nggak bolak-balik.""Tidur di rumah sakit beda sama tidur di rumah, Dara. Lagian ke mana sih suami kamu kenapa beberapa hari ini dia nggak non
"Kenyang? Kamu pikir aku makan makanan kamu?" sungut Adara sebal. Ansel pura-pura percaya, "Ya sudah." Dia mengambil helmnya dan memberikannya pada Adara tapi wanita itu menolak."Jam segini Jakarta macet. Kamu nggak bisa sampai rumah sakit tepat waktu," ucap Ansel tanpa ada paksaan. Dia masih mengulurkan helm tersebut sampai istrinya menerimanya."Aku bisa naik ojek online," elak Adara."Oke."Mengherankan kalau Ansel tiba-tiba mengiyakan. Dia hanya menunggu Adara melakukan sesuatu. Adara mengambil ponselnya dan memesan ojek online yang paling dekat dengannya. Sekian menit ditunggu, ternyata tidak ada ojek yang berhasil masuk ke perumahannya karena memang jalanan macet. Dia harus menunggu sekitar tiga puluh menit untuk mendapat tumpangan.Ansel menebak bahwa Adara tidak berhasil memesan ojek online. Terlihat jelas dari wajahnya yang manyun. Pria itu mengayunkan helmnya kembali, "Yuk! Mumpung aku belum berubah pikiran. Lagian kalau naik motorku juga sama saja kayak ojek."Adara tida
Adara berniat melempar sesuatu tapi tidak ada benda apapun di sampingnya kecuali vas bunga. Tidak lucu kalau tiba-tiba dia harus membawa Ansel ke rumah sakit karena kecerobohannya.'Nyebelin!! Kenapa pakai sebut tahi lalat? Kenapa juga aku lupa kalau dia sudah melihatnya? Ya Tuhan, apakah ini karma? Nggak mungkin. Ansel yang harusnya kena karma karena sudah mempermainkan aku' batin Adara geram."Jangan coba-coba buat aku berubah pikiran. Meskipun kamu berlagak baik, kenyataan kamu menghamili Emma nggak akan berubah. Kamu tetap bersalah mempermainkan kehamilan pacar kamu dan istri kontrak kamu," tegas Adara.Ansel rasa dia perlu mengatakan yang sebenarnya. "Emma nggak hamil. Aku hanya berbohong sama kamu karena rasa bersalahku. Aku pikir dengan aku kembali padanya, aku bisa membereskan rasa bersalahku. Tapi ternyata aku lebih nggak bisa melihat kamu sendirian. Apalagi disaat aku berbuat kesalahan. Maaf, Adara. Kali ini aku benar-benar akan berusaha menjadi suami sesungguhnya untuk kamu
"Kenapa? Ada apa? Kenapa muka kamu tegang begitu, Dara?" tanya Ansel kebingungan. Setelah menerima telepon, wajah Adara berubah drastis."Kita harus ke rumah sakit sekarang juga," ucap Adara dengan suara bergetar.Mendengar kata rumah sakit, Ansel sudah tahu apa yang menjadi kekhawatiran istrinya. Dia bergegas mengambil kunci mobil, selalu menarik tangan Adara yang tidak bergerak sama sekali. Wanita itu terlihat linglung. Wajar memang. Kalau sudah ada telepon dari rumah sakit, pasti terjadi sesuatu dengan Dianti. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada wanita tua itu.Sepanjang perjalanan, Adara tidak bereaksi sama sekali. Entah apa yang dia pikirkan tapi Ansel berusaha untuk menenangkannya dengan menggenggam jemarinya penuh kelembutan. Sesampainya mereka di rumah sakit, Ansel segera membawa istrinya untuk menemui Dianti di ruangannya. Ternyata Dianti dibawa kembali ke ruang ICU karena kondisi yang memburuk.Lagi-lagi Adara bereaksi datar. Baru setelah melihat papanya berdiri m
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c