Ansel baru saja bangun dari tidurnya ketika Adara berteriak di telepon. Sontak saja dia menjauhkan benda tersebut agar gendang telinganya tidak pecah."Apa?" tanyanya tanpa dosa."KATANYA KAMU DAN EMMA MAU BERTUNANGAN. APA ITU BENAR?""Dara, bisa nggak pakai suara santai saja? Aku nggak budeg.""INI SUDAH SANTAI!"Ansel tidak mungkin bisa menang dari istrinya kalau emosi istrinya masih menggunung. "Oke, oke. Aku yang santai. Aku akan jelaskan jadi kamu dengarkan! Aku nggak akan mengulanginya.""JELASKAN KALAU BEGITU!""Emma hanya mengada-ngada soal pesta pertunangan kita. Aku baru dengar dari Gio kalau dia mengumbar berita itu hanya untuk sensasi belaka. Karena hubungan kami memang sedekat Itu jadi orang-orang pasti percaya. Yang aku heran kenapa kamu masih saja percaya dengan berita hoaks itu sih? Apa kamu nggak percaya padaku, Adara?"Adara diam. Dia mencerna kata-kata Ansel. Sejujurnya dia percaya pada Ansel tapi entah kenapa setelah mendengar ucapan Mimi, dia jadi naik darah. "Aku
Adara termangu.Sepasang sepatu kets yang sulit didapatkan karena Adara hanya menginginkan corak tersebut, terpampang jelas di matanya. Adara mengingat jelas dimana Ben bisa mendapatkannya. Bukan di toko barang-barang branded tapi di sebuah situs jual beli yang harganya lumayan fantastis waktu itu.Ben sendiri tidak mau menggunakan uang Adara, dia ingin membelinya dengan uangnya sendiri sebagai bukti dia bisa mencari uang dari hasil kerja kerasnya.Namun sayang, Adara melupakan sepatu itu karena tertinggal di basecamp Ben. Sekarang setelah dia mengingatnya, dia merasa terpukul. Perjuangan untuk bersama Ben sangat sulit. Kalau dia melepaskan Ben hanya karena Ansel, dia merasa buruk menjadi wanita yang pernah menjadi kekasih Ben."Kamu pesan paket?" tanya Ansel tiba-tiba muncul di belakang Adara."Eh, nggak," jawab Adara gugup. Dia menutup kembali kotak tersebut karena takut ketahuan Ansel. "Nggak pesan apa-apa.""Lalu kotak itu?""Oh, ini? Eh, iya. Ini memang paket tapi bukan aku. Tema
Adara menggenggam erat ujung baju Ben. Dia ketakutan melihat lawan main Ben yang terjatuh lalu terseret hingga beberapa meter. Adara tidak mengira jika dalam jalur lurus mereka bisa saling menabrak.Wanita itu meringkuk gemetar di belakang punggung Ben. Kendaraan mereka berhenti di tepi jalan, menunggu kendaraan lawan berhenti berputar. Setelah lelah mengitari jalan akhirnya motor tersebut menabrak tiang pembatas jalan. Sang pengendara motor sudah terpental entah berapa kilometer. Adara melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau pengendara itu terlempar dan terdengar bunyi brakk cukup keras. "Kita harus pergi!" ucap Ben. Kalimat yang tidak seharusnya dilontarkan oleh mantan pacarnya itu membuat Adara terbengong. "Hei, kok malah melamun sih. Ayo, kita jalan lagi! Pegangan yang erat soalnya aku mau ngebut."Adara menarik ujung baju Ben karena Ben harus bertanggung jawab atas perbuatannya. "Kamu nggak boleh pergi gitu aja, Ben! Seenggaknya bantu dia atau cek kondisinya. Minimal empati
Radit buru-buru menghampiri asisten rumah tangganya dan menanyakan bagaimana keadaan Dianti. Dia baru keluar untuk mencari sesuatu ketika ibu mertuanya pingsan. Pria itu langsung meluncur ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari asisten rumah tangga mereka. Wanita yang telah mengabdi pada keluarga Dianti selama beberapa generasi itu menunduk sedih. "Kata dokter kondisi Nyonya kritis, Pak. Katanya lagi kita harus siap menerima segala kondisi karena suatu saat kondisi nyonya bisa mengalami penurunan. Saya benar-benar takut, Pak. Saya minta maaf karena tidak bisa menjaga Nyonya dengan baik. Kalau saja saya mengusir bapak-bapak polisi itu, mungkin nyonya akan baik-baik saja." Air matanya luruh setelah mengucapkan kalimat panjang itu. Dia tak kuasa menahan tangis karena Biar bagaimanapun Dia sangat ingin Dianti berumur panjang.Radit melipat keningnya, "Bapak-bapak polisi? Untuk apa mereka datang?""Itu," ucap asisten rumah tangga itu dengan sedikit ketakutan. "Coba jelaskan, Mbak. S
"Kamu nggak bisa berbuat begini, Dara? Emangnya aku ini sampah yang bisa kamu daur ulang seenaknya? Tolong jangan hubungkan kematian nenek kamu dengan pernikahan kita. Aku sudah bilang sama kamu kalau aku mau berjuang dari awal sama kamu. Tapi Kenapa kamu berusaha untuk menendangku?" sentak Ansel tidak terima.Adara tidak ingin peduli. Kematian neneknya memang menjadi topik sensitif yang masih belum dia selesaikan. "Jangan usik aku kalau kamu masih mau tinggal di sini. Oh, ya, soal kantor kamu nggak perlu pusing. Aku bisa meng-handle semua urusan. Kamu kan bukan pemilik sesungguhnya.""Nggak bisa! Kalau aku diam di rumah, aku dan kamu akan semakin jauh. Aku tetap ingin bekerja di kantor. Lagipula kamu nggak bisa memecat direktur seenaknya."Adara menertawakan kesombongan Ansel yang baginya hanyalah gertak sambal. "Bilang aja kalau kamu mau harta nenek. Oke kalau kamu memang menginginkannya, aku akan memberikan tiga puluh persen untuk kamu atas semua kerja keras kamu."Ansel tidak tahu
"Tante jangan bicara sembarangan. Aku nggak pernah melakukan perjanjian apapun sama nenek apalagi sampai harus meminta warisan sebanyak itu. Kalaupun nenek melimpahkan banyak aset sama aku, itu berarti nenek percaya sama aku, Tante, bukan sama Mimi. Lagipula yang selama ini membantu nenek adalah aku bukannya Mimi. Bukan begitu, Mi?" tanya Adara pada Mimi yang sedari tadi hanya menunggu untuk bicara. Mimi mengakuinya. Dia juga tidak masalah berapapun yang akan dia dapatkan. "Ma, sudahlah. Aku nggak apa-apa. Jangan meributkan hal sepele begini. Kasihan nenek kalau nanti kita meributkan warisan. Lagian kak Dara benar kalau aku nggak pernah berjuang untuk mengembangkan usaha minimarket nenek. Aku cukup senang dengan apartemen yang aku dapatkan." Pikiran Mimi terlalu terbuka dan santai. Hal itulah yang membuat Marina kesal. "Kamu ini bukannya membela mama. Pokoknya mama nggak suka kamu direndahkan begini. Sama-sama cucu harusnya dapat bagian yang sama," ucap Marina pantang menyerah."Ma
"Siapa yang mau pulang sama kamu? Ngayal," tukas Adara sengit. Dia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas agar bisa menyingkir dari sana. Belum juga Adara melarikan diri, Ansel sudah memegang tangannya agar dia tidak kabur. "Aku ke sini tadi naik taksi jadi aku perlu tumpangan ke rumah. Kalau kamu menolak Kamu sungguh keterlaluan. Kita kan satu rumah meskipun hubungan kita nggak terlalu baik tapi kamu harus tetap baik sama teman satu rumah kamu," pinta Ansel."Kamu bisa pulang lagi pakai taksi. Beres kan?""Malam-malam gini susah kalau cari taksi, Dara. Please, beri aku tumpangan kali ini saja. Aku sedang dalam kondisi yang gak terlalu fit. Kalau aku jatuh di jalan gimana?"Adara tidak mau repot-repot menilik muka Ansel karena dia yakin pria itu pasti berbohong. "Kalau kamu bisa jalan sampai sini itu tandanya kamu baik-baik saja. Pergilah! Jangan ikuti aku!"Ansel tetap mempertahankan genggaman tangannya pada lengan Adara. "Please! Hari ini aku benar-benar memohon sama kamu."Adar
"Gimana, Dok, keadaan suami saya?" tanya Adara pada pria yang mengenakan pakaian bebas karena jam kerjanya di rumah sakit sudah selesai."Hanya kelelahan dan banyak pikiran, Bu. Saya sudah meresepkan vitamin agar kondisinya semakin membaik. Nanti kalau infusnya sudah habis, bisa langsung dilepas. Atau kalau nanti Ibu kesulitan, bisa panggil saya lagi.""Baik, Dok. Terima kasih sudah mau datang malam-malam begini. Mari saya antar ke depan," ucap Adara sungkan. Dia berjalan mendahului sang dokter lalu mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih ketika mereka sudah sampai di pagar depan. Wanita itu kembali masuk untuk memeriksa keadaan Ansel. Namun langkahnya terhenti ketika di depan pintu kamar suaminya. Mungkin dia perlu membuat sesuatu. "Bubur?"Adara mengira membuat bubur semudah merebus air. Dia menuang beras ke dalam air mendidih yang ukurannya hampir sepanci penuh. Dia merebusnya hingga setengah matang lalu menambahkan potongan daun bawang dan garam dua sendok makan. "Apa segi
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c