Tidak mungkin!"Aku nggak akan terpengaruh," ucap Adara santai. "Gimana caranya biar kamu bisa terpengaruh?" tanya Ansel ingin tahu.Adara berdiri tegak sembari menatap mata suaminya. "Aku belum tahu dan belum ingin memutuskan. Kita jalani saja semuanya seperti sebelumnya."Ansel mengembuskan napas pelan. "Baiklah. Kabari aku kalau kamu sudah memutuskan.""Sebelum itu, kamu harus mengatasi Emma. Dia datang dan mengatakan pada Mama Felicia kalau hubungan kita hanya kontrak."Mata Ansel membulat penuh, "Lalu mama percaya?""Tentu tidak. Aku bisa meyakinkannya."Lagi-lagi Ansel menghembuskan napas ringan. "Makanya kita harus buat pernikahan kita seperti sungguhan. Kamu terlalu jahat padaku makanya mama agak curiga sama kita.""Bukannya kamu duluan yang membuatku mirip orang gila?""Maksudnya?""Lupa kalau kamu meninggalkanku di malam pertama pernikahan kita? Ya, aku tahu kita hanya menikah kontrak tapi seenggaknya kamu menghindari masalah dong. Aku yang cari alasan kamu yang senang-sen
"Maaf aku nggak sengaja, Sayang," bisik Ben tepat di telinga Adara. Pria itu meminta maaf entah terus dari hatinya atau karena melihat air muka kekasihnya yang berubah ketakutan. "Kamu jahat. Aku nggak pernah bisa memahami apa yang kamu pikirkan. Sebaiknya kita putus saja, Ben. Aku rasa nenek benar kalau kita emang nggak berjodoh. Tolong tinggalkan aku sekarang!" Isak Adara. Dia menarik ujung-ujung bajunya yang terbelah menjadi dua karena ulah Ben. Ben berusaha memeluk Adara, namun ditepis kasar oleh si pemilik tubuh gemetar itu. "Aku minta maaf. Mungkin karena efek nggak bertemu kamu beberapa hari ini, aku jadi nggak punya etika begini. Please, Adara! Aku nggak akan mengulangi perbuatanku lagi Tapi tolong jangan putuskan hubungan kita. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."Adara melengos, "Pergilah! Kita udah putus.""ADARA!" teriak Ben kesal. Padahal dia sudah berusaha untuk mengatur emosinya agar tidak menghancurkan hati Adara. "JANGAN KIRA AKU NGGAK TAHU KALAU KAMU HANYA MENGGUNAKAN
"Kamu bilang apa tadi?" tanya Ansel penasaran karena dia tidak terlalu mendengar ucapan Adara.Adara mengangkat bahu, bersikap misterius. "Nggak ada siaran ulang. Salah sendiri nggak dengar. Aku mau ke kamar dulu.""Nanti kita makan malam bareng kan?""Iya. Mau makan apa? Eh, pesan aja ya. Mumpung mama udah pulang. Kalau mama di sini, bisa-bisa mama lelah," tukas Adara."Oke. Aku yang pesan kalau begitu."Adara hanya mengangguk lalu pergi. Dia berhenti di depan pintu kamar Ansel. Dia masih tidak percaya apa dia sungguh mengatakannya? Demi kita? Maksudnya demi hubungan mereka?"Mungkin aku hanya terbawa suasana," gumam Adara seorang diri.°°°"Mbak, saya pulang dulu ya. Besok pagi saya datang lagi," ucap asisten rumah tangga yang Adara pekerjakan selama Ansel sakit. Wanita yang seusia Felicia itu berpamitan sebelum pulang. "Iya, Mbak. Makasih ya. Oh, ya, tadi saya belikan mbak makan malam untuk dibawa pulang. Anak-anak pasti suka. Ada di meja dapur, Mbak. Bawa semua saja."Senyum meng
Sesuatu yang menggebu yang terpendam beberapa bulan ini, akhirnya berhasil keluar dari sarangnya dengan penuh percaya diri. Suara yang tidak asing terdengar dari ruangan yang menjadi tempat persembunyian Adara. Pelukan Ansel begitu mendesak, memaksa agar istrinya tetap berada di sana. Wanita itu kesulitan bernapas karena Ansel memburunya dari dua arah. Satu arah dari atas, tepat di permukaan bibir yang sedang berusaha untuk masuk. Sementara yang lain, jari-jari itu sedang mencari jalannya sendiri.Mereka berbaring. Adara bersiaga di bawah Ansel. Wanita itu terpekik ketika Ansel menggigit bibir bawahnya."Lucunya," gumam Ansel sembari melihat muka merah istrinya. Adara semakin malu. Apa yang harus dia lakukan? Menurut film yang dia tonton, wanita juga harus mengambil perannya. Dengan cara bagaimana? Adara berpikir, keningnya mengerut. Ansel menghentikan gerakannya, lalu bertanya, "Kenapa?""Eng-nggak.""Bingung?"Adara mengangguk pelan, "Sedikit.""Ikuti saja aku," ucap Ansel denga
Ansel tertawa hampir terbahak-bahak karena mendengar ucapan Emma. "Kamu kira aku bisa dibohongi? Coba jelaskan kapan terakhir kali kita bertemu, oh, atau begini saja jelaskan apa kita pernah melakukannya? Seingatku aku nggak pernah menyentuh kamu kecuali di area bibir. Kamu yakin bisa hamil kalau hanya berciuman?"Emma tidak terkejut kalau Ansel berkata begitu. Pasalnya dia juga tidak yakin Ansel bisa percaya padanya. "Satu bulan yang lalu, di perumahanku. Aku sudah banyak mendengar Kalau pria seringkali mengingkari ucapannya kalau sudah mendapatkan apa yang dia mau. Kamu pasti termasuk ke dalam salah satu pria itu."Ansel melirik beberapa orang yang sedang menguping pembicaraannya. Dia berusaha bersikap wajar karena dia yakin tidak bersalah. "Oh ya? Jangan-jangan kamu yang salah mengingat karena aku kita sudah lama nggak bertemu. Sudahlah, Emma. Bukannya kamu akan malu sendiri Kalau sudah salah menuduhku? Lebih baik kita bicarakan ini secara diam-diam daripada kamu malu. Ikutlah deng
"Saya butuh tanda tangan Pak Ansel. Beliau ada dimana ya, Bu Dara?" tanya Yusuf. Pria itu baru keluar dari ruangan Ansel karena orang yang ingin dia temui tidak ada di ruangannya. Adara menggeleng lesu, "Kalau saya tahu dia dimana, saya nggak akan bingung, Pak.""Beliau pulang tanpa pamit?"Lagi-lagi Adara menggeleng, "Mungkin, Pak.""Apa mungkin sakit di punggung Pak Ansel kambuh, Bu?" tanya Yusuf penasaran.Adara mendongak, matanya membulat, "Bapak benar. Mungkin saja punggungnya sakit tapi dia nggak mau bilang sama saya. Kalau begitu, saya harus pulang dulu untuk memastikan. Kalau ada apa-apa, bisa tolong tinggalkan pesan saja, Pak? Nanti kalau nenek tanya, saya yang akan menjelaskan sendiri."Yusuf mengangguk. Adara buru-buru membawa tasnya setelah pamit pada Yusuf. Sejujurnya dia ingin meyakinkan dirinya kalau Ansel benar-benar pergi ke rumah sakit tapi desas-desus mengenai suaminya tidak semudah itu diacuhkan."Semoga kali ini kamu nggak mengingkari janji kamu," tukas Adara mu
Sebuah iklan tentang liburan di tempat yang memuakkan bagi Adara yaitu Cappadocia, membuat wanita itu merengut sengit. Ansel berjanji padanya akan mengajaknya honeymoon ke tempat itu namun janji itu terdengar palsu.Brengsek! Jika Adara mengingat ucapan Ansel tentang pemutusan hubungan sepihak mereka, Adara ingin memakinya berulangkali. Apalagi setelah melihat muka tanpa dosanya yang datang ke kantor, seenaknya menyapanya dengan muka datar, Adara semakin ingin menendang kakinya. Cinta apanya? Bulshit! Adara benci pada kata itu. Ansel benar-benar sudah mematahkan hatinya."Untuk laporan hari ini, aku sudah melihatnya," ucap Ansel. Entah sejak kapan dia ada di depan meja Adara karena wanita itu tersentak melihatnya datang. "Iya, Pak. Sudah saya periksa juga dan saya serahkan pada manager keuangan. Untuk masalah kebakaran kemarin, kerugian sepenuhnya akan ditanggung oleh kantor berikut ganti rugi pada korban.""Em, aku mengerti." Ansel kurang suka dengan panggilan Adara padanya. "Kamu
Adara gemetar ketika merasakan sentuhan yang tidak biasa pada dirinya. Ansel menghapus segala jejak hujan yang ada di tubuhnya dengan cara yang tidak biasa. Wanita itu bahkan tidak menyadari jika bibirnya tidak henti-hentinya mendesis."Boleh kubuka?" Tanya Ansel pelan. Dia menatap nanar pada Adara. Sudah setengah jalan, tinggal melepaskan pakaian mereka lalu semuanya akan terjadi."Kamu masih bertanya? Kalau aku bilang nggak boleh, emang kamu mau menyingkir?" canda Adara. Dia menyeringai kecil."Tentu saja ... nggak."Adara menyunggingkan senyum tipis lalu menunduk malu ketika Ansel membuang pakaiannya. Untuk pertama kalinya dia malu memperlihatkan apa yang dia miliki. "Mau kumatikan lampunya?" tanya Ansel dengan suara parau. Tatapan matanya tertuju pada sesuatu di balik underwear. "Nggak perlu.""Bukannya kamu malu?" goda Ansel."Malu, iya. Tapi mau gimana lagi?"Ansel mulai menyukai sikap Adara. Dia membawa istrinya untuk bangkit, sementara dia membubuhkan ciuman penuh hasrat di
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c