Bugh! Bugh! Bugh!Ansel tidak bisa menahan diri ketika melihat Ben yang seenak jidatnya menemani Dianti setelah apa yang dia lakukan. Siapa yang peduli jika mereka sedang ada di rumah sakit? Ansel tidak peduli lagi. Dia paling benci dengan pria yang main belakang."Merasa paling hebat? Hah?" tantang Ansel. Ben tidak terima. Dia balas pukul. Padahal mereka sedang berada di dalam ruangan Dianti, tapi mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan wanita tua itu ketika bangun nanti.Adara yang baru saja masuk ke dalam ruangan VVIP tersebut, berteriak histeris melihat dua pria itu saling berkelahi. Dia melerai baku hantam yang menimbulkan suara berisik memekakkan telinga itu."Kalian apa-apaan?" desis Andara sembari melihat kondisi neneknya. Ben menunjuk Ansel, "Dia yang mulai duluan." Dia sangat yakin kalau Adara akan membelanya. Ansel tidak mengelak. Dia mengakuinya. "Dia yang mulai membuat situasi menjadi rumit. Harusnya kamu bicara sama dia. Kalau perlu kamu stempel mulutnya supaya ngg
"Terserah saja. Dosa tanggung sendiri," ucap Adara santai. Dia berjalan mendahului Ansel, melenggang dengan lincahnya. Heelsnya beradu dengan anak tangga, membuat berisik seisi rumah. "Nggak ada kata dosa kalau suami istri," seloroh Ansel. Dia menggapai lengan istrinya, "bisa kamu ganti pakaian kamu?""Pilih, aku ganti baju tapi nggak ikut, atau aku pakai ini tapi aku ikut. Semua pilihan tergantung kamu," ucap Adara santai. Dia tidak sedang main-main dengan ucapannya. Lagi pula dia tidak takut dengan para pria yang berusaha menggodanya karena Ansel akan bersedia mengorbankan dirinya untuk menjaganya. Ansel masuk dalam kategori suami siaga kalau Adara boleh jujur.Ansel tidak punya pilihan selain mengiyakan salah satu permintaan Adara. "Terserahlah. Aku pergi untuk bersenang-senang. Kenapa aku harus repot memikirkan apa yang kamu pakai? Yuk, berangkat!"Adara tersenyum simpul. Dia selalu menang melawan pendapat suaminya. Wanita itu berjalan mengekori Ansel. Dia pikir Ansel akan mengg
Cup!Lagi?Adara sudah cukup pasrah ketika Ansel berusaha menerkam bibirnya dan menelan bulat-bulat wajahnya. Pria itu seolah sedang berusaha mencari sesuatu. Apa dia tidak tahu kalau sekarang mereka berada di lingkaran para wanita yang sedang berjoget ria?"Ansel, stop!" tukas Adara sembari menahan lengan Ansel. Muka merah Ansel terlihat samar di antara kilap lampu disko. Adara bisa menangkap raut geli di wajahnya. Apa pria itu menertawakan kebodohannya?"Terimakasih," ucap Ansel sembari menggaruk kepalanya."Kamu harus ganti rugi," tukas Adara singkat. Dia tiba-tiba ikut tersenyum. Anehnya dia tidak marah pada perlakuan Ansel."Baik. Apa yang kamu inginkan?""Traktir aku minuman paling mahal di sini.""Boleh. Kecuali alkohol. Aku nggak mau bawa kamu di pangkuanku nanti. Merepotkan!""Ish, siapa yang mau mabuk? Mengkhayal saja. Banyak minuman yang masih wajar di sini," tukas Adara sok tahu. Padahal yang dia tahu hanyalah minuman beralkohol. "Dari pada minuman, gimana kalau kita mak
Ansel menyingkirkan motor yang menimpa Adara. Dia membiarkan kendaraan roda dua tersebut terguling ke sisi kiri, setelah sebelumnya menabrak bagian belakang mobil. Padahal Ansel sudah memperkirakan jarak untuk menyalip, tapi mobil tersebut malah melambatkan kendaraannya."Mana yang sakit?" tanyanya cemas.Adara memegangi kakinya, "Sakit, Sel. Ya Tuhan, sakit banget.""Sebentar!"Ansel bangkit, dengan marah dia menuntut pengemudi mobil yang seenaknya melakukan tindakan bodoh itu. Dia menggebrak jendela sampai si pengemudi keluar. Sayangnya ketika kaca jendela diturunkan, orang yang seharusnya tidak dia lihat justru ada di sana.Seketika Ansel terdiam."Apa?" tanya Emma dengan nada bicara tajam. Dia menahan kekecewaannya karena sang kekasih malah berduaan dengan istri kontraknya. Padahal ketika dia menanyakan dimana Ansel pria itu mengaku sedang berada di ruang. "Sejak kapan jalan jadi rumah? Hah?""Aku bisa jelaskan tapi sebelumnya aku nggak suka dengan sikap kamu. Kamu membahayakan ny
Kalian berpikir kalau Ansel dan Adara akan bermalam dengan sangat panas? Tidak. Mereka benar-benar tidur. Ansel langsung pulas begitu memeluk Adara, begitu dengan Adara yang tiba-tiba mengantuk. Wanita itu bahkan baru bangun ketika matahari sudah tinggi. "Sarapan dulu," ucap Ansel sembari membawakan satu nampan berisi nasi goreng ala Ansel dan susu hangat. "Aku mau berangkat ke kantor. Kamu bisa kan di rumah sendirian? Atau nanti keperluan kamu aku siapkan di kamar ini, jadi kamu nggak perlu turun. Kalau mau mandi sore saja kalau aku sudah di rumah.""Emangnya aku lumpuh? Aku bisa jalan pake Kruk. Lagian ke kamar mandi juga hanya sejengkal ngapain nunggu kamu?" sungut Adara. Dia mengusap matanya yang berair, "pergilah! Kalau nenek tanya bilang saja sakit.""Oke. Kamu yang bilang ya kalau aku nggak perlu merepotkan diri. Aku mau mandi dulu," ucap Ansel. Dia menaruh nampan di nakas samping tempat tidur.Adara belum sepenuhnya sadar. Dia menimbang apakah dia perlu mencuci wajahnya sebel
Bangunan itu runtuh, lebih tepatnya atap minimarket yang sudah setengah ambruk kini sudah bertebaran di lantai. Ansel ada di antara reruntuhan tersebut, jeritannya terdengar pelan namun si pemadam kebakaran yang meminjamkan jaketnya untuk Ansel, mendengarnya. Seketika pria itu berlari menyongsong Ansel, "HEI, TOLONG!" Lalu beberapa orang yang masih berada di lokasi segera menghampirinya untuk membantu.Ansel masih sadarkan diri ketika proses penyelamatan tersebut namun ketika dia diangkut ke mobil ambulans, pria itu pingsan. Setelah beberapa saat insiden tersebut terjadi, Yusuf muncul dan mencari Ansel.Pemadam kebakaran yang menolong Ansel, memberitahunya bahwa Ansel dibawa ke rumah sakit terdekat. Yusuf sangat terkejut. Dia tidak menyangka insiden buruk akan terjadi pada sang direktur. Dengan berat hati dia menghubungi Dianti, meminta maaf karena tidak berusaha menghentikan Ansel. "Saya tidak menyalahkan Pak Yusuf karena Pak Yusuf juga tidak ada di sana kan. Tolong Pak Yusuf tema
"Jawab Pak Yusuf! Ansel kenapa? Kenapa bisa masuk rumah sakit? Kenapa juga Pak Yusuf nggak bicara sama saya? Saya kan sudah bilang kalau ada apa-apa hubungi saya. Ada apa dengan kalian semua?" sentak Adara geram. Dia tidak peduli lagi siapa Yusuf dan berapa jarak usia di antara mereka. Dia kesal karena semua orang seolah menutupi sesuatu darinya. Yusuf gelagapan. Dia menyesal karena tidak menyapa si penerima telepon lebih dulu sebelum bicara. "Maaf, Bu Dara. Pak Ansel tertimpa reruntuhan dan sekarang berada di rumah sakit. Pihak rumah sakit menyarankan untuk memindahkan beliau ke rumah sakit Jakarta karena peralatan di sana lebih lengkap. Saya baru mau memberitahukan pada Ibu Dianti mengenai kabar ini."Adara menoleh ketika sang nenek muncul di ambang pintu mobil. Wanita tua itu menyadari ada yang tidak beres karena tatapan Adara berubah geram."Saya yang akan bicara sama nenek, Pak. Tapi sebelumnya saya kecewa dengan bapak dan juga nenek," ucap Adara sembari menatap neneknya. Panggi
"Siapa yang kamu bilang tadi?" tanya Emma beberapa jam sebelum dia menjenguk kekasihnya di rumah sakit. Seorang temannya yang bekerja di rumah sakit terbesar di Jakarta itu memberitahukan bahwa Ansel dirawat di sana dengan kondisi yang mengkhawatirkan.Emma yang sedang sibuk melakukan pemotretan, menyingkir di sisi sepi yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. Dia sempat memberikan senyuman permintaan maaf pada sang fotografer. "Coba ulangi lagi, kayaknya aku agak kurang dengar.""Ansel. Pacar kamu, Em. Kamu nggak tahu?"Ansel di rumah sakit? Emma tidak mungkin tahu apa yang terjadi pada kekasihnya karena mereka kehilangan kontak beberapa hari ini. Wanita itu tentu saja tidak mau ketahuan diacuhkan oleh Ansel di depan temannya. Gengsi dong!Emma berbohong, "Aku tahu dia pergi ke luar kota semalam tapi aku nggak tahu kabarnya. Dia kesulitan dihubungi pagi ini. Syukurlah kamu menghubungiku. Kalau nggak bisa-bisa aku bingung setengah mati.""Jangan lupa traktir kalau begitu. Oh ya, sia
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c