Ansel kebingungan menjawab pertanyaan Adara karena dari jarak dekat Emma sedang melirik mereka. Wanita itu tidak suka kedekatan antara mereka. "Bukan aku," ucap Ansel singkat. Dia berjalan ke arah Emma memeluk lengan kekasihnya yang baru saja kembali dari Bali."Kamu kelihatannya nggak senang melihatku," ucap Emma dengan muka ditekuk. Sejujurnya Ansel memang tidak suka melihat Emma. Kedatangan Emma yang tiba-tiba di kantor membuatnya cemas. Bagaimana kalau dua wanita itu saling bersitegang? Ansel tidak mungkin membatalkan janjinya pada Adara sementara dia tidak bisa mengusir Emma. Jadilah mereka bertiga harus berjalan bersama layaknya saudara tiri. "Senang. Hanya saja aku kesal kalau kamu nggak memberiku kabar. Seenggaknya aku bisa menjemput kamu," alibi Ansel."Masa? Kupikir kamu senang kalau aku nggak pulang," sungut Emma. "Kamu kenapa sih sensitif melulu?" Ansel memeluk pinggang kekasihnya sebelum akhirnya masuk ke dalam gedung bioskop. Ketika melihat Adara hanya diam, Ansel
Ansel menutup matanya namun setengah membuka karena rasa penasarannya. Apa yang sedang dilakukan Adara? Tanpa sadar membuka bajunya? Ansel pernah mendengar orang yang melakukan sesuatu yang aneh saat itu tapi baru kali ini melihatnya secara langsung."Eh, stop!" pekik Ansel sembari melempar selimut ke arah Adara. Wanita itu hampir saja melepas semuanya. Catat! Semuanya! Ansel harus memeluk istrinya sebelum semuanya terlambat. Selimut tersebut dililit begitu kuat agar Adara terdesak. "SADAR, ADARA! WOY! SADAR! KAMU SUDAH GILA?"Perlahan kelopak mata wanita itu membuka. Dengan linglung dia menatap Ansel. "Ngapain peluk-peluk?""Pegang kuat-kuat kalau kamu mau aku menyingkir!"Ansel mengisyaratkan Adara untuk memegangi selimutnya sebelum akhirnya dia bangkit. Masih dengan linglung, Adara melakukan apa yang diminta Ansel. Dia baru menyadari kalau ada yang salah dengan dirinya ketika melihat pakaiannya yang berserakan di lantai bawah."Kamu melakukan apa sampai bajuku terbuang?"Ansel meno
Adara mundur teratur, dia berjalan pelan ke lantai bawah. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara namun langkahnya tiba-tiba dipercepat. Dia ingin segera pergi dari sana, sejauh mungkin. Apakah dia malu? Tentu saja. Dia terang-terangan pulang ke rumah hanya untuk melihat apakah Ansel baik-baik saja, namun yang dilihat justru dua bibir yang saling menyatu. Apa-apaan itu?"Kenapa teleponnya harus mati? Oh, mereka nggak mau diganggu ya?" sengit Adara. Dia sudah sampai di depan pintu rumahnya ketika terdengar suara Ansel memanggil. Masa bodoh. Adara tidak akan tertipu. Dia semakin mempercepat langkahnya, menghindari pria menyebalkan itu.Ansel berhasil menyusul tapi Adara sudah masuk ke dalam mobilnya.Dugh! Dugh! Dugh!"Buka!" pinta Ansel. Kepalan tangannya menggedor jendela mobil wanita itu. Adara sekilas melirik tapi tidak berniat membukanya. Dia malah menekan gas dan pergi dari sana, tidak peduli Ansel terseret mobilnya. Dia sempat melirik ke arah spion tengah tapi tidak melakuka
Siapa yang bisa mengartikan arti kecupan yang entah berasal dari hati atau hanya sekedar gairah belaka itu? Adara sendiri tidak bisa berpikir jernih kecuali Ansel bisa menjelaskan. Sekian detik ditunggu, pria itu justru semakin ingin memperpanjang kegiatannya.Tangannya mulai menelusup ke dalam tank top Adara, mencari sesuatu yang entah apa. "Ansel," cegah Adara dengan suara seraknya. Kecupan Ansel beralih pada belakang telinganya, mendesak untuk menjelajahi. "Stop! Ini bukan perjanjian yang sudah kita sepakati.""Tenanglah! Aku hanya ingin membuat kamu nyaman," bisik Ansel. Dia menemukan sesuatu, aliran darahnya terasa aneh. Ditambah desahan napas Adara yang mulai berat. Keduanya berpacu dalam indahnya hubungan tanpa status."Stop!" desis Adara. Dia melempar tangan Ansel yang sudah beralih fungsi menjadi pemompa. Dari mana pria itu belajar? Apa dia dan Emma sering melakukannya? "Carilah Emma kalau kamu ingin pelampiasan. Kenapa kamu bisa ada di sini?""Aku dan Emma nggak pernah seja
Adara dan Ansel duduk berdampingan menghadap ke arah Dianti yang sedang mengeluarkan emosinya. Siapa sangka jika seusia cucunya, sikapnya masih seperti kanak-kanak. Bisa-bisanya mereka bertengkar dengan alasan yang tidak jelas."Mau sampai kapan sih, Nek, kita disidang begini?" tanya Adara dengan mulut meruncing. Dianti berdehem kesal, "Sampai kalian bisa berfikir jernih terutama kamu, Dara. Kenapa kamu harus menendang junior milik suami kamu sendiri? Kamu mau tanggung jawab kalau dia nggak bisa menghamili kamu?"Ansel masih bisa meringis mendengar sang istri dimarahi. Dia memang mengadu pada Dianti tadi karena sakitnya luar biasa. Berhubung Dianti selalu membelanya, Adara yang kena getahnya. Adara melirik Ansel. Setengah mati dia melemparkan tatapan mengancam. Akal bulus Ansel mudah sekali ditebak. Dia sangat yakin pria itu melebih-lebihkan apa yang dia lakukan. 'Sesakit apa sih sampai dia segitunya? Padahal dia juga yang bikin masalah. Kenapa aku yang harus kena getahnya?' batin
Bugh! Bugh! Bugh!Ansel tidak bisa menahan diri ketika melihat Ben yang seenak jidatnya menemani Dianti setelah apa yang dia lakukan. Siapa yang peduli jika mereka sedang ada di rumah sakit? Ansel tidak peduli lagi. Dia paling benci dengan pria yang main belakang."Merasa paling hebat? Hah?" tantang Ansel. Ben tidak terima. Dia balas pukul. Padahal mereka sedang berada di dalam ruangan Dianti, tapi mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan wanita tua itu ketika bangun nanti.Adara yang baru saja masuk ke dalam ruangan VVIP tersebut, berteriak histeris melihat dua pria itu saling berkelahi. Dia melerai baku hantam yang menimbulkan suara berisik memekakkan telinga itu."Kalian apa-apaan?" desis Andara sembari melihat kondisi neneknya. Ben menunjuk Ansel, "Dia yang mulai duluan." Dia sangat yakin kalau Adara akan membelanya. Ansel tidak mengelak. Dia mengakuinya. "Dia yang mulai membuat situasi menjadi rumit. Harusnya kamu bicara sama dia. Kalau perlu kamu stempel mulutnya supaya ngg
"Terserah saja. Dosa tanggung sendiri," ucap Adara santai. Dia berjalan mendahului Ansel, melenggang dengan lincahnya. Heelsnya beradu dengan anak tangga, membuat berisik seisi rumah. "Nggak ada kata dosa kalau suami istri," seloroh Ansel. Dia menggapai lengan istrinya, "bisa kamu ganti pakaian kamu?""Pilih, aku ganti baju tapi nggak ikut, atau aku pakai ini tapi aku ikut. Semua pilihan tergantung kamu," ucap Adara santai. Dia tidak sedang main-main dengan ucapannya. Lagi pula dia tidak takut dengan para pria yang berusaha menggodanya karena Ansel akan bersedia mengorbankan dirinya untuk menjaganya. Ansel masuk dalam kategori suami siaga kalau Adara boleh jujur.Ansel tidak punya pilihan selain mengiyakan salah satu permintaan Adara. "Terserahlah. Aku pergi untuk bersenang-senang. Kenapa aku harus repot memikirkan apa yang kamu pakai? Yuk, berangkat!"Adara tersenyum simpul. Dia selalu menang melawan pendapat suaminya. Wanita itu berjalan mengekori Ansel. Dia pikir Ansel akan mengg
Cup!Lagi?Adara sudah cukup pasrah ketika Ansel berusaha menerkam bibirnya dan menelan bulat-bulat wajahnya. Pria itu seolah sedang berusaha mencari sesuatu. Apa dia tidak tahu kalau sekarang mereka berada di lingkaran para wanita yang sedang berjoget ria?"Ansel, stop!" tukas Adara sembari menahan lengan Ansel. Muka merah Ansel terlihat samar di antara kilap lampu disko. Adara bisa menangkap raut geli di wajahnya. Apa pria itu menertawakan kebodohannya?"Terimakasih," ucap Ansel sembari menggaruk kepalanya."Kamu harus ganti rugi," tukas Adara singkat. Dia tiba-tiba ikut tersenyum. Anehnya dia tidak marah pada perlakuan Ansel."Baik. Apa yang kamu inginkan?""Traktir aku minuman paling mahal di sini.""Boleh. Kecuali alkohol. Aku nggak mau bawa kamu di pangkuanku nanti. Merepotkan!""Ish, siapa yang mau mabuk? Mengkhayal saja. Banyak minuman yang masih wajar di sini," tukas Adara sok tahu. Padahal yang dia tahu hanyalah minuman beralkohol. "Dari pada minuman, gimana kalau kita mak
"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c