“Tyo, keluar!”Bumi langsung memasuki ruang kerja Banyu, karena tidak melihat asisten pria itu ada di mejanya. Di dalam ruangan, Bumi mendapati asisten Banyu tengah berbincang dengan pria itu. Untuk itulah, Bumi segera meminta Tyo keluar agar ia bisa bicara empat mata dengan Banyu.Tyo memandang Banyu terlebih dahulu, untuk meminta persetujuan. Setelah Banyu mengangguk, barulah Tyo keluar dari ruangan dan menutup rapat pintunya.“Ada perlu apa?” Firasat Banyu mengatakan, kedatangan Bumi ke kantornya berhubungan dengan Damay. Atau, dengan kata lain Bumi telah bertemu dengan Damay sebelum pria itu datang ke kantornya.Bumi menarik kursi yang berseberangan dengan Banyu, lalu duduk di sana. “Aku nggak mau ribut, Mas. Aku cuma mau tanya baik-baik. Kamu sama Damay, sudah ngapain aja?”Banyu menutup laptopnya perlahan. Bersandar santai pada punggung kursi hitam kebesarannya. Ia tidak ingin gegabah, dan harus mengetahui asal muasal pertanyaan tersebut lebih dulu.“Maksudmu?” Satu alis Banyu
Damay segera bangkit dari tidurnya, ketika mendengar suara ketukan di pintu. Sejurus kemudian, pintu kamar yang ditempatinya terbuka dan terlihat Airin masuk sembari membawa satu buah paper bag. Wanita paruh baya itu lalu duduk di tepi ranjang, dan meletakkan paper bag cokelat itu di samping Damay. “Barusan ada kurir yang ngantar, buat kamu.” “Makasih, Bu.” Meskipun sedikit bingung, tapi Damay segera meraih paper bag tersebut dan melihat isinya. Untuk lebih memastikan, Damay akhirnya mengeluarkan isinya satu per satu. “Baju … saya.” “Dari Banyu,” ujar Airin menjawab kebingungan Damay. Damay menelan ludah. Meletakkan kembali semua baju yang baru saja ia keluarkan ke paper bag. Itu berarti, Banyu sudah tahu jika Damay berada di rumah Bumi. “Maaf, kalau saya sudah merepotkan,” Damay tertunduk meratapi nasib dan masih belum bisa berpikir dengan jernih. “Saya, minta izin nginap di sini semalam aja, Bu, untuk istirahat. Saya janji bakal pergi dari sini besok pagi.” Damay tahu benar Ai
Langkah Banyu berhenti, ketika memasuki ruang tengah keluarga Wiratama. Dari dulu, Adam tidak pernah meminta Banyu untuk pulang ke rumah secara mendadak seperti ini. Untuk itu, Banyu melajukan mobilnya dengan semaksimal mungkin untuk menembus kemacetan ibukota. Yang membuat Banyu semakin bingung, Adam tidak menjelaskan mengapa ia harus pulang saat itu juga. Karena itulah Banyu khawatir, jika telah terjadi sesuatu dengan sang mama. Namun, yang menambah keterkejutan Banyu adalah, sudah ada Airin yang duduk pada salah satu sofa di ruang tengah. Ibunda dari Bumi itu, menatap Banyu dengan tegas dan tajam. Airin pasti sudah menceritakan masalah Damay kepada Adam. “Duduk!” titah Adam pada Banyu yang masih berdiri terpaku menatap ketiga orang yang berada di ruang tengah. Banyu beranjak, lalu duduk berseberangan dengan Airin. Menunggu, dan tidak ingin gegabah dalam berucap ataupun bertindak. Ia ingin tahu terlebih dahulu, apa saja yang telah dikatakan Airin kepada Adam. “Damay selama ini t
Menuntut keadilan? Damay semakin dibuat pusing saja dengan ulah Airin. Memangnya, apa yang mau dituntut dari pria seperti Banyu. Juga, keadilan seperti apa, yang bisa diberikan oleh keluarga Bumi sampai-sampai Damay harus bertahan dan tidak boleh kembali pulang ke Kalimantan. Tidak kehabisan akal, Damay pun pergi diam-diam dari rumah Bumi setelah mengganti pakaiannya. Ternyata, berada di rumah pria itu hanya semakin membuat rumit masalahnya. Damay berjalan keluar kompleks yang lumayan jauh, lalu mampir sebentar pada sebuah minimarket yang berada di samping komplek. Dengan wajah memelas, Damay menghampiri meja kasir dan berbicara pada salah satu pegawai yang berada di sana. “Maaf, Mbak. Bisa minta tolong nggak?” ujar Damay menarik napas sejenak karena kelelahan. “Barusan tas saya dijambret, terus hape saya juga ada di dalam tas.” Wanita yang berada tepat di depan Damay menatap iba, sekaligus curiga. Banyaknya modus penipuan saat ini, membuat mereka semua yang ada toko haruslah was
“Kak!” Tangan Damay terulur cepat, mencengkram tangan kiri Bumi yang masih berada di balik kemudi. “Itu, mobilnya pak Banyu!”“Halu—” Tadinya, Bumi menganggap Damay tengah berhalusinasi. Namun, saat ia melihat Banyu berjalan keluar melewati pagar rumahnya, seketika itu juga Bumi langsung menginjak pedal remnya.Akan tetapi, jika dipikirkan lagi, kenapa juga Bumi harus berhenti dan menghindari Banyu seperti sekarang. Jarak mereka tinggal 10 meter lagi dan Bumi kembali menjalankan mobilnya seperti semula.“Kak—”“Diam, lo!”Sudah saatnya mereka bertemu dan membicarakan semuanya. Bumi langsung membunyikan klaksonnya saat Banyu baru saja membuka pintu mobil. Pria itu menoleh, dan menatap kedua orang yang berada di dalam sana.Banyu langsung menutup pintu. Berdiam di tempat untuk menunggu Bumi memarkir mobilnya. Banyu menatap Damay yang berjalan keluar dengan ragu. Wajah gadis itu terlihat kusut dengan bibir yang mengerucut tajam dan enggan menatap Banyu.“Masuk dulu, Mas,” ajak Bumi berhe
“Whooo … no! Damay nggak bisa dan nggak boleh nikah sama Mas Banyu.” Kalimat tersebut tiba-tiba saja terucap dari mulut Bumi. Bahkan, Bumi berbalik sebentar untuk meraih pergelangan tangan Damay, lalu membawa gadis itu berdiri sejajar dengannya. “Damay tetap di sini, dan nggak boleh pergi ke mana pun, kecuali dia pulang ke Kalimantan.” “Bumi!” hardik Airin mendadak tidak mengerti arah pikiran putranya. “Banyu itu—” “Nggak bisa, Bun,” sergah Bumi. “Mas Banyu nggak boleh nikah sama Damay.” “Hubungan mereka itu sudah terlalu jauh—” “Bunda.” Dengan terpaksa, Bumi kembali memotong ucapan sang bunda. “Coba lihat Mas Banyu. Dia nggak mungkin bisa bahagiain Damay kalau mereka menikah nanti. Menikah itu ibadah, dan tujuan akhirnya untuk bahagia. Ngapain Damay harus nikah, kalau ujung-ujungnya harus menderita di tangan Mas Banyu.” “Siapa yang bilang, aku nggak bisa membahagiakan Damay?” Ucapan Bumi sungguh terkesan meremehkan Banyu. “Dia juga nggak akan menderita kalau nanti menikah denga
Seperti biasa, suasana di dalam mobil akan selalu sunyi senyap jika berada bersama Banyu. Damay diam, pun dengan Banyu yang memang memiliki kebiasaan mengheningkan cipta jika tengah berkendara. Meskipun debaran jantung Damay kini berdetak guguk, tapi ia harus percaya dengan ucapan Banyu. Setelah ini, pria itu akan mengembalikan semua berkas, serta barang-barang Damay. Jika semua sudah berada di tangan, maka Damay akan segera membeli tiket dan kembali ke Kalimantan seorang diri. Tidak berapa lama kemudian, Banyu membelokkan mobilnya ke sebuah restoran. “Pak Banyu mau makan?” tanya Damay akhirnya membuka suara setelah sekian lama diam dalam perjalanan. “Ikut saya.” Damay menghempas kepalanya ke belakang dan membenturkannya pelan pada sandaran kepala. Kenapa pria itu terkadang tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Damay. Tidak ingin mood Banyu berubah, Damay segera keluar dan menyusul pria itu. Damay tampak tercengang ketika berada sudah berada di dalam ruangan. Ternyata, tempat
“Tiket Jakarta Samarinda buat besok sudah habis.” Damay yang tengah duduk pada sofa di depan teve menoleh. Belum sempat ia berujar, Banyu kembali melanjutkan kalimatnya. “Yang ke Balikpapan juga habis.” “Bohong, kan!” Banyu menghempas tubuhnya di samping Damay, lalu menyerahkan ponselnya di pangkuan gadis itu. “Kamu bisa telpon Tyo kalau nggak percaya.” Damay mengerjab hingga berkali-kali melihat ponsel yang ada di pangkuannya. Sejak kejadian di luar restoran pastry, Damay bisa merasakan ada sedikit perubahan pada sikap Banyu padanya. Damay pun mengambil benda pipih tersebut, lalu meletakkannya di pangkuan Banyu. Ia menggeleng dan berkata, “Kalau besok lusa?” “Lagi dicari.” Banyu meraih ponselnya, lalu meletakkan benda tersebut di lengan sofa. “Kenapa nggak sekalian?” rungut Damay kemudian bersedekap dan bersandar pada punggung sofa. “Mas Tyo itu harusnya bisa kerja lebih efisien lagi, biar nggak bolak balik. Terus, kalau cuma ngecek tiket buat besok lusa, saya juga bisa.” Ke
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi