Damay segera berdiri, ketika melihat Banyu baru berbelok di ujung lorong. Pria itu berjalan tegap seperti biasa, tapi kali ini pandangan yang dilemparkan keduanya tidak lagi penuh kebencian seperti dahulu kala.“Aku langsung masuk?” tanya Damay sudah melepas tasnya, tapi ia tidak melihat seorang pegawai wanita seperti dahulu kala.Banyu menggeleng, membuat ekspresi Damay berubah datar penuh tanya. “Ibumu, menolak untuk menerima kunjungan dari siapa pun.”Bahu Damay merosot hampa. Begitu pun dengan tubuh yang kembali ia hempas di atas kursi tunggu yang ada di lorong. Apa gerangan yang terjadi hingga Kyla tidak lagi ingin bertemu dengannya.“Pak Banyu … nggak bohong, kan?” Karena Banyu suka berbohong padanya dahulu kala, maka wajar rasanya jika Damay curiga akan sesuatu. Bagaimana bisa Kyla tidak ingin bertemu dengan Damay, satu-satunya putri dan keluarga yang dimiliki wanita itu saat ini.Bany menghela seraya duduk di samping sang istri. “Aku sudah pernah bilang, kalau ibumu nggak mau
Sejak menginjakkan kaki di pelataran kantor Banyu, satu dua pegawai yang kebetulan tengah berlalu lalang di sana spontan menghentikan pandangannya. Tatapan tanya dan ingin tahu, seolah sudah tertulis dengan jelas pada dahi mereka. Terlebih lagi, ketika melihat Banyu menggamit tangan Damay berjalan masuk ke dalam kantor. Namun, tidak ada satu pun yang berani melontarkan tanya, karena yang ada hanyalah anggukan hormat dan sapaan selamat siang. “Aku … berasa jadi nyonya-nyonya yang ada di drakor, Pak!” bisik Damay ketika mereka menaiki tangga. “Tiap ketemu karyawannya Bapak, mereka pada ngangguk gitu.” “Jangan norak.” Jika tidak sedang berada di kantor, Banyu rasanya ingin sekali menggigit bibir sang istri karena gemas. Bukannya marah atau ngambek, Damay justru tertawa pelan karena ledekan Banyu. “Aku norak banget, ya! Maklumlah, nyonya kaya baru, jadi rada syok lihatnya.” Banyu hanya bisa menggeleng, karena tingkah Damay yang terkadang bisa terlalu naif. Namun, hal itu juga yang mem
“Kenapa, foto akad nikah kemarin nggak ada yang bagus?”Damay mengeluh, sambil kembali menggeser seluruh foto akad nikahnya dengan Banyu di layar laptop. Kakinya sudah bersila di kursi kerja Banyu, sedangkan pria itu tengah duduk berselonjor di sofa sambil menatap tabletnya.Seperti permintaan Damay siang tadi, maka Banyu memperlihatkan semua foto akad nikah mereka yang tersimpan di laptop yang ada di ruang kerjanya di rumah. Banyu menyerahkan semuanya pada Damay, untuk memilih foto yang nantinya akan dicetak dan di pajang.“Bagus semua,” sanggah Banyu yang sudah melihat semua hasil foto akad nikah mereka. Jadi, Banyu tidak mengerti di mana letak tidak bagusnya menurut Damay.“Nggak, ya!” Damay balik menyanggah. “Mukaku di sini tertekan semua. Dari senyumnya juga kelihatan banget kalau nikahnya karena dipaksa.”“Dipaksa enak,” jawab Banyu sekenanya.Bibir Damay mengerucut sambil menutup laptop Banyu. Beranjak cepat menghampiri sang suami, lalu duduk di tepi sofa, tepat di samping Bany
“Sudah selesai?”Banyu menoleh sebentar pada Damay yang masuk ke dalam walk in closet. Setelah itu, Banyu kembali melihat deretan kemejanya yang tergantung pada rak, lalu mengambil salah satunya. Setelah kemeja selesai, Banyu beralih pada rak penyimpanan celana bahan yang digunakannya untuk bekerja.“Sudah.” Damay duduk pada sofa bench di samping cabinet island, dan melihat Banyu mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Sejak menikah, Banyu juga tidak pernah meminta Damay untuk urusan yang satu itu. Sementara Damay sendiri, masih belum terlalu paham akan beberapa hal di dalam pernikahan mereka. Karena jika diingat lagi, kedua orangtuanya dahulu kala memang lebih sibuk mengurus diri masing-masing.“Pak, aku mau ke tempat bu Airin, ya?” Sejak mereka menikah, Damay sama sekali tidak pernah menghubungi Airin. Hari akad nikah tempo hari, adalah kali terakhir Damay bertemu wanita itu. Setelahnya, Damay tidak tahu menahu bagaimana kabar wanita yang pernah menjadi mertuanya dalam waktu singka
Kedatangan Damay ke rumahnya bersama Banyu siang itu, jelas membuat Airin cukup terkejut. Tidak ada angin, tidak ada hujan, maupun kabar berita, sepasang suami istri itu datang sambil membawa beraneka macam makanan untuk Airin. Salah satunya merupakan masakan Damay, yang memang dikhususkan untuk Airin dan Seno. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Airin tampak bahagia dengan tulus dan ikhlas. Dari binar wajah Damay yang ceria itu, Airin dapat menyimpulkan jika pernikahan keduanya berjalan bahagia. “Makasih ya, May! Besok-besok, kalau mau ke sini, ke sini aja, nggak usah repot bawa begini.” Airin dengan segera meminta Imah untuk membawa semua makanan yang ada di atas meja tamu ke belakang. “Nggak repot, kok, Bu,” sanggah Damay masih menautkan jemari tangan kirinya dengan Banyu. “Bu Airin sama bapak sehat aja, kan?” Airin tersenyum hangat. Jika diperhatikan lagi, Damay sebenarnya adalah gadis yang baik. Penampilannya sederhana, masih muda, manis, dan hasil masakannya pun tidak per
“Tuh, kan, hamil, kan!” Bukannya tidak senang ketika dinyatakan hamil oleh sang dokter kandungan beberapa waktu lalu, tapi, Damay hanya belum siap. Damay khawatir, tidak bisa menjadi ibu yang baik karena usianya masih terlalu muda. “Masih ingat kata bu Airin?” Banyu merangkul Damay yang masih terduduk di kursi besi ruang tunggu, untuk melihat hasil USG kehamilannya. “Kamu harus bersyukur, karena nggak semua orang bisa langsung hamil setelah menikah.” Reflek, Damay merebahkan kepalanya di pundak Banyu. Dengan menghela panjang, Damay mengusap perutnya yang memang terasa sedikit keras. “Kata tetanggaku dulu, ibuku sama almarhum bapak itu nikah muda. Lulus SMA mereka nikah, terus langsung hamil juga. Tapi, waktu aku lahir, semuanya diurus sama nenek, karena ibu nggak tahu apa-apa. Terus, nanti kalau aku lahiran, yang bantuin ngurus anakku siapa?” Kyla masih ada di penjara, sementara Damay tidak mungkin mengeluh dan meminta tolong kepada ibu mertuanya. Terlintas bayangan Airin di kepal
Benar tebakan Banyu. Wajah Adam langsung berbinar, ketika Banyu menyodorkan ponsel dengan foto USG calon bayinya di dalam sana. Sorot mata bahagia itu, tidak bisa ditepis dan terlihat jelas saat kedua jari keriput itu tengah sibuk melebarkan gambar, dan mengecilkannya berulang kali. Meskipun hanya dominan warna hitam putih dan sebuah bulatan yang terlihat di sana, tapi Adam tidak bisa menyembunyikan rasa sukacitanya. “Kejar setoran ini namanya. Sebulan, langsung isi.” Adam tertawa lepas sambil menyerahkan kembali ponsel Banyu. “Kirimkan ke papa.” Banyu pun ikut terkekeh pelan, dengan rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Kehamilan yang tidak direncanakan, tapi Banyu tidak menampik jika ia juga mengharapkan hal tersebut. Bagi Banyu, kapan pun Damay hamil nantinya sungguh bukan masalah. Bahkan, ketika Damay mengatakan tidak siap pun, Banyu tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Namun, Banyu memang sengaja tidak mengingatkan Damay untuk membeli pil kontrasepsi, seperti yang serin
Tujuan utama Banyu setelah menginjakkan kaki di rumah, adalah dapur. Ia hendak meletakkan kepiting yang baru saja dibelinya, setelah itu bergegas ke kamar untuk mendatangi sang istri. Namun, Banyu langsung membelokkan langkahnya ketika melihat Damay tengah duduk sendiri di ruang makan. Gadis itu tengah menikmati potongan paha ayam dengan lahap, tanpa terlihat ada nasi yang menyertainya. “Lapar, Bu?” Damay diam. Tidak menyahut, karena tidak suka dengan panggilan yang disematkan Banyu untuknya. Hanya sebuah lirikan singkat yang Damay berikan pada Banyu, kemudian kembali melahap ayah panggangnya. “Aku bawa kepiting.” Banyu meletakkan bungkusan yang dibawanya, lalu duduk di samping Damay. “Kepiting?” Damay langsung meletakkan ayam panggangnya. Mengambil bungkusan di atas meja lalu membukanya dengan cepat, begitu aroma kepiting saus Padang itu merasuk tajam ke dalam hidung, Damay segera bangkit untuk berlari ke dapur. Semua isi perut yang baru saja terisi, langsung ia muntahkan ke dal
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi