“Makan malam, Non.”Seperti yang sudah-sudah, Umar akan mengetuk pintu kamar Damay ketika gadis itu belum keluar kamar saat waktu malam telah tiba.Damay yang hanya mengeluarkan kepalanya, lantas melirik pada ruang kerja Banyu yang berada tepat di depan kamarnya. Pintunya terbuka separuh. Itu berarti, Banyu sudah datang kembali ke rumah. Atau, pria itu tidak pergi ke mana pun sejak mereka datang siang tadi.“Pak Banyu baru pulang, Pak?” tanya Damay nyaris berbisik. Karena setelah sampai di rumah beberapa jam yang lalu, Damay langsung berlari masuk ke kamar dan tidak keluar sama sekali.Umar ikut menoleh pada ruang kerja Banyu sebentar. “Dari datang siang tadi, mas Banyu nggak pergi ke mana-mana. Tidur di kamarnya.”“Sekarang? Ada di ruang kerjanya?” Damay menunjuk ruang kerja Banyu dengan mengulurkan telapak tangan kanannya saja. Sementara bagian tubuh yang lain, masih berada di dalam kamar.“Lagi di ruang makan, nungguin Non Damay.”“Aduhh!” Damay reflek menepuk kepalanya sendiri, la
“Duduk.”Setelah mendengar ketukan pintu ruang kerjanya yang tidak tertutup, Banyu mengangkat wajah dan melihat Damay berdiri dengan gestur canggung. Gadis itu, tidak terlihat seperti biasanya, dan cenderung tidak ingin melakukan eye contact dengan Banyu. Apa semua ini karena ciuman siang tadi?Ya, pasti karena itu!Damay mengangguk. Melangkah masuk dengan perlahan, lalu duduk manis pada sofabed yang ditunjuk oleh Banyu dengan dagunya. Damay kembali melihat deretan rak penuh dengan buku, sungguh tertata rapi dan benar-benar bersih. Ia enggan melihat Banyu yang masih sibuk dengan laptop meja kerjanya itu.Damay juga enggan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Ia memilih diam, dan menunggu Banyu menegurnya. Sungguh, berada dalam situasi seperti sekarang, sangat tidak nyaman untuk hati dan pikiran Damay. Ingatan tentang wajah Banyu yang berada tepat di depannya, lalu bergerak cepat dan ….Damay bisa benar-benar jadi orang gila jika seperti ini.“Biasa beli di mana?” tegur Banyu sambil me
Ucapan Banyu tadi malam, sungguh membuat semua rasa sakit di hati Damay menjadi-jadi. Kyla memang bersalah, tapi bukan berarti Banyu dapat menjadikan Damay sebagai alat, yang bisa pria itu mainkan sesuka hati. Jelas hal tersebut tidak bisa Damay terima. Setelah berpikir semalaman, akhirnya Damay sudah membuat keputusan. Ia akan melupakan masalah sang ibu untuk sementara waktu, dan lebih mengutamakan kewarasan hati, juga pikirannya untuk ke depan. Hal yang paling utama adalah, Damay tidak ingin lagi dilecehkan oleh Banyu seperti kemarin. Lantas pagi ini, Damay menyantap sarapannya dengan tenang. Menjaga jarak, tidak berbicara, maupun menatap Banyu sama sekali. Hatinya benar-benar sakit, sampai-sampai debaran jantung yang sempat membuatnya salah tingkah di depan Banyu kemarin, seketika musnah dalam sekejap. “Pesananmu sudah dibelikan Umar?” tanya Banyu menyela keheningan di antara mereka. Semalam, Banyu pun memilih pergi keluar kamar untuk menjernihkan pikirannya. Damay merespons den
“Kenapa kamu bilang, kamu pembantu saya?” Banyu terus menggenggam pergelangan tangan Damay, setelah meninggalkan Elok. Bisa-bisanya Damay mengatakan dirinya adalah pembantu di rumah Banyu. Seperti tidak punya jawaban lain saja! “Kamu punya mulut untuk jawab, kan?” Banyu yang mulai kesal, seketika berhenti tapi tetap mempertahankan tangan gadis itu dalam genggaman. Damay membuang wajah dari Banyu dan memilih melihat sebuah toko yang ada di hadapannya. “Terus mau jawab apa? Tahanan? Ck, pembantu sudah paling cocok.” Rahang Banyu mulai mengeras. Tatapannya pun kembali dingin karena gadis itu tidak memandangnya sama sekali ketika berbicara. Namun, karena Banyu menyadari bahwa gadis itu tengah PMS, maka ia tidak ingin berdebat lebih lanjut. Jika tidak, mana mungkin Damay meminta dibelikan pembalut malam tadi. Jadi, karena sudah memiliki pengalaman hampir separuh usia dengan sang adik ketika PMS, Banyu pun bisa memaklumi sikap Damay saat ini. Masih belum melepas pergelangan tangan Dama
“Kita bicara sebentar.” Elok merentangkan kedua tangan, untuk menghalangi langkah Banyu yang hendak menyusul Gilang dan Damay. Elok bahkan sudah tidak memedulikan tumpukan paper bag yang teronggok begit saja di lantai. “El.” Banyu menghela. Tetap tenang, lalu berhenti bergerak dan tidak melangkah. “Jangan ikut campur.” “Kalau suka bilang,” seloroh Elok lalu berdecak. Merasa Banyu tidak akan pergi ke mana pun, Elok pun menurunkan kedua tangannya. “Jangan main nyulik anak orang, terus disakiti seperti tadi.” “Siapa yang suka, siapa nyulik, dan siapa yang menyakiti?” Elok berdecih dengan bersedekap. “Sekali lagi aku bilang. Aku nggak tahu apa masalah kalian berdua. Tapi, Nyu, tolong sadar kalau yang sudah kamu perbuat itu salah.” “Kamu, nggak tahu apa-apa.” Elok menoleh ke belakang sebentar dan melihat Gilang dan Damay sudah berada di eskalator untuk turun. “Aku juga sudah bilang, kalau aku memang nggak tahu apa-apa. Yang aku tahu cuma satu, Gilang suka sama Damay. Udah, titik! Ja
Setelah memasuki parkiran motor, Damay menarik tangannya hingga terlepas dari Gilang. Sedari tadi, mereka berdua sibuk berjalan cepat untuk menghindar dan menjauh dari Banyu tanpa banyak bicara. Padahal, di kepala Damay kini tengah sibuk mencerna semua hal yan terjadi saat ini. “Cewek tadi, siapa?” Damay berdiam diri dan tidak melangkah ke mana pun. Mengapa wanita itu bisa menyanggah dan melawan Banyu dengan berani. “Mbakku,” jawab Gilang hendak meraih tangan Damay, tapi gadis itu segera menyembunyikan kedua tangan di belakang. “May? Ayo pergi!” “Dia … sama pak Banyu?” Wajah Damay menatap tanya, tapi hampir bisa menebak jawaban Gilang. Gilang menghela kasar, lalu menghabiskan jarak dengan Damay. “Mereka mantan. Dulu pernah pacaran dari SMA terus … putus.” Damay langsung mengigit bibir bawah bagian dalamnya, getir. Pantas saja Banyu mengatakan Damay hanyalah mainan semata bagi pria itu. Ternyata, mantan pacar Banyu memang sungguh … Ah, sudahlah! Meskipun hatinya terasa nyeri, ta
Bumi meminta Damay untuk duduk, dan menenangkan diri terlebih dahulu. Dari wajahnya saja, Bumi bisa melihat betapa frustrasi Damay saat ini. Entah apa yang dilakukan Banyu kepada Damay, sehingga gadis yang sering terlihat apatis itu bisa sampai sekacau ini. “Tarik napas, tenangin diri dulu, baru kita bicara pelan-pelan.” Bumi menarik kursi lalu duduk tepat di hadapan Damay. Mengangkat tangan memanggil seorang pelayan, dan meminta untuk dibawakan air mineral secepatnya. Damay hanya mengangguk sesenggukan. Menuruti titah Bumi untuk menarik napas, dan menenangkan diri terlebih dahulu. Saat ini, kepala Damay seolah ingin meledak. Emosinya sudah sampai pada titik yang tidak bisa ditoleransi lagi. Gilang hanya menatap duduk dengan bersedekap. Tidak mengerti tentang pangkal permasalahan, membuat Gilang hanya bisa berdiam diri dan harus mendengar semuanya terlebih dahulu. Ia tidak bisa asal berucap, agar tidak salah bicara. Setelah Bumi menerima sebuah botol air mineral, ia segera membuka
Airin membuka pintu kamar tamu yang ditempati Damay, lalu keluar dan menutup pintu. “Nggak ada memar sama sekali,” terangnya setelah memeriksa tubuh Damay dengan seksama. Airin masih belum bertanya pada Bumi, mengapa ia harus memeriksa tubuh Damay untuk mencari jika ada memar di pada bagian kulitnya. “Yakin, Bun?” tanya Bumi yang sedari tadi hanya berdiri di depan kamar, sembari mondar mandir khawatir. “Coba di cek ulang, sekali lagi. Siapa tahu Bunda kelewat.” Airin menghela, lalu meraih lengan putranya untuk menjauh dari kamar tamu. “Nggak ada, Mi. Nggak ada memar satu pun. Sekarang, jelasin ke Bunda kenapa kamu bawa dia ke sini lagi? Kamu sudah nikah, kenapa masih bawa perempuan lain!” “Bun …” Bumi menarik sang bunda ke meja makan dan duduk di sana. “Damay itu sudah sebulan diculik sama mas Banyu.” “Sembarangan kalau ngomong!” desis Airin reflek memukul lengan putranya. “Banyu itu kakaknya istrimu! Dia itu bukan orang sembarangan, mana mungkin nyulik Damay!” “Bun, kapan aku pe
Halu Mba beb ... Kita langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Bukan Istri Sah. Plus, yang sudah ngasih usulan nama anaknya pak Banyu yaa. Amee la : 1.000 koin GN + pulsa 200rb ArPi Kim : 750 koin GN + pulsa 150 rb Zee Sandi : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb Tyarini : 250 koin Gn + pulsa 25 rb RiztyrieM : 150 koin Gn + pulsa 20 rb Sila klaim via DM ke igeh saia yaa, @kanietha_ dan jangan lupa untuk follow lebih duluuh yaa. Atas semua atensinya untuk pak Banyu juga Damay, saia ucapkan terima kasih banyak-banyak. Kiss so muuch ....PS : Saia tunggu sampe tangga 28 Sept '22 pukul 12.00 siang hari yakk.Kalau masih belum setor, saia anggap HANGUS.🙏🙏🙏
“Haloo, cucu Eyang …” Airin langsung mengambil alih bayi tampan yang semakin menggemaskan dari gendongan Damay. Mengangkatnya setinggi kepala, lalu memberi ciuman gemas pada kedua pipi gembilnya. Bayi mungil yang sudah berusia tiga bulan itu, hanya bisa tertawa geli dengan ulah wanita yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. “Kamu titip sini aja sama Eyang, ya!” seru Airin berbicara pada bayi yang tersenyum melihatnya. “Biar daddy sama mami aja yang ke Kalimantan, sekalian bulan madu.” Seno menggeleng melihat tingkah istrinya, yang memang sangat merindukan seorang cucu. Tidak hanya Airin sebenarnya, tapi Seno juga berharap hal yang sama. Namun, apa mau dikata jika Bumi dan Tari masih belum kunjung diberi keturunan hingga saat ini. Keduanya sudah mengikuti program hamil dan menjalankan semua perintah dari dokter, tapi, sampai saat ini masih belum berhasil. Sejenak, Seno sempat berpikir. Bagaimana bila Damay dahulu kala benar-benar menjadi menantunya. Akan tetapi, Seno dengan s
Malam yang penuh ketegangan itu, akhirnya bisa dilewati Damay dan Banyu dengan rasa lega. Hanya berdua tanpa keluarga, dan benar-benar buta akan semua hal. Mereka hanya mengandalkan petunjuk dan perintah dokter, serta para perawat yang bertugas untuk mengecek kondisi Damay.Setelah ini, Banyu hanya akan memfokuskan diri dengan keluarga kecilnya. Baru kali ini Banyu benar-benar menghadapi semua ketegangan seorang diri. Tanpa support dari keluarga, yang dahulu kala pernah ia bela mati-matian. Hampir seluruh hidup Banyu, sudah ia curahkan pada Selly, maupun Tari. Namun, tidak satu pun dari keduanya datang, atau paling tidak, menghubungi Banyu melalui panggilan telepon.Hanya ada Adam, yang sesekali mengirimkan pesan untuk bertanya mengenai proses kelahiran cucunya. Sementara yang lain, seolah tenggelam bak ditelan bumi.Justru, orang lainlah yang kini terasa seperti keluarga bagi Banyu. Ada Airin, yang langsung menelepon pagi itu, ketika Damay mengabarkan bahwa sang bayi laki-lakinya sud
“Tarik napas.” Damay mengikuti instruksi Banyu, ketika kontraksinya mulai kembali datang. Sejak pria itu kembali dari kantor, yang dilakukan Damay hanyalah menempel pada sang suami. Saat kontraksi itu datang, yang diinginkan Damay hanya berada di dalam pelukan Banyu, dan menginginkan sang suami untuk mengusap punggung, maupun perutnya dengan perlahan. “Masih kuat?” tanya Banyu kembali memastikan kondisi istrinya. Banyu memang tidak bisa merasakan rasa sakit yang mulai kerap menghampiri sang istri. Namun, jika dilihat dari wajah pias disertai bulir keringat yang membasahi wajah Damay, Banyu yakin bahwa rasa sakit itu benar-benar luar biasa. Itu baru kontraksi, bagaimana jika waktu kelahiran itu akhirnya tiba? “Kuat.” Damay berujar lirih untuk menyemangati dirinya sendiri. Sudah hampir seharian ini Damay merasakan sakit yang tidak ada duanya. Sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki sungguh merasakan semua nyeri tanpa terkecuali. “Tapi sakiiit.” “Sabar sebentar.” Banyu masih memeluk
“Sebentar lagi aku tinggal, sebelum makan siang aku balik.” Jelang subuh, Damay mulai mengeluh sakit perut. Baik Airin maupun dokter yang menangani Damay, sudah berpesan agar jangan terlalu panik dalam menghadapi kontraksi jelang hari perkiraan lahir. Apalagi, jika rentang waktu kontraksi tersebut belumlah terlalu rapat, Namun, tidak dengan Banyu. Ketika ia mendengar keluhan yang berbeda dari sang istri, Banyulah yang merasa panik lebih dulu. Semua tas persiapan untuk pergi ke rumah sakit, langsung Banyu letakkan sendiri di bagasi mobil tanpa menyuruh siapa pun. Banyu ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri, jika semua persiapan sudah lengkap dan tidak ada yang kurang sama sekali. Tidak cukup sampai di situ. Begitu pagi menjelang, Banyu segera meminta Damay bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Karena ada meeting yang tidak bisa ditinggal Banyu pagi harinya, maka ia merasa lebih aman jika meninggalkan Damay di rumah sakit. “Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari aku,” tambah Ban
“Nggak usah beli boks bayi, taruh aja di kasur, beres. Nggak ribet angkat-angkat.” Banyu masih berdiri di samping boks bayi, yang menarik perhatiannya. Namun, Damay sudah meninggalkannya karena tidak setuju membeli tempat tidur khusus untuk bayi mereka. Bukankah lebih aman jika bayi mungil mereka nantinya diletakkan di boks bayi, daripada di atas tempat tidur? Banyu yang masih ingin membeli tempat tidur untuk bayinya, bergegas menyusul Damay yang tengah berbicara dengan salah satu pramuniaga toko. Banyu menunggu sejenak, sampai Damay menyelesaikan obrolannya sembari menyerahkan daftar catatan perlengkapan bayi yang akan dibeli kali ini. “Bukannya lebih enak dan aman pake boks bayi?” ujar Banyu setelah pramuniaga toko pergi, untuk mencari dan mempersiapkan barang-barang pesanan Damay. “Tetanggaku yang pernah lahiran, nggak ada yang pernah beli boks bayi, aman-aman aja.” Mata Damay menyasar pada kursi tunggu yang berada di sebelah pintu bagian dalam. Kemudian, ia kembali meninggalkan
“Pak Banyuu.” Damay menempel pada bingkai pintu ruang kerja Banyu. Menguap sebentar, kemudian kembali melanjutkan ucapannya. “Kerjanya masih lama? Aku sudah ngantuk.” Banyu mengalihkan wajah dari laptop. “Tidur aja duluan.” Bagaimana Damay bisa tidur jika tidak ada Banyu di sampingnya. Jika siang hari, Damay memang sudah terbiasa tidur tanpa Banyu, karena suaminya itu memang harus bekerja. Namun, ketika malam menjelang seperti ini, Damay tidak bisa memejamkan mata kecuali ada Banyu di sampingnya. Hal ini sudah terjadi sejak awal-awal kehamilan Damay, dan ini pertama kalinya Banyu belum masuk ke kamar mereka, padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “Aku nggak bisa tidur,” keluh Damay kemudian berjalan masuk menghampiri Banyu. Damay mendudukkan dirinya di atas paha Banyu, lalu bersandar pada tubuh sang suami. “Nggak ada yang meluk.” Banyu terkekeh pelan, lalu merengkuh tubuh Damay dengan kedua tangannya. Semakin hari, istrinya itu semakin posesif, manja, dan tida
“Ini pertama, dan terakhir kalinya kita pergi nonton.” Belum ada lima menit mereka berdua duduk berdampingan di dalam bioskop, Damay sudah menguap hingga berulang kali. Saat penerangan di dalam ruang mulai dimatikan, detik itu juga Damay langsung menutup mata dan merajut mimpinya dengan lelap. Menyisakan Banyu, yang pada akhirnya harus menonton film romantis pilihan sang istri, yang sangat membosankan seorang diri. Damay tergelak tanpa melepas tangannya yang bergelayut rapat pada lengan Banyu. “Ngajaknya, sih, pas jam aku tidur siang. Jadinya ngantuk, kan? Apalagi habis makan banyak di rumah bu Airin, tambah lengket mataku jadinya.” Banyu berdecak, tapi tersenyum kemudian saat melihat wajah Damay yang tampak ceria. Lebih baik seperti ini, daripada harus melihat sang istri menangis seperti pagi tadi. “Ini mau makan lagi? Pulang? Atau … ke mana?” “Cari tempat duduk, ngabisin pop corn, terus kita pulang.” Banyu tidak salah jika masih saja menganggap sang istri terlalu naif. Sebenar
Banyu membuka pintu kamar dengan perlahan. Menghela sejenak, saat melihat Damay sudah berbaring miring dengan memakai selimut yang dipakainya dengan asal. Tubuh Damay masih terlihat berguncang kecil, karena sesenggukan dengan sisa tangis yang belum kunjung hilang.Setelah mendengar semua isi perasaan Damay, Banyu akhirnya menyadari di mana letak kesalahannya. Tari dan keluarganya memang penting bagi Banyu, tapi mereka semua bukanlah hal yang utama setelah ia memiliki istri. Harusnya, Banyu bisa menempatkan diri ketika berada di situasi seperti sekarang.Damay benar tentang Tari. Harusnya, Banyu tidak perlu lagi memikirkan Tari karena sang adik sudah memiliki keluarga sendiri. Tari sudah dewasa dan bahagia bersama Bumi. Jadi, Banyu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana perasaan Tari saat ini.Banyu naik ke atas tempat tidur dan langsung membaringkan tubuh di samping Damay. Memeluk istrinya dari belakang, kemudian mengusap perut buncit itu dengan perlahan.“Mau ke tempat bu Airi