Sasmita mengernyit ketika melihat wajah lesu Leana. "Kenapa? Bukannya kamu sehabis menelpon Elvano?" Leana menggeleng, lalu memasang senyum kecil agar Sasmita tak curiga jika perasaannya sedang kacau. "Tidak apa-apa, Kak. Omong-omong bagaimana perkembangan hubungan Kakak dengan Kak Sagara? Aku dengar dari Cila jika kalian hanya stuck di tempat." Sasmita mengibas kedua tangannya, dia menatap Leana gugup sembari menyelipkan rambutnya pada belakang telinga. "Tidak kok, siapa juga yang mempunyai hubungan dengan Sagara."Sasmita terus denial, entah mengapa sudah jalan empat tahun dia menggantungkan Sagara. Tidak menerima pria itu, tapi juga tak menolak kehadirannya. Sasmita terlalu banyak berpikir, dia merasa insecure karena masa lalunya yang buruk. Dia pernah bekerja di dunia malam. Dan sampai detik ini, Leana tidak pernah tahu mengenai hal itu. Hanya ibunya yang mengetahuinya, Sasmita harap ibunya tak akan membocorkannya pada Leana. Karena Sasmita takut, Leana malu mempunyai kakak sepe
"Senang bertemu denganmu, Elvano." Elvano menerima uluran tangan pria yang sebaya dengan papanya itu. "Begitu juga dengan saya, silahkan duduk." Pria paruh baya itu terkekeh, dia melirik ke arah sampingnya. "Ini putri saya. Dia juga yang akan meneruskan perusahaan saya, saya harap kalian bisa menjadi partner kerja yang baik nantinya." Perempuan cantik itu bersemu, dia menatap Elvano dengan senyuman manis, lalu mengulurkan tangannya. "Diandra." Elvano menyambut uluran tangan perempuan di hadapannya. Wajah pria itu sama sekali tak menampakkan raut tertarik, well … apa yang diharapkan dari putra satu-satunya keluarga Mahendra itu? "Risa, kamu sudah menyiapkan bahan meetingnya?" Sang sekretaris yang sejak tadi diam menyimak langsung tersentak. Dia membenarkan posisi duduknya serta menyerahkan dokumen yang dia pegang pada Elvano. "Sudah, Pak." Mereka memulai meeting dengan perdebatan alot, karena Rayan terus saja keluar dari topik. Untung ada Risa yang selalu sigap menangani jika
[Bisa kita bertemu sore ini?] Sasmita langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, ketika dia sudah membaca pesan singkat sari Sagara. Perempuan itu menghindari Sagara beberapa hari ini, dan sepertinya Sagara mengetahuinya. "Bagaimana ini." Sasmita menggigit bibir bawahnya, dia takut jika Sagara kembali mengajaknya bertunangan. Dan Sasmita bingung untuk mencari alasan apalagi. "Kak, sepertinya kita harus menambah karyawan lagi. Soalnya di butik juga semakin ramai. Bagaimana? Apakah Kakak setuju?" Leana bertanya sembari membaca laporan yang ada di hadapannya. Kening Leana berkerut ketika tak mendapatkan respon apapun. Dia menoleh pada Sasmita yang sedang terlihat gelisah. "Kak!" Sasmita tersentak ketika bahunya ditepuk kuat oleh Leana. "Lea! Ngagetin aja, sih!" Leana mencebik. "Kakak aku panggil-panggil tidak menyahut. Ada apa? Kelihatannya gelisah terus sedari tadi." Sasmita memaksakan senyum, lalu menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit pusing."
'Saya akan menerima perjodohan yang Papa dan Mama usulkan' Semua orang tentu mempunyai titik jenuh, bukan? Pun dengan Sagara. Setelah pertemuan mereka pada kemarin sore, Sasmita lebih banyak diam dari sebelumnya. Perasaan tak rela terus menggerogotinya. Sasmita akui, dia sangat pengecut dan labil. Di saat Sagara akan menjauh darinya, dia begitu ketakutan setengah mati. Alhasil semalaman dia tak tidur nyenyak. Dan berakhir dengan wajah lesu di pagi hari. "Kakak? Kenapa pagi sekali ke rumah? Dan mengapa tidak memencet bel?" Pukul enam pagi Leana sudah dikejutkan dengan kedatangan Sasmita, perempuan itu hanya duduk diam di kursi depan pintu utama. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin menikmati udara pagi di sini." "Ya, sudah, ayo masuk. Nathan sama Nala baru selesai mandi." Sasmita mengangguk, lalu mengikuti langkah Leana. "Kakak mau langsung ke kamar Ibu atau bagaimana? Soalnya aku mau mengurus Nathan dan Nala dulu." Sasmita terlihat berpikir sejenak. "Ke kamar Ibu saja." Leana meng
Elvano sampai ke kediamannya setelah pukul sepuluh malam, Leana yang sudah akan terlelap dikejutkan oleh tepukan pada pipinya. "Mas? Aku pikir Mas tidak jadi pulang," ucap perempuan itu serak. Dia bangkit dari tidurnya seraya memeluk Elvano. "Maaf ya, tadi habis anterin Risa ke rumah sakit dulu." Seketika mata Leana kembali segar kala mendengarnya. "Lho, Mbak Risa kenapa, Mas?" "Dia terjatuh di tangga bandra, dan kakinya terkilir." Elvano mengusap surai halus sang istri. Belum genap dua hari mereka berpisah, tapi dia sangat merindukan istri cantiknya ini. "Aku minta nomor kamarnya nanti, ya. Mau jenguk besok pagi, sehabis pulang dari sekolahnya si kembar." Leana memang mengenal baik, Risa. Karena perempuan itu juga yang telah membantu suaminya sampai sejauh ini. "Boleh sayang, tapi sebentar. Kamu mau ngapain ke sekolah Nathan dan Nala? Apa kedua tuyul kita membuat masalah?" "Mas, ih! Berhenti panggil anakku tuyul!" Leana mencubit pinggang Elvano, membuat sang empu berteriak ke
Elvano berkutat dengan setumpuk dokumen di hadapannya, pria itu sangat fokus. Sampai-sampai tak menyadari jika jam makan siang sudah terlewat. "Sibuk sekali Dokter Elvano sekarang, ya." Elvano mendongak kala mendengar suara yang tak asing lagi baginya. Dia melepas kacamata yang bertengger pada hidung bangirnya sembari menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. "Kamu tidak bekerja?"Pria itu mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu mengambil duduk di sofa. "No, aku cuti seminggu. Mau liburan sama istri. Biar makin langgeng dan lengket." Elvano memasang raut malas, apalagi kala melihat wajah jenaka yang Zion tampakkan. "So, bagaimana pembahasan kita ditelepon waktu itu." Seketika Elvano bangkit dari kursi kebanggaannya. Dia melangkah ke arah Zion sembari membawa dokumen yang berada di atas mejanya. "Coba baca, dan cek sendiri." Zion membaca serius isi dokumen itu, sedetik kemudian kening pria itu berkerut. Lalu menatap Elvano dengan bibir menganga. "Wah! Parah sekali, jadi dia tidak s
"Perkenalkan, saya Diandra Melana Rayan. Sekaligus partner kerja Pak Elvano." Tubuh Leana memaku sesaat, lalu dengan segera dia membalas uluran tangan Diandra. "Leana Pramita, panggil saja Leana. Karena sepertinya umur kita tidak beda jauh." Diandra semakin melebarkan senyumnya. "Ah, begitu. Benar juga, Anda—em, maksud saya kamu terlihat sangat muda." "Mama, mau ikan cupang …." Rengekan gadis kecil di samping Leana mengalihkan atensi Diandra. Perempuan itu terlihat berbinar kala menatap kedua bocah yang sangat cantik dan tampan. Apalagi wajah mereka begitu mirip. "Ini anak kamu? Ya, Tuhan, tampan dan cantik sekali. Sama seperti Mama dan Papanya." Diandra berjongkok. "Hai, Sayang, namanya siapa?" Nala mendongak menatap ke arah Leana, seolah meminta persetujuan. Sementara Nathan hanya bersedekap dada sembari meneliti wajah Diandra. "Nama aku Nala Aunty, kalo ini Abang Nathan. Dan sekalang umul kita lima tahun." Diandra terkekeh gemas, dia mencolek ujung hidung gadis kecil yan
Elvano mematung, jantungnya berdegup begitu kencang. Perlahan tapi pasti. Dia mulai bangkit dari duduknya sambil melangkah menuju pintu. "Aku akan tidur di kamar lantai tiga, kamu tidurlah di sini. Kita butuh waktu untuk sendiri." Setelahnya Elvano pergi, meninggalkan Leana yang mulai terisak. jantungnya bertalu-talu ketika melihat mata perempuan yang dicintainya mengeluarkan air mata. Tetapi dia harus menenangkan diri terlebih dahulu, dia tak mau jika lepas kendali karena emosinya yang tak stabil. Keesokan harinya, Leana maupun Elvano saling mendiamkan. Wajah perempuan itu terlihat pucat dengan mata membengkak, tak jauh berbeda dengan Elvano. Terlihat jelas jika dia tak memejamkan mata barang sejenak pun."Selamat pagi Mama! Papa!" seru Nala, tas bergambar pokemon itu terlihat kebesaran di tubuh mungilnya. "Pagi sayang." Leana dan Elvano menjawab kompak. Mereka memasang senyum seperti tak terjadi apa-apa. "Mata Mama sama Papa kenapa? Kok, menghitam? Telus kenapa bengkak?" Mereka