'Saya akan menerima perjodohan yang Papa dan Mama usulkan' Semua orang tentu mempunyai titik jenuh, bukan? Pun dengan Sagara. Setelah pertemuan mereka pada kemarin sore, Sasmita lebih banyak diam dari sebelumnya. Perasaan tak rela terus menggerogotinya. Sasmita akui, dia sangat pengecut dan labil. Di saat Sagara akan menjauh darinya, dia begitu ketakutan setengah mati. Alhasil semalaman dia tak tidur nyenyak. Dan berakhir dengan wajah lesu di pagi hari. "Kakak? Kenapa pagi sekali ke rumah? Dan mengapa tidak memencet bel?" Pukul enam pagi Leana sudah dikejutkan dengan kedatangan Sasmita, perempuan itu hanya duduk diam di kursi depan pintu utama. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin menikmati udara pagi di sini." "Ya, sudah, ayo masuk. Nathan sama Nala baru selesai mandi." Sasmita mengangguk, lalu mengikuti langkah Leana. "Kakak mau langsung ke kamar Ibu atau bagaimana? Soalnya aku mau mengurus Nathan dan Nala dulu." Sasmita terlihat berpikir sejenak. "Ke kamar Ibu saja." Leana meng
Elvano sampai ke kediamannya setelah pukul sepuluh malam, Leana yang sudah akan terlelap dikejutkan oleh tepukan pada pipinya. "Mas? Aku pikir Mas tidak jadi pulang," ucap perempuan itu serak. Dia bangkit dari tidurnya seraya memeluk Elvano. "Maaf ya, tadi habis anterin Risa ke rumah sakit dulu." Seketika mata Leana kembali segar kala mendengarnya. "Lho, Mbak Risa kenapa, Mas?" "Dia terjatuh di tangga bandra, dan kakinya terkilir." Elvano mengusap surai halus sang istri. Belum genap dua hari mereka berpisah, tapi dia sangat merindukan istri cantiknya ini. "Aku minta nomor kamarnya nanti, ya. Mau jenguk besok pagi, sehabis pulang dari sekolahnya si kembar." Leana memang mengenal baik, Risa. Karena perempuan itu juga yang telah membantu suaminya sampai sejauh ini. "Boleh sayang, tapi sebentar. Kamu mau ngapain ke sekolah Nathan dan Nala? Apa kedua tuyul kita membuat masalah?" "Mas, ih! Berhenti panggil anakku tuyul!" Leana mencubit pinggang Elvano, membuat sang empu berteriak ke
Elvano berkutat dengan setumpuk dokumen di hadapannya, pria itu sangat fokus. Sampai-sampai tak menyadari jika jam makan siang sudah terlewat. "Sibuk sekali Dokter Elvano sekarang, ya." Elvano mendongak kala mendengar suara yang tak asing lagi baginya. Dia melepas kacamata yang bertengger pada hidung bangirnya sembari menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. "Kamu tidak bekerja?"Pria itu mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu mengambil duduk di sofa. "No, aku cuti seminggu. Mau liburan sama istri. Biar makin langgeng dan lengket." Elvano memasang raut malas, apalagi kala melihat wajah jenaka yang Zion tampakkan. "So, bagaimana pembahasan kita ditelepon waktu itu." Seketika Elvano bangkit dari kursi kebanggaannya. Dia melangkah ke arah Zion sembari membawa dokumen yang berada di atas mejanya. "Coba baca, dan cek sendiri." Zion membaca serius isi dokumen itu, sedetik kemudian kening pria itu berkerut. Lalu menatap Elvano dengan bibir menganga. "Wah! Parah sekali, jadi dia tidak s
"Perkenalkan, saya Diandra Melana Rayan. Sekaligus partner kerja Pak Elvano." Tubuh Leana memaku sesaat, lalu dengan segera dia membalas uluran tangan Diandra. "Leana Pramita, panggil saja Leana. Karena sepertinya umur kita tidak beda jauh." Diandra semakin melebarkan senyumnya. "Ah, begitu. Benar juga, Anda—em, maksud saya kamu terlihat sangat muda." "Mama, mau ikan cupang …." Rengekan gadis kecil di samping Leana mengalihkan atensi Diandra. Perempuan itu terlihat berbinar kala menatap kedua bocah yang sangat cantik dan tampan. Apalagi wajah mereka begitu mirip. "Ini anak kamu? Ya, Tuhan, tampan dan cantik sekali. Sama seperti Mama dan Papanya." Diandra berjongkok. "Hai, Sayang, namanya siapa?" Nala mendongak menatap ke arah Leana, seolah meminta persetujuan. Sementara Nathan hanya bersedekap dada sembari meneliti wajah Diandra. "Nama aku Nala Aunty, kalo ini Abang Nathan. Dan sekalang umul kita lima tahun." Diandra terkekeh gemas, dia mencolek ujung hidung gadis kecil yan
Elvano mematung, jantungnya berdegup begitu kencang. Perlahan tapi pasti. Dia mulai bangkit dari duduknya sambil melangkah menuju pintu. "Aku akan tidur di kamar lantai tiga, kamu tidurlah di sini. Kita butuh waktu untuk sendiri." Setelahnya Elvano pergi, meninggalkan Leana yang mulai terisak. jantungnya bertalu-talu ketika melihat mata perempuan yang dicintainya mengeluarkan air mata. Tetapi dia harus menenangkan diri terlebih dahulu, dia tak mau jika lepas kendali karena emosinya yang tak stabil. Keesokan harinya, Leana maupun Elvano saling mendiamkan. Wajah perempuan itu terlihat pucat dengan mata membengkak, tak jauh berbeda dengan Elvano. Terlihat jelas jika dia tak memejamkan mata barang sejenak pun."Selamat pagi Mama! Papa!" seru Nala, tas bergambar pokemon itu terlihat kebesaran di tubuh mungilnya. "Pagi sayang." Leana dan Elvano menjawab kompak. Mereka memasang senyum seperti tak terjadi apa-apa. "Mata Mama sama Papa kenapa? Kok, menghitam? Telus kenapa bengkak?" Mereka
Leana menutup wajahnya malu, suaminya itu benar-benar! Padahal Elvano hanya masuk angin, tapi pria itu justru berkesimpulan jika dirinya sedang mengidam. Dan berakhirlah Elvano membuat kehebohan di rumah sakit. Bahwa sang istri sedang mengandung."Jaga jarak! Aku malu tahu! Ingin menyelam ke Palung Mariana saja rasanya!" Leana semakin menyembunyikan tubuhnya di dalam selimut. Sementara Elvano hanya terkekeh geli melihatnya. "Namanya juga usaha sayang, dan aku juga mana tau." "Argh! Malu! Malu! Mana Suster sama Dokter sudah memberikan selamat, Mas!" Elvano semakin terbahak, dia menepuk pucuk kepala Leana gemas. Setelahnya ikut berbaring di sisi sang istri. "Cup cup cup … tidur ya, Sayang. Malunya ditunda dulu." "Mas Elvano!"***Satu bulan kemudian, tepatnya di hari senin, Ini adalah hari yang sangat mendebarkan bagi Leana serta Sasmita. Mereka saling menguatkan satu sama lain. "Semangat-semangat! Kita pasti bisa, Kak!" Mereka saat ini berada di Italia, untuk mengikuti fashion sh
Pria itu melempar dokumen yang ada di tangannya dengan asal, dia menatap perempuan yang mempunyai paras ayu itu penuh kemurkaan mendalam. "Kamu seharusnya bisa mencegah semuanya! Kamu mau Elvano segera membongkar kedok kita? Jangan bodoh, Mel!" Perempuan yang dipanggil, Mel itu hanya terkekeh serak. Kaki jenjangnya melangkah mendekat pada pria tampan di usianya yang tak lagi muda. "Ayolah, Sayang, kamu pikir aku sebodoh itu untuk melakukan hal yang fatal?" Pria itu mendengkus sinis. "Jangan pernah meremehkan siapapun, Mel. Kia harus tetap waspada!" Perempuan itu tersenyum miring, dia mendudukkan bokongnya seraya menyelipkan rambut di belakang telinga. "Aku mulai mendekati istrinya, perlahan tapi pasti aku akan masuk ke dalam keluarga mereka. Kamu jangan melupakan jika partnermu ini begitu cerdik, sudah berapa tahun kamu mengenalku Aditya, Sayang?" Aditya menipiskan bibirnya. Dia sudah sejauh ini untuk mencapai semuanya. Sifat iri dengkinya pada sang kakak begitu mendarah daging,
Elvano bergegas meminta tolong pada papanya untuk mengurus semuanya, sedangkan pria itu langsung menuju rumah sakit. Dan disinilah dia sekarang, terduduk sembari menunggu kondisi Risa yang sedang ditangani oleh dokter di ruangan ICU.Selang dua jam kemudian, seorang dokter berparas manis keluar. Elvano melangkah menghampiri. "Bagaimana keadaannya?" ucapnya begitu tenang, padahal di kepalanya sibuk memikirkan segala kemungkinan yang ada. "Pasien mengalami cedera leher, dikarenakan hentakan saat kecelakaan mobil bisa menyebabkan ketegangan pada leher. Cedera dapat terjadi akibat peregangan dan robekan pada otot, serta tendon di leher saat kecelakaan." Elvano mengatupkan bibirnya, sedikit banyak dia tahu kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika mengalami hal seperti itu. "Gejala apa yang timbul nantinya, dan apakah tidak berimpact besar pada kesehatannya?" tanya Elvano kembali memastikan. Dokter manis itu terlihat gugup, dia menatap pemilik rumah sakit itu penuh pertimbangan. "Mu
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S
“Berhati-hatilah, Vano. Aku tidak ingin kamu lengah.”Elvano menganggukkan kepala, setelah tersadar jika Zion tak melihatnya. Pria itu berdehem sembari menjawab pelan. “Tentu.” Toh, mana mungkin Risa bisa menembus penjagaan ketatnya. “Bagaimana keadaan Zelina, apa dia sudah mulai mendingan?” Hembusan lelah menginvasi indra pendengaran Elvano. “Begitulah, Papa sama Mama menyarankan jika kami berlibur. Tapi mungkin setelah Zelina benar-benar sembuh total.” Elvano yang mendengar nada sedih itu kembali dirundung amarah, jika Risa serta Aditya tertangkap. Elvano Sendiri yang memberikan hukuman setimpal untuk mereka, sudah cukup kekacauan yang diperbuat. “Vano, sudah dulu ya. Zelina sudah bangun soalnya, sampaikan salamku pada si kembar dan Leana.” “Hm, pasti.” Elvano mematikan panggilan, lalu melangkah menuju Leana berada. Kening pria itu berkerut ketika tak menemukan seorangpun di sana, ke mana mereka semua?Elvano berjalan menuju kamar paling ujung, berpikir bahwa Leana sedang menid
Jika boleh memilih, Leana lebih baik berhadapan dengan makhluk tak kasat mata dari pada manusia gila yang nekat melakukan apa saja. Contohnya, seperti sekarang ini, raut menyala-nyala yang Risa tampakkan membuat bulu kudu Leana meremang oleh rasa takut yang tak bisa dideskripsikan. Seringai pada bibir ranum berpoles lipstik merah itu semakin menambah kesan keji dari Risa. “Long time no see, Leana. Kamu semakin cantik saja. Dan aku semakin iri melihatnya.” Leana tersentak kaget ketika Risa tiba-tiba menekan kuat lehernya. Perbedaan tinggi mereka membuat Risa diuntungkan, apalagi tubuh perempuan itu sangat unggul jika dibandingkan Leana yang mungil. “Pasti menyenangkan, bukan? Menjadi seorang nyonya di kediaman Elvano Mahendra─”“Sayang!”Perkataan Risa terhenti kala perempuan itu mendengar suara Elvano yang memanggil Leana. “Ck, sayang sekali waktu kita hanya sebentar, tapi kamu tenang saja. Kita akan mempunyai waktu luang yang sangat banyak, dan aku akan menceritakan semuanya.” R
Beberapa hari setelah kejadian itu, Leana terlihat pendiam. Perempuan itu juga selalu was-was dalam segala hal. Elvano yang notabenenya peka akan apa yang terjadi pada sang istri segera mencari tahu. Mulai dari saat di mana perubahan sikap Leana, sampai dia melacak apa yang terjadi di butik sang istri, tak ada yang aneh sebenarnya, kecuali pada sore hari ketika Leana menerima paket yang diserahkan oleh karyawannya. Ketika Elvano mengecek rekaman cctv yang ada di dalam ruangan Leana, rahang pria itu bergetar ketika melihat wajah ketakutan Leana saat membuka box putih berpita gold itu.Elvano tak tahu apa isinya, karena setelah itu Leana membuangnya ke tong sampah, lalu memanggil satpam butiknya. “Mas! Ngagetin aja!” Leana memegang dadanya—menatap kesal ke arah sang suami. "Habisnya kamu melamun terus sedari tadi, mikirin apa, hm?" Elvano mendekap tubuh mungil istrinya dari belakang, dia akan menunggu sampai Leana siap menceritakan semuanya.Leana terdiam, dia kembali melempar pandan