Daffin masuk ke dalam warung makan sambil memegang tangan istrinya. Melihat tempat yang saat ini di kunjunginya membuat dirinya bingung sendiri. Entah mengapa Hana memilih tempat ini. Warung makan ini tidak begitu besar, namun pengunjungnya sangat ramai. Bahkan dirinya bingung untuk memilih tempat duduk.Hana memandang ke dalam warung makan sambil mencari kursi yang kosong. "Abang, kita duduk di sana ya." Ia menunjuk kursi yang kosong di depan meja yang ditempati oleh pasangan suami istri dengan membawa anak."Itu meja ada orangnya," tolak Daffin."Nggak apa-apa, kita makan di sana aja." Hana tersenyum dan menarik tangan suaminya.Daffin hanya diam dan mengikuti kemauan istrinya. "Permisi mbak, apa kursi ini kosong?" Hana tersenyum memandang wanita yang saat ini sedang duduk memangku anaknya."Nggak ada, kosong," jawab wanita satu anak tersebut."Terima kasih ya mbak." Hana tersenyum dan kemudian duduk di kursi plastik tanpa memiliki sandaran tersebut."Abang duduk sini." Hana mene
"Maaf mbak, ini kerjanya dicepetin." Susi sangat kesal di perlakukan seperti ini. Jauh di lubuk hatinya, Ia tidak ingin bekerja seperti ini. Anaknya seorang artis terkenal, tidak selayaknya ia bekerja di warung makan kecil seperti sekarang."Kerjanya yang cepat ya Bu Susi, itu mejanya sudah pada numpuk semua piring-piring kotor." Wanita pemilik warung itu, berkata dengan kesal. "Iya Mbak," jawab Susi dengan wajah yang tidak ikhlas. "Cuman punya warung seperti ini aja sombongnya sudah minta ampun." Susi mengomel dalam hati. Jika seandainya boleh memilih, Susi tidak akan mau bekerja di sini. Gengsi rasanya bila harus bekerja di warung makan kecil seperti ini. Namun, tidak ada tempat yang mau menerimanya bekerja. Apalagi Susi memang tidak memiliki keterampilan apapun sama sekali."Jangan kebanyakan melamun buk." Wanita itu kembali berkata ketika Susi diam melamun. Stres rasanya memiliki pekerja seperti ini, kesalnya."Iya mbak." Susi memasukkan piring kotor yang di atas meja ke dalam bas
Hana berada di dalam kamar rawatnya. Hari ini, mama mertuanya, Akan datang berkunjung siang, karena ada urusan. Sedangkan suaminya, berangkat ke kantor. "Di sini enak, tapi bosan juga." Hana merasa jenuh."Tapi gak bosan kok, di sini ada banyak perawat. Ada mama dan papa yang selalu menemani. Ada pengawal Nia juga, yang selalu menjaga. Lebih seram bila di rumah." Ia kemudian tersenyum. Hatinya merasa sangat senang, setiap kali melihat perubahan sikap suaminya. Hana mengambil ponselnya dan menghubungi pengawalnya yang berjaga di depan pintu kamar."Mbak Nia, bisa tolong masuk sebentar," panggil Hana."Baik mbak Hana," jawab Nia yang kemudian memutuskan sambungan telepon. "Ada apa Mbak Hana?" Nia bertanya ketika sudah masuk ke dalam kamar."Mbak Hana, saya minta tolong belikan rujak." Hana tersenyum. Siang ini, ia begitu sangat ingin makan rujak ulek.Nia diam saat mendengar permintaan dari Hana."Mbak tolongin, pengen banget," Hana sedikit memaksa.Nia memandang Hana dan kemudian t
Wajahnya yang tadi garang, kini memucat ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu. "Daffin." Kakinya gemetar ketakutan, seakan melihat hantu.Hana menangis saat melihat Daffin datang. "Abang, tolong Hana." Ia berkata dengan suara yang lemah. Dengan cepat dilepaskannya tangan anak tirinya dengan kasar, dan mendorongnya. Susi tidak menduga, bahwa Daffin akan pulang secara mendadak. "Hana." Daffin berlari mengejar istrinya. Dengan cepat di peluknya tubuh istrinya yang hampir saja terjatuh. Apa yang sudah dilakukan Susi terhadap istrinya, tidak bisa dibiarkannya begitu saja. Setelah memposisikan Hana, duduk di tepi tempat tidur. Ia akan membuat perhitungan terhadap wanita tua tersebut. "Berani sekali kalau datang ke sini dan memukul istri ku?" Daffin mendorong kuat, tubuh gemuk milik Susi, hingga terjatuh kelantai. Melihat istrinya diperlukan seperti ini, membuatnya sangat marah. Di tatapnya Susi dengan tatapan tajam. "Maafkan mama, Daffin, mama khilaf." Susi ketakutan saat
Setelah mendengar penjelasan dari dokter Lusi, Daffin merasa senang. Namun ada rasa sedih, ketika melihat wajah istrinya saat ini. Diusapnya rambut Hana dan mencium kening wanita tersebut. "Nggak tahu dek, apa yang harus Abang katakan sekarang, Abang benar-benar sangat menyesal dengan apa yang sudah Abang lakukan."Daffin mengusap air matanya dengan menggunakan tangan baju kemejanya. Karena perbuatan yang dilakukannya, kini istrinya harus menderita seperti ini."Untuk sementara tangannya diliburin lagi ya dek. Nanti kalau perlu ngetik skripsi, Abang yang bantu. Adek cukup kasih perintah aja." Daffin mengusap pipi istrinya. Apapun yang saat ini dikatakannya, sudah pasti tidak akan didengar oleh Hana. Namun ia, tetap berbicara sendiri, seakan istrinya mendengar apa yang disampaikannya. Hana harus kembali dirawat secara intensif. Jarum infus, kembali menancap di tangannya. Hidungnya, menempel seleng oksigen, guna membantu pernapasannya.Kini tatapan matanya, mengarah ke perut istrin
Daffin tidak beranjak dari duduknya. Tangannya tidak ada henti-hentinya mengompres bagian pipi Hana yang merah. Dilihatnya pintu kamar yang terbuka dan papanya, masuk kedalam kamar."Daffin, bagaimana kondisi Hana?" Surya memandang putranya. Begitu mendengar kabar tentang Hana, Surya langsung ke rumah sakit."Belum sadar pa, masih harus dirawat lagi, sampai kondisinya membaik," jelas Daffin."Mengapa bisa seperti ini?" Surya melihat kondisi menantunya yang memprihatinkan."Kita ngobrol di sofa aja pa." Daffin meletakkan alat kompres di atas nakas. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju sofa.Surya memandang minantunya dan mengusap kepal Hana. "Papa janji nak, ini yang terakhir kalinya, kamu diperlakukan seperti ini dengan keluarga mama tirimu. Setelah ini, dia tidak akan bisa lagi mendekat." Daffin duduk di sofa dan meminum kopinya yang sudah tidak panas. Ia berharap, setelah meminum kopi, pikirannya akan lebih tenang. "Mengapa bisa seperti ini? Bagaimana caranya Susi bisa
Hana terbangun dari tidur panjangnya. Dilihatnya ke tangannya, yang ternyata sudah kembali di gendong dan satu tangan lagi, memakai perbedaan elastis dan diberi penyangga. "Hana sudah bangun?" Mita tersenyum dan mengusap kepala menantu.Hana mengangguk kan kepalanya. "Hana mau duduk," ucapnya."Nggak boleh, harus baring aja. Soalnya kata dokter, untuk sementara waktu ini, Hana tidak boleh bergerak, ataupun duduk.""Iya ma," jawabnya nurut. Bila sakit seperti ini, ia akan menjadi anak yang sangat patuh dan menuruti semua yang diperintahkan oleh Mama mertuanya."Apanya yang terasa sakit?" tanya Mita."Kepala Hana pusing," keluhnya.Mita memijat pelipis kening menantunya. "Tangan gimana rasanya?" "Gak ada rasa, ma.""Oh, mungkin karena efek bius." Mita tersenyum dan terus memijit pelipis kening Hana. Kalau perut, apa masih sakit?" "Sudah tidak, kalau Hana gak boleh gerak, gimana ke kamar mandinya?""Nanti pakai pispot aja, jadi di tampung. Atau mau pakai pempes?"Hana gak mau pakai pe
Baru saja kemarin, Hana merasa sombong dan bisa melakukan semuanya sendiri. Namun hari Ini, kedua tangannya tidak lagi bisa di minta untuk bekerja. Bahkan ia tidak di perbolehkan untuk bergerak. Hana harus meminta suaminya mengerjakan semua hal untuknya. "Abang, kemarin Hana sudah bisa mandi sendiri, bisa makan sendiri, bisa ke kampus, lanjutkan skripsi, tapi sekarang kayak gini lagi." Mulutnya maju ke depan. Ia masih sangat kesal dan juga marah kepada Mama tirinya, yang sudah membuat tangannya kembali tidak bisa bekerja."Nggak apa-apa dek, ini abang yang kerjain semuanya." Daffin tersenyum dan mengusapkan handbody ke kaki istrinya. "Tapi nggak enak seperti ini. Hana mandi cuman dilap-elapin doang" Wajah Hana tampak sedih. Sore ini, suaminya, baru saja selesai membersihkan tubuhnya dengan dilap-lap saja. "Gak apa ya sayang, Kata dokter, cuman beberapa hari ini aja, gak boleh gerak seperti ini. Bila kondisi adek sudah baik, sudah boleh gerak lagi." Daffin mencoba untuk menenangk
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat