"Kalian benar-benar bisa buat Tante jadi senang. Meminta dan berdoa, harus lengkap. Minta dapat suami yang ganteng, pintar, rajin bekerja, bertanggung jawab, tidak pelit, banyak duit, kaya raya, setia, mertua baik." Kalau sudah seperti ini, baru oke." Mita tersenyum "Ih Tante tahu aja selera kami. Tante diam-diam ngajarin kami matre ini." Nara tertawa.Hana tertawa ketika melihat kedua temannya yang sudah begitu sangat akrab dengan mama mertuanya."Bukannya ngajarin matre tapi yang namanya kita perempuan butuh jaminan. Jaminan masa depan, maksudnya." Mita tersenyum. "Ha... Ha... Kalau seperti ini, kami setuju Tante." Nara dan Cinta berkata dengan serentak. "Itu masih kurang, agamanya, akhlak, no 1." "Oke Tante, ajaran dari Tante akan menjadi panduan kami nanti ketika cari jodoh." Nara tersenyum.Mereka begitu sangat asyik bercerita, dan tertawa bersama.Daffin yang baru akan masuk ke kamar istrinya dan membuka pintu, mendengar suara tertawa Hana. Senyum mengembang di bibirnya, ke
"Belum pa," jawab Hana dengan memajukan bibir bawahnya."Sabar ya nak, sebentar lagi tangannya sehat kok." Surya tersenyum dan mengusap kepala menantunya. Nara tersenyum, saat melihat sahabatnya yang sudah sangat bahagia seperti ini. Ia merasa senang dan bahagia, ketika melihat Hana yang sangat disayangi suami serta mertuanya. Akhirnya, sahabatnya, bisa menikmati kebahagiaan yang sempurna, pikirnya."Ayo dilanjutin makanya," ucap Surya."Iya Om," jawab Nara dan juga Cinta."Papa mau apa?" Mita meletakkan jus mangga di depan suaminya."Spaghetti saja deh." Surya melihat box coklat yang berisi spaghetti.Mita mengambilkan spaghetti yang di minta suaminya dan meletakkan di depan Surya. Daffin mengambil pizza dan meletakkan di bibir istrinya. Hana tersenyum dan mengigit piza tersebut. Bila ada yang mengatakan, sakit itu nikmat, maka Hana merasakannya. Diperlukan seperti ini, oleh suaminya yang galak, terasa mimpi untuknya. Daffin mengigit pizza di tangannya dan kembali menyuapi istri
Seperti janjinya dengan Hana, sore ini Daffin mengurus istrinya dan memandikannya. Pekerjaan ini terasa begitu sangat menyiksanya. Setiap kali memandikan hingga selesai, memasangkan pakaian, pria itu harus menahan nafasnya dan mengendalikan hasrat di dirinya. Mendapatkan perhatian yang seperti ini dari suaminya, membuat Hana merasa disayang. Meskipun sampai detik ini, dirinya tidak bisa membaca raut wajah Daffin yang penuh misteri menurutnya. Posisinya hanya sebagai pengganti. Apa yang dikatakan suaminya di saat hari pertama pernikahannya, masih terkonsep jelas dibenak kepalanya. Tiap kata yang didengarnya, tidak pernah dilupakannya. Ia tidak ingin memiliki rasa cinta untuk Daffin. Agar nanti, bila waktunya disuruh untuk pergi ataupun waktunya untuk ditinggalkan, ia tidak terluka lebih dalam lagi, karena cinta yang dimilikinya. "Ini karena dia takut sama mama dan juga papa, kemudian juga dia pasti hanya sekedar sandiwara. Ayolah Hana, jangan senang dulu. Yakinlah, dia hanya berpu
"Itu namanya tipu-tipu dong."Daffin memandang istrinya dengan mengerutkan keningnya. Iya kemudian menganggukkan kepalanya. "Ia benar juga," ucapnya yang tidak menyalakan ucapan istrinya."Tuh kan, kenapa nggak ditulis aja 13 nya daripada main tipu-tipu.""Angka 13 itu, di identik dengan angka yang tidak baik. Karena itu, setiap kali gedung-gedung yang tinggi dan banyak lantai, menghindari angka 13. Biasanya mereka akan membuat lantai 13, menjadi gudang tempat penyimpanan barang-barang yang tidak dipakai. Atau tempat yang memang tidak difungsikan untuk umum. Jadi karena itu, lantai 13 kadang dibuat gudang. Terkadang tidak dibuat angka 13 tapi 14." Daffin menjelaskan dengan sabar.Hana memandang Daffin dan kemudian menganggukkan kepalanya. Ia berjalan bersama dengan suaminya menuju taman depan rumah sakit. Daffin terus memegang pinggangnya meskipun sebenarnya ia tidak perlu diperlakukan seperti ini ketika berjalan."Nanti bila sudah sehat apa mau jalan-jalan?" tanya Daffin.Hana mengg
"Jangan bohong, Daffin pasti yang melakukan ini. Dia pasti melakukan kekerasan terhadapnya Hana. Cerita dengan mama nak, tidak usah takut." Susi semakin marah dan mengeraskan suaranya ketika mendengar pengakuan dari Hana. Hana diam memandang wajah mama tirinya. "Bila tujuan Anda datang ke sini untuk buat keributan silakan keluar." Mita marah. Sebenarnya bisa saja ia meminta agar pengawal pribadi yang berjaga di luar menyeret wanita itu keluar dari kamar menantunya, namun Mita masih ingin melihat apa sebenarnya tujuan Susi datang ke sini. Mendengar ancaman dari Mita membuat nyali Susi, sedikit menciut. Ia duduk di tepi tempat tidur Hana. "Cerita sama mama. Mama akan memberikan keadilan untuk Hana. Hana jangan takut untuk mengatakannya. Susi menangis dan memeluk Hana. Ia menunjukkan bahwa dirinya sangat terpukul dengan peristiwa yang menimpa anak tirinya.Mita hanya diam, memandang wanita yang merupakan mama tiri Hana. Ia tetap berdiri di samping tempat tidur, untuk memantau dan mende
Wajah Susi memuncak ketika melihat kemarahan Mita. Ia tidak menyangka wanita yang bertubuh langsing itu memiliki tenaga yang kuat"Maaf, saya khilaf, maaf. Saya terlalu emosi." "Khilaf kau bilang." Mita kembali menampar wajah Susi dengan keras. Ditariknya rambut wanita itu dengan keras, hingga terdengar suara hentakan dari kulit kepala Susi. "Tolong lepaskan mbak, saya tahu saya salah." Susi sangat kesakitan. Bisa saja ia melawan Mita namun Susi sangat tidak berani, mengingat di depan kamar Hana ada beberapa orang pengawal yang menjaga. Ia tidak mengerti, mengapa pengawal pribadi itu membiarkan dirinya untuk masuk. Dengan bersusah payah, Susi menahan dirinya. Ia hanya bisa pasrah dan menerima serangan yang dilakukan mama mertua Hana kepadanya. Ia harus bisa menahan dirinya, agar hubungannya dengan Hana nanti semakin menjauh. Saat ini dirinya sangat membutuhkan bantuan dari anak tirinya."Seenak-enaknya kau minta maaf setelah kau menampar menantu." Mita kembali mendaratkan tangann
Hana menggelengkan kepalanya. "Aku mana ada uang ma. Aku aja datang ke sini nggak apa-apa. Tangan aku juga seperti ini, gak bisa pegang apa-apa," jelas Hana. "Jadi bagaimana Mama pulang nak, Mama benar-benar enggak ada uang. Jangankan untuk ongkos, untuk makan juga nggak ada. Kakak, kamu nggak pulang-pulang. Dia juga nggak ada ngasih kabar, dia juga nggak ada dikirimin Mama uang sejak dia pergi." Susi sudah tidak punya uang sama sekali. Bahkan untuk makan, juga tidak ada. Berliana seakan tidak mengingatnya lagi."Ya, aku nggak tahu lah, mama pulang jalan kaki saja." Hana berkata dengan kejam. Ia memang tidak memiliki uang untuk diberikan kepada Mama tirinya."Nak jangan kejam gini dong nak. Mama datang ke sini kan untuk jenguk kamu.""Jenguk aku atau cari uang?" Susi diam dan menelan air ludahnya yang terasa anyir."Hati aku terlanjur sakit mama buat. Jadi sekarang aku sudah tidak ingin lagi, lihat mama, pergilah." Hana mengusir. "Hana kamu jangan seperti ini dengan Mama. Kamu apa t
Pagi ini, Hana begitu sangat senang, ketika dokter mengatakan tangannya tidak perlu lagi memakai gendongan.Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya. Melihat tangan Hana yang sudah dalam proses penyembuhan seperti ini, membuat hatinya merasa sedikit lega."Apa tangan sudah boleh digerakkan ini dok?" Hana tersenyum memandang tangannya. "Sekarang tangannya sudah boleh digerakkan, hanya saja tidak boleh mengangkat benda-benda yang berat. Hindari menggerakkan tangan secara cepat seperti memutar." Dokter Irwan menjelaskan dengan tersenyum."Apa saya saya sudah boleh mengetik pakai laptop?" Hana tersenyum penuh rasa bahagia. "Sudah namun bila tangan terasa lelah, istirahatkan. Jangan dipaksa bekerja menggunakan tangan dalam durasi waktu yang lama. Mengingat tangan ibu Hana, baru saja sembuh. Namun di sini, kata sembuhnya bertahap, tidak langsung sembuh langsung begitu saja jelas," dokter Irwan.Senangnya hati Hana, ketika mendengar ucapan dokter yang sudah berjasa membantu penyembuh
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat