Pertemuan keluarga sudah usai dan Raya langsung pulang bersama dengan nenek beserta anggota keluarga yang lain.
Merasakan kemarahan sepupunya yang diam saja selama perjalanan, Raya langsung kabur menghindar sesampainya mereka di rumah.
Baru ketika menjelang makan malam, Raya pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan makan malam.
Namun, ternyata selama Raya menghindar, kemarahan Yarina belum padam.
“Oh, ternyata sembunyi di dapur?” Yarina tiba-tiba muncul. Baru mendengar suara Yarina saja batin Raya sudah merasa lelah.
Raya hanya menoleh ke arah dimana Yarina berdiri.
“Apa lihat-lihat, sudah merasa bangga ya, mau jadi istri orang cacat?” Yarina menarik lengan Raya dengan cengkeraman keras agar Raya berbalik ke arahnya hingga Raya mengernyit sakit.
Raya pun berbalik, dengan tanpa sadar mengacungkan pisau yang baru dia pakai memotong daging, sambil menatap mata Yarina.
Mengamati apa yang diacungkan Raya, Yarina memandang pisau itu dengan ngeri.
“Ada apa denganmu? Kesurupan?” bentak Yarina setelah pulih dari keterkejutannya. “Jangan hanya karena dipuji sedikit, kamu jadi sombong! Padahal cuma dipuji cantik sama orang cacat.” Yarina mendecih. “Jangan-jangan kamu benar-benar berpikir kalau kamu cantik!?”
Raya melirik Yarina yang sedang menegaskan kata “cantik” dengan begitu dekat di telinga Raya.
“Mana mungkin,” batin Raya. Ia tidak memiliki kepercayaan diri tinggi akibat selalu direndahkan oleh keluarganya sendiri.
Namun, sepintas Raya teringat ucapan Andro mengenai dirinya tadi. Meskipun tampak dominan dan menyeramkan, entah kenapa Raya berpikir bahwa Andro bukanlah orang jahat.
Dengan pikiran tersebut, tanpa sadar Raya tersenyum samar.
Namun, senyum tersebut dipandang sebagai hinaan di mata Yarina hingga membuatnya semakin tersulut emosi. Gadis kesayangan kelaurga Lazuardi tersebut mengepalkan tinjunya geram.
Tiba-tiba Yarina menampar tangan Raya hingga pisau yang dipegang Raya terjatuh ke lantai.
Belum sempat Raya pulih dari keterkejutannya, Yarina kemudian mendorong dada Raya keras, sampai Raya harus mundur beberapa langkah. Punggung Raya menabrak tembok di belakangnya, membuat Raya mengerang kesakitan.
Yarina kemudian mencengkeram kedua pipi Raya dengan satu tangan.
“Hei! Jangan berpikir kalau kamu itu Cinderella hanya karena kamu akan dinikahi orang kaya. Dia itu cacat! Ingat itu,” bentak Yarina. “Sekaya apa pun suamimu, dia tidak akan menjadi pewaris utama dan statusmu juga tidak akan pernah naik!”
Raya memegangi tangan Yarina yang sedang mencengkeram pipinya.
“Yarin, sakit,” erangnya lirih. Cengkeraman Yarina begitu kuat, hingga Raya tidak mampu melepaskannya.
Senyum jahat Yarina mengintimidasi Raya, “Jangan lupa kamu dilahirkan dari rahim yang wanita yang tidak jelas asal usulnya. Dari pernikahan yang tidak akan direstui oleh Nenek. Jadi, seumur hidupmu akan tetap hina!”
Air mata Raya menetes, entah karena kata-kata Yarina atau karena rasa sakit yang ia rasakan.
“Yarin!” Tiba-tiba teriakan terdengar dari belakang Yarina. “Lepaskan!”
Bibi Raya meraih tangan putrinya agar melepas cengkeramannya.
“Yarina, kontrol dirimu!”
Raya langsung meluruh jatuh. Dengan tatapan ketakutan, ia menatap Yarina yang masih mengatur napasnya. Dada sepupunya tersebut naik turun dan matanya berkilat marah.
“Seminggu lagi dia akan menikah. Kamu mau menyinggung calon suaminya itu? Kamu lupa dia menikah dengan siapa, hah!?”
Mendengar hal tersebut, Raya langsung merasa lega. Meskipun alasan bibinya jauh dari rasa sayang, paling tidak Raya tidak perlu menerima kekerasan dari sepupunya tersebut.
Yarina langsung membantah. “Tapi, Bu–”
Bibi Raya berdecak, kemudian berbalik. “Paling tidak, jangan lukai dia di bagian tubuhnya yang terlihat.
Wajah Raya kembali tampak ketakutan. Ia memegangi pipinya, kesakitan dan memang pada akhirnya cengkraman Yarina tadi meninggalkan bekas merah pada kedua pipinya.
Namun, melihat ekspresi kesakitan Raya, membuat Yarina semakin gemas karena menganggap semua itu drama.
Si sepupu itu langsung mencengkeram rambut Raya dan menariknya berdiri.
“Ah!” Raya refleks berteriak merasakan sakit sekaligus terkejut. Dia berusaha bangkit sambil merintih. Kedua tangannya memegang lengan Yarinya, berusaha melepaskan cengkeraman sepupunya itu dari rambutnya.
“Bangun!”
Air mata Raya kembali menetes lagi. Sebenarnya ia tak ingin menangis. Tapi entah kenapa air matanya keluar begitu saja. Mungkin sekali lagi karena rasa sakit yang ia alami.
Melihat Raya tak berdaya, bukannya kasihan. Yarina semakin menganggap Raya sedang bersandiwara.
“Jangan drama!” bentak Yarina. Ia menyentak rambut Raya, membuat gadis itu mengaduh. Tanpa sengaja, kukunya menggores kulit Yarina, membuat sepupunya itu berteriak marah.
“Beraninya kamu!” Yarina mendaratkan sebuah tamparan ke pipi Raya, membuat gadis itu mundur satu langkah sembari memegangi pipinya.
Seketika itu juga, Yarina meraih pergelangan tangan Raya, lalu ditariknya gadis itu dengan kasar agar mengikutinya.
“Aku tidak mau melihatmu!” teriak Yarina.
“Yarin, lepaskan…”
Raya berjuang melepaskan diri. Namun sekuat tenaga pula Yarina terus menyeret Raya, tak menghiraukan rengekannya. Mereka menuju gudang di belakang dapur rumah itu.
Saat hampir sampai, Raya menyadari apa yang akan Yarina lakukan, dia pun berusaha melawan meski sebenarnya dia tau ini semua percuma, melawan siapa pun di rumah ini adalah suatu hal yang sia-sia.
“Yarin, berhenti, jangan lakukan itu. Jangan kurung aku, Yarin!”
Yarina tak menghiraukan rengekan Raya. Ia menyentakkan tangan Raya dan mendorongnya masuk ke dalam gudang sebelum menguncinya. Tak lupa, ia membiarkan gudang tanpa penerangan.
Di dalam, tubuh Raya terjatuh setelah membentur tumpukan kursi hingga sekumpulan kursi tersebut menimpa kakinya, membuat Raya berteriak terkejut.
Namun, bahkan suara kursi yang rubuh dan teriakan Raya tidak membuat Yarina membuka pintu.
“Nikmati saja salam perpisahan dariku di rumah ini, Raya…”
“Yarin …,” gumam Raya dengan suara yang mulai melemah saat mulai menundukkan kepalanya dalam kesedihan.
Hati Raya begitu merasa lelah dengan keadaan seperti ini. Bertahun-tahun ia lalui tanpa kasih sayang dan perlakuan semena-mena dari keluarganya semenjak orangtuanya meninggal.
Air mata yang tak kuasa ia tahan lagi, kini telah membanjiri kelopak matanya. Membuat pandangannya buram.
Tak kuasa tenggelam dalam pilu, Raya menutup kedua matanya dan saat inilah, tiba-tiba satu sosok muncul dalam benaknya. Sosok dengan sorot mata tajam, yang membuat harinya menjadi lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Apakah … pria itu bisa membantunya keluar dari neraka ini?
“Andromeda….”
Hari pernikahan tiba. Andromeda Prakarsa, laki-laki itu kini sudah berada di hadapan Raya dengan kursi rodanya. Janji pernikahan sudah diucapkan, mereka sudah sah sebagai suami istri di disaksikan beberapa saja anggota keluarga Prakarsa juga keluarga Lazuardi. Tanpa pesta yang meriah dan dekorasi megah meski di gelar dalam salah satu restoran hotel yang mewah. Semakin lama berdiri diatas pelaminan, Raya semakin gusar. “Ya Tuhan, akan seperti apa hidupku setelah ini?” gumam Raya dalam hati, ia memejamkan matanya dengan sedih. Namun, tiba-tiba suara nenek Naimah mengejutkan dirinya. “Raya,” panggil nenek Naimah. Raya seketika langsung membuka matanya. Andro di samping Raya juga jadi ikut terfokus pada nenek Naimah. “Iya, Nek,” sahut Raya. Ia mencoba tersenyum di hadapan neneknya tersebut. “Raya, cucuku sayang. Kamu sekarang sudah menjadi seorang istri. Pesan Nenek, apapun keadaan suami kamu, kamu harus selalu bersamanya dan bagaimanapun perlakuan suami kamu, kamu harus tetap berbak
‘Ya Tuhan, ada dia.’ Tak tahu harus berbuat apa, Raya hanya diam berdiri di depan pintu ruang ganti karena terkejut melihat Andro sudah berada dalam kamar mereka, sampai Andro memanggilnya untuk mendekat dengan menepuk sofa di sampingnya. “Kemarilah.” Meski ragu, Raya tetap berjalan mendekat sambil meremas-remas tangannya di depan perutnya. Kemudian duduk dengan patuh di sofa yang baru saja di tepuk oleh Andro. Beberapa detik awal. Andro hanya diam mengawasi Raya dari ujung kepala hingga kaki, yang diawasi, hatinya sudah mulai berlarian tak karuan. Antara takut, malu dan bingung. Membuat Raya serba salah. Tatapan Andro berakhir pada paras polos tanpa riasan Raya, tapi menurut Andro ini justru sangat menarik, terlihat cantik natural dan imut. Namun setelah mengamati, hal terbesar yang ada dalam benak Andro adalah rasa penasaran karena sepertinya, wajah Raya tidak asing baginya. “Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” nada suara Andro diselimuti aura dingin. “Ah?” Raya terkejut de
Di kamar, Raya sedang berdiri membeku di depan lemari baju yang terbuka. Andro menyuruhnya memilih baju dan berganti pakaian, tapi semua baju di lemari ini membuatnya tak bisa berkata-kata, “Baju kain jaring ikan dan kurang bahan semua?” keluhnya sambil menghembuskan napas kasar. Raya berjongkok, bingung apakah dirinya benar-benar harus memakai baju yang semuanya berbahan satin tipis dengan tali spaghetti dan renda-renda di bagian dadanya, dia tidak biasa. Apalagi jika membayangkan siapa yang akan melihat dirinya memakai baju ini. “Koperku…” rengeknya. Ketika ini, suara ketukan di pintu membuatnya terbangun dari kegundahan. Terperanjat panik, takut kalau-kalau Andro yang mengetuk pintu. Sejenak menenangkan diri, Raya akhirnya sadar, “Tadi dia masuk tidak mengetuk pintu, lagi pula pintu kamar tidak ku kunci. Pasti bukan…” Raya segera bangun dari jongkoknya dan bergegas membuka pintu. “Selamat malam Nona.” Sapa seorang wanita di depan pintu yang penampilannya terlihat formal. Ray
Raya tidak juga bisa memejamkan matanya, di terduduk lagi diatas tempat tidurnya dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Sepertinya dia tidak bisa tidur karena merasa lapar, dia pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah melewati tangga. “Apa yang bisa aku makan?” “Nona muda?” “Ah? Jeta, kamu mengagetkanku.” “Kenapa turun, apa anda butuh sesuatu?” “Aku haus…” Jawab Raya dengan suara lirih. “Ada lemari es di kamar anda, Nona.” Raya hanya menggelengkan kepalanya. Dia tahu ada lemari es di kamar, tapi mana mungkin dia berani sembarangan menyentuh barang-barang di dalam kamar yang baru sehari dia tinggali. “Sebaiknya anda memanggil saya jika butuh sesuatu, Nona.” “Sebenarnya aku lapar, Jeta.” “Apa yang ingin anda makan?” “Ada mie instan?” “Tidak boleh ada mie instan di rumah ini, jika anda mau saya bisa membuatkan spaghetti.” “Tidak, tidak perlu,” ucap Raya menahan Jeta melakukannya. “Roti saja kalau ada.” “Baik.” Raya menerima sepotong roti tuna pedas yang
Andro membuka pintu kamarnya, mendapati Raya sudah pulas dalam posisi terlentang dengan jubah tidur tipisnya yang terangkat hampir mencapai pangkal paha. Dia pun panik. Setelah beberapa saat menenangkan diri, Andro berpikir, ‘Oma mau segera punya cicit, mungkin akan lebih baik kalau aku melakukannya saat dia tertidur.’ Malam ini, akan menjadi pertama kalinya bagi Andro menyentuh seorang wanita, untuk mengurangi rasa gugup, ia mematikan seluruh lampu kamarnya hingga ruangan itu hanya diterangi sorotan lampu yang menyelinap dari luar balik tirai jendela kamar. Andro mulai dengan menyibak jubah Raya semakin lebar hingga hampir terlepas. Kemudian perlahan meraba bagian paha Raya yang dibalut dengan dress satin. Perlahan membawanya naik seirama tangan milik Andro. Namun tiba-tiba tangan Andro berhenti, “Ya Tuhan…” gemingnya. Merasakan naluri kelaki-lakiannya, tanpa sadar jantungnya berdegup kencang, ia tak kuasa menahan degupan itu. Sebenarnya Andro sendiri tidak tahu harus berbuat apa
Paginya, Andro terbangun lebih dulu, mendapati Raya masih tertidur di sampingnya tanpa selimut, juga masih dalam balutan pakaian yang sama. Melihat pemandangan itu Andro menyeringai kesal. Dengan gerakan cepat, dia menutupi tubuh Raya dengan selimut hingga ke ujung kepala. Hari ini jadwal Andro cukup padat, pagi-pagi sekali dia sudah harus menghadiri pertemuan yang dipimpin oleh pamannya, Ayah dari Prabu. Sebelum ke kamar mandi, Andro terdiam sebentar, memikirkan rencana yang dia susun untuk Raya. Terpikirkan sesuatu, Andro membuka laptopnya. Mulai menyusun daftar apa saja yang harus Raya lakukan sebagai seorang istri. Andro menelpon sekretaris Hans. “Halo, Sekretaris Hans. Cek em*il mu, Aku baru saja mengirimkan berkas padamu, koreksi setiap katanya kemudian cetak!” “Baik Tuan Muda. Sekedar mengingatkan, satu jam lagi anda harus menghadiri pertemuan Pak Mirza.” “Ya, aku ingat.” Sambungan telepon terputus. *** Sekitar pukul 9 Raya terbangun karena sorot matahari yang menyelina
Sudah hampir jam makan siang. Oma dan Raya juga baru meneylesaikan kegiatan senam mereka. Oma berkata pada Raya, kalau untuk hari ini, sementara Raya mengikuti senam lansia yang rutin dilakukan Oma bersama instrukturnya saja sebelum instruktur aerobic Raya datang melatihnya mulai lusa. “Ria, kembalilah ke kamarmu dan segera mandi. Oma tunggu kamu di ruang makan. Kita makan siang sama-sama, oke!” Raya mengangguk patuh dan tidak mempermasalahkan lagi tentang Oma yang selalu salah memanggil namanya. Maklum, lidah tua. Mungkin nama Raya terlalu sulit diucapkan baginya. Lagi pula panggilan Ria terdengar lebih baik di telinganya dari pada panggilan “si anak dari rahim hina” yang disematkan oleh keluarganya. Saat sedang mandi dikamarnya, Raya mendengar pintu kamar mandi diketuk dari luar. “Ya…” Raya menyahut. “BIsa lebih cepat, Oma sudah menunggu.” Andro? Dia pulang untuk makan siang? Kenapa Jeta atau siapapun tidak ada yang memberitahuku. “Iya, sebentar lagi aku selesai.” “Apa saja
Raya tersentak, mengerjapkan matanya. Dia seperti bermimpi mendengar orang berteriak memenaggilnya. Rasa kantuk masih menguasai pelupuk mata itu setelah melalui hari ini yang cukup melelahkan. “Hoam,” dia menguap lebar, menggelengkan kepalanya berulang, mencoba menyadarkan diri. Duduk bersandar pada headboard tempat tidur. “Nona muda!” Panggilan nyaring itu muncul dari balik pintu kamarnya, disusul dengan suara ketukan. “Nona muda!” Saat dirinya kembali dipanggil, Raya memaksakan menyeret tubuhnya, membuka pintu. Melihat Pak Sam berdiri disana. “Maaf sudah mengganggu tidur anda selarut ini, Nona.” Pak Sam menundukkan kepalanya. “Ada apa Pak Sam?” Raya masih setengah sadar, bicara dalam kebingungan sambil menguap berulang-ulang. “Tuan muda sudah pulang. Lima menit lagi akan sampai,” ucap Pak Sam. “Hah? Lalu?” Lalu kenapa kalau dia pulang? Raya berpikir sejenak. “Astaga!” Dia terperanjat. Apa aku harus menyambutnya pulang seperti dalam daftar aturan? Memangnya sudah berlaku
Arin dan juga Samuel bergegas menuju rumah Cantika begitu pulang sekolah. Suasananya jauh berbeda dari sebelumnya, semua orang di sana terlihat sangat berduka."Nek, Cantika mana ya?" tanya Arin sambil memberi salam."Ada di dalam, sana ke kamarnya ya."Arin langsung menarik tangan Samuel untuk mengikuti langkahnya, mereka memasuki kamar Cantika dimana sosok itu terlihat sedang bersiap. mereka akan pergi ke gereja untuk Misa Arwah."Cantika?"Sosok itu langsung menoleh seketika, air matanya langsung turun begitu dia melihat Arin. Sosok yang lebih kecil itu langsung menangis dengan kuat saat Arin memeluknya. Mengungkapkan perasaanya yang sebenarnya. Cantika benar benar merasa tersakiti, kehilangan sosok yang selalu bersamanya, membesarkannya, dia kehilangannya saat itu juga.Dunianya terasa runtuh, bahkan Cantika tidak yakin dirinya bisa bertahan tanpa sosok itu."Hei, udah.... Inget loh, Mama kamu ada di tempat terbaik bersama dengan Tuhan," ucap Arin mencoba untuk menenagkan sahabatn
Gala kembali ke rumah setelah mengantarkan sang Pujaan Hati. Dia terdiam sejenak di ambang pintu, rasanya sangat sepi tanpa kedua orang tua dan juga adik adiknya yang selalu ribut."Hiks... Aku merindukan kalian," ucapnya dengan Satu Tetes air mata yang tidak sempat jatuh; Gala lebih dulu menyukainya. "Tapi... Rasanya tenang sekali, hehehe."BUK!"Astaga naga!" teriak Gala dengan spontan saat sebuah sendal melayang dan mengenai kepalanya, akan membuatnya kini tengah tertunduk di atas lantai.Belum juga memarahi sosok yang membuatnya terjatuh dia terlebih dulu melihat dua orang yang sedang kejar-kejaran. "Kembali ke sini, Alden, kau harus mandi," teriak Mentari sambil membawa ember dan gayung yang berisi air.Di belakang sana ada pelayan yang berusaha mengeringkan lantai supaya tidak ada yang terjatuh. Gala mengerjapkan matanya. "Apa yang terjadi?" tanya Gala pada sang pelayan."Mari saya bantu Anda berdiri, Tuan muda.""Berapa lama mereka seperti itu?""Sejak Tuan Alden pulang ke ruma
Galuh berjalan begitu saja melewati Gala dan gerombolannya, membuat Mentari menghela napas kemudian mengikuti sosok itu."Heh, kau mau kemana?!" teriak Gala pada sang adik."Masuk kelas.""Kenapa bersama dengannya?!""Kami sekelas!""Iya juga," gumam Gala baru mengingat.Yang mana membuat Cantika speechless dengan. Gala, tapi hal itu tidak mengurangi kekaguman Cantika terhadap sosok di depannya itu."Kapten, bisa kami Kembali ke kelas sekarang?""Ya, kembalilah ke kelas kalian, dan belajarlah dengan giat. Sudah sana.”Mereka yang ikut menghadang Galuh adalah pasukan basket, dimana Samuel yang memanggil mereka semua lewat Group Chat atas perintah Gala. Saat semuanya mulai bubar, di sana mulai tertinggal Gala yang masih menggenggam tangan Cantika, bersama dengan Samuel yang masih menatap heran pada pasangan baru itu."Lu ngapain masih di sana?" tanya Gala menyadari keberadaan Samuel."Lu jangan lupa, Gal, ada PR yang belum kelar. Cantika, bilang sama Gala buat berhenti nyontek sama gue
"Mommy dan Daddy akan ke Amerika sebentar, untuk menemani Oma sambil mengurus beberapa hal. Jaga baik baik adikmu ya. Dan jika butuh sesuatu, minta saja pada Samuel.""What the....," ucapan Gala terhenti tatkala dia mendapatkan tatapan tajam dari sang Mommy. "Kenapa Samuel?""Dia temanmu 'kan? Daddy tau dia bisa diandalkan, jadi Daddy memberinya upah untuk menjagamu." Andro bicara sambil memakai jasnya."Eoohh, dia itu lelet, Dad. Lagipula aku bisa sendiri.""Jangan seperti itu," ucap Raya dengan lembut, yang sontak membuat Gala bungkam. Mana bisa dia melawan bidadari kesayangannya. Jadi dia merentangkan tangannya dan memeluk sang Mommy. "Apa ini? nanti parfume Mommy menempel.""Hati hati dijalan ya, Mom. Jangan khawatirkan yang lain, adik adik akan aman bersama denganku."PLETAK! Andro melayangkan jitakan di kepala anaknya, membuat Gala mengaduh sambil melepaskan pelukannya. "Daddy ini kenapa?!""Pamitannya nanti, jangan lebay. Kau ini habis nonton apa semalam?""Film India," gumam G
Kenyataannya, mereka berdua hanya makan saat pulang sekolah saja. Selebihnya Gala kembali mengantarkan Cantika karena dirinya tiba-tiba ditelpon oleh sang pelatih untuk ke sekolah dan melakukan persiapan untuk pertandingan."Maaf ya, aku akan mengajakmu main lagi lain kali.""Jangan khawatir, aku baik baik saja," ucap Cantika yang masih berada di bangku belakang kuda besi tersebut.Sementara Gala tidak bisa menahan kekecewaannya terhadap diri sendiri. "Nanti malam aku akan menghubungimu, mengirimimu pesan. Oke?""Oke," ucap Cantika yang masih sedikit kikuk karena status diantara mereka kini tengah berubah.Yang mana pria yang sedang dia peluk saat ini adalah pacarnya. Astaga, rasanya Cantika ingin mati saja ketika mengingat Gala adalah pacaranya."Dan masalah Laura, jangan biarkan dia menggertakmu oke? Aku akan meminta pengacaraku untuk membereskannya.""Apa yang akan kau lakukan, Gala?" tanya Cantika khawatir."Tidak banyak, hanya membuatnya jera.""Jangan keterlaluan ya, dia bersika
Sesuai perkataannya, Cantika tidak bisa berangkat bersama dengan Gala, dia berangkat bersama sang Kakek dimana dia diajak terlebih dahulu untuk makan bubur di tempat kesukaan kakeknya sebelum mereka pergi ke sekolah."Apa kau menyukai Gala?" tanya sang Kakek tiba tiba."Hmm? Ya, aku menyukainya, Kakek.""Jangan setengah-setengah jika suka, gas terus jika memang benar benar suka padanya," ucap sang Kakek saat Cantika sedang memakan bubur.Membuatnya tersedak dan batuk beberapa kali. Cantika menatap ponselnya, dimana Gala terakhir menghubunginya tadi malam, dimana dia mengatakan akan menagih jawaban sepulang sekolah. Dia juga berkata akan terlambat datang ke sekolah karena ada urusan dengan Daddy nya."Sudah makannya?""Sudah, Kek.""Ayo berangkat, anak cantik harus rajin," ucap sang Kakek membayar makanannya sebelum kembali menaiki motor bebek. "Kakek pulangnya nanti agak malam, sampaikan sama Nenek ya. Kakek harus memilah barang barang untuk di museum.""Iya, Kek.""Lumayan, Pak Praka
Cantika tidak bisa melupakan kejadian tadi pagi, dimana Gala menjadi diam mematung. Apakah sahabatnya itu sakit? Apakah dia masih marah padanya?Entahlah, Cantika bingung. Dia tidak ingin Gala sakit."Hei," panggil Laura pada Cantika.Membuat perempuan dengan rambut sebahu itu menoleh. "lya?""Nomor lima, bisakah aku melihat jawabanmu?""Um... bukankah ini pendapat masing-masing?""Anggap saja sebagai imbalan karena pacarku Gala telah mengantar jemputmu."Kalimat itu membuat Cantika tidak berdaya, akhirnya dia memberikan bukunya pada Laura saat guru sedang keluar dari kelas.Dia kembali melamun, memikirkan Gala.Sampai seseorang datang ke mejanya."Cantika, maaf aku lupa. Tadi Gala menitipkan ini untukmu," ucap salah satu anak perempuan memberikan bungkusan roti dan juga susu. "Dia memberikan bungkusan roti dan juga susu. "Dia bilang kau harus tumbuh dengan baik."Sontak, seluruh kelas yang mendengar mengatakan, "Ciiiiieeeeeee.... Cantika Cieeeee..."Kemudian disusul dengan kalimat kal
Dalam perjalanan, Laura berusaha menggoda Gala. Dia sesekali bergerak hingga bagian bawah gaunnya sedikit terangkat. Yang mana hal itu membuat Gala mengerutkan keningnya, dia heran Laura yang tidak bisa diam sejak tadi."Apa kau baik baik saja?" Tanya Gala dengan polosnya."Ah iya... aku hanya merasa tidak nyaman dengan pakaian yang aku pakai."Gala mengangguk. "Nah, aku juga akan memberitahumu tadi. Itu terlihat seperti alat memasak nasi milik Oma ku. Wahh..., apalagi suaranya kresek kresek," ungkap Gala mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. "Kau berubah pikiran? Ingin kembali?""Tidak, aku tidak mau kembali. Teman temanku sudah menungguku di sana," ucap Laura yang memilih untuk diam. Dia heran bagaimana bisa Gala berhenti tertarik padanya hanya sampai di titik ini. Pria itu tidak menanyakan sesuatu yang menjadi tanda kalau pria itu ingin memilikinya.Bagaimana Laura tau? Tentu saja dia memiliki banyak pengalaman dengan pria pria di luar sana. Dan pria lebih muda tidak sulit d
Cantika berusaha menahan tawanya ketika melihat Galayang menengadah dengan dokter yang mencoba mengambil mangga mungil itu dari lubang hidungnya. Untuk menahan tawanya, Cantika memalingkan wajahnya, sementara tangannya terus digenggam oleh Galayang sesekali merengek karena rasa pegal dan malu."Tutup tirainya!" teriak Galasaat melihat beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya sambil menahan tawa. Yang mana membuat dokter itu memberikan isyarat pada perawat untuk segera menutup tirai.Mereka berada di ruang terbuka yang berada di dekat lobi, kepanikan Galamembuatnya lupa kalau dirinya adalah pemilik rumah sakit ini dan tidak datang ke lantai VVIP. Dia berlari dan langsung duduk di hospital bed yang ada di sana, sementara Cantika sibuk mencari bantuan.Dokter yang mengenali siapa Galalangsung menanganinya di sana, melihat Galayang panic juga membuat dokter itu lupa untuk membawanya ke lantai VVIP di paling atas."Apakah keluar?" tanya Galamasih menengadahkan kepala mengadahkan lubang