Hi kakak... jangan lupa vote dan komen ya...
Setelah sarapan, Raya membuka pintu kamar.Begitu membuka pintu kamar, yang pertama kali terlihat adalah hamparan bibir pantai yang indah.Raya pun sudah mulai berani merengek ingin melihat laut dan pemandangan di sekitar resort megah itu. Tapi saat ini dia hanya mematung, tidak jauh dari bibir pantai yang lengang itu. Deburan ombak bergulung, saling berkejaran satu sama lain sampai tak tersisa saat menampar bibir pantai.Tidak ada pengunjung lain yang berlalu lalang, berlarian maupun berenang menikmati lautan. Yang ada, Raya justru seperti melihat Pak Sam.Hah? Benarkah itu Pak Sam?“Suamiku, itu Pak Sam?” Raya menunjuk Pak Sam yang sedang sibuk memberi instruksi di sebuah lorong terbuka, tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Kamu mengajak Pak Sam kemari?”Apa begini cara konglomerat liburan?“He’em.” Andro meng-iya kan tanpa mengangguk. “Kau harus makan yang benar, cukup tadi malam aku kecolongan sampai kau mabuk. Jadi, kuputuskan memanggil Pak Sam untuk mengontrol apapun yang aka
Disaat Andro dan rombongan berangkat ke Lombok, yang merasa paling kehilangan mereka di ibu kota adalah Oma dan Jeta. Oma merindukan cucu menantunya, Raya. Sedangkan Jeta, harinya terasa loyo tanpa melihat Hans berseliweran di rumah itu. Bosan berputar-putar di dalam rumah menunggu Oma yang belum juga selesai spa. Jeta berguling-guling di atas tempat tidur membayangkan nasi goreng abang-abang yang pedas, dengan ekstra bawang goreng. “Rumah ini rasanya sepi tidak ada nona Raya. Apa lagi aku tidak melihat sekretaris Hans sama sekali sejak kemarin.” Tiba-tiba Jeta bangun dengan semangat, mendapat ide brilian untuk bisa membebaskan rasa sepinya dengan cara menelepon sekretaris Hans, beralasan kalau Oma merindukan nona muda. Oma juga pasti mau diajak kerja sama. “Ya, ada apa Jeta?” Tak menunggu lama, Hans mengangkat panggilan dari Jeta. Jeta sumringah kegirangan. Padahal tentu saja sekretaris Hans akan selalu cepat merespon telepon dari Jeta karena dia adalah asisten nyonya besar.
Setelah Andro berangkat, mereka kembali ke villa dan bersiap. Raya mengikat rambutnya tinggi, tapi dia masih memakai pakaian yang tadi. Turun dari tangga kamar, Raya bertemu dengan Pak Sam yang membawakan beberapa vitamin untuk Raya minum. Semua vitamin itupun sudah sesuai anjuran dokter. Tanpa protes, ditelannya semua pil yang diberikan oleh Pak Sam. “Terima kasih Pak Sam, aku ermisi ya, mau keluar sebentar.” “Baik Nona, jangan terlalu memaksakan diri, segera istirahat nanti, andaikata sudah merasa lelah.” Raya tersenyum, menganggukkan kepalanya, lalu pergi. Saat naik buggy car menuju tempat bazar, Raya dan Nana mulai saling menyesuaikan diri satu sama lain agar tidak merasa canggung. Raya terlihat melirik Nana beberapa kali. Mengamati wajah dan situasi/ Mencoba menggali karakter Nana sang pengawal baru yang dibawa langsung oleh sekretaris Hans. Namun sejak perkenalan pertama tadi, sepertinya Nana bukan orang yang kaku seperti sekretaris Hans, jadi mungkin Nana bisa lebih seper
“Oma bingung mau pilih yang mana… Terserah kamu saja, lah. Yang penting pantas untuk Oma dan Oma suka warna biru.” Raya memanyunkan bibirnya dengan menggemaskan menatap Oma di layar ponselnya, “baiklah kalau begitu Oma… Aku pilihkan untuk Oma juga Jeta.” “Ya… jangan lupa juga buatkan mochi hidup untuk Oma, oke?” “Hah? Mochi hidup?” “Iya, mochi hidup.” Di layar, Oma mengayun satu tangannya memperagakan orang yang sedang menimang bayi. “Oh…” Raya akhirnya paham dan tersipu malu. “Baiklah, nanti ku telpon lagi setelah sampai vila ya, Oma. Aku mau berbelanja dulu.” “Oke, tapi jangan telepon aku saat kau sedang bersama suamimu, aku sedang tidak ingin bicara dengannya.” Setelah berkata, Oma langsung menutup panggilan teleponnya. Raya kembali mengerutkan kening. Ada apa dengan dua orang ini. Kemarin Andro juga bilang jangan sebut nama Oma dulu saat ini? “Ah, sudahlah!” Raya mengibaskan tangannya ke udara. Membuang pikiran yang tidak perlu. Tak teras, cukup lama Raya tadi bicara denga
‘Oh ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengan laki-laki brengsek ini?’ Batin Raya. ‘Apa yang dia lakukan di pulau ini?’Raya memilih untuk pura-pura tidak mengenal dan mengacuhkannya, ia menunduk dan kembali mengaduk minumannya.“Jangan pura-pura tidak kenal begitu!”Tanpa bertanya maupun persimi, laki-laki yang baru saja menyapa dan memanggil nama Raya dengan semangat itu menarik sebuah kursi di sebelah Raya lalu akan mendudukinya.“Hei Tuan, apa yang anda lakukan?” Nana menarik kursi itu menjauh sebelum di duduki.“Siapa yang mengizinkan anda duduk di sebelahnya, Tuan bahkan tidak bertanya sebelumnya?” Nana tersulut emosi, mengeluarkan sisi kelelakiannya.“Heh, siapa kamu? Raya, apa dia temanmu?” Tangan laki-laki sok akrab itu ingin menyentuh dagu Nana.Raya segera menepis tangan itu. “Jangan ganggu teman ku!” Raya bicara dengan nada ketus. Menatap tajam dan penuh rasa benci.“Haha, kamu benar-benar tidak berubah ya, Raya. Masih tetap sok suci. Sekarang sudah ingat aku, kan? Dia ter
Raya bersiap melindungi Nana. Namun dua pengawal yang sedari tadi hanya diam mengameti sudah berdiri di depan Raya membentangkan tangan. Sementara tangan Raya masih melindungi Nana di belakangnya, Nana berbisik pada pengawal itu sambil mengerang kesal, “kenapa kalian baru bereaksi?” Bagi Nana dua orang itu sudah menonton pertunjukan ini terlalu lama. Raya sendiri tidak menyadari bahwa dua laki-laki di hadapannya merupakan pengawal yang dikirim Andro, dia pikir, itu hanya lah pengunjung yang kebetulan melihat kejadian ini lalu ingin menolong. “Hei, siapa kalian?” Dia menunjuk dua laki-laki yang tiba-tiba menjadi benteng untuk Raya dan Nana, mereka bahkan tidak terlihat karena terhalang punggung tinggi kedua pengawal di depannya. Daren, nama laki-laki yang menganggu Raya itu, “Raya!” Panggilnya keras membuat Raya tersentak dibalik punggung para pengawalnya. Dibelakang, Nana sudah memeluk Raya. “Nona, jangan pedulikan dia, ayo kita pergi!” Bisik Nana. Keselamatan Raya jauh lebih pe
“Haha, oke. Kalau kamu mau ini semua berakhir, temani aku malam ini, maka semua ini aku anggap selesai.” Kedus pengawal Raya semakin tersulut emosi mendengar itu. Namun mereka tahu betul jika saat ini menahan diri sambil menunggu kedatangan bosnya adalah pilihan yang paling kondusif. “Daren, ayolah! Aku sudah menikah. Hentikan ini semua, kamu akan dapat masalah kalau terus seperti ini.” “Cih! Aku sudah bilang, persetan siapa suamimu, asalkan itu bukan Andromeda Prakarsa, aku masih bisa mengatasinya, aku bisa bersaing dengannya.” “Tapi sayangnya itulah kenyataannya, Daren!” Raut wajah Daren semakin terlihat marah ketika dia menganggap Raya tak mau mengakhiri sandiwaranya, berkata pada salah satu anak buahnya yang masih cukup kuat untuk berdiri, “pegangi dia!” Mendorong Nana pada anak buahnya. Dengan sigap, anak buah Daren memiting leher Nana, kemudian menodongkan pisau kembali pada Nana. Seketika Raya berteriak. Raya sudah mulai ketakutan. Dia memeluk dirinya sendiri. Daren ter
Apa aku pura-pura pingsan saja agar perhatian suamiku teralihkan, dia pasti akan lebih menghawatirkan aku ketimbang mengurusi Daren, lebih baik polisi langsung membawanya. “Suamiku, kumohon…” Aku tidak mengkhawatirkan Daren. Sungguh, aku hanya tidak mau kamu bertindak diluar kendali, apalagi sampai membunuh karena aku. “Jangan membantah. Cepat bawa dia pergi Hans!” Hans membawa Nana dan Raya keluar kafe, “Nana, tolong bawa Nona ke tenda perawatan daruruat yang telah disipakan tim medis. Tepat di luar kafe ini!” Hans berkata, seolah tahu isi kepala Raya, “Tenanglah Nona, polisi tidak akan membiarkan Tuan Muda bertindak di luar batas hukum. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan Raya bukan hanya apa yang akan dilakukan suaminya itu, melainkan juga mengenai tenda tim medis. ‘Tenda darurat? Tim medis? Apa mereka sengaja menyiapkan tim khusus untukku? Ya Tuhan … Seberharga itukah aku dimata suamiku?’ Dengan terpaksa Raya mengikuti langkah Nana. Saat Raya dan Nana baru saja menutup p