"Tapi mas--"
Braakk!
Mas Haikal justru menggebrak meja, hingga membuat Alina, putri kami berjingkut kaget dan menangis.
"Urus aja tuh anakmu yang rewel itu! Berisik!!"
Andai kamu tahu, aku makin terluka karena tuturmu, hatiku seakan mati rasa. Karena luka yang kau tinggalkan sangat membekas di hati dan semakin terasa sesak di dada.
Netraku memanas, dan tanpa kompromi lagi, butiran bening ini lolos begitu saja. Andai saja aku punya keberanian untuk pulang kampung ke rumah orang tua. Biarpun orang tuaku tak mampu tapi mereka takkan menghina dan merendahkanku seperti ini. Hanya saja, mereka jauh di luar pulau, uangku tak cukup untuk ongkos kami pulang berempat. Aku dan ketiga anakku. Mas Haikal mana mau dia pulang ke rumah orang tuaku. Gubuk reyot dan kumuh.
Sungguh aku sangat rindu pada mereka, sudah enam tahun tak pulang semenjak dipersunting oleh Mas Haikal. Hanya berkabar lewat panggilan telepon. Karena disana bapak hanya punya handphone jadul. Ah mas, andai kau mengerti isi hatiku, menahan rindu itu sangat berat. Sama beratnya seperti memikul kebutuhan hidup ini sendirian.
***
Usai sholat subuh, aku mulai berkutat di dapur. Mencuci pakaianku dan juga anak-anak. Dan seringnya ibu mertuaku datang kesini juga membawa satu keranjang besar cuciannya. Enak sekali mereka memanfaatkanku menjadi babu. Sekarang tidak lagi, aku akan menolaknya dengan tegas. Aku bukan babu gratisan.
Di halaman belakang, kutanami beberapa sayuran seperti kangkung, bayam, daun kelor, tomat, cabe serta bawang merah. Seringkali aku memetiknya untuk lauk makan kami. Tak jauh-jauh dari sayur bening. Tapi itu kulakukan untuk menekan biaya hidup yang makin mencekik.
"Kamu belum masak sarapan, Mil?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.
"Udah, baru masak nasi doang."
"Beli lauk dong!"
"Mas sendiri aja yang beli."
"Cih, aku kan harus bersiap-siap berangkat ke kantor!"
"Ya sudah mana uangnya? Kamu mau makan apa?"
"Ayam goreng, sambal terasi."
"Ok."
Mas Haikal memberiku uang satu lembar lima puluh ribuan. Ck, dasar pelit!
Aku berlalu ke depan, beruntung tukang sayur udah ada di tempat biasa. Gegas aku mengambil ayam satu kg, serta bumbu-bumbu dapur yang kemasan kecil.
"Mbak Mila tumben beli ayam," celetuk ibu yang ada di sebelahku. Bu Hanifah, si ratu gosip kompleks perumahan ini.
"Biasanya kan cuma ambil tempe satu potong, atau tahu sebungkus, tumben sekarang ayam. Dah gak ngirit lagi ya, Bu?"
"Ngirit apa pelit? Buat makan aja disayang-sayang padahal suaminya punya pekerjaan bagus, punya mobil," sambung yang lain.
"Iya, iya, padahal ibunya pakaiannya necis, gaul, punya banyak perhiasan. Kok mbak yang sebagai istrinya malah seperti ini sih? Mirip sekali seperti babunya."
Aku hanya tersenyum menanggapi mereka. Biarkan sajalah, mereka tidak tahu apa yang kualami. Mereka pikir aku menikmati uang suamiku. Hmmmm, sungguh salah besar. Aku seorang istri manager, tapi kayaknya lebih pantas disebut sebagai istri seorang kuli. Makan seadaanya, hidup sederhana hingga mereka menganggapku sebelah mata.
"Sudah Mang, totalnya berapa?" tanyaku pada mamang tukang sayur.
"Empat puluh lima ribu mbak."
"Ini mang uangnya. Boleh minta ditulisin gak, Mang?" tanyaku.
"Bisa, neng."
"Heleeeh, timbang belanja gitu doang minta nota. Perhitungan amat sih!" Lagi, Bu Hanifah mencelaku.
"Bukan aku yang perhitungan bu, tapi suamiku, jadi aku harus pake nota ini biar suamiku percaya, kalau aku gak bohong," jawabku.
Mereka melongo mendengarnya.
"Ini neng kembaliannya lima ribu. Total belanjanya 45 ribu, terus ini notanya ya."
"Makasih ya, Mang. Permisi ibu-ibu."
Para ibu mengangguk, mereka memandangku dengan tatapan tak biasa. Iba mungkin atau entahlah.
Masuk ke dalam rumah kembali berkutat di dapur. Sedangkan Daffa-Daffi, ia sudah mandi sendiri. Ya, aku sangat bersyukur memiliki anak-anak penurut dan mau mengerti kondisiku. Ayahnya? Dia tak sekalipun memperhatikan anaknya. Ia selalu berpikir kalau anak-anak adalah tanggung jawab ibunya.
Kulihat Mas Haikal sudah rapi dan wangi, ia memang keren dan ganteng. Tapi sayang sikapnya terlalu perhitungan. Kadang kala kasar dan suka membentak. Ingin sekali berpisah darinya, tapi lagi-lagi terkendala oleh biaya.
Disini, tinggal di dekat keluarga suami aku selalu mendapat ceramah agar menjadi istri yang baik. Nurut sama suami dan lain sebagainya. Mereka pikir selama ini aku apa? Apakah aku jahat? Ya sudah, akan kubuat jahat sekalian!
"Mana kembaliannya?" tegur Mas Haikal.
Tanpa banyak bertanya kuambilkan uang lima ribu itu lalu kertas nota padanya.
"Hah, semahal ini?"
"Mau makan enak kan mas? Ya memang segitu harganya."
"Cih, bisa tekor terus-menerus kalau kayak gini."
"Ya sudah kalau masih gak percaya besok belanja aja sendiri."
"Udah mateng belum?" tanya Mas Haikal.
"Tunggu sebentar lagi."
Memangnya gampang apa masak ayam langsung matang, kan butuh proses lebih dulu.
Selesai masak justru Mas Haikal kembali mengomel.
"Lelet kamu jadi istri. Keburu siang makanan gak ada yang matang. Bisa telat ke kantor aku! Dah lah aku langsung berangkat saja," ujarnya kemudian langsung ngeloyor pergi gitu aja.
Hah! Kuhela nafas dalam-dalam. Menyadari memang wataknya seperti itu. Aku harus tahan sampai aku mengumpulkan uang agar bisa pulang ke rumah orang tuaku.
"Bun, lapeeer."
Aku tersenyum, anakku akan selalu menerimaku apa adanya.
"Ayo makan sayang, bunda dah masakin makanan enak buat kalian."
"Wah asyiiiik."
Keduanya makan dengan lahapnya. Ya, makanan seperti ini sangat mewah bagi kami. Padahal menu seperti ini sudah terbiasa ada di rumah ibu mertua, makanya dia selalu menjelek-jelekkanku karena tak becus mengatur keuangan. Sungguh miris.
"Daffa sama Daffi seperti biasa ya, ibu cuma mengantar sekolah saja, nanti pulangnya sendiri ya. Tapi hati-hati ya Nak, kalau ada orang asing yang mau mengajak Daffi pulang jangan mau ya. Langsung saja lapor ke Bu Guru."
"Iya, Bunda."
"Anak baik, semoga belajarnya lancar dan ilmunya bermanfaat ya, Nak. Maafkan bunda belum bisa maksimal perhatian sama kalian."
"Baik, Bunda."
Sekolah TK anakku, tidak jauh dari rumah, masih dalam satu kompleks perumahan. Jadi aku tak perlu khawatir, ibu gurunya pun kenal denganku.
Di tengah perjalanan mengantarkan anakku sekolah, aku bertemu dengan perempuan bermulut cerewet, siapa lagi kalau bukan ibu mertuaku.
"Mil, mau kemana kamu? Tadi pagi Haikal berangkat tanpa sarapan dulu. Kamu gimana sih, malas banget jadi istri!"
Aku tak ingin berlarut-larut jadi bahan omelannya. Berlalu begitu saja sembari menggandeng kedua anakku.
"Gak sopan! Orang tua lagi ngomong ditinggal pergi gitu aja! Dasar menantu durhaka! Bener ya kata Haikal, kamu itu bukan istri idaman!"
Terpaksa kuhentikan langkah. "Harusnya ibu juga bilang sama Mas Haikal, apakah dia sudah jadi suami idaman bagi istrinya?"
"Sekarang kamu sudah berani menjawab ya!""Maaf ya, Bu. Saya permisi."Kutinggalkan ibu mertuaku yang masih mengomel sendiri. Kacau sekali. Berkali-kali dihina dan dicaci membuatku ingin melawan saja. Memangnya aku ini sampah? Selalu dipandang sebelah mata hanya karena aku tidak bekerja.Usai mengantarkan Daffa dan Daffi, aku kembali pulang. Banyak hal yang harus kulakukan dari pada merutuki nasibku sendiri. Aku kuat, aku pasti bisa keluar dari zona ini."Mbak, mbak Mila! Teriak sebuah suara."Bu Wandi berjalan tergopoh-gopoh sembari membawa tentengan kresek di tangannya."Iya Bu, ada apa?""Tadi pagi saya lihat statusnya Mbak Mila, ternyata Mbak Mila bisa bikin aksesoris ya?""Oh iya Bu, saya coba-coba pengen jualan online untuk karya handmade saya.""Alhamdulillah, kebetulan banget mbak. Mbak bisa bikin bros kan?"
"Ck! Dasar istri gak becus, bisanya nyusahin aja!"Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang enam ratus ribu dari lalu diserahkan padaku."Kenapa gak bayar sendiri ke minimarket?""Halah, aku capek. Kamu aja yang bayarin, yang penting ada struknya."Dasar pelit!"Tadi sore Pak RT juga kesini, meminta uang kebersihan 100 ribu.""Bayarin kamu dulu lah katanya kamu jualan.""Dih, kamu yang bilang sendiri kan kalau jualanku itu cuma recehan. Kok malah minta ke aku. Gak malu apa, Mas?""Iya, iya, pusing aku dengar kecerewetanmu! Nih uangnya."Sabar, sabar. Sampai kapan penghinaan ini terjadi, aku harus bisa melaluinya.***Drama pagi-pagi pun masih sama seperti kemarin, entah kenapa Mas Haikal cerewet sekali. Kok ada lelaki yang bermulut lemas seperti dirinya. Ya, mungkin sikapnya menurun dari
"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!""Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!""Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!""Udah deh Mil, gak usah berlebihan!""Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?""Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda."Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali."Sayang
"Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!"
"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!""Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok.""Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?""Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga
"Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe
Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama
Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"
Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 
Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c
Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.
Season 2 Part 26"Bundamu dulu wanita yang sangat kreatif. Bisa mengolah barang sampah menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Ayah salut padanya. Dia benar-benar wanita hebat dan mandiri, walau banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya, tapi buktinya ia mampu melewati ini semua," ucap ayah sembari mengenang bunda. Ia tampak berdecak kagum saat mengingat memorinya dulu.Aku tersenyum, menyetujui ucapan ayah. Bunda memang hebat.Ayah melihat-lihat sampai ke dalam dan memandang beberapa sertifikat yang terpajang di dinding. Beberapa sertifikat yang berhasil diraih oleh Bunda yang dinobatkan dalam UKM kreatif dalam bidang usaha dan perindustrian. Ada juga foto bunda yang tengah memegang hasil karya terbaiknya yang memenangkan lomba kreasi. Kulihat ayah memotret foto itu dengan ponselnya. Sekilas kupandangi wajah ayah yang menyimpan banyak kesedihan dan kerinduan yang begitu dalam."Ayah?" panggilku.Dia menoleh dan tersenyum. "Nak, a
Season 2 Part 25Aku merasa sangat bersyukur. Keluargaku kini telah kembali, merasakan kedamaian dan cinta kasih. Ayah Haikal, Kak Daffa, Tante Wulan dan juga aku.Kulihat dua orang lelaki itu saling menitikkan air mata. Pertemuan yang mengharukan, kenangan yang takkan bisa terlupakan. Tapi sayang semua momen penuh haru ini harus berakhir karena ayah di telepon oleh majikannya. Ya, memang sudah tiga hari ayah izin untuk menungguiku di Rumah Sakit.Hari-hari berlalu dengan baik. Kak Daffa dan istrinya menginap di rumah selama beberapa hari. Rumah yang biasanya sepi kini terasa hidup kembali, apalagi si kecil Sekar sedang aktif-aktifnya. Kehadiran mereka mampu mengobati luka kehilangan bayiku."Suamimu benar-benar tega ya! Dia sama sekali tidak datang saat kamu sakit!" Kak Daffa meninggikan suaranya. Emosi mendengar perlakuan suamiku.Aku menghela nafas dalam-dalam. "Jangan sebut dia lagi Kak, aku muak mendengarnya.""Jadi kamu mau cerai?"
Season 2 Part 24_Aku menggedor pintu kontrakan cukup kencang. Setelah bersusah payah berjalan menahan rasa perih dan lara, akhirnya sampai juga di rumah kontrakan."Sandrina, buka pintunya ...!"Tak butuh waktu lama, Sandrina membukakan pintu. "Ya ampun Mas, kamu kenapa?"Aku disambut kekhawatirannya. Dia menutup kembali pintu dan menguncinya."Mas, kok kamu bisa babak belur begini?" tanya Sandrina. Dia membantuku melepaskan sepatu dan kaus kaki lalu melepaskan kemeja."Aku dijegal rampok tadi di jalan, Sandrina," sahutku sembari memegangi bagian tubuh yang terasa begitu sakit dan ngilu."Semua uangku hilang, raib dirampas perampok. Untung saja ponselku dan dompet tidak ikut dibawa."Sandrina hanya menatapku iba. Dia berlalu ke dapur, mengambilkan air hangat lalu membersihkan luka di wajahku."Memangnya tadi kamu jalan sendirian, Mas?""Ya. Kupikir akan lebih efektif kalau mengambil mobil di caf