"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!"
"Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu."
"Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"
Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi.
"Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"
Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian.
"Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"
Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu
Aaarrrggh! Mas Haikal menggeram kesal.Aku pura-pura tak tahu, kujalani aktivitasku seperti biasanya. Kulihat ia begitu gusar, mondar-mandir tak karuan tapi tak berani bertanya padaku."Mil, kamu punya simpanan uang gak?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Hah konyol sekali, dia sendiri yang memegang uang kenapa aku yang diminta?"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, semua uang kan kamu yang pegang!" tukasku agak emosi.Dia terdiam. "Katanya kamu kan jualan, kamu pasti punya uang kan apalagi jualanmu kan gak pake modal cuma dari barang bekas, jadi uangnya pasti utuh!"Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Picik sekali pikirannya. Kemarin-kemarin menghina usahaku tidak berkelas, sekarang justru bertanya hal yang tidak masuk akal."Karmila, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil."Ayo a
Seakan ada yang menusuk ke jantung hatiku. Rasanya sakit mendengar hinaan dari suamiku sendiri. Sangat sakit. Hal ini makin membuatku bertekad untuk segera pulang.Aku berlalu ke kamar. Tanpa terasa kristal bening ini jatuh berderaian di pipi. Allah, tolong hambamu ini ..."Bunda, kenapa nangis?" tanya Daffa sambil mengusap lembut pipiku."Nenek sedang sakit di kampung, Nak. Tapi kita gak bisa pulang. Uang simpanan bunda masih kurang buat beli tiket pesawatnya."Daffa-Daffi langsung memelukku. Entah kenapa hatiku makin terkoyak. Sakit sekali."Bunda jangan sedih ya, kami pasti akan doakan nenek supaya cepat sembuh.""Iya, sayang."Lama aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Apa aku kirim uang saja untuk berobat ibu? Jadi aku gak perlu pulang?'Mbak, apa mbak gak bisa pulang? Ibu sangat rindu sama mbak. Sekarang ibu sedang sakit mbak, udah
"Tapi, Nak--""Bunda, ayo! Mumpung ada om baik," celetuk Daffi seraya menarik tanganku.Mas Denny hanya tersenyum melihat tingkah anak-anakku."Pak Wid, kita anterin teman saya dulu ya," titah Mas Denny pada sopirnya."Baik, Mas. Kita mau kemana ya, Mbak?""Desa Siayuh, Pak.""Mas, desa itu jauh sekali dari sini, bisa-bisa kita kemalaman disana.""Tidak apa-apa, Pak. Saya masih punya banyak waktu luang," jawab Mas Denny dengan tenang.Pak sopir mengangguk dan mulai menjalankan setir bundar itu. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, bersiap menuju kampung halamanku.Kampung halamanku memang sangat jauh dari kota, mungkin bisa dikatakan desa terpencil. Butuh waktu enam jam perjalanan agar bisa sampai disana. Kondisi jalan tidak beraspal dan penuh dengan batu. Desaku sangatlah berbeda, tak seperti di kota yang semuanya serba
Deg! Jantungku berdetak dengan cepat. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah. Apakah harus kukatakan semua tentang Mas Haikal? Tapi aku takut badan ibu makin drop. Aku memandang ke arah bapak."Ibu, ibu coba ibu lihat, ini anak-anak Mila, cucu kita. Lucu-lucu kan mereka?" Bapak mendekat sembari menggandeng si kembar."Nah, Daffa-Daffi ini nenek. Beri salam pada nenek," sergah bapak.Si kembarku mencium punggung tangan neneknya. "Assalamualaikum, Nek."Ibu tersenyum sembari mengangguk lemah. "Waalaikum salam.""Ini yang digendongan Wulan juga cucu dan ibu lho!""Boleh ibu menggendongnya?" tanya ibu dengan lirih. Ibu bangkit dari tidurnya dan duduk.Wulan mendekat, dia menyerahkan Alina pada ibu. Ibu tersenyum. Meskipun tangannya gemetaran, ibu tampak antusias memangku cucunya."Alina cucu nenek, cantik sekali kamu, Nak," puji Ibu sambi
Rasa letih begitu mendera. Beberapa hari terakhir ini rasanya begitu menyiksa. Semenjak terluka karena dikeroyok preman, badan jadi sering sakit. Apalagi uangku sudah ludes tak bersisa. Untuk akomodasi aku sampai meminjam uang Farhan. Malu sebenarnya, tapi dari pada kelaparan terpaksa aku meminjam uangnya.Mentari sore di ufuk barat, bersiap untuk bersembunyi ke peraduan. Menjelang maghrib, aku baru pulang ke rumah.Berharap istri dan anakku menyambut di teras, namun harapan itu hanya semu belaka. Rumah seperti tempo hari, gelap dan sepi. Apakah Mila dan anak-anak sedang pergi lagi? Jangan-jangan menemui laki-laki itu?Gegas aku membuka kunci rumah. Semua ruangan begitu gelap. Kunyalakan saklar lampu, akhirnya ruangan jadi terang. Kondisi rumah begitu sunyi senyap seperti tempo hari. Kenapa aku merasa dejavu?Ruangan tampak begitu rapi, tak ada perabot ataupun mainan yang berserakan. Bersih layaknya tak be
Rasa kesal langsung merajai diri. Bisa-bisanya istriku pergi dengan orang lain. Langsung kuhubungi nomor asing itu, ia dapatkan dari mana dan siapa dia sebenarnya, namun sayang panggilanku tidak digubrisnya.Tak lama pesan dari nomor itu datang lagi.[Jangan percaya sepenuhnya pada istri yang dianggap polos, justru dia bisa jadi boomerang untuk dirimu sendiri][Siapa kamu? Jangan fitnah! Kalau berani angkat telepon saya!][Kau tak perlu tahu siapa saya, akan saya kirimkan gambar lain yang lebih membuatmu tercengang]Selang beberapa detik, pesan itu datang lagi, berisi kiriman foto antara Mila dan juga Denny. Foto yang pertama tadi dipotret dari jarak yang jauh hingga terlihat jelas kalau mereka sedang berada di Bandara.Ting! Satu foto Mila dan Denny tengah bersama, mereka tampak akrab.Ting!Satu foto lagi Denny sedang menggandeng si kembar Daf
"Apa maksudmu, Mil?"Mila terdiam, tangannya begitu cekatan membuatkan teh manis untukku."Ini diminum dulu, habis perjalanan jauh pasti kamu capek," ujar Mila. Ekspresinya tampak begitu dingin.Aku memandang sekeliling, bangunan ini masih tampak seperti dulu, tak ada yang berubah. Sedari tadi bapak dan ibu tak terlihat di rumah. Denny juga sepertinya sudah pergi tak kutemui disini, apa mereka cuma kebetulan bersama?"Bapak sama ibu mana, Mil?" tanyaku sembari menyeruput teh yang masih panas itu."Bapak ada di kebon, lagi cari sayuran sama singkong. Kalau ibu ada di makam.""Apa maksudmu, Mil? Ngomong yang jelas dong.""Mas, ibu sudah meninggal," ucap sebuah suara dari belakang. Aku menoleh, Wulan mendekat sembari menyerahkan Alina pada Mila."Meninggal?"Wulan mengangguk. "Iya, ibu sudah meninggal kemarin. Setelah Mbak Mi
Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe
Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama
Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"
Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 
Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c
Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.
Season 2 Part 26"Bundamu dulu wanita yang sangat kreatif. Bisa mengolah barang sampah menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Ayah salut padanya. Dia benar-benar wanita hebat dan mandiri, walau banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya, tapi buktinya ia mampu melewati ini semua," ucap ayah sembari mengenang bunda. Ia tampak berdecak kagum saat mengingat memorinya dulu.Aku tersenyum, menyetujui ucapan ayah. Bunda memang hebat.Ayah melihat-lihat sampai ke dalam dan memandang beberapa sertifikat yang terpajang di dinding. Beberapa sertifikat yang berhasil diraih oleh Bunda yang dinobatkan dalam UKM kreatif dalam bidang usaha dan perindustrian. Ada juga foto bunda yang tengah memegang hasil karya terbaiknya yang memenangkan lomba kreasi. Kulihat ayah memotret foto itu dengan ponselnya. Sekilas kupandangi wajah ayah yang menyimpan banyak kesedihan dan kerinduan yang begitu dalam."Ayah?" panggilku.Dia menoleh dan tersenyum. "Nak, a
Season 2 Part 25Aku merasa sangat bersyukur. Keluargaku kini telah kembali, merasakan kedamaian dan cinta kasih. Ayah Haikal, Kak Daffa, Tante Wulan dan juga aku.Kulihat dua orang lelaki itu saling menitikkan air mata. Pertemuan yang mengharukan, kenangan yang takkan bisa terlupakan. Tapi sayang semua momen penuh haru ini harus berakhir karena ayah di telepon oleh majikannya. Ya, memang sudah tiga hari ayah izin untuk menungguiku di Rumah Sakit.Hari-hari berlalu dengan baik. Kak Daffa dan istrinya menginap di rumah selama beberapa hari. Rumah yang biasanya sepi kini terasa hidup kembali, apalagi si kecil Sekar sedang aktif-aktifnya. Kehadiran mereka mampu mengobati luka kehilangan bayiku."Suamimu benar-benar tega ya! Dia sama sekali tidak datang saat kamu sakit!" Kak Daffa meninggikan suaranya. Emosi mendengar perlakuan suamiku.Aku menghela nafas dalam-dalam. "Jangan sebut dia lagi Kak, aku muak mendengarnya.""Jadi kamu mau cerai?"
Season 2 Part 24_Aku menggedor pintu kontrakan cukup kencang. Setelah bersusah payah berjalan menahan rasa perih dan lara, akhirnya sampai juga di rumah kontrakan."Sandrina, buka pintunya ...!"Tak butuh waktu lama, Sandrina membukakan pintu. "Ya ampun Mas, kamu kenapa?"Aku disambut kekhawatirannya. Dia menutup kembali pintu dan menguncinya."Mas, kok kamu bisa babak belur begini?" tanya Sandrina. Dia membantuku melepaskan sepatu dan kaus kaki lalu melepaskan kemeja."Aku dijegal rampok tadi di jalan, Sandrina," sahutku sembari memegangi bagian tubuh yang terasa begitu sakit dan ngilu."Semua uangku hilang, raib dirampas perampok. Untung saja ponselku dan dompet tidak ikut dibawa."Sandrina hanya menatapku iba. Dia berlalu ke dapur, mengambilkan air hangat lalu membersihkan luka di wajahku."Memangnya tadi kamu jalan sendirian, Mas?""Ya. Kupikir akan lebih efektif kalau mengambil mobil di caf