Rasa letih begitu mendera. Beberapa hari terakhir ini rasanya begitu menyiksa. Semenjak terluka karena dikeroyok preman, badan jadi sering sakit. Apalagi uangku sudah ludes tak bersisa. Untuk akomodasi aku sampai meminjam uang Farhan. Malu sebenarnya, tapi dari pada kelaparan terpaksa aku meminjam uangnya.
Mentari sore di ufuk barat, bersiap untuk bersembunyi ke peraduan. Menjelang maghrib, aku baru pulang ke rumah.
Berharap istri dan anakku menyambut di teras, namun harapan itu hanya semu belaka. Rumah seperti tempo hari, gelap dan sepi. Apakah Mila dan anak-anak sedang pergi lagi? Jangan-jangan menemui laki-laki itu?
Gegas aku membuka kunci rumah. Semua ruangan begitu gelap. Kunyalakan saklar lampu, akhirnya ruangan jadi terang. Kondisi rumah begitu sunyi senyap seperti tempo hari. Kenapa aku merasa dejavu?
Ruangan tampak begitu rapi, tak ada perabot ataupun mainan yang berserakan. Bersih layaknya tak be
Rasa kesal langsung merajai diri. Bisa-bisanya istriku pergi dengan orang lain. Langsung kuhubungi nomor asing itu, ia dapatkan dari mana dan siapa dia sebenarnya, namun sayang panggilanku tidak digubrisnya.Tak lama pesan dari nomor itu datang lagi.[Jangan percaya sepenuhnya pada istri yang dianggap polos, justru dia bisa jadi boomerang untuk dirimu sendiri][Siapa kamu? Jangan fitnah! Kalau berani angkat telepon saya!][Kau tak perlu tahu siapa saya, akan saya kirimkan gambar lain yang lebih membuatmu tercengang]Selang beberapa detik, pesan itu datang lagi, berisi kiriman foto antara Mila dan juga Denny. Foto yang pertama tadi dipotret dari jarak yang jauh hingga terlihat jelas kalau mereka sedang berada di Bandara.Ting! Satu foto Mila dan Denny tengah bersama, mereka tampak akrab.Ting!Satu foto lagi Denny sedang menggandeng si kembar Daf
"Apa maksudmu, Mil?"Mila terdiam, tangannya begitu cekatan membuatkan teh manis untukku."Ini diminum dulu, habis perjalanan jauh pasti kamu capek," ujar Mila. Ekspresinya tampak begitu dingin.Aku memandang sekeliling, bangunan ini masih tampak seperti dulu, tak ada yang berubah. Sedari tadi bapak dan ibu tak terlihat di rumah. Denny juga sepertinya sudah pergi tak kutemui disini, apa mereka cuma kebetulan bersama?"Bapak sama ibu mana, Mil?" tanyaku sembari menyeruput teh yang masih panas itu."Bapak ada di kebon, lagi cari sayuran sama singkong. Kalau ibu ada di makam.""Apa maksudmu, Mil? Ngomong yang jelas dong.""Mas, ibu sudah meninggal," ucap sebuah suara dari belakang. Aku menoleh, Wulan mendekat sembari menyerahkan Alina pada Mila."Meninggal?"Wulan mengangguk. "Iya, ibu sudah meninggal kemarin. Setelah Mbak Mi
"Pak, aku minta maaf. Tapi kedatanganku kesini untuk menjemput mereka pulang. Bapak seharusnya tidak mencampuri urusan rumah tangga anak bapak sendiri. Ini masalah aku dan Mila, Pak!""Begitu kah menurutmu, Mas? Kalau gitu kamu juga harus bilang pada ibu supaya tidak mencampuri urusan rumah tangga kita," sanggah Mila."Tapi itu berbeda, Mil.""Kenapa berbeda? Apa kamu mau bilang biarpun sudah menikah anak laki-laki tetap milik ibunya?""Mil--""Sudahlah Mas, aku sudah bosan mendengar kata-kata andalanmu itu. Aku kurang sabar apa coba? Dulu aku tak pernah mempersoalkan nafkah yang diberikan untukku. Aku tak pernah mengungkit-ungkit hal itu. Aku tak apa-apa. Tapi sikapmu yang tak adil membuatku berontak. Untuk istri dan anak-anakmu kau begitu pelit sedangkan untuk ibu dan saudaramu kau begitu loyal. Jujur aku iri. Sebenarnya kamu menganggap aku apa, Mas?"Sekarang Mila justr
Terpaksa aku ikut kembali bersama Mas Haikal. Dia mengancam akan memisahkanku dan anak-anak. Aku benar-benar takut Mas Haikal akan merealisasikan ancamannya itu. Dia berduit, hal apapun bisa dia lakukan termasuk menyewa pengacara mahal untuk memojokkanku. Sedangkan aku? Aku belum punya persiapan atau kekuatan apapun untuk melawannya. Harus kuurungkan niat kembali untuk berpisah dengannya. Aku tak ingin anak-anak tumbuh tanpa mengenalku. Aku tak ingin mereka tersiksa."Pak, maaf. Mila memilih kembali bersama Mas Haikal, tolong doakan Mila agar Mila kuat. Doakan juga agar Mas Haikal benar-benar bisa berubah," lirihku saat berpamitan dengan bapak."Bapak yakin kamu bisa melewatinya dengan baik. Terus berdoa pada Allah, sang Maha pembolak-balik hati. Jangan menyerah ya Nak. Demi anak-anakmu kamu pasti kuat."Aku mengangguk, walaupun sebelah hatiku merasa perih."Wulan, kamu nanti bikin nomor rekening ya.
Selalu saja itu yang ibu ucapkan sebagai kalimat andalannya. Aku sampai bosan mendengarnya.Aku berjalan menghampiri mereka sembari meletakkan masakanku diatas meja. Sayur asem, ikan goreng, tempe dan tahu, lalapan, sambal terasi yang menggugah selera."Bu, memang benar apa yang ibu katakan. Biarpun sudah menikah, anak lelaki tetap milik ibunya. Tapi kewajibannya sebagai seorang suami yang utama adalah menafkahi istri dan anaknya, baru kerabatnya yang lain. Kalau ibu belum paham bisa tanyakan hal ini pada pak ustadz," selaku.Ibu menatapku tajam. "Kamu gak usah ikut campur, Mil! Sok tahu kamu!""Sudah Bu, sudah! Aku tidak ingin berdebat lagi dengan ibu. Maaf, bulan ini aku tidak bisa ngasih ibu uang, habis buat bayar utang. Udah ibu pulang aja.""Ck!" Ibu berdecak kesal. Ia kemudian melenggang pergi, tapi tiba-tiba kembali lagi."Mil, bungkusin lauk
Aku tersenyum. Ah biarkan saja mereka berkata sesuka hati. Yang penting aku tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan."Tuh lihat Bu, dia malah tersenyum. Belagak tenang kayak gitu. Terlebih dia gak nyanggah apa yang kita tuduhkan, jadi pasti semua itu benar! Kita harus kasih tahu hal ini pada Haikal, Bu. Enak aja Haikal punya istri murahan seperti dia!" sungut Mbak Indah yang makin kesal.Ibu hanya melengos, menatap sinis ke arahku."Hei Daffa-Daffi, kamu dikasih jajan apa sama ibumu?""Banyak budhe, ada es krim, roti--""Ish budhe-- budhe, panggil aku aunty, okey. Budhe terlalu tua.""Sudah Mbak bicaranya? Kalau sudah aku mau masuk dulu. Kasihan anak-anak sudah capek," ucapku santai.Netra Mbak Indah justru membeliak kaget. "Kamu ngusir kami?"Aku hanya mengedikkan bahu. "Maaf ya Mbak, Bu, aku gak punya waktu buat meladeni amarah kalian.
"Haikal, kamu kok malah diem aja sih! Kakakmu butuh bantuan tenaga, tapi istrimu gak mau bantu! Ngomong sesuatu kek!" tukas ibu mertuaku kesal"Bu, benar juga lho ucapan Mila. Anak-anak kami siapa yang akan jaga kalau Mila masak di tempat Mbak Indah. Daffa-Daffi mungkin masih bisa main sendiri, tapi Alina masih sangat kecil. Dan Mbak Indah kan orang kaya, sepertinya gak susah tuh kalau cari orang buat masak-masak, tinggal kasih bayaran yang sesuai aja kan beres.""Huh, jadi sekarang kamu sudah kena racun si Mila ya! Belain terus istrimu itu!"Ibu yang merasa kesal akhirnya pergi, apalagi Mas Haikal menanggapi ucapan ibu dengan membelaku. Awalnya dia hanya memandangku dan ibu secara bergantian."Sudah ayo sarapan, Mil. Jangan dengarkan ucapan ibu. Ibu kan sudah biasa seperti itu."Aku tersenyum, akhirnya untuk pertama kali, Mas Haikal membelaku."Makasih, Mas."
Indah menghempaskan tubuhnya diatas sofa dengan kasar."Kenapa Indah, kok mukanya ditekuk gitu?" tanya ibu."Ini semua gara-gara Mila, Bu.""Mila? Kamu ketemu dimana bukannya tadi kamu mau ke butik beliin gamis buat ibu?""Iya, gak jadi. Aku ketemu Mila disana, Bu.""Kok bisa, mau ngapain dia disana.""Ya ketemuan sama selingkuhannya lah, Bu. Ibu tau gak, ternyata laki-laki yang biasa bersama Mila itu pemilik butik langgananku, Bu!""Apa?""Ibu tau gak, bahkan laki-laki itu terang-terangan bilang menyukai Mila. Dia muji-muji Mila, Bu. Bahkan dia maki-maki aku dan mau laporin aku ke polisi. Bayangkan, Bu. Aku yang selama ini beli baju langganan di tempatnya, dia justru mojokin aku. Kupikir pemiliknya itu pria baik-baik, ternyata sama aja! Mata keranjang."Ibu terdiam, ia tampak shock mendengar apa yang terjadi pada anak sul
Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe
Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama
Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"
Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 
Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c
Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.
Season 2 Part 26"Bundamu dulu wanita yang sangat kreatif. Bisa mengolah barang sampah menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Ayah salut padanya. Dia benar-benar wanita hebat dan mandiri, walau banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya, tapi buktinya ia mampu melewati ini semua," ucap ayah sembari mengenang bunda. Ia tampak berdecak kagum saat mengingat memorinya dulu.Aku tersenyum, menyetujui ucapan ayah. Bunda memang hebat.Ayah melihat-lihat sampai ke dalam dan memandang beberapa sertifikat yang terpajang di dinding. Beberapa sertifikat yang berhasil diraih oleh Bunda yang dinobatkan dalam UKM kreatif dalam bidang usaha dan perindustrian. Ada juga foto bunda yang tengah memegang hasil karya terbaiknya yang memenangkan lomba kreasi. Kulihat ayah memotret foto itu dengan ponselnya. Sekilas kupandangi wajah ayah yang menyimpan banyak kesedihan dan kerinduan yang begitu dalam."Ayah?" panggilku.Dia menoleh dan tersenyum. "Nak, a
Season 2 Part 25Aku merasa sangat bersyukur. Keluargaku kini telah kembali, merasakan kedamaian dan cinta kasih. Ayah Haikal, Kak Daffa, Tante Wulan dan juga aku.Kulihat dua orang lelaki itu saling menitikkan air mata. Pertemuan yang mengharukan, kenangan yang takkan bisa terlupakan. Tapi sayang semua momen penuh haru ini harus berakhir karena ayah di telepon oleh majikannya. Ya, memang sudah tiga hari ayah izin untuk menungguiku di Rumah Sakit.Hari-hari berlalu dengan baik. Kak Daffa dan istrinya menginap di rumah selama beberapa hari. Rumah yang biasanya sepi kini terasa hidup kembali, apalagi si kecil Sekar sedang aktif-aktifnya. Kehadiran mereka mampu mengobati luka kehilangan bayiku."Suamimu benar-benar tega ya! Dia sama sekali tidak datang saat kamu sakit!" Kak Daffa meninggikan suaranya. Emosi mendengar perlakuan suamiku.Aku menghela nafas dalam-dalam. "Jangan sebut dia lagi Kak, aku muak mendengarnya.""Jadi kamu mau cerai?"
Season 2 Part 24_Aku menggedor pintu kontrakan cukup kencang. Setelah bersusah payah berjalan menahan rasa perih dan lara, akhirnya sampai juga di rumah kontrakan."Sandrina, buka pintunya ...!"Tak butuh waktu lama, Sandrina membukakan pintu. "Ya ampun Mas, kamu kenapa?"Aku disambut kekhawatirannya. Dia menutup kembali pintu dan menguncinya."Mas, kok kamu bisa babak belur begini?" tanya Sandrina. Dia membantuku melepaskan sepatu dan kaus kaki lalu melepaskan kemeja."Aku dijegal rampok tadi di jalan, Sandrina," sahutku sembari memegangi bagian tubuh yang terasa begitu sakit dan ngilu."Semua uangku hilang, raib dirampas perampok. Untung saja ponselku dan dompet tidak ikut dibawa."Sandrina hanya menatapku iba. Dia berlalu ke dapur, mengambilkan air hangat lalu membersihkan luka di wajahku."Memangnya tadi kamu jalan sendirian, Mas?""Ya. Kupikir akan lebih efektif kalau mengambil mobil di caf