Home / All / Bukan Istri Idaman / 6. Menyerah

Share

6. Menyerah

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!"

"Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!"

"Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!"

"Udah deh Mil, gak usah berlebihan!"

"Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?"

"Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"

Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.

Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda.

"Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.

Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali.

"Sayang, nanti kalau bunda punya uang banyak, dan cukup untuk ongkos pulang, kita pulang ya ke rumah kakek. Kalian mau kan?"

"Mau Bun. Yang penting bunda jangan nangis ya, aku mau pergi kemanapun asal bersama bunda."

"Aku juga Bun."

"Terima kasih ya sayang."

Gimana caranya menyadarkan Mas Haikal agar dia bisa bersikap lemah lembut seperti dulu lagi?

Dulu, Mas Haikal adalah lelaki yang lemah lembut. Sayang kepada istrinya. Namun, kurasakan sejak kelahiran putra kembarku, ia mulai berubah. Apalagi dari pihak ibu mertua menuntut harus selalu tampil sempurna. Orang berumah tangga itu harus punya rumah sendiri, gak numpang terus kayak benalu.

Jengah karena tuntutan ibu, akhirnya Mas Haikal ambil kredit perumahan. Aku sudah bertanya apakah dia sanggup membayar cicilannya? Mas Haikal mantap menjawabnya. Sejak saat itu dia jadi uring-uringan kalau duit gaji habis terus.

Tak cukup sampai disitu, ibu mertua juga mengompori Mas Haikal untuk kredit mobil. Aku masih ingat, ucapan ibu yang membanding-bandingkan anaknya sendiri dengan anak juragan Banu.

"Tuh lihat si Riko, dia udah punya rumah sendiri, punya mobil juga, kamu kapan, Kal?"

Mas Haikal terdiam.

"Kamu kerja dah lama, tapi belum nempel apa-apa. Malu dong jadi cibiran tetangga."

"Bu, kan waktu aku masih bujang, semua uang gaji kukasih ibu."

"Iya, tapi itu kan dulu. Sekarang kamu yang pegang uang itu sendiri. Harusnya bisa dong atur keuangan."

"Iya, iya Bu, nanti aku kredit mobil."

Ya, seperti itulah awalnya. Hingga gaji Mas Haikal habis buat cicilan rumah dan mobil. Dia memberiku nafkah hanya sedikit saja. Bertahun-tahun aku tak pernah protes karena dia selalu bilang uang gajinya habis buat bayar cicilan. Eh ternyata selama ini aku dibohongi. Sakit sekali. Dia memanfaatkan kebodohanku.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Mila, buka pintunya. Aku minta maaf," teriak suara dari luar.

Daffa dan Daffi mereka saling berpandangan. Hatiku benar-benar teriris perih. Kenapa laki-laki yang dulu sangat kucintai berubah jadi monster dan menyerangku.

"Mil, buka pintunya. Aku perlu bicara."

Aku terdiam. Biarkan saja, hatiku sudah terlanjur patah. Dia keterlaluan sekali.

Kamu mungkin pernah terluka, hingga membuat hatimu mati rasa. Luka yang dia tinggalkan begitu membekas di hatimu, hingga membuatnya semakin menganga, semakin terasa sesak di dada. Itulah yang kurasakan kini.

Untung saja, tadi anak-anak sudah mandi sebelum kuajak keluar rumah.

Suara adzan maghrib berkumandang. Aku mengajak anak-anak untuk sholat lebih dahulu lalu mengaji.

"Mil, Mil, buka pintunya!" Mas Haikal masih berusaha membujukku. "Kamu tahu kan surga istri itu terletak pada ridha suami?"

Aku tersenyum getir, lalu menyapu titik-titik bisa yang menetes di pipi. Halah, basi, Mas. Kalau kamu sudah merasa kalah dan salah pasti sok-sokan menceramahiku. Apakah suami dengan perangai buruk seperti itu harus terus kuhormati? Dia saja tak pernah menyayangiku lagi maupun anak-anak.

"Mil, Mil ...!"

Kubuka pintu perlahan, melihat Mas Haikal ada di hadapanku. Dia memandangku dengan tatapan memelas, mencekal pergelangan tanganku.

"Aku minta maaf," ujar Mas Haikal.

Aku terdiam sejenak tanpa menyahut.

"Tadi aku khilaf, aku minta maaf."

Kukibaskan cekalan tangannya, berlalu membuatkannya teh manis.

Sabar, Mil. Sabar. Kata ibu, selagi dia masih suami kita, kita harus melayaninya dengan baik. Duh ibu, rasanya aku sudah tidak kuat bila terus bertahan seperti ini. Rasanya ingin menyerah saja. Ibuku memanglah wanita penyabar.

Mas Haikal mengikutiku. "Mas minta maaf, mas sudah salah sama kamu. Di kantor lagi banyak masalah, jadi mas--"

"Ini tehnya, silahkan diminum. Kalau makanan aku gak masak kecuali nasi. Silahkan beli diluar saja."

Aku kembali masuk ke dalam kamar si kecil. Mereka tengah asyik bermain sendiri. Dan sekarang waktuku berkreasi.

Berulang kali Mas Haikal mengetuk pintu, namun tak kujawab panggilannya.

"Kenapa kamu jadi seperti ini, Mil? Mas minta maaf. Ayo kita makan bersama, mas sudah membelikan makanan buat kalian, anak-anak juga belum makan kan?" ujarnya dari balik pintu.

Emang enak aku cuekin, Mas.

***

Pagi ini, mataku terlihat begitu sembab karena menangis kemarin, sungguh membuat emosiku tak terkendali.

Seperti biasa aktivitas yang kulakukan sebagai ibu rumahtangga. Mencuci sambil memasak.

Kulihat makanan yang dibeli Mas Haikal semalam masih utuh teronggok diatas meja. Ada ayam bakar beserta lalapannya. Kuhangatkan makanan itu hingga aromanya tercium begitu harum.

"Akhirnya istriku kembali seperti biasa lagi," ucap Mas Haikal tiba-tiba sembari memelukku dari belakang. Aku sampai kaget dibuatnya.

Aku mengurai pelukannya, menoleh sebentar dan dengan pede nya lelaki itu tersenyum.

"Oaaa..  ooaaa.. oaaa..."

Tangisan Alina menghenyakkanku. Dia menangis, mungkin karena butuh ASI. Segera berlalu masuk dan menggendong bayi mungil itu.

Cukup lama berada di gendonganku dan Mas Haikal sama sekali tak berinisiatif untuk membantuku menggendongnya walaupun aku tengah kerepotan.

"Mas, coba kamu gendong Alina sebentar. Aku mau bangunin Daffa sama Daffi," pintaku. Sengaja ingin mendengar tanggapannya.

"Gak lah, aku sudah siang, mau berangkat!"

"Tapi Mas, kamu kan gak pernah gendong Alina semenjak dia lahir."

"Itu urusanmu, kamu kan ibunya! Jangan repoti aku pula dengan hal beginian! Tugasku hanya mencari nafkah!  Aku berangkat."

Sekali lagi, mulut itu menyakiti hatiku. Setiap hari Alina hanya mendapatkan kasih sayang dariku padahal anak-anak pun butuh perhatiannya, tapi dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Setiap aku protes dia selalu mengeluh, memutar balikkan fakta. Padahal aku hanya ingin dia memberikan sedikit saja waktunya untuk menemani si kecil.

Dia tak berubah dan sampai kapanpun tak pernah berubah. Baiklah Mas, ucapanmu itu membuatku makin mantap untuk tak akan bergantung lagi padamu. Aku akan hidup sendiri bersama anak-anak. Tunggu saja waktunya sampai aku bisa mengumpulkan uang agar bisa lepas dari ikatan ini.

Kalau seperti ini, rasanya aku ingin pulang saja ke rumah orang tuaku. Pak, Bu, aku rindu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Helmi Gk
semakin lama membaca semakin membuat penasaran sekali bagi sang pembaca yang menghayati satu demi satu kata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Istri Idaman   7. Perdebatan panjang

    "Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!"

  • Bukan Istri Idaman   8. Makin Pusing

    "Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!""Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok.""Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?""Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi

  • Bukan Istri Idaman   9. Kok Jatah Ibu Berkurang?

    [Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga

  • Bukan Istri Idaman   10. Salah Paham

    "Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang

  • Bukan Istri Idaman   11. Babak Belur

    "Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja

  • Bukan Istri Idaman   12. Semua Hilang?

    Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu

  • Bukan Istri Idaman   13. Kabar Buruk Dari Kampung

    Aaarrrggh! Mas Haikal menggeram kesal.Aku pura-pura tak tahu, kujalani aktivitasku seperti biasanya. Kulihat ia begitu gusar, mondar-mandir tak karuan tapi tak berani bertanya padaku."Mil, kamu punya simpanan uang gak?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Hah konyol sekali, dia sendiri yang memegang uang kenapa aku yang diminta?"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, semua uang kan kamu yang pegang!" tukasku agak emosi.Dia terdiam. "Katanya kamu kan jualan, kamu pasti punya uang kan apalagi jualanmu kan gak pake modal cuma dari barang bekas, jadi uangnya pasti utuh!"Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Picik sekali pikirannya. Kemarin-kemarin menghina usahaku tidak berkelas, sekarang justru bertanya hal yang tidak masuk akal."Karmila, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil."Ayo a

  • Bukan Istri Idaman   14. Nekad

    Seakan ada yang menusuk ke jantung hatiku. Rasanya sakit mendengar hinaan dari suamiku sendiri. Sangat sakit. Hal ini makin membuatku bertekad untuk segera pulang.Aku berlalu ke kamar. Tanpa terasa kristal bening ini jatuh berderaian di pipi. Allah, tolong hambamu ini ..."Bunda, kenapa nangis?" tanya Daffa sambil mengusap lembut pipiku."Nenek sedang sakit di kampung, Nak. Tapi kita gak bisa pulang. Uang simpanan bunda masih kurang buat beli tiket pesawatnya."Daffa-Daffi langsung memelukku. Entah kenapa hatiku makin terkoyak. Sakit sekali."Bunda jangan sedih ya, kami pasti akan doakan nenek supaya cepat sembuh.""Iya, sayang."Lama aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Apa aku kirim uang saja untuk berobat ibu? Jadi aku gak perlu pulang?'Mbak, apa mbak gak bisa pulang? Ibu sangat rindu sama mbak. Sekarang ibu sedang sakit mbak, udah

Latest chapter

  • Bukan Istri Idaman   104. Menyesal (End)

    Part 32Kuhirup udara kebebasan setelah mendekam dua tahun di balik jeruji besi. Fuh, berulang kali kuembuskan nafas kasar. Kali ini aku benar-benar bebas. Ya, bebas.Penampilan yang sudah tak karuan, rambut gondrong dan tubuh kurus tak menjadi masalah. Rasanya aku sangat rindu. Rindu bertemu dengan anak dan istri lalu ... Alina.Walaupun selama berada di hotel prodeo, Sandrina tak pernah menjengukku sekalipun. Entah kenapa dia. Apa sangat sibuk menjadi seorang model, atau justru kembali pulang ke kampung? Banyak pertanyaan yang berjejalan di otakku.Kulangkahkan kaki, ingin cepat pulang ke kontrakan tapi sepeserpun tak punya uang. Menyedihkan sekali hidupku ini.Suara adzan berkumandang. Hidup di penjara membuatku sadar, aku memang telah banyak meninggalkan ibadah kepada Allah. Aku ingin memperbaiki hidup. Semenjak berada di pesakitan, aku terus belajar sholat dan mengaji. Ternyata ada kedamaian dalam hati kecil ini.Berbe

  • Bukan Istri Idaman   103. Hari Bahagia Dirundung Duka

    Season 2 Part 312 tahun kemudian ..."Nak, menikahlah dengan Yudhis, dia laki-laki yang baik. Ayah ingin setelah kepergian ayah, ada yang menjagamu," ucapnya lirih. Pemilik suara itu adalah ayah kandungku, Haikal. Kondisinya saat ini tidak baik-baik saja. Faktor usia yang mulai renta membuatnya sakit-sakitan. Apalagi selama hidup dia mengabdikan dirinya di jalanan, menjadi sopir hingga puluhan tahun.Ya, semenjak aku bercerai dari Mas Tommy, rasanya trauma membuka hati kembali. Meskipun Mas Yudhis dengan gencar selalu mendekatiku, memberikan perhatian lebih. Tapi bayang-bayang trauma masa lalu sering kali hadir. Aku takut kembali disakiti lagi meskipun dia sudah bilang cinta berkali-kali sampai aku bosan mendengarnya."Uhuk ... Uhukk ..." Ayah Haikal kembali terbatuk-batuk. Kini dia tak bisa jauh dari tempat tidurnya karena sakit yang mendera sejak dua bulan terakhir. Kondisi kesehatannya benar-benar drop.Aku menatapnya dengan iba. Padahal selama

  • Bukan Istri Idaman   102. Vonis Hukuman

    Season 2 Part 30"Pasti kamu gak baca semua ya? Kalau aku sedang mencari model untuk majalah dewasa. Tadi aku kan sudah mewanti-wanti untuk membaca semuanya, kau bilang sudah paham. Ingat ya kontrak yang sudah ditandatangani tidak bisa dibatalkan, atau kami akan menuntut denda padamu.""Hah?""Cepat ganti bajumu!""Tapi Miss, ini terlalu terbuka.""Namanya juga model majalah dewasa, nanti kamu juga disuruh pakai bikini doang."Deg! Jantung Sandrina berpacu sangat cepat. Ini memang salahnya, tak membaca kontrak itu dengan seksama. Tapi apa boleh buat, dia sudah menandatangani kontrak itu dan tak mungkin mundur lagi."Ayo ganti, badanmu bagus lho. Pas, sesuai sama kriteria. Habis pemotretan untuk majalah, kamu masih ada job lho.""Job apa?""Ckck! Kamu ini, kenapa gak baca! Usai pemotretan, kamu harus menemani salah tamu di hotel kita, kamar nomor 105, ini kuncinya.""Tunggu, Miss. Jadi ini seperti model plus-plus?"

  • Bukan Istri Idaman   101. Otw Jadi Model

    Season 2 Part 29"Apa? Jadi kamu korupsi, Mas?" tanya Sandrina penuh selidik."Kamu pasti tahu aku tidak melakukan itu, Sandrina."Sandrina terdiam mendengarnya. Tak lama, Tommy langsung dibawa ke kantor menggunakan mobil polisi.Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan perasaan cemas setengah mati.'Apa yang harus kulakukan?' Sandrina berbicara sendiri. Terdengar suara Bayu menangis. Sandrina menghampirinya dan menggendongnya seraya menyusui."Habis ini kita ke kantor polisi yuk, Nak. Ayahmu dibawa sama Pak Polisi," ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.Impian untuk hidup bertiga bersama sang suami dan putranya kini pupus sudah.Ia memandikan anaknya, memakaikan baju dan sepatu bayi. Sandrina pun segera mandi dan bebersih diri. Ia tak sempat sarapan biar nanti beli di warung pinggir jalan sekaligus untuk suaminya.Satu jam kemudian, dia melangkahkan kakinya pergi menuju kantor polisi dengan naik ojek. 

  • Bukan Istri Idaman   100. Fitnah

    Season Part 28"Ya sudah kalau gitu aku yang kerja.""Kerja?" Keningku mengernyit."Ya, terima tawaran jadi model. Boleh kan?"Aku terdiam sejenak. Ragu dengan apa yang dia katakan. Maksudnya model apa? Semudah itukah jadi model? Bukankah seharusnya ada casting atau audisi yang lainnya."Gimana Mas, boleh kan?" tanyanya lagi penuh harap."Kamu serius pekerjaan itu beneran model? Jangan-jangan cuma bohongan, kamu jangan tergiur kayak gini sih. Cari kerja yang lain aja, yang pasti-pasti.""Mas, ini juga pasti lho. Ada kartu namanya. Gak mungkin kalau bohongan. Bahkan aku diminta datang ke gedung kantorn agencynya kalau gak percaya.""Kamu komunikasi sama dia?""Ya iyalah, Mas. Aku kan penasaran. Udah deh, percaya aja sama aku Mas.""Tapi--""Tenang saja, aku tetap mencintaimu walaupun nanti aku menjadi terkenal. Cintaku tetap untukmu."Kuhela nafas dalam-dalam. "Baiklah dicoba aja, terserah kamu. Aku c

  • Bukan Istri Idaman   99. Dua Kejutan Buruk

    Season 2 Part 27Ponselku berdering berkali-kali. Aku menggeliat malas, menggapai ponsel yang tergeletak di samping aku tertidur. Sebuah panggilan dari nomor kantor."Halo, Pak Tommy cepat datang ke kantor. Ada Tim Audit!" tukas sebuah suara dari seberang telepon."Apa? Tim audit?""Iya, Pak. Bos Yudhis juga sudah turun langsung dia kelihatan marah sekali."Deg! Astaga ada apa ini?"Iya, aku segera kesana.""Cepat ya, Pak. Ditunggu."Mengucek mata, menajamkan pandangan, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit."Ya ampun, aku kesiangan!"Melirik ke samping, Sandrina masih memeluk perutku. Aku hanya menggeleng perlahan. Apa dia sangat kelelahan akibat aktivitas semalam? Sampai sekarang malah belum bangun juga. Bukannya bangunin suami, masak, ini malah masih tidur. Duh istriku ini, ck!"Sandrina! Sandrina, bangun!"Menggoyangkan tubuhnya hingga menggeliat malas.

  • Bukan Istri Idaman   98. Sidang Perceraian

    Season 2 Part 26"Bundamu dulu wanita yang sangat kreatif. Bisa mengolah barang sampah menjadi barang yang bernilai jual tinggi. Ayah salut padanya. Dia benar-benar wanita hebat dan mandiri, walau banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya, tapi buktinya ia mampu melewati ini semua," ucap ayah sembari mengenang bunda. Ia tampak berdecak kagum saat mengingat memorinya dulu.Aku tersenyum, menyetujui ucapan ayah. Bunda memang hebat.Ayah melihat-lihat sampai ke dalam dan memandang beberapa sertifikat yang terpajang di dinding. Beberapa sertifikat yang berhasil diraih oleh Bunda yang dinobatkan dalam UKM kreatif dalam bidang usaha dan perindustrian. Ada juga foto bunda yang tengah memegang hasil karya terbaiknya yang memenangkan lomba kreasi. Kulihat ayah memotret foto itu dengan ponselnya. Sekilas kupandangi wajah ayah yang menyimpan banyak kesedihan dan kerinduan yang begitu dalam."Ayah?" panggilku.Dia menoleh dan tersenyum. "Nak, a

  • Bukan Istri Idaman   97. Bertemu Pengacara

    Season 2 Part 25Aku merasa sangat bersyukur. Keluargaku kini telah kembali, merasakan kedamaian dan cinta kasih. Ayah Haikal, Kak Daffa, Tante Wulan dan juga aku.Kulihat dua orang lelaki itu saling menitikkan air mata. Pertemuan yang mengharukan, kenangan yang takkan bisa terlupakan. Tapi sayang semua momen penuh haru ini harus berakhir karena ayah di telepon oleh majikannya. Ya, memang sudah tiga hari ayah izin untuk menungguiku di Rumah Sakit.Hari-hari berlalu dengan baik. Kak Daffa dan istrinya menginap di rumah selama beberapa hari. Rumah yang biasanya sepi kini terasa hidup kembali, apalagi si kecil Sekar sedang aktif-aktifnya. Kehadiran mereka mampu mengobati luka kehilangan bayiku."Suamimu benar-benar tega ya! Dia sama sekali tidak datang saat kamu sakit!" Kak Daffa meninggikan suaranya. Emosi mendengar perlakuan suamiku.Aku menghela nafas dalam-dalam. "Jangan sebut dia lagi Kak, aku muak mendengarnya.""Jadi kamu mau cerai?"

  • Bukan Istri Idaman   96. Shopping

    Season 2 Part 24_Aku menggedor pintu kontrakan cukup kencang. Setelah bersusah payah berjalan menahan rasa perih dan lara, akhirnya sampai juga di rumah kontrakan."Sandrina, buka pintunya ...!"Tak butuh waktu lama, Sandrina membukakan pintu. "Ya ampun Mas, kamu kenapa?"Aku disambut kekhawatirannya. Dia menutup kembali pintu dan menguncinya."Mas, kok kamu bisa babak belur begini?" tanya Sandrina. Dia membantuku melepaskan sepatu dan kaus kaki lalu melepaskan kemeja."Aku dijegal rampok tadi di jalan, Sandrina," sahutku sembari memegangi bagian tubuh yang terasa begitu sakit dan ngilu."Semua uangku hilang, raib dirampas perampok. Untung saja ponselku dan dompet tidak ikut dibawa."Sandrina hanya menatapku iba. Dia berlalu ke dapur, mengambilkan air hangat lalu membersihkan luka di wajahku."Memangnya tadi kamu jalan sendirian, Mas?""Ya. Kupikir akan lebih efektif kalau mengambil mobil di caf

DMCA.com Protection Status