Nandia, wanita berambut ungu itu sangat bersemangat mendandani Mila bak putri di dunia dongeng. Malam ini adalah acara pembukaan perusahaan yang dinaungi Alister, sebuah pesta yang dihadiri orang-orang penting. Makan malam dan dansa membuat Mila sangat antusias untuk menghadiri acara itu, maklum dia tidak pernah datang ke acara seperti itu.
Nandia bersama suaminya mendampingi Ibunya menyapa tamu-tamu. Nenek tua itu walaupun sudah penuh uban rambutnya tetap saja dia menjadi pusat perhatian di acara itu. Sangat dihormati.
Para tamu yang datang merupakan orang-orang penting dari kalangan atas, beberapa pasangan tampak berdansa menikmati alunan music. Para wanita tampak anggun dalam gandengan pasangannya. Tidak seperti Mila yang tampak jenuh dengan acara itu, awalnya dia antusias tapi karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Mila merasa asing di sana.
"Mila, kenapa di sini? Harusnya kamu nemenin Pak Alister berke
Ini sudah gelas ke lima Kezia meneguk minumannya, setiap kali ia ingin meneguk gelasnya, "Ini gelas terakhir," gumamnya. Menegaskan pada dirinya sendiri. Tapi setelah segelas habis dia masih menuangkan wine ke gelas kosongnya. Telapak tangannya mulai gatal, seperti disinggapi ulat bulu. Hal itu biasa terjadi saat dia tertekan. Pesta dansa tidak lagi menarik perhatiannya, suhu tubuhnya naik dan kelopak matanya hangat. Namun Kezia berusaha untuk tidak menangis.Baru kemarin rasanya Kezia mengenal Alister, dekat dan menjadi sahabat. Laki-laki itu selalu baik padanya, selalu menuruti keinginannya dan menjadi pendengar yang baik ketika dia bercerita. Tiba-tiba Alister melamarnya--membuat patah hatinya pada Fabian terobati."Bagaimana bisa semua laki-laki tidak mencintaiku." Kezia menatap gelasnya dengan senyum masam. "Kasihan kamu Zia, sebentar lagi Alister akan melupakanmu.""Tidak! Alister sudah memberikan cincin padamu, berm
POV: Mila.Seminggu setelah aku tahu anak dalam perutku telah berpulang, aku harus menerima kekecewaan dibatas kemampuanku. Rasanya tenggorokanku menelan beribu-ribu duri hingga aku tak bisa bicara, menutup mulutku pada siapa pun yang berkunjung ke kamar ini. Menolak laki-laki yang membiayai perawatanku untuk masuk ke kamar ini. Sepertinya Tuhan menempatkan tembok diantara aku dan Alister agar aku pergi ke arah lain.Tante Nandia dan Nenek sering berkunjung, setiap hari malah, menghabiskan waktu menemaniku dengan cerita-ceritanya yang lucu. Fabian juga sering berkunjung membakan makanan. Tapi segalanya tak membuatku lebih baik. Kehilangan anak menghanyutkanku dalam kesedihan dan keterpurukan."Mila, kata dokter kamu udah bisa pulang hari ini."Aku terdiam, menatap ke arah jendela kaca melihat cahaya biru luas tersebar dari warna-warna lain, awan-awan putih bergerak sebagai gelombang lebih pendek. Mengapa l
POV: Alister.365 hari. Waktu cepat sekali berlalu, semua memori kita, semua kenangan kita semakin buram... Rasanya tidak siap untuk perpisahan ini. Aku belajar dari senja. Senja mengajarkanku untuk menerima sebuah perpisahan dengan jaminan pertemuan hangat esok hari.Aku berharap banget kita ketemu lagi.Tak apa kamu membenciku dan aku hanya menjadi bagian dari masa lalumu, tapi izinkan aku tahu langkahmu. Kamu selalu hadir disetiap relung waktuku. Namun sekarang hilang bagaikan diterjang ombak lautan, hilang tanpa jejak.Haruskah begini perpisahan kita?"Pak... Pak Alister... Pak?""PAK ALISTER BAGASKARA... ""Ya... Ya yaaaa Jovanka aku mendengarnya!" Aku terbangun karena suara Jovanka yang membuat kupingku sakit. Suara Jovanka memang kuat walaupun dia bicara pelan. Aku meringis, kepalaku sakit seperti terhantam besi. Terduduk di sofa dengan kesada
Suasana acara pernikahan sangat sakral setelah kedua mempelai mengucap janji. Sang mempelai wanita, Meira Marsya terlihat begitu bahagia di samping pasangannya, Adam Bezer. Mereka secantik princess dan setampan pangeran. Soal tamu undangan, Meira dan Adam sepakat untuk membatasi tamu yang hadir. Hanya mengundang keluarga dan kerabat terdekat saja.How beautiful... How touching it is.Alunan music instrumental Bridal March - Richard Wagner yang super ikonik ini mengiring suasana semakin romantis dan khidmat."Na?" Mila yang berada di sebelah Aalona Galenka menepuk bahunya sembari tertawa kecil. Dia menggunakan dress di atas lutut berwarna hitam, wajahnya dipoles make-up natural, dan rambutnya juga sudah di tata hingga wanita itu terlihat sangat cantik."Nggak tau tiba-tiba pengen nangis ngeliat mereka. Kayaknya aku terlalu baper deh," sahut Aalona, cewek berambut panjang lurus itu
POV: Mila.Jam delapan pagi dan orang-orang belum pada dateng, yang ada di kepalaku 'Okeh Meira pengantin baru, terus apa kabar dengan Alona? Jam segini masih ngaret udah tahu banyak kerjaan' Aku memilih pakaian yang akan kami post untuk jualan online- kalau kalian mau tahu penghasilannya lebih dari lumayan. Aku punya motor dari hasil kerja kerasku, tabungan untuk masa depan.Setahun lalu saat aku dan Meira jalan-jalan ke mall, di sana ada peragaan busana. Saat itulah terpikir oleh kami membuat usaha ini bersama Alona, sepupu Meira. Studio kami bukan di pusat kota tapi bukan juga perkampungan. Bisa dibilang adiknya ibukota.Aku berharap Alona segera datang sebelum darah tinggiku naik, dan akibatnya bisa fatal. Dari pagi sampai malam mulutku tak akan berhenti menggerutu.Aku menyalakan laptopku, melihat penjualan kami dan mengecek barang. Aku menepuk jidat, sampai lupa me
"Semoga ya Mei kita bisa dapetin proyek ini." Ujar Mila antusias. "Aku yakin banget bakal maju usaha kita." Salah satu perusahaan besar menawarkan kerja sama pada mereka."Tapi Mil--""Kenapa lagi, Mei?" tanya Mila melihat wajah Meira tak seantusias dirinya."Modalnya besar, kalo kita ambil proyek ini kerjaan lain gak bisa kita ambil, Mila." Ujar Meira menghentikan makannya.Mila melirik Meira kesal bercampur geli. "Kamu aneh di kasih rejeki malah nolak. Gak baik tahu." Ucap wanita berpakaian blouse hitam dan rok panjang bahan transparan berwarna putih dengan belahan di atas dengkul sangat elegan dan manis membalut tubuh rampingnya.Satu jam yang lalu mereka meeting dengan klien. Mila dan Meira akhirnya memutuskan menghabiskan waktu di kafe untuk makan siang. Kafe itu tidak terlalu ramai karena hanya orang-orang tertentu yang mampu memboking tempat itu."
POV Alister."Jalannya rusak, banyak jeblokan... Siapa yang akan berkunjung ke sini? Benar-benar menyusahkan." Aku berjalan ke arah pintu masuk utama, setelah hampir satu jam berkeliling halaman taman gedung ini. Menurutku ini hanya bangunan bobrok tiga lantai yang tak layak lagi dijadikan tempat usaha."Pak, taman belakang belum bapak cek?""Kamu pikir aku akan mengotori sepatuku dengan tanah becek itu? Suruh saja orang untuk mengukurnya."Jovanka mengikuti di belakang bersama seorang wanita yang memakai dres merah menyala. Mungkin dia bekerja di sini, orangnya sedikit aneh... Berapa kali aku mengejek tempat ini dia sama sekali tidak marah. Malah tersenyum... Bodoh.Bangunannya usang, membuat siapa pun yang melihat pasti bosan. Kalau saja si pemilik punya selera tinggi tempat ini bisa di sulap menjadi lebih cantik dengan gaya Eropa pakai mural.Aku tidak mengatak
POV: Mila.Air mataku yang mengingatkanku padanya. Aku mencoba menghapusnya dalam ingatanku tapi aku tidak bisa, karena setiap menangis air mata itu memiliki ruang atas namanya. Tapi aku sadar hatiku yang sekarang tanpa cinta dan kasih sayang untuk dia.Dengan bersedekap dada dan tatapan tajam aku berdiri di depan pintu menghalanginya untuk masuk. Mau apa lagi dia ke sini? Aku pikir setelah pertemuan kami dua hari yang lalu pria ini tak akan lagi datang."Mau apa lagi kamu ke sini?" tanyaku sinis."Aku boleh masuk dulu?" alih-alih menjawab dia malah meminta. "Kalau kita bicara seperti ini, orang akan berpikir kita suami-istri yang sedang bertengkar." Aku membulatkan mata melihat tampang tak berdosanya."Siapa istrimu? Mungkin kamu lupa kita sudah menjadi orang asing," jelasku. Aku pikir urat saraf laki-laki ini terputus, sehingga ucapannya mulai aneh-aneh. "Pergi dari sin
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng