Pagi-pagi sekali Nenek membuat dapur beserta pelayan-pelayannya sibuk mempersiapkan menu makanan sehat untuk kesuburan pasangan suami-istri itu supaya Mila cepat hamil. Subuh tadi Alister joging sebelum dia meeting jam sepuluh pagi nanti.
"Aduh Mbah aku ndak sanggup lagi minum jamunya, gelas besar lagi." Mila memasang wajah cemberut, sambil menatap gelas bekas jamunya.
"Tinggal dikit lagi Mila cepat habisin," paksa wanita ber-uban penuh itu. "Ini bagus untuk kesuburan kamu. Percuma saya suruh kamu lebih agresif di atas ranjang tapi gak hamil-hamil. Mulai sekarang kamu harus dapetin simpati Ali jangan cuma pinter melayani dia saja." Lagi-lagi Nenek mengajari Mila untuk memikat Alister. Bahkan gerakan-gerakan di atas kasur sebagian adalah koreografi Nandia yang diajarkan kepada Mila.
"Mana mungkin Mas Alister bisa nerima aku Mbah. Dia itu marah-marah aja sama aku."
Nenek mengelus rambut pan
POV: Mila. Aku menguap berulang kali sedari tadi. Kelopak mataku terasa berat, jam dinding pukul satu malam. Sudah menjadi ritualku tiap malam menunggu Mas Alister pulang kerja. Aku menuruni tangga dari lantai tiga ke lantai satu. Lalu berjalan ke arah sofa berwarna putih di ruang tengah. Rumah sebesar ini kalau yang tinggal hanya sepasang saja pasti jadi seperti syuting film horor."Ali belum pulang?" suara itu dari Nenek, dia sangat menyayangiku dan berharap dalam perutku ada cicitnya. Aku tersenyum lalu dia menemaniku duduk di sofa empuk ini."Belum Mbah, mungkin dia lembur." Sahutku, Nenek mendesah."Kamu mau lihat orang tua Ali?" Aku mengangguk cepat. Nenek mengambil album dari lemari lalu membuka album lama dan menunjukkan foto-foto silsilah keluarga mereka. Dari kakek, ayah mertuaku, dan foto Alister yang terlihat gagah. Aduh gemesnya, kalau aku punya anak pasti setampan Alister."
POV: Alister. "Gimana keadaan kamu?" Sebelum aku pulang selalu pertanyaan itu yang keluar. Keiza cedera karena aku, bukan hanya kakinya yang cedera tapi hatinya juga. Beberapa hari ini aku menemani Kezia di rumah sakit dan baru hari ini dia bisa pulang ke rumahnya. "Kamu mau apa aku bawain besok?" wajah Kezia lebih berekspresi daripada kemarin-kemarinnya."Kamu mau pulang? Masih inget kan janji kamu menceraikan Mila, kamu yang bilang gak cinta sama dia. Jadi jangan kelamaan mempertahankan pernikahan itu." Ujar Kezia, pertanyaanku belum dia jawab udah ngasih ultimatum aja.Padahal aku sudah menelpon Mila untuk menjemputnya, tapi Kezia sepertinya belum mau aku pulang. Oma bisa marah kalau begini. Kali ini aku tidak bisa mengecewakan Kezia, dia dan Mila sudah cukup menderita. Lalu bagaimana dengan aku? Aku mencari perasaanku pada Kezia yang mulai memudar. Aku yakin perasaan itu masih ada.&
POV: Mila. Mataku terbuka, merasakan pelukan Mas Alister begitu hangat. Dia belum tahu kalau yang sekarang dia peluk bukan hanya aku tapi juga anak dalam perutku. Seluruh pikiranku dan tubuhku menginginkan Mas Alister. Apakah sekarang aku boleh egois? Aku ingin Mas Alister bersamaku dan juga anak kami. Aku mengumpulkan keberanian untuk mengatakan padanya, dan aku pun harus mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan hal terburuk yang mungkin aku hadapi.Aku semakin membenamkan diriku ke dalam dadanya yang bidang, mencium aroma maskulin yang menyeruak dari tubuhnya. Meira selalu mengatakan kalau laki-laki yang datang ke club malam untuk mencari perempuan adalah laki-laki hidung belang yang mempunyai otak mesum. Aku mengangkat wajahku melihat matanya yang tertutup, wajahnya sangat menawan. Memang benar Mas Alister itu otak mesum tapi aku yakin dia bukan hidung belang.Aku lupa kapan mulai tinggal bersaman
Pov: Mila. Banyak cara menuju Roma, mungkin istilah itu sama juga dengan maksudnya 'Banyak cara menggugurkan kandungan' Aku kira cuma ada di film-film seorang laki-laki meminta istrinya untuk gugurin anaknya. Waktu di club malam juga aku pernah mengantarkan teman Meira ke dukun beranak untuk menggugurkan anaknya. Ada juga yang namanya Leni, nyuruh aku beli jamu-jamuan dan ternyata itu untuk menggugurkan kandungan. Minum alkohol dengan berbotol-botol supaya keguguran.Yang paling membekas di ingatanku adalah saat aku membersihkan kamar mandi seorang wanita penghuni asrama tempat tinggal kami berteriak kesakitan dan dibawahnya bercucuran darah.Semenjak itu aku takut hal seperti itu terjadi padaku, merasakan sakit untuk menghilangkan anak dalam perut. Malangnya aku sekarang di posisi itu. Tapi yang membuatku hancur adalah karena aku sangat menginginkan anak ini. Dia baru 3 Minggu dalam perutku.
Mila menatap kosong ke arah Fabian yang berdiri di tengah-tengah kelas bak dosen profesional padahal dia hanya mengulang pelajaran yang kemarin dia jelaskan. Dia hanya bermodalkan wajah tampan yang membuat para murid betah berlama-lama menghabiskan waktu mereka di kelas Fabian.Dari gayanya Fabian seperti laki-laki kaya yang ingin diakui keberadaanya. Seorang pengusaha muda yang sukses dan ingin menyombongkan diri, terlihat jelas di sela-sela ucapannya selalu tersisip tentang cerita perjalanan karirnya.Semua orang mendengarnya di bangku dengan tatapan antusias, pasti mereka juga ingin menjadi pengusaha sukses. Sedangkan Mila duduk menopang dagu dengan tangannya, dia seperti puzzle yang berantakan. Segigih apa pun dia ingin mempertahankan pernikahannya dia harus sadar tidak ada secercah harapan selama Kezia ada di pikiran Alister.Hari-harinya bagaikan menunggu kiamat yang akan mendatanginya. Kehadirannya hanya se
POV: Alister.Selamat menjadi calon ayah, Mas Alister.Aku melihat kartu ucapan di atas tempat tidur, saat aku membuka kertas terselip hasil USG Mila. Mila melakukan cek secara berkala seorang diri.Aku merasakan dingin yang menyelimutiku, aku memang tidak menawarkan diri untuk mengajak Mila periksa kesehatan dan sekarang aku merasa tidak manusiawi. Saat aku hendak mencari Mila, mataku melihat sofa ada kotak di atasnya baju-baju bayi terpampang. Ada sarung tangan berukuran mungil, dan perlengkapan yang lain."Apa gak terlalu cepat beli ginian?" gumamku. Aku tersenyum memandangi barang-barang yang berserak di atas sofa itu. Padahal bayi itu baru 2 bulan, perut Mila juga masih rata seperti anak gadis.Tiba-tiba suara ringtone ponselku berbunyi, aku berjalan ke arah nakas."Maaf Pak, saya ingin menanyakan untuk pembukaan perusahaan Minggu ini apa ada yang yang perlu
Nandia, wanita berambut ungu itu sangat bersemangat mendandani Mila bak putri di dunia dongeng. Malam ini adalah acara pembukaan perusahaan yang dinaungi Alister, sebuah pesta yang dihadiri orang-orang penting. Makan malam dan dansa membuat Mila sangat antusias untuk menghadiri acara itu, maklum dia tidak pernah datang ke acara seperti itu.Nandia bersama suaminya mendampingi Ibunya menyapa tamu-tamu. Nenek tua itu walaupun sudah penuh uban rambutnya tetap saja dia menjadi pusat perhatian di acara itu. Sangat dihormati.Para tamu yang datang merupakan orang-orang penting dari kalangan atas, beberapa pasangan tampak berdansa menikmati alunan music. Para wanita tampak anggun dalam gandengan pasangannya. Tidak seperti Mila yang tampak jenuh dengan acara itu, awalnya dia antusias tapi karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Mila merasa asing di sana."Mila, kenapa di sini? Harusnya kamu nemenin Pak Alister berke
Ini sudah gelas ke lima Kezia meneguk minumannya, setiap kali ia ingin meneguk gelasnya, "Ini gelas terakhir," gumamnya. Menegaskan pada dirinya sendiri. Tapi setelah segelas habis dia masih menuangkan wine ke gelas kosongnya. Telapak tangannya mulai gatal, seperti disinggapi ulat bulu. Hal itu biasa terjadi saat dia tertekan. Pesta dansa tidak lagi menarik perhatiannya, suhu tubuhnya naik dan kelopak matanya hangat. Namun Kezia berusaha untuk tidak menangis.Baru kemarin rasanya Kezia mengenal Alister, dekat dan menjadi sahabat. Laki-laki itu selalu baik padanya, selalu menuruti keinginannya dan menjadi pendengar yang baik ketika dia bercerita. Tiba-tiba Alister melamarnya--membuat patah hatinya pada Fabian terobati."Bagaimana bisa semua laki-laki tidak mencintaiku." Kezia menatap gelasnya dengan senyum masam. "Kasihan kamu Zia, sebentar lagi Alister akan melupakanmu.""Tidak! Alister sudah memberikan cincin padamu, berm
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng