“Mas Aryo mau harum manis ini?” ia kembali mencubit makanan manis tersebut dan mengarahkan tangannya yang memegang Harum manis ke depan mulut Aryo. Aryo masih tak sadar, dengan iris mata yang masih menatap Indira. Pria itu menangkap tangan istrinya dan memasukkan potongan kecil harum manis tersebut langsung dari tangan sang istri. Hal itu membuat tubuh Indira seolah tersengat aliran listrik setelah jarinya bersentuhan dengan mulut sang suami. Apalagi, ketika makanan tersebut yang masih menempel dan Aryo menjilati manisnya kembang gula itu di setiap jari sang istri.Aryo seolah dibuat gila. Hatinya seperti menuntunnya untuk melakukan hal yang dahulu dia hindari. Bukankah itu sah-sah saja sekarang? Pria itu sama sekali tak bisa mengendalikan perasaannya kini. Ia sudah tak tahan menekan rasa cintanya dan berpura-pura tak terlalu mengenal Indira. Akankah Indira merasa aneh dengan perlakuan sang suami? Ataukah ingatan tentang Aryo bisa kembali seperti dulu? **Tatapan kedua sejoli itu s
“M-mas Rama. Sedang apa di sini?” tanya Indira. Matanya hampir saja melompat ketika melihat pria yang baru saja dia kenal sudah ada di depan mata.“Aku mau jemput kamu, Ra.” Rama tersenyum dengan semanis mungkin. Pria jangkung berkacamata tersebut menyugar rambut hitam legam miliknya seolah sedang memikat wanita polos di hadapannya.“Hmmm ...? Maaf, Mas. Sebentar lagi, Ayah datang menjemputku. Ini lagi nunggu. Beliau sedang di jalan menuju ke sini sekarang,” tolak Indira.Mendengar penolakan dari wanita di depannya, rahang Rama mengeras.“Dasar wanita tak tahu diuntung. Sudah bagus ada laki-laki kaya yang mau menjemput, malah sok-sok-an menolak segala,” batin Rama. Harga dirinya sebagai pria yang sering dikejar-kejar banyak perempuan tergores.Kalau saja bukan demi sang adik, Wulan. Mana mungkin dia akan merendahkan dirinya untuk mengejar seorang perempuan yang menurut Rama tak selevel. Wanita kelas rendah dan bukan seleranya sama sekali. Apalagi, Rama ingat, wanita ini pasti mendekat
Indira menoleh ke arah suara yang sempat memanggilnya.“Nona. Tuan besar ingin bertemu dengan anda. Saya harap anda mau ikut menemui beliau,” ujar seorang pria matang berpakaian formal.“Anda siapa, ya? Saya merasa tidak pernah mengenal anda.”Dahi Indira menukik tajam, ia mengingat-ingat wajah pria di hadapannya. Mana tahu, dirinya mengenal lelaki jangkung tersebut dan sempat lupa. Namun, seberapa berat pun ia menggali ingatannya, tetapi tak ada satu pun memori yang ia dapat.“Saya asisten Tuan Wijaya. Ayahanda dari Tuan muda Aryo. Beliau meminta saya untuk menemui anda dan mengajak untuk bertemu dengan beliau saat ini. Kebetulan, tuan besar sedang menunggu di restoran yang tak jauh dari kampus sini,” terang pria itu membuat Indira tersentak kaget.Untuk apa Ayah pria yang dicintainya memintanya untuk bertemu? Hati wanita tersebut seketika menjadi tak enak. Mendadak Indira gelisah tak menentu. Ia merasa akan ada sesuatu yang tak menyenangkan dilaluinya. Jantung wanita itu berdetak ti
“Sebentar lagi rencana kita berhasil, Om. Indira tak lama lagi masuk perangkap kita. Ia akan menjadi istri sandiwaraku. Setelah Aryo menikahi adikku, Indira akan kuceraikan. Om kan tahu, Papa dan Mama tak akan suka dengan wanita rendah seperti Indira. Lagi pula, aku tidak mencintainya. Dia bukan levelku.”Kejutan kembali Indira dapatkan. Ia tak menyangka ternyata selama ini, dirinya telah tertipu dan masuk perangkap mereka. Tega sekali kedua orang ini. Tapi kenapa, bukankah ia sudah rela pergi menjauh, sampai-sampai mengganti nomor ponsel agar Aryo tak dapat menghubunginya? Apa itu masih kurang?Indira menutup mulutnya. Ia sungguh terkejut dengan yang baru saja dia dengar. Rasa sakit mulai menggerogoti hatinya. “Tega sekali. Apa salahku kepada mereka?” gumam Indira sambil meraup banyak-banyak udara di sekitarnya yang terasa mulai menipis. Sesak, itu yang kini wanita itu rasakan.Orang yang dikira akan mengobati rasa kehilangan atas sosok Aryo yang terpaksa ia lepaskan. Ternyata, menj
Dorongan dalam diri Rama semakin kuat. Baginya, melihat Indira ketakutan seperti itu seolah menantang sisi kelelakiannya agar dia lebih mendekat. Rama seakan sudah gila berkat Indira. Tak pernah ia menginginkan wanita seperti saat ini.“Mas. Kamu mau apa? Jangan mendekat!” gumamnya lirih dengan bibir bergetar menahan ketakutan. Wanita itu menggeserkan tubuhnya menjauh ketika Rama mulai mendekat dengan mata yang seolah penuh dengan kilat nafsu. Iris pria itu tak pernah berpaling dari wajah Indira.Melihat bibir calon istrinya bergetar, membuat Rama semakin bersemangat untuk menerkam gadis itu. Gila memang, karena habis menenggak beberapa gelas alkohol di balkon tadi, otak Rama mulai bergeser. Pria itu seolah melihat buah apel yang merah dan manis ketika tatapannya tertuju pada bibir ranum Indira. Otaknya mulai dipenuhi hal-hal yang mesum. Semakin lama memandang wanita di hadapannya, semakin tubuh Rama bergejolak kepanasan. Bukannya iba melihat wajah ketakutan Indira, pria itu malah m
“Mas. Kumohon ... sadarlah. Jangan seperti ini ....”“Kumohon, Mas Rama. Ini kesalahan.”“Mas. Aku mohon. Lepaskan aku dan aku berjanji akan menjauh dari sini. Aku berjanji takkan punya hubungan apa pun lagi dengan Mas Aryo. Aku ikhlas. Kalau perlu aku akan pergi ke luar kota.”Bayangan pria yang dia panggil Rama tersebut terus saja melintas. Adegan demi adegan buruk itu berputar seolah adegan film yang terus berkelindan, membuat tidur Indira terganggu. Tak lama, wanita itu tersentak dan terbangun dengan keringat sebesar biji jagung telah membanjiri sekujur tubuhnya. Nafasnya tersengal, sesak dan ketakutan mendominasi suasana hatinya malam ini. Entah kenapa, mimpi itu ... kembali lagi. Mimpi yang dulu tak begitu jelas, sekarang bahkan dirinya merasa itu sungguh nyata.“Rama? Mas Aryo? Siapa Rama? Ada hubungan apa mereka berdua? Kenapa aku merasa keduanya berhubungan satu sama lain?”Indira kembali mengingat-ingat mimpi yang terasa nyata tadi. Namun, semakin dipikirkan, kepalanya kian
“Ayah takut Indira ada di dalam dan terjadi sesuatu. Makanya Nak Aryo Ayah panggil soalnya pintunya tertutup dan terkunci dari dalam. Kami tak memiliki kunci cadangan untuk kamar mandi, Nak,” terang Ayah panjang lebar.Aryo mengangguk dan mencoba untuk mendobrak pintu kamar mandi yang terkunci tersebut. Dengan beberapa kali tendangan dan dorongan paksa, akhirnya pintu terbuka. Alangkah terkejutnya semua orang ketika melihat Indira sudah terkapar lemas dengan luka sayatan di pergelangan tangannya.“Ira ...,” pekik Aryo. Alangkah panik luar biasa dirinya menyaksikan keadaan sang istri yang begitu memprihatinkan.**Dengan sekejap, Aryo langsung memangku tubuh sang istri yang telah bersimbah darah. Terlihat beberapa pecahan kaca, bisa semua orang tebak itu benda yang dipakai Indira untuk melukai dirinya sendiri. Air mata bunda merebak dengan tubuh tuanya yang mulai bergetar, pun Ayah yang hampir saja limbung saking syoknya.“Yah. Bantu saya menyiapkan mobil. Kita bawa Ira ke rumah sakit
Suara dering ponsel di saku celana Aryo terdengar, memotong obrolan antara mertua dan menantu tersebut. Ternyata, Wulan lah yang menghubungi Aryo. Pria itu pamit untuk mengangkat telepon kepada kedua mertuanya. Setelah mendapat izin, ia berjalan menjauh dari ruang IGD tempat Indira ditangani. Suara salam terdengar ketika baru saja mengangkat panggilan tersebut, dan Aryo pun membalasnya.“Mas di mana? Bagaimana dengan Ira? Apa udah ketemu?” cecar Wulan terdengar khawatir di seberang sana.“Sayang ... mas hari ini mungkin belum bisa pulang ke rumah. Juga, enggak akan dulu pergi ke kantor. Mas mau ambil cuti beberapa hari ke depan,” jawab Aryo membuat kening Wulan berkerut di seberang sana.“Lho, memangnya Ira belum juga ditemukan?” Wulan kembali bertanya, membuat Aryo menghela napas berat, berusaha mengurangi beban di dada yang terasa menyesakkan. Pun pikirannya yang masih belum tenang sambil menanti kabar dari dokter mengenai kondisi Indira di ruang IGD.“Mas sedang di rumah sakit.”“S
Akan tetapi, wanita itu berhenti sejenak di depan pintu. Sorot matanya menangkap sosok tampan di dalam sana yang tengah mengusap perut Indira. Ia berniat kembali berbalik arah, tetapi Indira melihat Wulan yang bergegas langsung memanggilnya.Wulan menoleh dan tersenyum menatap adik madu dan sang suami. Sebenarnya, ia pergi bukan karena cemburu, tetapi lebih karena tidak enak hati telah mengganggu kebersamaan Aryo dan Indira. Wulan memasuki kamar adik madunya. Aryo segera berdiri menghampiri Wulan dan merangkulnya. “Mbak cuma mau nyuruh kamu turun. Kita makan bersama. Hidangannya sudah siap ,” ujar Wulan.“Mbak masak sendiri?”“Iya spesial buat kamu, Ra. Mbak masak ayam bakar.”“lho, kok repot-repot sih, Mbak. Padahal Mbak Wulan sendiri pasti capek ngurus Salma dan anak-anak, kan?” ujar Indira memandang heran wajah kakak madunya yang seperti tak pernah merasa capek.“Wulan memang begitu, Ra. Dia wanita hebat yang seperti tak pernah kenal lelah dalam hidupnya,” timpal Aryo dan mendap
Mereka jalan bersama sekedar melihat wahana yang ada. Siang ini udara begitu panas sehingga membuat para pengunjung kegerahan. Begitu pun dengan Indira, seketika tubuh Indira lemas dan matanya sedikit berkunang. Penglihatannya mulai redup seakan hari akan menjelang malam. Indira tak sadarkan diri. Untung saja, Salma sedang Wulan susui pun tangan Aryo sigap tubuh sang istri dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat. Satu keluarga itu panik bukan main melihat Indira tak sadarkan diri. Apalagi, Aryo, kentara sekali kekhawatiran di wajah pria itu.Setelah sampai, Indira segera ditangani oleh dokter.Selang beberapa saat, dokter yang memeriksa Indira keluar dengan wajah senyum merekah. Aryo bergegas menghampirinya. “Ada apa dengan istri saya, dok? Kenapa dia bisa pingsan gini. Apa istri saya sedang sakit, dok?” cecar Aryo. Wulan mengelus punggung sang suami agar tetap bersabar.Bibir dokter itu tersenyum lebar. Lalu mengulurkan tangan pada Aryo dan mengucapkan selamat. Membuat keb
Sudah beberapa hari ia tinggal di rumah baru, membuat Indira sedikit kesepian. Pasalnya, ia merasa masih asing di tempat ini. Apalagi, seminggu ini Aryo tak bisa berkunjung seperti biasanya. Ia harus rela jatahnya bersama sang suami kini terganggu gara-gara kondisi kehamilan Wulan yang membuat semua orang khawatir.Bagaimana tidak, selama tujuh hari ini, badan Wulan lemas dan muntah-muntah. Bahkan, setiap ia memakan nasi atau pun bubur pasti selalu tak masuk. Terkadang Wulan hanya mau makan roti dan pisang saja. Untunglah, kedua makanan itu pun termasuk ke dalam sumber karbohidrat. Jadi, menurut dokter itu tak begitu membuat khawatir. Namun, tetap saja ia tak bisa meninggalkan sang istri begitu saja. Meski, ia merasa bersalah telah abai terhadap istri yang lain.“Maaf, Ra. Mas benar-benar tak enak sama kamu. Maaf juga kalau Mas sudah abai sebagai seorang suami,” ujar Aryo ketika ia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah istri keduanya meski hanya bisa sebentar, itu pun sepulangnya A
Setelah memastikan Wulan baik-baik saja selepas siuman. Aryo terpaksa harus meninggalkan istri pertamanya untuk melanjutkan rencana kepindahan Indira, itu pun atas izin dari Wulan.“Mas pergi saja. Bukankah ini sudah direncanakan Mas beberapa bulan yang lalu. Aku enggak apa-apa, kok. Sekarang sudah lebih baik. Lagi pula, ini bukan kehamilan pertamaku. Jadi, aku udah bisa jaga diri.”Indira yang duduk di ranjang menemani Wulan menggeleng.“Enggak, Mas. Jangan tinggalin Mbak Wulan. Kepindahanku bisa dipending, tapi kesehatan Mbak Wulan lebih penting. Aku enggak mau kecolongan lagi, terus Mbak malah kembali pingsan,” kekeh Indira tak ingin mengindahkan ucapan kakak madunya.“Mbak enggak apa-apa, Ra. Kamu jangan khawatir. Tadi, Mbak pingsan gara-gara kelelahan aja. Beberapa Minggu ini kan kegiatan Danish di sekolah banyak banget, terus belum lagi kerjaan rumah yang enggak selesai-selesai. Mungkin itu juga yang membuat tubuh Mbak drop.”“Apa perlu Mas nyari orang lagi buat nemenin kamu di
Hari sudah menjelang malam. Mereka sibuk merapikan barang yang akan di bawa ke rumah barunya. Ada perasaan sedih karena harus meninggalkan kamar yang menyimpan banyak kenangan. Indira menatap foto keluarga saat dirinya masih kecil. “Kalau kamu belum siap untuk pindah, enggak papa kok, Sayang,” ucap Aryo seraya menepuk pundaknya.“Insya Allah aku siap kok, Mas. Sudah kewajibanku sebagai istri untuk nurut sama suami.”“Makasih ya, Sayang. Aku janji akan selalu berusaha menjaga dan membahagiakanmu semampu yang aku bisa. Aku enggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.”Indira mengangguk sambil tersenyum. “Mbak Wulan gimana, Mas? Udah tahu aku mau pindah? Keberatan enggak? Soalnya aku enggak enak sama Mbak Wulan. Mas Aryo udah ngasih aku rumah,”“Udah, Sayang. Wulan juga senang kalau kamu bahagia. Lagi pula, kamu juga berhak mendapatkannya. Mas jadi tenang sudah memberikan tempat tinggal layak untuk kalian berdua. Berarti fokus Mas kedepannya untuk membiayai kalian berdua dan yang
“Maafkan kesalahan anak kami ya Nak Indira. Maaf sebagai orang tua kita nggak becus mendidik anak. Kami menyesal sekarang atas semua perbuatan Rama sama kamu,” ujar ini Bu Rina sambil memohon maaf dengan berurai air mata.Indira meraih tangan Bu Rina dan menggenggamnya dengan erat.“Aku memaafkan semua kesalahan Mas Rama dulu. Meski sulit, tapi aku sedang berusaha untuk ikhlas. Lupakan semua yang telah terjadi. Bukankah Allah maha pemaaf kenapa kita saja sebagai hamba yang tak memiliki kuasa tidak?“Lagi pula, aku bersyukur dengan jalan ini, bisa mengenal sosok kakak seperti Mbak Wulan,” tambahnya lagi. Mendengar ucapan Indira, Buu Rina menghambur ke arah madu sang putri dan memeluknya erat. Ia mengucap terima kasih karena sudah mendapat maaf dari mereka. Hatinya sedikit lega. Padahal, ia dan sang suami sempat berpikiran picik terhadap wanita itu.Keduanya kira, Indira itu wanita yang gila harta sehingga mengincar Aryo dan bahkan mau menjadi istri kedua dari menantunya. Ternyata sang
“Masih sakit?” tanya Aryo melihat cara jalan sang istri yang tak biasa.Pipi Indira merah merona mengingat kejadian semalam. Wanita itu hanya menjawab dengan anggukan tetapi kemudian berubah jadi gelengan. Sebenarnya, ia malu membahas hal yang masih tabu untuknya tersebut, apalagi ketika melihat kasur yang masih berantakan.Aryo mendekat ke tubuh Indira dan memeluknya dari belakang. Ia mencium aroma tubuh wanita itu yang baru saja selesai mandi keramas. “Kamu wangi banget, Ra.”“Jangan gitu Mas, aku malu,” ujarnya seraya mendorong tubuh suaminya.Bibir Aryo terkekeh pelan melihat reaksi sang istri yang terlihat lucu saat wajahnya tengah memerah karena dia goda. Ada rasa lega dalam diri pria itu sekarang. Terlebih Indira sudah mau menunaikan kewajibannya sebagai istri. Suara ketukan pintu dari luar membuatnya terlonjak kaget. Ia melangkahkan kaki ke arah pintu dan membukanya. Bunda Indira sudah berdiri di sana dengan senyum canggung. “Maaf Bunda ganggu kalian enggak?” ucapnya seraya
“Ra, kok Mas enggak lihat Bunda dan Ayah?”“Oh, hari ini mereka nginap di rumah saudara yang lagi hajatan, Mas. Emangnya Mas udah lupa?”Aryo menggeleng sambil menggaruk pipinya yang tak gatal.“Mas lupa, Ra.”“Kebanyakan mikirin kerjaan, jadi gampang banget lupa,” kekeh Indira yang tengah membuka kerudung yang dikenakannya di meja rias.Tangan Aryo terulur untuk menyisir untaian demi untaian mahkota kepala sang istri. “Mas lebih baik wudu dulu, deh. Kita salat bareng, ya. Mas jadi imamnya.Malam memang telah menyambut, kini waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam lebih belasan menit. Sudah waktunya bagi mereka untuk menunaikan ibadah wajib bersama-sama. Kebetulan, magrib tadi Aryo tak salat di rumah, melainkan di mesjid.“Iya. Kita wudu bareng.”Sang istri mengangguk dan mengikuti suaminya yang lebih dulu mengambil wudu di kamar mandi. Setelah keduanya suci, Aryo memimpin Indira untuk salat berjamaah. Sangat terasa khusyuk dan damai.Wanita itu tak pernah menyangka bakal sampai di
Indira merasa kesusahan untuk bernapas karena Aryo begitu kuat memeluknya. Wanita itu melepaskan pelukannya. Pria itu membungkukkan badannya di depan Indira hingga membuatnya tak nyaman. Jemarinya mendorong bangkunya ke belakang agar ia bisa menghindar. “Kamu mau ngapain, Mas?” “Apa perlu aku sujud di kakimu agar aku bisa membuktikan rasa cintaku padamu? Betapa aku mengkhawatirkan keadaanmu. Apa masih ada tempat yang lebih nyaman untuk berbagi cerita selain kepada pasangan sendiri?” Wanita itu tercengang atas ucapan Aryo. Matanya bersitatap dengannya. Tangan Aryo meraba ke bawah hendak mencari bunga yang terjatuh. “Mas kok ngomongnya begitu.”“Kamu aja nggak percaya sama, Mas,” jawabnya seraya bangkit dan kembali duduk di kursi kemudi. Sementara Indira membetulkan bangku ke posisi semula. Ia menghembuskan napas lega sembari mengusap dada.“Aku percaya kok sama, Mas.”“Kalau percaya, berarti kamu bisa cerita sama, Mas,” ucap Aryo.Indira tersenyum dan mengangguk. Senyum di bibir A