Ayyara buru-buru menarikku keluar saat Niami terlihat makin murka, entah apa yang terjadi dengan wanita itu, mendadak dia seperti kesetanan saat tahu aku sedang hamil."Mama Niami ternyata tidak berubah, dia masiih saja begitu," kata Ayyara saat kami sampai di dalam taksi. Gadis itu terlihat lesu dan sedih."Seseorang kadang butuh waktu lebih banyak untuk berubah dan mengambil pelajaran, semoga setelah ini Mama Niami benar-bena bisa berubah," ucapku sambil mengelus pundaknya.Ayyara mengangguk lesu. Mobilpun melaju dengan kecepatan rata-rata, dan saat sampai di rumah Ayyara langsung pergi ke kamarnya. Entah apa yang dirasakan gadis itu sekarang, kenapa dia terlihat murung sekali setelah bertemu dengan Niami?"Elia, bagaimana tadi?" tanya Ibu mertua saat aku baru saja akan naik tangga."Lancar Bu, tadi Ayyara dan Niami ketemu sebentar.""Padahal Ibu tidak setuju anak itu bertemu ibunya, ibunya itu sungguh tidak pantas dicontoh," gerutu beliau sambil memegangi pinggangnya.Aku mengulum
***Kuurus kepindahan sekolah Ayyara secepat mungkin karena untungnya tidak butuh waktu lama Ayyara sudah mendapatkan sekolah yang dia inginkan, walau letaknya agak jauh dari rumah karena ada di pinggiran kota, tapi Ayyara senang sekali bisa masuk ke sana.Dia bilang di sana anak-anaknya sederhana, ramah dan baik-baik sekali. Jadi dia bisa benar-benar belajar dan fokus menyelesaikan sekolahnya.Syukurlah, karena semua berjalan sesuai yang kuharapkan juga, walau awalnya aku benar-benat ragu akan memasukan Ayyara ke sekolah itu tapi karena melihat Ayyara sangat senang dan bersemangat setiap harinya, aku jadi ikut bahagia."Yaraa bahagiaa sekali Ma bisa sekolah di sana." Kata-kata itu yang setiap hari aku dengar sekarang, Ayyara benar-benar menemukan hidup barunya dan pelan-pelan mulai melupakan masa lalunya."Syukurlah kalau Yara bahagia, Mama juga ikut bahagia."Tok tok tok.Pintu kamar Ayyara diketuk."Permisi Non Yara.""Ya Bi, masuk.""Non, ada undangan untuk Non Yara, dan untuk Ny
"Waktu emm untuk bertemu kedua orang tuaku Mas, umur tidak ada yang tahu bukan?" jawabku akhirnya.Mas Nata manggut-manggut. "Ya sudah, tapi tolong jaga anakku baik-baik ya."Aku mengulum senyuman lebar.Setelah perizinan beres, aku gegas mengemas baju-bajuku untuk beberapa hari di sana, setelah itu Mas Nata baru mengantarku ke terminal bus.-Sampai di kampung halaman, aku istirahat dan mengobrol sebentar dengan ibu dan bapak, mereka sebetulnya kaget karena mendadak aku datang tanpa mengabari dulu."Memangnya suami kamu tidak ikut, Nak?" tanya Ibu."Tidak Bu, Elia pulang mendadak dan Mas Nata sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.""Apa itu benar, Nak? Kalian tidak sedang bertengkar bukan?" tanya Bapak yang juga ikut menyambutku datang."Tidak Pak, Mas Nata tadi pagi hanya mengantar Lia ke terminal Bus.""Ya Allah Nak, tapi bahaya pulang sendiri dalam keadaan sedang hamil mudah begini," timpal Ibu lagi.Aku mengulum senyuman tipis, "insya Allah semuanya baik-baik saja
"Biarkan saja, biar kamu tahu rasa, dasar anak tidak tahu diuntung, sudah Ibu katakan menjauh dari wanita ini, tapi kamu tetap saja membantah semua omongan Ibu!""Tapi Bu, Ibu salah paham.""Tidak! Ibu tidak pernah salah, kamu memang sama saja dengan wanita murahan ini, sama-sama harus diberi pelajaran!"Aku makin panik, lebih-lebih saat beberapa warga mulai berdatangan. "Ada apa ini? Ada apa?" tanya mereka."Ini, wanita murahan ini, dia sedang berusaha merayu anak saya Pak, dan mereka saya lihat sedang melakukan perbuatan hina, jadi tolong arak saja mereka berdua, kasih mereka pelajaran supaya mereka kapok," pekik Bu Safitri."Tidak! Itu tidak benar, saya dan Aslan hanya sedang mengobrol, dan bahkan kami baru saja sampai ke tempat ini," sanggahku membela diri."Ck halah, tidak udah banyak alasan kamu Lia, jelas-jelas saya lihat kamu sedang melakukam perbuatan tak senonoh dengan anak saya, sudah Pak, Mas, bawa saja mereka, arak mereka keliling kampung, saya ikhlas, biar anak saya jug
"Sekali lagi kau bilang anakku murahan, akan kupastikan mulutmu itu merasakan hal yang sama," desis Bapak dengan mata melotot penuh.Dada Bu Safitri kembang kempis, ia balik melotot alih-alih takut pada ancaman bapak."Beraninya kau menamparku Sudrajat!" pekiknya."Tentu saja, bahkan aku bisa melakukan lebih dari itu jika kau berani menyakiti anakku lagi," ancam Bapak."Cih, anak murahan dan kerjaannya selingkuh saja masih kau bela, harusnya kau buang anakmu itu jauh-jauh supaya dia tidak perlu bertemu Aslan lagi, tak sudi aku melihatnya."Aku dan ibu terperangah, ucapan Bu Safitri benar-benar sudah di luar batas, dan sangat merendahkanku."Tutup mulutmu itu, atau aku tak segan melayangkan bambu ini agar mulutmu itu diam selamanya.""Coba saja kalau kau berani," tantang Bu Safitri.Bapak makin terpancing, dengan gagahnya beliau mengangkat bambu yang dipegangnya ke atas."Cukup! Cukup! Hentikan semua ini, Pak Sudrajat, saya harap Bapak bisa lebih tenang!" teriak Pak RT melerai."Pak, s
Bu Safitri kembali terperangah."Apa maksudmu Aslan? Ini Ibumu, ini Ibumu, Nak," katanya sambil nunjuk-nunjuk dadanya sendiri."Bukan! Kamu bukan Ibuku lagi, karena seorang ibu tidak mungkin mempermalukan dan memfintah anaknya dengan kejam seperti ini!""Tapi Ibu melakukan itu agar kamu sadar bahwa wanita ini pembawa sial dan dia wajib kamu jauhi.""Cukup kau katakan anakku pembawa sial Safitri," timpal Bapak tak suka."Diam kamu Sudrajat! Anakmu memang pembawa sial."Dada bapak kembang kempis, sementara Bu Safitri dan anaknya masih terus terlibat percekcokan."Ayo, kita pulang saja, Nak," kata Ibu sambil gegas membawaku dari tempat itu.Sebetulnya aku bingung, aku dan Aslan bertemu di sebuah saung yang terbuka pinggir sungai, tapi dari jalan utamapun posisi kami masih terlihat sangat jelas, lalu bagaimana bisa Bu Safitri memfitnah kami sekeji itu? Dia bahkan rela anaknya dipermalukan hanya agar Aslan yakin bahwa aku adalah wanita pembawa sial untuknya.Aku, ibu dan bapak pun pulang.
Aku menggeleng lesu, "entahlah Bu, Lia juga bingung, Lia benar-benar lemas dan tidak bisa berpikir sekarang.""Tapi secepatnya suamimu itu harus kita beritahu sebelum dia tahu dari orang lain."Aku diam sebentar, benar juga apa kata ibu, bahaya jika Mas Nata tahu berita ini dari mulut orang lain, dia bisa salah paham. Tapi sisi lain, aku sendiri benar-benar buntu sekarang.Jangankan berpikir sejauh itu, merasakan badan yang mulai terasa sakit semua saja rasanya aku tidak kuat, ya Allah."Ya sudah lupakan dulu soal itu, ayo istirahat dulu, biar nanti Ibu pikirkan bagaimana kedepannya," kata Ibu lagi.Aku mengangguk sambil memejamkan mata."Ash aww." Spontan aku meringis saat perutku medadak terasa sakit sekali."Lia, kenapa? Ada apa?" tanya Ibu cepat."Perut Lia sakit, Bu.""Sakit? Ya ampun, apa jangan-jangan terjadi sesuatu dengan kandunganmu?""Tidak tahu Bu, tapi rasanya sakit sekali."Untunglah tak lama mantri desa yang akan memeriksaku datang. Tanpa menunggu lagi aku segera diperi
"Elia ... Lia ... bangun Nak, sadar."Kepalaku nyeri sekali saat sayup-sayup kudengar suara ibu. Perutku juga kram dan sulit sekali digerakan rasanya, tapi meski begitu aku memaksa membuka mata.Tampak ibu sedang terisak-isak sambil terus menerus mengelus kepalaku."Ya Allah ya Rabbi Lia, kamu sadar juga akhirnya Nak, alhamdulillah, alhamdulillah ya Allah."Aku belum bisa merespon apapun, karena lemas sekali rasanya, aku hanya menoleh ke kiri dan kanan, menatapi setiap sudut ruangan rumah sakit tempat di mana aku berbaring sekarang.Ya Allah, apa aku separah itu sampai harus dirawat? Sebetulnya apa yang terjadi tadi?"Paaak, Paaak sini, Lia sudah sadar, Pak!" teriak Ibu kemudian.Gegas pria paruh baya itu masuk. Bapak sama bahagianya dengan ibu saat melihatku sadar."Alhamdulillah Lia, Bapak khawatir sekali kamu kenapa-kenapa, Nak.""Mana Nata? Apa dia belum datang juga?" tanya Ibu pada Bapak.Bapak menggeleng cepat, "belum Bu, sepertinya masih di jalan, mungkin kejebak macet, kita tu
Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga
"Ya terserah bagaimana baiknya saja, Mas." Aku membalas lesu."Ya sudah, biar cepat kelar, aku tutup dulu teleponnya ya.""Ya, Mas."Tut.Lesu lagi, ah tahu bakal begini kemarin saja aku ikut pulang.Tok tok tok."Masuk.""Nak, sarapan dulu, itu nasinya sampe udah dingin gitu loh.""Ya Bu, Elia nanti ke meja.""Loh tidak sekarang? Sudah siang loh."Aku menggeleng lesu. Ibu masuk lalu duduk di dekatku."Kenapa toh, Nak? Seperti sedang sedih, tumben, oh apa ada tetangga yang ngomong macem-macem lagi?""Tidak Bu, Elia hanya sedang malas."Lanjut aku cerita pada ibu soal asisten barunya Mas Nata, ibu ketawa-ketawa saja saat mendengar ceritaku, entah kenapa, apa iya aku terlalu berlebihan."Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja sekarang Nak, tidak perlu nunggu dijemput, Nata sedang sibuk bantu pindahan 'kan? Kamu kasih dia kejutan.""Hah? Apa perlu begitu, Bu?""Ya daripada di sini kamu tidak tenang lebih baik kamu pulang 'kan?"Benar juga apa kata ibu, ah tapi ...."Sudah, ayo Ibu antark
"Ya Nyonya, Hana, asisten baru Tuan Nata, sudah 3 hari dia kerja di sini, dia yang urus semua keperluan Tuan Nata dan Nyonya besar, memangnya Tuan Nata tidak cerita?" Bibik bertanya di akhir kalimatnya.Ah aku jadi bingung sendiri, sebagai istri kenapa aku tidak diberitahu soal ini? Memang saat di rumah ibuku kami menyarankan agar Mas Nata mencari pekerja baru untuk membantunya, tapi aku tak menyangka Mas Nata tidak cerita soal ini padaku.Tidak tidak tidak, pikiranku jangan ngaco pelace, mungkin saja Mas Nata hanya lupa mengabari, aku tidak boleh suudzon dulu."Oh ya sudah kalau begitu, makasih ya, Bik.""Ya Nyonya, selamat malam.""Ya, Bibik juga selamat istirahat ya."Tut. Ponsel kumatikan. Aku kembali gusar sampai semalaman tak bisa tidur karena penasaran, kira-kira apa alasan Mas Nata sebenarnya tidak menceritakan soal asisten barunya itu? Ah aku jadi mikir kemana-mana, nama asistennya Hana, itu artinya dia wanita, apa wanita itu cantik? Bagaimana kalau benar cantik? Apa jangan-
Aku mematung. Ya memang benar, kepercayaan Mas Nata padaku adalah hal yang terpenting, tapi saat orang-orang di sekeliling jadi sering menghakimi begini, lama-lama aku jadi tidak tenang juga, aku benar-benar terganggu dan jadi sedih berkepanjangan akhirnya."Sudah jangan sedih lagi, sekarang kamu istirahat saja," ucap Mas Nata lagi.Aku mengangguk.Baru saja aku akan menarik selimut yang diberikan Mas Nata, suara kegaduhan terdengar di luar."Berani-beraninya kalian ngegibahin anak saya ya, mulut kalian itu emang perlu sekali dilakban rupanya!" teriak Ibu."Eh Bu Wening kok marah? Padahal memang begitu kenyataannya 'kan?""Kenyataan apa? Kalian saja yang gampang terhasut sama perempuan tua itu, si Safitri jelantah minyak!""Ya terus kalau semua itu gak bener kenapa sampe harus dihukum arak itu si Lia? Lagian gak mungkin juga Bu Safitri maen fitnah kalau gak begitu kenyataannya, masa dia tega sih sama si Aslan anaknya sendiri.""Bener tuh, emang dasar Bu Wening mah beda aja sama Bu Safi