Pasangan itu melihat pada layar monitor USG saat dokter mulai menempelkan trenducer pada perut bawah Lucia. "Apakah ini cucu pertama, Anda, tuan?" Tanya dokter memulai pembicaraan, yang berhasil mengundang kernyitan dalam di dahi Kent. Kent berdeham sembari menata ekspresi. Dia tidak ingin tersulut amarah karena ketidaktahuan dokter di hadapan, lalu berkata, "Ralat ucapanmu, janin yang sedang kau periksa adalah anakku." Jawab Kent dengan suara dingin yang seketika membuat dokter laki-laki tersebut terbatuk. Apa yang sebenarnya terjadi antara pasangan berbeda usia itu? Jika dilihat dari segi fisik, sang gadis masih sangat belia, sedangkan pria itu tampak seperti pria kepala empat. Apakah gadis yang saat ini dia periksa adalah korban pencabulan dari pria yang terus melempar tatapan dingin padanya, lantas pihak keluarga gadis itu menuntut pertanggungjawaban?Batin dokter laki-laki itu terus bertanya. "Maaf, Tuan. Maafkan saya." Dokter itu berdeham dan segera memperbaiki ekspresi wajah
Dengan penuh perhatian Kent membukakan pintu mobil untuk Lucia saat keduanya tiba di parkiran apartemen. Pemandangan tak biasa membuat Kent kembali bertanya-tanya. Lucia tampak gelisah dan berkali-kali menggigit bibir bagian bawahnya. Pria itu memilih untuk mengabaikannya terlebih dahulu. Namun setelah beberapa saat gadis itu masih saja nampak gelisah, Kent pun akhirnya menanyakan apa yang sebenarnya terjadi."Katakan jika memang ada yang mengganggu pikiranmu, Lucia." Ucap Kent saat keduanya memasuki lift yang akan membawa mereka menuju lantai tempat mereka tinggal. Seketika rona merah menjalar di pipi hingga cuping telinga Lucia. Dia tidak mungkin mengakui bahwa dia sangat menginginkan 'itu' saat ini. Sentuhan Kent terus terngiang-ngiang di kepalanya dan membuatnya hampir gila!"Ah, bukan apa-apa, Kent." Sekeluarnya mereka dari lift Lucia menggandeng tangan Kent dan berjalan mendahului. Kent yang sama sekali tidak menaruh curgia berpikir jika gadis itu hanya ingin segera beristir
Ketika kita terlena dalam buaian cinta, terkadang kita terpaksa memendam keinginan untuk kejelasan hubungan. Namun, dalam keheningan hati, kita belajar menghargai kesabaran dan kebijaksanaan. Terlepas dari godaan untuk menyerah pada keinginan pribadi, kita mengutamakan kebahagiaan bersama dan memilih untuk memperkuat ikatan yang telah terjalin. Dalam kesabaran dan pengorbanan, kita menemukan kekuatan sejati yang menghubungkan kita dengan cinta yang tak tergoyahkan.Kent menghapus air mata yang berjatuhan dari kedua kelopak mata Lucia dengan ibu jarinya. "Sama sepertimu, aku juga ingin mengumumkan kepada dunia bahwa kau wanitaku, Lucia." Kent mengecup pucuk kepala gadis itu cukup lama. "Aku mohon, jangan menangis. Hatiku terasa tersayat untuk setiap bulir air matamu yang tumpah." Kent mendongakkan wajah Lucia untuk mengunci tatapan keduannya. "Sudahi kesedihan hari ini, marilah kita perkuat ikatan yang telah terjalin, Lucia." Sebuah kecupan Kent daratkan di bibir mungil gadis itu. "M
Rapat direksi berjalan dengan sangat tenang. Raut kebahagiaan yang terpancar dari dalam diri Kent seakan menyebar ke seluruh ruangan, sehingga banyak wajah tersenyum tenang tanpa adanya bayang ketakutan dari semua anggota rapat meski tiga di antara mereka terlambat datang pagi itu.Hal itu semakin membuat Eryk bertanya-tanya. Sihir apa yang bisa melunakkan sang ayah dengan sikap tegas dan dinginnya terhadap para pekerja yang berbuat kesalahan? Itu sama sekali bukan Oliver Kent yang Eryk kenal. Eryk berjalan mengikuti Kent begitu rapat usai. Dia ingin mendapat sinyal untuk menemukan jabawan atas kecurigaanya. Ponsel dari dalam saku Kent berdering, pria paruh baya itu pun tampak memeriksa ID si pemanggil, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang kerjanya. Hal itu membuat Eryk meningkatkan atensinya. Pria itu pun menguntit dan menempelkan telinga pada pintu ruang kerja Kent yang sedikit terbuka. Senyum terkembang sempurna di wajah yang mulai dihiasi gurat halus, tanpa sedikit pun mengura
Seperti bintang-bintang yang bersinar di langit malam, cinta akan tetap berpijar meski jarak memisahkan. Dalam setiap detik yang berlalu, kuatnya ikatan akan semakin teruji. Kita belajar untuk memahami arti kesabaran, kepercayaan, dan pengorbanan. Karena pada akhirnya, cinta yang tulus akan menemukan jalan, dan setiap kabar yang datang akan menjadi hujan yang menyirami kebun harapan. Jadi, biarkan kegelisahan menjadi pelajaran tentang kekuatan cinta dan memperkuat ikatan kita dalam menunggu.Hujan lebat mengguyur Ottawa malam itu. Jarum jam di dinding menunjukan pukul sebelas malam, namun Lucia masih terjaga. Matanya enggan terpejam. Kent yang tak kunjung memberinya kabar membuatnya gelisah seharian. Gadis itu memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat cokelat panas untuk menemaninya malam itu, bertepatan dengan Helena yang baru saja selesai memanggang semua adonan roti. "Apa yang anda lakukan malam-malam begini, Miss?" Tanya Helena sembari melepas apron. Gadis itu membersihkan waja
Dering ponsel mengusik Lucia yang sudah terlelap. Gadis itu merasa terganggu. Dengan malas dia meraih benda pipih yang berada di atas nakas untuk melihat ID caller yang membuat ponselnya terus berdering. Sayup-sayup penglihatannya mulai menjernih, dan dengan nada suara malas gadis itu menyapa penelepon di seberang sambungan. "Kau masih mengingatku rupanya." sarkas Lucia dengan suara parau. Rasa kantuk masih menggelayuti kedua matanya. "Mengapa kau berkata seperti itu, Baby? Aku benar-benar sibuk dengan pekerjaanku." ucap Kent yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Mendengar pria di seberang sambungan berkata bahwa dia sibuk sebagai alasannya tidak menghubungi Lucia, seketika mata gadis itu melempar delik tajam pada dinding, seolah saat itu lawan bicaranya ada disana. "Simpan alasanmu, aku sama sekali tidak mau tahu." gadis itu meremas ponsel, dia ingin melempar benda itu untuk melampiaskan kekesalannya, tetapi di satu sisi dia ingin mendengar pria di sebera
Lucia baru saja selesai dengan sarapannya dan mendorong piring kotor sedikit menjauh dari hadapan. Sadar bahwa Lucia tidak akan mengisi piringnya untuk menambah porsi sarapan, Helena pun mengambil piring kotor di depan Lucia untuk dia cuci di washtafel.Lucia melarikan jemari pada perutnya yang semakin membuncit. Janin dalam kandungannya bergerak aktif setelah gadis itu menghabiskan makanannya, sebagai respons yang normal untuk janin usia 21 minggu setelah mendapat nutrisi dari ibunya."Ahahahha," tawa Lucia mengundang perhatian Helena untuk melihat ke arahnya. "Apa yang kau tertawakan, Miss?" alis gedis pelayan itu bertaut. Mereka hanya berdua di sana, dan tanpa Helena ketahui sebabnya, Lucia tiba-tiba tertawa. "Dia menendang perutku, dan aku merasa sangat bahagia sekali." jawab Lucia riang yang berbalas senyuman dari Helena. "Syukurlah, Miss. Dia pasti tumbuh dengan sangat sehat. Apakah jenis kelaminnya sudah diketahui?" Helena mengelap tangannya yang basah sembari sesekali melih
Eryk yang sedang menghabiskan waktu istirahat makan siangnya seketika tertuju pada ponsel yang baru saja mengeluarkan bunyi notifikasi. Alis pria itu mengerut saat melihat siapa pengirim pesan. "Max?" gumannya saat mengingat akhir-akhir ini dia jarang berkumpul dengan dua sahabatnya. "Pasti dia berencana mengajakku pergi ke club malam ini." Eryk menghentikan aktifitas menyunyah lalu berdeceh. Dia sangat sibuk dengan pekerjaan akhir-akhir ini. Jika benar dugaannya; Max mengirim pesan untuk mengajaknya pergi ke club, sungguh, saat ini bukan saat yang tepat untuk itu. Dengan malas pria itu membuka pesan di ponsel.Emilio Max: sand picture. Emilio Max: Sexy mommy ...Karena penasaran, dia pun segera membuka foto yang Max kirimkan. Bibir Eryk ternganga saat melihat foto yang Max kirim menampilkan Lucia dengan perubahan bentuk tubuh yang terlihat berisi karena proses kehamilan. Eryk tidak menyangka bahwa Lucia memilih untuk mempertahankan kehamilannya. Itu berarti, segala kalimat persuas
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m