Eryk berjalan terseok untuk dapat menuju mobilnya saat ini terparkir. Nyeri akibat pukulan Kent terasa di sekujur tubuh, tetapi bukan itu yang membuatnya merasa rapuh saat ini. Rasa sesak menghujam bagian dadanya karena merasa sang ayah telah menghianati mendiang ibunya. Karena di saat detik-detik Velarie menghembuskan nafas terakhir, Eryklah saksi dari janji yang Kent ucapkan; Tidak akan jatuh cinta kepada Perempuan lain jika maut memisahkan mereka.Merah padam menghiasi wajah rupawan Eryk bersamaan air mata yang bercucuran membasahi pipinya. Pria itu menyalakan mesin kendaraan dan mengemudikan mobil dengan susah payah untuk menuju jalan utama. Bayangan senyum menawan Velarie yang menenangkan terus berkelibat di dalam benaknya. Seketika rasa sesak di dadanya kian bertambah. Air mata Eryk berderai semakin deras. Pria itu mengutuk Lucia yang telah meracuni pikiran ayahnya hingga Kent bisa dengan mudah jatuh cinta pada gadis yang belum lama dia kenal.“Apa salahmu sampai pria berengsek
Lucia memeluk kedua kaki dan menyandarkan kepalanya pada lutut, posisi yang sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir. Gadis itu kehilangan gairah bahkan untuk sekedar malakukan hal yang dia sukai. Dering ponsel yang terletak di atas meja menarik perhatiannya. Gadis itu menarik nafas dalam untuk memperbaiki nada bicaranya pada seseorang di seberang sambungan. "Hallo Kent?" sapa Lucia dengan intonasi riang, meski hal itu sangat kontradiksi dengan hatinya yang berselimut kabut duka. "Hallo, Honey. Apakah kau sudah makan malam ini?" terdengar suara lembaran kertas dari sambungan seberang. Lucia menerka jika Kent masih sibuk dengan pekerjaannya saat ini. Lucia menarik nafas dalam dan menatap ke arah bingkisan makanan yang Kent pesan untuknya dua jam yang lalu. Namun gadis itu memberungut pada makanan di atas meja, seolah makanan-makanan itu telah berbuat kesalahan padanya. "Aku belum makan." nada riang gadis itu kini berubah ketus. Membuat pria di seberang sambungan menarik po
Tiga minggu berlalu setelah meninggalnya Henry, kondisi Lucia semakin membaik. Meski terkadang perasaan sesak menghantam dadanya saat ingatan tentang Henry kembali terlintas dalam benak. Seorang gadis terbangun dari tidurnya saat jam beker di atas nakas berdering mengusik pendengarannya. Dengan cepat Lucia meraih benda yang terus memanggilnya dan mematikannya, dia tidak ingin benda kecil itu mengusik Kent yang masih terlelap. Gadis itu beringsut pelan untuk menuruni ranjang agar tidak membangunkan Kent dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Seusai mandi, Lucia mencari seragam kerja untuk membalut tubuh.Diam-diam Kent melihat tubuh sensual Lucia yang membelakanginya saat memakai pakaian. Kedua sudut bibirnya berkedut menahan senyum, pemandangan di hadapan menggodanya untuk kembali melakukan aktifitas panas seperti tadi malam. Saat Lucia memakai seragam cleaning service Fragrant Potion, seketika alis Kent bertaut bingung. "Mengapa kau memakai seragam itu?" tanya Kent den
Dari jarak 20 meter dari rumah Lucia, Eryk menghentikan laju mobilnya dan mulai mengamati kondisi rumah gadis itu. "Aaargggh!" Eryk menggeram keras sembari memukul kemudi mobil saat melihat mobil berwarna black metalic milik ayahnya terparkir di pekarangan rumah Lucia. Seperti yang Kent ucapkan di depan makam Velarie, bukti bahwa Kent menjalin hubungan dengan gadis itu terlihat semakin nyata sekarang.Tak berselang lama pria paruh baya dan seorang gadis muda keluar dari rumah itu. Tampak Kent mengecup kening Lucia cukup lama sebelum akhirnya pria itu pergi meninggalkan sang gadis pagi itu. Pemandngan yang membuat dada Eryk terasa sesak.Tak ingin membiarkan semua berlalu begitu saja, Eryk memotret kebersamaan Lucia dengan Kent menggunakan kamera ponsel. Tangkapan gambar itu akan berperan penting untuk memisahkan dua sejoli berbeda generasi tersebut, dengan judul pemberitaan : Hubungan Sang Presdir dan putra sematawayang merenggang karena kehadiran sosok ini.Dan tak lama lagi wajah
Sore itu seorang perempuan berambut merah tengah menunggu kedatangan seseorang di sebuah bangku cafe. Sudah setengah jam semenjak dia datang ke tempat itu, namun pria yang dia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Nora Dawn menaikkan lengan sweater rajut berwarna maroon yang ia kenakan untuk melihat jam yang melingkar di pegelangan tangan. Waktu menunjukan 16.45 dari waktu kesepakatannya untuk bertemu Eryk pagi tadi. "Hah, sepertinya Fortuna sedang tidak berpihak kepadaku." Nora mendesah sembari mengetuk-ngetukkan buku jarinnya pada meja. Dia sudah terlalu bosan menunggu selama lebih dari setengah jam. Harapannya seakan pupus saat itu juga.Perempuan itu mulai melirik pada cappuccino yang dia pesan. Bibir perempuan itu tersenyum getir saat menyentuh permukaan cangkir kaca, bahkan minuman panas yang semula dia pesan sudah sangat dingin sekarang. Perempuan itu memutuskan untuk menyesap cappuccino yang mendingin. Tanpa aba-aba, seorang pria berparas rupawan dengan rambut b
Rasa sakit kepala menyambut Lucia pagi itu. Rasa mual yang teramat sangat turut menyiksanya sehingga kedua tangannya menekan bagian perut terlalu kuat. Rasa mual yang semula bersarang di ulu hati mulai naik hingga ke kerongkongan, sehingga gadis itu berniat untuk memuntahkan isi perutnya saat itu juga. Satu tangan Lucia berpegangan pada closet dengan posisi berjongkok, dengan satu tangan yang lain memegangi rambut agar tak terkena muntahan. Alih-alih mengeluarkan cairan, hanya angin yang keluar dari mulut Lucia. Kendati demikian, rasa mualnya sedikit pun tidak berkurang. Lucia kembali ke kamar dengan kelimpungan karena sakit kepala yang menyergap. Dia bahkan berpegangan pada dinding-dinding dalam perjalanannya menuju ranjang tempatnya berbaring. Dering ponsel di atas nakas mengundang perhatiannya. Ia pun meraih benda pipih itu untuk melihat ID yang tertera di layar ponsel."Ruth?" gumam Lucia sembari memicingkan matanya saat mendapati nama sahabatnya di layar ponsel. Gadis itu du
"Tinggalah di rumahku selama situasi di luar tidak aman untukmu, Lucia." ucap Ruth yang baru saja mengeluarkan sebuah koper berisi pakaian dari bagasi mobilnya. Gadis itu berpikir, bahwa para pemburu berita akan mencari keberadaan Lucia selama beberapa waktu ke depan. "Terima kasih, Ruth." jawab Lucia sembari tersenyum penuh luka. Lucia dapat melihat kekecewaan yang berkelibat di balik wajah Ruth. Kendati demikian, Ruth malah mekesampingkan amarahnya dan memilih untuk membawa Lucia datang ke rumahnya. Saat kedua gadis itu memasuki kediaman Gracewell, Rosaline, ibu dari Ruth menyambut kehadiran Lucia dengan hangat. "Selamat datang di rumah kami, Lucia. Bersikaplah seolah kau sedang berada di rumahmu sendiri." ucap Rosaline sembari mengambil barang bawaan dari tangan Lucia. "Ah, terima kasih, Bibi." Lucia kembali tersenyum penuh luka. Bahkan di saat ia terpuruk, justru orang lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannyalah yang bersedia menolongnya. "Apakah Ibu sud
Lucia menggunakan jaket denim dan menutupi wajahnya dengan masker serta kacamata hitam. Dari balik kacamata hitam yang dia kenakan, mata gadis itu mengerling dengan gelisah ke segala arah. "Ruth, apa menurutmu penyamaranku tidak akan ketahuan oleh siapa pun?" bisik Lucia kepada Ruth yang turut menutupi sebagian wajahnya dengan masker. "Ssshh, tenanglah, kau bisa ketahuan jika kau tampak gelisah," jawab Ruth yang juga berbisik, penuh hati-hati agar tidak ada yang mendengar percakapan keduannya. Meski Ruth menyarankan agar Lucia tidak gelisah, pada kenyataannya perasaan itu masih bergelayut di dalam dadanya. Percayalah, menjadi buronan berita gossip membuatmu kehilangan kebebasan dalam menikmati hidup. Tanpa disadari, seseorang di bangku belakang Lucia diam-diam memperhatikan keduanya. Dia curiga dengan rambut madu gadis di depannya ang menurutnya tidak asing. Dari ujung kepala hingga kaki, perempuan itu mengamati gadis di depannya dengan seksama. Dia merasa sangat mengenali tubuh g
Persalinan Lucia tinggal menghitung hari. Kent menjadi suami siaga yang selalu berada di dekat Lucia. Pria paruh baya itu memutuskan untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Fregrant Potion. “Kent, bisakah kau membawaku jalan-jalan?” pinta Lucia kepada suaminya. “Aku bosan jika sehari-hari hanya menghabiskan waktu di dalam rumah, aku ingin menghirup udara segar di luar.”Oliver Kent yang semula memainkan ponselnya seketika menoleh ke arah istri belianya yang sedang bersandar pada kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang besar. “Tentu saja. Tetapi melihat kondisimu yang mendekati persalinan, sebaiknya kita mencari udara segar di taman bunga yang terletak di samping mansion, Lucia.” jawaban Oliver Kent mendapatkan respon anggukan kepala dari Lucia.Dengan penuh kehati-hatian Kent menggandeng istrinya menuju salah satu gazebo yang yang ada di taman. Hamparan bunga tulip beraneka warna memanjakan mata yang berhasil membuat Lucia kagum. Astaga, kemana saja Lucia sela
Kedua pria asing tadi menyeret Lisa ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh gadis itu di atas ranjang. Salah satu pria yang tidak Lisa ketahui namanya mengunci pintu, yang seketika membuat bulu kudu Lisa meremang. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Lisa dengan wajah berlinang air mata. Gadis itu bahkan berlutut di depan dua pria asing itu agar melepaskannya. "Aku mohon, tolong lepaskan aku." Kedua pria berbadan tambun itu saling menatap dengan tatapan datar, sebelum akhirnya melepas pakaian Lisa dengan gerakkan kasar. Lisa menangis dan menyilangkan tangannya untuk menutupi bagian sensitif pada bagian dada dan kewanitaannya, namun hal tersebut nampaknya membuat kedua pria yang sudah membelinya marah. "Kami sudah membayar mahal untuk ini, jangan buang waktu kami, Nona," geram salah satu pria bernama Rey sembari menampar keras pantat Lisa, menyisahkan bekas jari berwarna merah pada bokong mulus gadis tersebut. "Ouch," Lisa meringis dan reflek memegangi bagian tubuhnya yang baru
Tinggal setengah perjalanan lagi untuk tiba di gedung Fregrant Potions, Kent merasakan kegelisahan yang luar biasa tanpa dia ketahui sebabnya. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya dan hendak menanyakan keadaan Lucia. Dan di saat itulah baru ia sadari bahwa ponselnya masih tertinggal di rumah. "Putar balik, ponselku tertinggal di kamar." perintah Kent yang langsung di kerjakan Robin saat itu juga. Segera mobil yang mereka naiki melaju kembali ke mansion Kent. Jantung pria itu berdegup kencang sehingga membuat kegelisahannya bertambah. Kent berulang kali menarik dan menghembuskan nafas untuk meredakan kegelisahan yang dia alami, namun nampaknya itu sama sekali tidak membantu."Tambah kecepatannya, Robin." pintanya tak sabar ingin segera memastikan keadaan Lucia. Setibanya di mansion, pria paruh baya itu berjalan cepat dan mencari keberadaan Lucia di ruang makan, tempat terakhir kali dia dan gadis itu melewati pagi bersama. Namun tidak dia temukan Lucia di sana, dia
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Lucia dan Oliver yang baru saja mengikrarkan janji sehidup semati. Semua terasa seperti mimpi bagi Lucia. Hari itu adalah hari membahagiakan dalam hidupnya karena resmi menyandang nama Mrs.Silverlake. Semua pasang mata menyaksikan adegan ciuman yang dilakukan sepasang mempelai yang berlangsung cukup lama, yang semakin menghidupkan suasana romatis di hari itu."Beberapa paparazi membidik ke arah kita, Kent," ucap Lucia lirih setelah keduanya mengahiri sesi berciuman. Namun respon dari pria yang baru saja resmi menjadi suaminya membuat dahinya berkerut. "Ya, lalu?" Oliver terlihat sngat tenang, Lucia tidak menemukan keraguan di wajah pria itu. Kent menatapnya dengan teduh dan semakin terang-terangan memperlakukan Lucia dengan mesra di depan banyak orang. "Bagaimana jika yang kau takutkan terjadi? Nama kita akan kembali menjadi head line di berbagai media sosial, Kent. Semua orang akan kembali menghujat kita." Lucia menundukkan wajahnya dan m
"Turunkan aku!" pekik Lucia ke sekian kali, namun tetap Kent abaikan. Pria itu terus saja fokus pada jalanan di depan. "Pria manipulatif, licik, kau hanya menahanku demi dapat melampiaskan nafsumu setelah kau lelah dengan pekerjaanmu! Kau bahkan memperlakukan aku seperti wanita simpanan!" Setiap umpatan yang keluar dari mulut Lucia membuat dahi Kent mengerut. Ternyata seburuk itu penilaian Lucia atas dirinya, sehingga gadis itu berulang kali menyebut bahwa dirinya pria manipulatif. Dan apa tadi? Gadis itu berkata bahwa Kent selama ini sengaja menahannya hanya untuk memuaskan nafsu? Kent akui, hasratnya memang mudah bergejolak setiap kali berdekatan dengan Lucia, tetapi bukan hanya karena alasan itu Kent menahannya!Segera pria itu meminggirkan mobilnya di sebuah bahu jalan. Pria itu melepas seat beltnya yang seketika membuat Lucia merasa takut, takut jika pria itu melepas seat belt dan berpindah duduk ke kursi penumpang belakang untuk menamparnya yang sudah dengan lancang memaki Ke
Kent sedang menikmati udara malam di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi yang sudah mendingin. Entah mengapa, kedua matanya sulit sekali terpejam walau seharian itu dia sibuk dan merasakan lelah yang teramat. Ucapan yang Lucia sampaikan melalui para bawahannya selalu terngiang di telinganya.Dering ponsel dari dalam kamar terdengar nyaring saat suasana sunyi, sehingga Kent dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Kent segera mengambil benda tersebut dengan sedikit tergesa, berharap telepon tersebut berasal dari Jovan yang memberinya kabar tentang keberadaan Lucia. Tepat seperti dugaannya, nama Jovan tertera sebagai ID Caller, namun sungguh di sayangkan, panggilan telepon berakhir sebelum Kent sempat mengangkat telepon tersebut. Kent menyipitkan mata setelah membuka ponselnya. Jovan sudah terlebih dulu mengiriminya pesan sebelum meneleponnya. Mungkin bawahanya tersebut menelepon untuk sesuatu yang bersifat urgent, mengingat dia telah menegaskan untuk tidak menghubunginya selama Jov
Jovan berjalan dengan malas saat kembali ke mobilnya. Dia tidak menyangka atasannya memberi tugas yang sangat rumit untuk dia jalani; mencari keberadaan si gadis keras kepala. Ottawa cukup luas, sehingga mencari Lucia bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit. Dengan kondisi finasial Kent, Jovan yakin bahwa asannya tersebut pasti bisa menemukan wanita yang jauh lebih sempurna dibanding gadis labil itu. Karena seperti yang kebanyakan orang tahu, ada banyak wanita di dunia ini. Tetapi mengapa seorang Oliver Kent Silverlake harus menjatuhkan hati dengan gadis yang usianya terpaut jauh? Pria itu berjalan mendekati sekelompok remaja yang baru saja keluar dari sebuah restaurant cepat saji untuk melakukan pekerjaan yang cukup bodoh seperti yang dia lakukan selama berhari-hari; menanyakan apakah orang tersebut pernah melihat gadis yang ada dalam foto di yang dia pegang. "Permisi," sapanya dengan wajah datar, jauh dari kesan bersahabat pada segerombolan remaja pria di hadapa
"Dimana Lucia?" Eryk langsung menyodorkan pertanyaan itu kepada Helena yang baru saja membukakan pintu apartemen untuknya. Helena sedikit terlonjak saat melihat siapa pria yang ada di hadapannya. Dahi gadis pelayan itu mengerut. Melihat dari gesture Eryk, sepertinya pria itu tahu bahwa sebelumnya Lucia pernah tinggal disana. "Nona Lucia tidak ada di tempat ini, Tuan." jawab Helena dengan pembawaan tenang dan terlatih."Jangan berbohong!" Teriak Eryk sembari berjalan melintasi Helena yang masih berada di ambang pintu.Pria itu memeriksa semua bagian apartemen untuk mencari keberadaan Lucia. Namun dia menggeram kecewa setelahnya karena tidak menemukan gadis yang dia cari. "Dimana kau menyembunyikannya?" wajah pria itu semakin mengetat yang kian membuat Helena menciut. "Nona Lucia tidak ada di sini, Tuan. Sungguh." Jemari Helena saling memilin dengan raut gelisah, sebisa mungkin gadis itu tidak mengatakan bahwa Lucia memang sempat tinggal di apartemen itu.Eryk menatap penuh selidik
Pengunjung pria di Moonlight Lounge berkali lipat lebih banyak semenjak Lucia bekerja sebagai hostess di sana. Isabella cukup puas dengan kinerja anak buah barunya tersebut. Promosi Lucia atas brand-brand minuman beralkohol selalu berhasil. Bahkan beberapa pengunjung yang rata-rata berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas tidak segan memberi gadis itu tip untuk setiap minuman yang Lucia tuang ke dalam gelas mereka. Lucia berjalan menuju samping meja bartender, tempat dimana para hostess berkumpul. "Good job, Lucia." puji Isabella sambil mengipas lehernya dengan kipas tangan yang selalu dia bawa. Senyum masih tersungging di wajahnya. Tidak hanya paras cantiknya yang membuat para pengunjung pria tertarik, tetapi gadis itu melayani para pengunjung dengan sangat baik."Thank you, Ma'am." jawab Lucia dengan senyum ramah, tanpa memperlihatkan kepada rekan hostess lain betapa superiornya dia dalam pekerjaan yang dia geluti. "Duduk, Lucia, jangan berdiri terlalu lama." ucap Hilda yang m