"Bik Sari, jadi nanti siang ke rumah sakit?" tanya Bu Sekar saat Bik Sari meletakkan secangkir teh di hadapannya. "Kalau jadi, ikut saya dan Pak Mistam saja. Kebetulan siang ini saya akan singgah ke panti asuhan." "Jadi, Bu. Kalau begitu, nanti siang saya bersiap-siap." Bik Sari tersenyum lega karena ada kendaraan yang bisa ia tumpangi. Pak Mistam adalah supir pribadi Bu Sekar. "Lho, Bik Sari sakit?" Bayu bertanya kaget."Bukan Bibik, Yu, tapi keponakan Bibik, si Dedeh," jawab Bik Sari pelan."Memangnya si Dedeh sakit apa, Bik?" Kini Wahyu yang bertanya."Bukan sakit biasa, Wahyu. Tapi sakit karena dianiaya Karim, suaminya," imbuh Bik Sari dengan nada muram."Dianiaya? Memangnya Dedeh salah apa?" Wahyu makin penasaran. Sementara itu, Nia dan Bayu tetap diam, menyimak percakapan.Alih-alih Bik Sari yang menjawab, Bu Sekar lebih dulu angkat bicara. "Menurut Bu Mumun, ibunya Karim, semua ini bermula karena Dedeh akhir-akhir ini kecanduan bermain ponsel. Sampai-sampai suaminya pulang ke
Keheningan menyelimuti meja makan.Pak Jafar akhirnya berdeham pelan. "Sarapan kita jadi terasa berat, ya?"Bayu menangkap maksud ayahnya. Ini saatnya mengubah topik pembicaraan."Betul. Kita bicarakan yang lebih ringan saja," sahutnya. "Seperti kapan kalian ke Jakarta untuk mengurus resepsi? Sabtu depan kalian akan menggelarnya di sana bukan?" tanya Pak Jafar."Rencananya sih lusa kami ke Jakarta, Yah. Sekalian aku dan Nia akan mencari destinasi untuk bulan madu kami," ujar Bayu sambil meletakkan sendoknya. Ia telah selesai sarapan."Baiklah. Bersenang-senanglah kalian di sana. Nikmati masa-masa bulan madu kalian. Masalah pekerjaan, biar Ayah dan Wahyu yang mengatur," kata Pak Jafar sambil mengangguk kecil. Ia menyetujui rencana putra sulungnya. "Ayah saja yang mengurus. Aku sudah punya janji dengan grup alumni SMA dulu. Kami akan naik gunung minggu depan," tukas Wahyu sambil meletakkan peralatan makannya. Ia juga sudah selesai sarapan. "Jangan naik gunung, Wahyu. Nanti kamu kelela
Seperti dejavu, Nia berdiri di tengah gemerlapnya pesta pernikahannya. Rasanya baru kemarin ia mengadakan resepsi di Cisarua, di tengah udara sejuk pegunungan dengan dekorasi yang tak kalah megahnya. Kini, seminggu telah berlalu, dan ia kembali mengenakan gaun pengantin, kembali berdiri di pelaminan-tapi kali ini di dalam ballroom hotel mewah di Jakarta.Nia menengadah. Memandang langit-langit ruangan yang dihiasi lampu kristal yang indah. Lantas memandang ke depan. Bayu tampak berbincang-bincang dengan teman dan kolega-koleganya. Berbeda dengan lawan-lawan bicaranya yang terkesan santai, air muka Bayu tetap terlihat serius. Senyum Nia terkembang saat melihat rombongan yang baru saja datang. Oma Wardah, Yuyun dan rekan-rekan kerjanya sesama guru telah tiba! Ya, atas nasihat Oma Wardah ia memang memutuskan mengundang rekan-rekan kerjanya. Saat dirinya dikejar-kejar rentenir, mereka semua membantunya tanpa pamrih. Sebagian barang-barangnya bahkan masih dititipkan pada mereka. Nia sege
"Halo, Oma. Apa kabar?" Bayu menjabat tangan Oma Wardah dengan kedua tangannya. "Terima kasih ya, Oma, sudah meluangkan waktu menghadiri hari bahagia kami." Bayu mengguncang lembut tangan Oma dengan penuh hormat."Kabar Oma baik, Nak Bayu," balas Oma Wardah, haru melihat sosok gagah di samping Nia. Melihat aksi Bayu yang memisahkan Nia dan Indra tadi, ia tahu bahwa Bayu cemburu. Intuisinya mengatakan bahwa Bayu sangat mencintai Nia. Syukurlah, Nia telah menemukan laki-laki yang tepat."Syukurlah. Semoga Oma sehat selalu hingga bisa melihat anak-anak kami tumbuh besar nanti," ujar Bayu, sengaja membicarakan soal anak-anak saat melihat Nia tampak salah tingkah."Aamiin, Nak Bayu, aamiin." Oma Wardah mengamini. "Nak, tolong cintai dan sayangi Nia, ya? Nia ini anak baik, murah hati pula. Selama ini hidupnya—""Oma, jangan membuat Nia sedih di hari ini ya. Doakan saja agar Nia bahagia," potong Nia seraya memeluk Oma Wardah. Ia tidak ingin Bayu mengetahui masa lalu ibunya."Doakan juga se
Setelah mengenakan pakaian tidur, Nia membungkus rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk lebar. Beginilah rutinitasnya setelah menikah. Ia selalu memakai pakaiannya di kamar mandi apabila Bayu juga ada di kamar.Saat membuka pintu kamar mandi pandangannya tertuju pada Bayu yang duduk di sofa kamar. Bayu masih mengenakan kemeja putih dengan lengan yang sudah digulung sembarangan. Bayu menatapnya lurus-lurus dengan sorot mata gusar. Setelah tuduhan tidak berdasarnya pada Pak Indra, Bayu memang menunjukkan sikap antipati padanya. Bayu bahkan tidak mau duduk lagi di pelaminan. Ia lebih memilih membahas pekerjaan dengan rekan-rekannya di sudut ruangan."Jadi," suara Bayu terdengar rendah dan berat. "Apa alasanmu saat memutuskan si Indra-Indra itu?" tukas Bayu sinis.Nia tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke meja rias dan duduk di kursinya. Mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil."Tidak ada alasan apa-apa," sahut sambil terus menekan-nekan handuk ke rambutnya. Ia tidak mau t
Setelah sambungan terputus, keheningan menyelimuti ruangan. Bayu menatap ponsel di tangannya, lalu menatap Nia. Matanya tidak lagi setajam tadi-ada keraguan dan sedikit rasa bersalah di sana."Sudah jelas?" tanya Mia datar. "Saya akan mengkonfirmasi ceritamu ini dengan cerita Andri." Bayu menekan kontak Andri dan mengaktifkan pengeras suara. Ia ingin tahu, mana cerita yang benar. Hallo. Ndri." "Ada hal urgent apa sampai lo nelpon gue tengah malam begini? Eh di Jakarta sekarang tengah malam kan?" Suara Andri terdengar tegang di sana. "Oh ya, selamat menempuh hidup baru ya, Yu. Maaf, gue nggak bisa dateng karena masih di Jerman." "Nggak apa-apa. Gue cuma mau tanya soal foto di grup teman SMA lo yang namanya Indra." "Heh, ngapain lo nanya si Indra tengah malam begini?" Suara Andri terdengar bingung. "Gue mau tanya. Apa benar foto perempuan yang bersamanya itu foto pacarnya si Indra?" Bayu mengabaikan pertanyaan Andri dan langsung berbicara pada intinya. "Oh, bukan, Yu. Ternyata
Hari-hari berlalu, dan tanpa terasa sudah dua bulan Nia menjalaninya sebagai seorang istri. Tidak banyak perubahan dalam hidupnya. Ia tetap bekerja di pabrik dan sesekali mengunjungi ayahnya. Hubungannya dengan Bayu cukup baik. Bayu sudah tidak terlalu keras . Meski begitu mereka tetap menjalani pernikahan sesuai dengan perjanjian. Setiap malam ada bantal guling yang membatasi ruang gerak kedua di kasur.Awalnya, Nia mengira kehidupannya akan berpusat di Jakarta, tinggal serumah dengan Bayu—seperti pasangan suami istri pada umumnya. Namun, kenyataannya berbeda. Bayu tetap meminta untuk tinggal di rumah orang tuanya di Cisarua, sementara dirinya lebih sering bolak-balik Jakarta-Cisarua karena urusan pekerjaan. Pengaturan seperti ini justru menguntungkan Nia. Ia jadi bisa tetap mengurus pabrik susu ayah juga tetap dekat dengan sang ayah yang kini sakit-sakitan.Sejauh ini pernikahan di atas kertas mereka berjalan cukup baik. Hanya ada satu hal yang terus mengusik pikiran. Orang tua Bayu
Wahyu terdiam. Apa yang dikatakan Bayu memang benar."Jadi, Akang juga membenciku selama ini?" tanyanya lirih."Untuk penyakitmu, tidak," jawab Bayu tegas."Kamu tidak bisa memilih keadaan ini. Begitu juga aku, begitu juga orang tua kita. Yang aku benci adalah sikapmu yang selalu menyalahkan aku serta ayah dan ibu, seolah-olah hanya kamu yang jadi korban. Padahal kita semua tidak punya pilihan. Ini adalah takdir," tandas Bayu tajam. "Aku...""Sebentar. Ibu menelepon." Bayu menjauh dari ruangan sambil mengangkat telepon. "Ya, Bu?""Istrimu itu benar-benar tidak bisa diatur!" suara ibunya melengking, langsung menusuk telinga. Bayu mengernyit. "Ada apa lagi, Bu?""Ia keluyuran lagi! Asal kamu tahu, selama kamu di Jakarta, Nia sibuk shooting menjadi model iklan. Seperti kamu tidak kamu menafkahinya saja!"Mata Bayu langsung menyipit. Rahangnya mengeras. "Shooting model iklan?" "Iya. Shooting dengan rombongan tim yang mayoritas laki-laki. Pakaiannya terbuka lagi. Ibu rasa, lama-lama N
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa
"Suhar..." Suara Bu Sekar pecah."Aku mohon... Bayu sudah seperti orang gila enam bulan ini! Ia tidak bekerja, tidak peduli dengan kesehatannya. Tidak ada yang ia pikirkan selain mencari Nia!"Pak Suhardi menarik napas panjang. Hatinya resah. Ia bisa membayangkan bagaimana keadaan Bayu.Bu Sekar menelan ludah, air matanya menggenang."Bayu depresi, Hardi. Aku takut kalau dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Bayu hanya ingin menemui Nia sekali saja, Har. Satu kali saja."Hening. Di ujung telepon, Pak Suhardi mengusap wajahnya, serba salah. Ia tahu Nia sangat tersakiti, dan ia sudah berjanji akan melindungi putrinya itu dari segala hal yang membuatnya menderita. Namun, di sisi lain, ia juga melihat bagaimana Bayu benar-benar berubah."Aku akan mengatakan satu rahasia yang selama ini aku pendam semampuku, Har." Suara Bu Sekar bergetar."Apa itu, Sekar?" Suara Pak Suhardi terdengar khawatir."Aku menderita kanker pankreas stadium tiga, Har.""Astaghfirullahaladzim. Berarti pertemuan kit
Enam bulan kemudian.Hujan deras menyelimuti Cisarua sore itu, menciptakan kabut tipis di sepanjang jalanan desa yang sepi. Bayu turun dari mobilnya dengan langkah gontai, membiarkan hujan membasahi tubuhnya yang sudah kedinginan. Rambutnya lepek, wajahnya pucat, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini.Di beranda, Bu Sekar berdiri dengan payung di tangan. Wajahnya sendu saat melihat putranya dalam keadaan menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Bayu dan menariknya masuk ke dalam rumah."Ya ampun, Bayu. Enam bulan lamanya kamu tidak pernah ke sini, sekarang kamu datang dalam keadaan seperti ini?" Bu Sekar menyambut sang putra dengan tatapan prihatin.Bayu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, menatap kosong ke seantero rumah yang dulu terasa hangat karena ada Nia di dalamnya. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan."Kau menyiksa diri sendiri, Nak. Lihat dirimu... Kamu bahkan lebih mirip gelandangan sekarang." Bu Sekar memandu putra
"Saya cemburu," ucap Bayu pelan, nyaris seperti bisikan.Nia mengernyit. "Apa maksudmu?"Bayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Nia."Semua kekacauan ini, ketidakmasukakalan sikap saya, diawali oleh rasa cemburu," ulang Bayu, kali ini dengan suara lebih keras."Setiap kali saya melihatmu dekat dengan pria lain, saya tidak bisa berpikir jernih. Makanya, semua jadi kacau."Nia diam, namun ia tetap mendengarkan curahan hati Bayu.Bayu menarik napas panjang, menguatkan hatinya untuk terus mengeluarkan isi hatinya."Kamu ingat tidak saat saya melamarmu dulu? Saya bilang pada ayahmu kalau saya jatuh cinta padamu sejak melihatmu turun dari bus. Itu semua benar, Nia. Saya memang sudah menginginkanmu sejak saat itu. Namun, saya gengsi untuk mengakuinya. Karena...""Karena kamu menganggap saya yang penuh dosa ini tidak pantas untukmu yang suci, murni, tak bernoda, bukan?" potong Nia cepat.Bayu kembali menghela napas panjang. Walau terdengar memalukan, ia harus jujur."Benar. S