"Ibu Berta ini adalah kreditur terakhir yang harus Ayah bayar, bukan?" bisik Pak Suhardi lirih sebelum mentransfer sejumlah dana kepada Ibu Berta. Saat ini mereka berada di rumah Ibu Berta, rentenir yang meminjamkan ibunya dana sejumlah dua ratus lima puluh juta rupiah dengan jaminan kalung dan cincin berliannya. Kini mereka harus membayar empat ratus lima puluh juta beserta bunganya."Iya, Yah," Nia balas berbisik. Saat ini Ibu Berta tidak ada di rumah. Rita, anak perempuannyalah yang mewakili ibunya."Baik. Ayah akan transfer sekarang." Pak Suhardi menekan beberapa tombol di ponselnya. Dalam sekejap, uang pun berpindah ke rekening Ibu Berta."Oke. Uangnya sudah masuk, kata ibu saya. Ini barang jaminannya." Rita memberikan sebuah kotak beludru berwarna merah. Nia membuka kotak itu dengan hati-hati. Kalung berlian dan cincin berbentuk hati ada di dalamnya, berkilauan indah. Ibunya menggadaikan kalung dan cincin hadiah dari ayahnya. Syukurlah, barang-barang itu kini telah kembali pada
"Teh Nia benar-benar tidak tahu diri ya, Bu?" Dahayu menarik kursi dapur kasar. Ia tidak tahan melihat pemandangan di depan. Di mana kakak tirinya turun dari mobil dengan membawa box-box besar berisi puluhan tas mewah. "Tidak tahu diri kenapa sih, Nak?" tanya Bu Isnaini lembut. Ia tengah membuat kopi untuk suaminya tercinta. "Ibu ini bagaimana sih? Apa Ibu tidak melihat Teh Nia membawa pulang puluhan tas mewah? Mana ayah dan Kang Bayu mau-mau saja lagi mengangkati tas-tas itu. Teh Nia membuat Ayah dan Kang Bayu seperti kacungnya saja!" Dahayu memukul meja gemas. "Eh... eh... eh... anak perempuan tidak boleh kasar begitu. Tetehmu itu anak kandung ayahmu. Wajar kalau ayahmu menyayanginya. Kamu yang bukan anak kandungnya saja ayahmu sayang kok. Sabar ya, Nak?" bujuk Bu Isnaini sambil mengaduk kopi."Ayah sekarang berubah, Bu," keluh Dahayu seraya menghempaskan pinggulnya ke kursi."Berubah bagaimana? Ibu ke depan dulu ya? Mau menyambut ayahmu sekalian menghidangkan kopi." Bu Isnaini m
"Astaga, ada kekacauan apa di sini?" Pak Suhardi memandang sekeliling. Ketika melihat figura yang hancur berkeping-keping ia memandang penampilan dua anaknya yang acak-acakan. Hanya Dahayu yang tetap rapi."Begini, Yah. Teh Cana me—""Cana yang salah, Yah." Kencana dengan cepat memotong cerita sang adik."Cana tadi tidak sengaja meletakkan box agak kasar. Soalnya kaki Cana tersandung karpet. Teh Nia marah. Katanya box itu isinya tas-tas mahal." Kencana menyeka lelehan air matanya."Lantas, apa yang terjadi? Kenapa figura itu bisa pecah?" Pak Suhardi berjongkok di samping Kencana sambil menunjuk sepihan kaca di lantai yang sebagian mengenai karpet bulu. Bu Isnaini ikut jongkok di sebelahnya. Ia mengelus-elus bahu sang putri dengan usapan menenangkan."Teh Nia tidak percaya kalau Cana tersandung. Katanya, Cana sengaja merusaknya karena Cana iri. Teh Nia mendorong Cana ke tembok. Makanya kening Cana jadi begini." Kencana menyibak poninya. Memperlihatkan keningnya yang memar. Bu Isnaini t
Nia baru selesai mandi saat mendengar pintu kamarnya diketuk."Siapa?" tanya Nia tegang. Energinya sedang habis. Ia tidak siap saat jikalau harus berseteru entah dengan siapa pun lagi."Saya, Neng, Bik Titin."Syukurlah. Yang datang ternyata bukan musuh-musuhnya.Nia membuka pintu kamar. Bik Titin berdiri di ambang pintu. Tangannya membawa baki yang berisi obat-obatan."Bibik obati lukanya ya, Neng? Ini bibik bawain obat antiseptik dan betadine untuk membersihkan luka di kepala Neng Nia," kata Bik Titin. "Tidak usah, Bik. Saya sudah mengobatinya sendiri. Saya membawa obat-obatan sendiri dari Jakarta kok." Nia menolak sopan. "Oh, sudah diobati toh. Kalau begitu Bibik permisi dulu." Bik Titin pun berlalu. Nia yang tadinya akan menutup pintu menghentikan gerakannya. Samar-samar ia mendengar Bik Titin sedang berbicara dengan seseorang."Kok obatnya dibawa lagi, Tin?""Kata Neng Nia, sudah diobati sendiri, Pak.""Oh. Tapi tetap dipantau keadaannya ya, Bik? Anak itu memang keras hati sepe
Pada pukul tujuh pagi, Nia sudah bersiap-siap pindahan. Karena barang-barangnya tidak banyak, ia akan menumpang pick up Pak Jaya—supir pabrik. Saat ini dirinya sedang menunggu kedatangan Pak Jaya."Pak, Cana bilang ia sudah melupakan semuanya. Nia tidak perlu pindah katanya. Nia tinggal di sini saja ya, Pak?" Bu Isnaini membujuk sang suami hati-hati. Sebagai seorang ibu, ia harus mendamaikan semua anak-anaknya."Tidak bisa, Is. Setiap kesalahan akan ada sanksinya. Nia harus mengakui kesalahannya dulu, baru ia bisa tinggal di sini," tukas Pak Suhardi tegas. Sebagai seorang kepala keluarga, ia harus memegang kata-katanya. Bu Isnaini terdiam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi."Kamu beres-beres mess saja hari ini, Nia. Besok baru kamu mulai bekerja," kata Pak Suhardi pada Nia."Tidak apa-apa, Yah. Nia langsung bekerja saja. Barang-barang Nia cuma satu koper ini dan dua box berisi tas. Tidak ada yang perlu Dia repotkan," sahut Nia datar."Ya sudah kalau kamu maunya seperti itu." Pak Suha
Nia memasukkan koper dan box ke dalam mess. Setelah mengunci pintu dan mengantongi kuncinya, ia membalikkan badan. Menyusuri jalan setapak menuju pabrik sambil bersenandung kecil. Ia mengabaikan kehadiran Bayu. Ia menganggap Bayu sebagai mahluk yang tak kasat mata."Heh, kamu budek ya?" Bayu yang geram melihat aksi Nia, mengejar dan menghadang langkahnya."Awas, orang budek mau lewat!" Dia mendorong dada Bayu dengan kedua tangannya. Sayangnya, Bayu tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya berdiri. Nia seperti mendorong tembok. "Oh, tidak mau gerak ya? Baiklah." Nia menarik napas dalam-dalam sebelum berteriak keras. "Tolong! Ada orang yang mau memperko-""Sial, diam!" Bayu yang tidak menduga kalau Dia akan berteriak, sontak membekap mulut sang gadis. Gadis psikopat ini memang tingkahnya tidak bisa ditebak. Sayangnya orang-orang yang berada di dalam mess sudah terlanjur mendengar teriakan Nia. Mereka berhamburan keluar, bersama dengan Satpam jaga dan juga Bu Ningrum. "Ada apa Bu Nia?
"Masuk," jawab Nia tegas. Kencana masuk dengan wajah memerah dan bibir membentuk garis lurus."Jangan coba-coba—""Kalau kamu kembali berulah, saya akan meminta Satpam pabrik untuk menyeretmu keluar," ujar Nia datar. Kencana yang berniat membantah, mengurungkan niatnya. Keseriusan Nia menggentarkannya."Saya sebenarnya juga tidak kepingin masuk ke ruangan ini. Hanya saja Teteh keterlaluan karena telah memfitnah Bayu yang tidak-tidak." Kencana menghempaskan pinggulnya ke kursi."Oh, Bayu mengadu padamu?" Nia melirik Kencana melalui sudut mata."Bukan, ada beberapa staff yang mengadu pada saya." Kencana menggeleng."Oh, dari antek-antek yang kamu tugaskan untuk mengawasi saya rupanya." Nia manggut-manggut. Ia sadar, dari hari pertama bekerja, ada beberapa orang staff yang kerap membayanginya."Kenapa Teteh memfitnah Kang Bayu?" Kencana menuntut jawaban."Dari mana kamu menyimpulkan kalau kejadian itu adalah fitnah?" Nia bersedekap. Melihat Kencana blingsatan seperti ini membuatnya senan
"Astaga, ada apa, Cana? Kenapa kamarmu seperti kapal pecah begini?" Bu Isnaini terperanjat melihat keadaan kamar putrinya. Aneka kosmetik, vas bunga dan barang pecah belah lainnya berserakan di lantai, hancur tak berbentuk. "Pokoknya, mulai sekarang Cana tidak mau mengalah lagi, Bu! Cana akan melawan Teh Nia secara terang-terangan! Teh Nia itu memang setan!" Kencana berteriak sambil meninju telapak tangannya sendiri. Amarahnya belum tuntas, meskipun ia telah menghancurkan separuh isi kamar. "Duduk dulu, Nak. Tarik napas panjang. Jangan emosi begini." Bu Isnaini mendekat, menggiring Kencana ke sudut ranjang, satu-satunya tempat yang masih aman dari serpihan kaca. "Ayo cerita, ada apa. Pelan-pelan saja," bujuknya lembut, mencoba menenangkan."Teh Nia keterlaluan, Bu. Ia memfitnah Kang Bayu!" Kencana mengkertakkan geraham saat teringat pada pemandangan menyakitkan yang baru saja ia saksikan."Tetehmu memfitnah Bayu apa?" Bu Isnaini menyusul duduk di sebelah Kencana."Teh Nia bilang pa
"Saya bisa minta tolong, tidak, Nia?" ucap Wahyu sambil meringis."Minta tolong apa?" tanya Nia datar."Saya sakit kepala. Kamu bisa tolong buatkan saya teh hangat, tidak? Bik Sari sudah tidur kelelahan. Saya tidak sampai hati membangunkan mereka," kata Wahyu sambil terus memijat-mijat dahinya."Kamu duduk saja dulu." Nia meletakkan gelasnya di meja.Wahyu pun kemudian duduk, sementara Nia berjalan ke lemari dapur, mencari-cari kantong teh dan gula. Tanpa Nia sadari, Wahyu mengeluarkan botol kecil dari sakunya. Ia kemudian dengan cepat meneteskan cairan bening ke dalam gelas Nia yang belum ditutup. Setelahnya, ia kembali pura-pura sakit kepala dan mengubur wajah di antara kedua tangannya."Kamu tidak keberatan ditinggal Kang Bayu di malam pertama kalian ini?" tanya Wahyu.Kegiatan Dia mencari kantong teh dan gula terhenti. Ia baru tahu kalau Bayu tidak ada di rumah."Tidak masalah. Kami berkomitmen untuk mendahulukan hal-hal yang lebih penting." Nia memberi jawaban yang mengambang. Ia
Nia menguap lebar seraya menutup mulutnya dengan tangan. Acara pernikahannya berlanjut dengan resepsi yang diadakan di halaman belakang rumah Bayu yang luas. Ia mulai kelelahan. Semalam ia kurang tidur karena memikirkan konsekuensi dari pernikahannya ini. Ditambah lagi, ia harus mengikuti serangkaian acara tanpa jeda sejak pagi. Stamina tubuhnya mulai menurun."Jangan terlihat terlalu bosan begitu. Nanti orang-orang menyangka kalau kamu tidak bahagia," bisik Bayu tanpa menoleh.Nia menghela napas pelan. "Saya capek, Yu. Duduk dan berdiri terus sepanjang hari.""Saya juga. Tapi saya tidak mengeluh terus sepertimu. Tahan sebentar lagi," omel Bayu.Nia tidak menanggapi. Ia segera berdiri ketika beberapa orang tamu naik ke pelaminan. Ia kembali harus menyalami tamu yang seakan tiada habisnya. Pinggang dan betisnya pegal luar biasa. Pandangannya tertuju pada meja prasmanan di seberang ruangan-ia haus dan butuh minum."Saya haus, Yu. Bantu saya turun.""Saya ambilkan saja di bawah, ya? Gaun
Nia menunduk. Matanya terasa panas, tetapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia sekarang sah menjadi istri Bayu. Saat MC membacakan tertib acara berikutnya, yaitu sungkeman, Nia mengikuti dengan hati nelangsa."Akhirnya kamu resmi menjadi istri Bayu. Ayah lega. Sekarang kamu sudah ada yang membimbing dan melindungi." Pak Suhardi mengelus pipi Nia yang lembap. Mendengar harapan besar ayahnya, air mata Nia meleleh. Ia merasa berdosa karena menikah demi kepentingan semata."Lho, kok kamu menangis? Kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini?" bisik Pak Suhardi lirih."Nia menangis karena bahagia, Yah." Nia mencoba tersenyum di antara deraian air matanya."Alhamdulillah kalau memang begitu. Ayah tidak bisa memberi banyak nasihat pernikahan padamu karena pernikahan Ayah sendiri juga berakhir buruk. Ayah hanya mau bilang, tetaplah ada dan saling membersamai bagaimanapun sulitnya. Jangan gengsi untuk meminta ataupun memberi maaf. Saling menyayangilah kalian berdua selamanya." Pak Suhardi
Pak Suhardi duduk di kursi kayu di ruang tengah, wajahnya serius namun tetap tenang. Di depannya, tiga gadis duduk dengan ekspresi berbeda-beda. Nia tampak tenang seperti biasa. Kencana duduk dengan bahu tegak, air mukanya terlihat waspada. Sementara itu, Dahayu, yang biasanya vokal, kali ini tampak gelisah. Ia terus meremas-remas jari-jarinya di pangkuan.Setelah mengamati tiga gadis muda di hadapannya, Pak Suhardi mulai berbicara. Suaranya rendah tapi tegas."Cana, Dayu, hari ini tepat sudah seminggu orang tua kalian ditahan. Apa rencana kalian berdua ke depannya?" Pak Suhardi langsung berbicara pada pokok permasalahan.Ruangan menjadi sunyi. Kencana bertukar pandang dengan Dahayu; mata mereka berbicara dalam diam. Mereka sadar kalau Pak Suhardi ingin mengusir mereka secara halus."Kalian berdua sudah dewasa, jadi sudah bisa bertanggung jawab pada diri sendiri. Lagi pula, saya tidak bisa menampung kalian di sini lama-lama. Kita sudah tidak punya hubungan kekeluargaan lagi," tegas Pa
"Saya sudah meminta izin dan menceritakan soal endors-an pada Bu Aisyah sebagai pemilik panti. Termasuk soal Rudi yang menjadi fotografernya. Bu Aisyah bilang, ia tidak keberatan," jawab Nia tenang. "Bu Aisyah jelas tidak berani menolak, karena ia takut kalau subsisi dari ibu saya, dicabut. Ia mengira kalau kamu adalah bagian dari kami," ungkap Bayu. "Mengenai Rudi, ia juga jelas bersedia. Anak muda puber itu pasti merasa kejatuhan bulan karena diminta memotret wanita pujaannya. Kamu tidak berpikir panjang, ya? Bagaimana kalau foto-fotomu nanti jadi objek fantasi olehnya?" tandas Bayu lagi."Saya sudah meminta Rudi untuk menghapus foto-foto saya setelah ia mengirimkan hasilnya pada saya," potong Nia cepat. "Dan kamu percaya kalau dia benar-benar menghapusnya?" tanya Bayu dengan nada mengejek. "Saya percaya. Rudi menghapusnya di hadapan saya," sahut Nia yakin. Mendengar kata-kata Nia, Bayu tertawa. Perempuan memang mudah dipedaya. "Oh ya, apa kamu juga meminta izin anak-anak kala
Nia baru saja selesai live di media sosialnya untuk menjual tas-tas preloved titip jualnya. Ia menutup siaran dengan senyum lebar, lalu meletakkan ponselnya di meja. Sambil membereskan ring light dan menyusun kembali tas-tas yang tersisa, ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya."Hampir semua terjual!" gumamnya penuh semangat. Tangannya bergerak cepat merapikan alat-alat live, sementara pikirannya masih dipenuhi euforia. Notifikasi pembayaran tas yang masuk, berdenting di ponselnya, menambah rasa puas yang meluap-luap. Hari ini ia benar-benar sukses berjualan."Astaga, sudah pukul dua belas siang." Nia teringat pada tugas rutinnya di hari Minggu, yaitu melakukan bakti sosial seperti perjanjiannya dengan Bayu. Minggu ini, ia akan kembali mengunjungi Panti Asuhan Al-Mahramah. Ia menyukai kerja bakti ke panti asuhan ini karena ia menyayangi anak-anak panti yang manis seperti Aliya, Wita, maupun Didit yang pemalu.Nia membuka lemari untuk mengganti pakaian. Saat melihat sebuah blus ca
Nia baru saja membuka laptop ketika terdengar keributan dari paviliun sayap kanan. Penasaran, ia segera membuka jendela dan melongok ke arah paviliun yang kini dihuni oleh ibu serta adik-adik tirinya. Di sana, ia melihat sebuah mobil polisi terparkir, sementara beberapa aparat berseragam mondar-mandir di depan paviliun.Nia langsung berlari ke sana. Ia tak menyangka penyidik akan bergerak secepat ini. Saat tiba, tampak beberapa tetangga menyalakan lampu teras, berbisik-bisik dengan nada rendah."Bu, ada apa ini? Kenapa Ibu ditangkap polisi?"Di tengah kerumunan, Nia melihat Kencana dan Dahayu menangis histeris, berusaha meraih tangan Bu Isnaini yang kini diborgol."Bu, tolong jelaskan! Kenapa Ibu ditangkap?" Kencana dan Dahayu terus mengikuti ibunya, yang digiring menuju mobil polisi."Ibu kalian telah melakukan perbuatan kriminal. Karena itu, ibu kalian harus bertanggung jawab atas perbuatannya."Nia terperanjat saat melihat ayahnya melangkah keluar dari paviliun, diiringi beberapa p
Nia berkendara sambil memandang keindahan alam. Siang ini berencana mengunjungi Bayu di pabrik susunya. Setelah berpikir semalam suntuk, Nia memutuskan untuk bertanya baik-baik pada Bayu mengenai perubahan sikapnya. Dirinya bukanlah type orang suka berprasangka. Demi mendukung niat baiknya, ia juga membawa rantang empat susun, berisi makanan yang ia masak sendiri. Mudah-mudahan Bayu menghargai usahanya. Saat maps menunjukkan bahwa PT Dairy Indofood tidak jauh lagi, Nia melambatkan laju kendaraan. Selama lima bulan di sini, ia memang tidak pernah sekalipun mengunjungi PT Dairy Indofood, pabrik milik keluarga Bayu. Oleh karena itu, ia tidak tahu lokasi pastinya.Memasuki pintu gerbang pabrik, Nia melambatkan laju kendaraan. Ada pos satpam yang dijaga oleh dua orang di sana. Seorang satpam segera menghampiri, sementara satunya lagi tetap berjaga di tempat. "Selamat siang, Bu. Ada keperluan apa Ibu ke sini?" Pak Satpam bertanya sopan namun tegas. "Saya ingin bertemu dengan Pak Bayu. Ap
"Berhubungan dengan ayah? Ada apa memangnya, Yu?" Sekarang Nia lah yang menjadi tegang. "Saya baru menerima kabar dari Fathur. Ia bilang jati diri Pak Jaja yang sebenarnya sudah terkuak. Laki-laki yang selama ini menyamar sebagai Pak Jaja, adalah Dadang Suparna." Bayu mengeja sebuah nama pelan-pelan. Ia ingin melihat reaksi Nia. Apakah Nia mengenal nama itu. "Dadang Suparna. Sepertinya nama itu familiar," gumam Nia sambil berpikir. Mendadak air mukanya berubah. Ia teringat sesuatu!"Dadang Suparna itu kan nama mantan suami Bu Isnaini." Nia merasa surprise sendiri. Bayu mengangguk. Ternyata Nia bisa menangkap benang merahnya."Benar. Ternyata Pak Dadang tidak meninggal dalam musibah kecelakaan truknya waktu itu. Yang meninggal sebenarnya adalah Pak Entis, kernetnya," terang Bayu lagi."Astaghfirullahaladzim. Pantas laki-laki itu memperingati saya agar menjauhi ayah. Ternyata ia adalah ayah kandung Kencana dan Dahayu." Nia kini mengerti maksud dari ancaman laki-laki tua itu. Pak Dadan