****** Seharian ini, Gavin tidak melihat pacarnya di manapun, dia sudah ke kelasnya, tapi Kian bilang, Cia tidak masuk ke kelas. Gevin penasaran, apa yang di lakukan gadis itu sekarang,padahal Gevin ingin melihatnya dan berbicara dengan pacarnya itu."Dav!" Kebetulan, dia melihat Dava yang tengah berjalan di koridor berlawanan arah dengannya. Dava mendengar ada yang memanggilnya, segera menoleh."Dav, lo liat Cia nggak?" Dava menggeleng, dia saja sulit menemui adiknya, bahkan pagi ini hanya melihat sekilas saja tidak."Enggak, emang kenapa?""Dia nggak masuk kelas dari pagi." Dava sudah menduganya. Kemarin, setelah Dava mengatakan bahwa dia mendukung apapun yang Cia lakukan, gadis itu terlihat sedikit berbeda, tampaknya gadis itu kesal, atau bahkan marah padanya. Saat Dava keluar ingin makan malam, dia melihat Cia menyelinap keluar, saat Dava bertanya, Cia bahkan tak menjawabnya, hanya menatapnya datar dan pergi begitu saja. Dava
****** Cia nampak serius di depan layar laptop yang ia letakkan di pangkuannya, satu toples keripik kentang menemaninya dan segelas minuman soda di letakkan di atas meja. Kedua tangannya bergerak gesit, suara ketikan yang cepat terdengar di ruangan itu. "Ci, lo belum kelar?" Seseorang membuka pintu dan menyelundupkan kepalanya sebatas leher sambil melihat Cia."Mn, bentar lagi." Cia menjawab dengan singkat tanpa menatap lawan bicaranya, tanpa dia melihatpun suara itu milik Rio, sahabat sekaligus manager Cia yang sudah Cia anggap seperti Abang sendiri."Jangan lupa nanti kita bakal ke sana." Cia kali ini menoleh, mengambil gelas berisi soda yang masih tersisa setengah dan meminumnya."Iya, gue tau, Dylan juga udah berisik minta ketemu terus.""Lo yakin mau berangkat sendiri, nggak bareng aja?""Lo duluan aja deh, Pak Rudi juga pasti udah nunggu duluan. Gue masih harus selesain ini dulu, kalo belom kelar nggak enak.""Ya udah, jangan lupa makan sebelum pergi.""Iya." Selain berpe
*****"Sial!" Cia kembali menatap receptionis wanita dengan name tag Yuliana di dada sebelah kirinya. Cia mendekat lalu berkata dengan tenang."Hp gue mati jadi nggak bisa telfon." Cia sudah kesal setengah mati karena di remehkan, terlebih dia lupa mengisi daya pada ponselnya, jika tadi dia mengisinya lebih dulu, mungkin Cia bisa menghubungi Rio sekarang."Kamu mau telfon, mau pinjam hp saya?" Bukan Yuliana yang menjawab, tapi manager pria yang sejak tadi berdiri tak jauh dari Cia. Sejak tadi Cia memang mengabaikannya, dia kesal karena dia di anggap remeh oleh mereka. Ya walaupun sebenarnya mereka tidak memandang rendah dirinya. Hanya saha Cia tetap kesal, bagaimanapun Cia juga orang penting di tempat itu. Mendengar bahwa manager itu akan meminjamkan ponselnya, Cia dengan terpaksa menyetujuinya tidak ada pilihan lain."Mana." Seakan miliknya sendiri, Cia langsung mengambil ponsel milik manager pria sesaat setelah lock screen terbuka. Manager pria itu hanya memperhatikan dalam diam, di
****"Duduklah." Cia meletakkan tas miliknya di atas meja, lalu duduk berhadapan dengan dua orang pria yang sudah lebih dulu duduk. "Mulai bulan depan, lo nggak perlu lagi dateng ikut rapat." Cia sedikit terkejut, lalu tersenyum begitu cerah."Seriusan, Bang?" tentu saja Cia senang akan hal itu, selama ini, dia terpaksa datang untuk menghadiri acara membosankan itu. Ferry hanya menatapnya dalam diam, tak jauh darinya duduk, Rudi juga menyimak percakapan mereka, selain Ferry dan Rudi, di ruangan itu ada beberapa orang lainnya, seperti Rio, Keilie sekertaris Ferry, dan Ben sekertaris Rudi. Mereka berada di salah satu ruangan khusus yang berada di dalam area CCS."Bulan depan, akan ada perusahaan baru yang ikut bergabung menjadi bagian CCS(Carlton Commersial Street) karena itu, lo nggak perlu lagi dateng, kirim aja Nata atau Nanda buat gantiin lo.""Bukannya Rio? Tapi Bang Nata atau Bang Nanda?" Cia tidak mengerti kenapa bukan Rio, karena biasanya Cia akan mengirim Rio jika dia sedang sib
****"Lo harus langsung pulang abis ini. Jangan kelayapan." melihat Cia akan membantah, Ferry buru-buru menyela, "cuma malem ini doang!" mendengar itu, Cia akhirnya pasrah, menatap Rio dan mengangguk pelan."Kalo gitu gue balik dulu." Cia membuka pintu, saat itu seorang pria hampir mengetuk pintu, dia adalah Leo, manager pemasaran yang bertemu Cia sore tadi. Keduanya saling berharapan untuk sesaat sebelum akhirnya Leo berkata dengan sopan."Maaf menggangu, saya pikir anda sudah pergi.""Oh, manager. Pak Ferry ada di dalam, jika ....""Bukan, saya datang untuk bertemu dengan anda." Cia menatap Leo bingung, Rio yang berdiri di belakangnya langsung berkata."Masuk dulu Ci," karena dia juga tidak memiliki jadwal malam ini, diapun mengangguk, Ferry yang sedang bersiap pergi dari ruangan itu melihat Cia kembali masuk, di belakangnya ada Leo dan seorang wanita sepertinya sekertarisnya."Ada apa?" Ferry menatap Cia bingung. Cia mengedikkan bahu."Pak Fer
****** Dava melangkah dengan semangat memasuki gedung sekolah setelah memarkirkan sepeda motornya. Hari ini, adalah hari kepulangan Aqila dari Jepang. Tentunya dia sangat bersemangat untuk menjemputnya sore nanti, bagaimanapun, dia sangat merindukan kekasihnya itu, selama 3 bulan lamanya hanya bisa mendengar suara dan melihat melalui VC(video call). Di saat dirinya tengah berjalan dengan semangatnya, tak sengaja Dava bertemu Jun yang juga sedang berjalan menuju kelas mereka."Jun ..." sapa nya saat dia sudah berdiri dan berjalan bersisian dengan cowok dingin itu."Mn ..." Jun hanya membalasnya dengan gumaman. Keduanya berjalan bersama menuju kelas, tapi sebelum itu, mereka melihat Cia yang berjalan terburu-buru melewati keduanya. Dava yang sejak malam tidak melihat adiknya itu segera mengejar, dan berusaha menyamai langkah sang adik."Ci, ada apa?" Cia menoleh dan kaget melihat Dava sudah berjalan di sisinya."Jangan ikutin gue!" Cia paling benci di ikuti s
***** Setelah menjemput Aqila dari bandara, Dava memutuskan untuk mampir ke rumah Iqbal dan main di sana. Iqbal adalah anak tunggal dari salah satu rekan bisnis Radith. Dava dan kedua orang tua Iqbal sudah akrab. Tidak jarang, saat Ayah Iqbal pergi keluar negri untuk dinas, seringkali dia membawakan oleh-oleh untuk Iqbal dan juga teman-temannya termasuk Dava. Seperti malam ini, Dava mendapatkan sebuah earphone yang di beli oleh Ayah Iqbal, padahal dia sudah menolaknya dengan halus, tapi Ayah Iqbal tetap memberikannya, dia bilang Iqbal sudah punya banyak, jadi ia sengaja beli untuk Dava. "Makasih, Om.""Santai saja Dav. Kalo gitu Om tinggal ya, masih ada sisa kerjaan." Dava mempersilahkan, Iqbal hanya menatap Ayahnya heran."Heran gue ama Bokap." Dava mendengar itu tampak bingung."Heran kenapa?""Yang anaknya itu elo apa gue sih?" cowok manik abu yang kini duduk di atas kasur Iqbal itu tertawa."Kenapa? Iri, bilang boss!""Nggak juga sih,
*****"Emang sejak kapan kalian kenal?" Rio menatap Dava yang bertanya."Siapa? Gue apa Rian?" tanyanya."Ya ... kalian berdua." Rio tersenyum sebelum menjawab."Oh, kalo gue sih ... Dulu gue satu SD sama Cia, gue ketemu pas Cia lagi bolos sekolah di gang deket rumah gue. Gue inget banget waktu itu, dia abis berantem, luka sana sini, lututnya berdarah terus juga bajunya kotor. Astaga, kalo inget jaman dulu, Cia itu barbar banget." Rio mulai bercerita. Dia bahkan menggeleng pelan begitu bayangan Cia saat kecil teringat lagi olehnya."Waktu Cia kelas berapa?" saat masuk SD, Cia menolak keras untuk satu sekolah dengan Dava, dulu Cia bilang dia akan kabur jika di sekolahkan bersama dengan Dava, pada akhirnya sekolah mereka terpisah."Kelas 3, gue kelas 6 waktu itu. Gue pikir Cia itu anak brandalan yang sukanya berantem. Ternyata, Cia berantem garagara nolongin kucing yang di kerjain sama anak-anak nakal. Dia sebaik itu sih, gila kalo inget itu, rasanya gue n
***** Di hari saat setelah pembagian kelas, Kian tengah Berjalan di koridor menuju perpustakaan, dia berniat untuk mengembalikan buku yang dia pinjam sebelum libur sekolah kenaikan kelas kemarin. Ketika masuk, Kian bertemu seorang pria yang tampak sedang membereskan tumpukan buku. Dia adalah Deren, penjaga perpustakaan. Berusia 26 tahun, dan lulusan salah satu jurusan di Samsard University. Jurusan penelitian tentang buku. Deren bahkan sudah hampir membaca setiap jenis buku yang ada di perpustakaan itu."Selamat siang, Kak." sapa Kian ramah dan ceria seperti biasanya."Siang juga. Kian rajin sekali, baru hari pertama masuk sudah ke perpustakaan saja." Kian terkekeh pelan."Iya, Kak. Mau ngembaliin buku yang waktu itu di pinjem." Kian mengangkat dua buah buku berukuran sedang yang dia pegang. Kian meletakkan buku itu di atas meja, Deren segera mencatat nya. Setelah selesai, Kian berniat kembali ke kelas, tentunya kelas barunya di mana
*****"Sama Cia. Gevin juga." Dava membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ponsel berwarna hitam miliknya di tempelkan di telinga kiri.'Jangan terlalu ikut campur, Sayang. Kamu tau kan Cia itu gimana.'"Iya, gue tau kok. Tapi gue juga nggak tau apa jawaban Cia." ucapnya lagi. Saat ini, dia sedang menghubungi kekasihnya, Aqila. 'Yah semoga aja, mereka bisa cepet selesain masalahnya.' harap Aqila. Dava menghembuskan napasnya lelah, tidak tau harus berkata apa."Ngomong-ngomong, lagi ngapain?" Dava bangun dari baringnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sama seperti biasanya, dia tampan, memiliki warna mata yang tidak umum di Indonesia. Dava pernah memakai softlens untuk menutupi warna asli matanya karena baginya terlalu mencolok, itu terjadi saat Dava masuk ke bangku SMP. Tapi setiap kali Dava memakai softlens, Cia selalu menatapnya tajam dan dingin lebih dari biasanya. Dava jadi ragu untuk memakainya lagi, apa menutupi warna mata aslinya ter
*****"Ok, gue duluan!" Dava melambaikan tangannya pada Iqbal sambil membawa sepeda motornya pergi meninggalkan sekolah, siang ini, seusai sekolah, Dava memutuskan untuk pulang lebih awal, Radith bilang ada yang ingin di bicarakan, jadi dia buru-buru untuk pulang. Di tengah jalan, Dava menghentikan laju motornya saat melihat mobil yang dia kenal tengah berhenti di bahu jalan, lampu mobil masih menyala, pertanda pemiliknya masih di dalam. Dava memutuskan berhenti di belakang mobil itu, lalu turun tanpa melepas helm miliknya. Dava mengetuk kaca mobil dengan pelan."Ci, Cia ..." panggilnya, gadis yang di dalam menoleh, membuka pintu dengan perlahan. Dava mundur beberapa langkah dan terkejut saat pintu terbuka, Cia langsung memeluk dirinya sambil menangis. Dava tentu saja tidak menyangka Cia langsung memeluknya dan menangis."Cia lo kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?" Dava bertanya khawatir. Bukannya menjawab, Cia malah semakin menangis dalam
***** Gevin masih di posisi yang sama, duduk di samping tempat tidur sang Nenek. Padahal banyak yang memintanya untuk istirahat, tapi Gevin menolak. Pakaian yang dia pakai semalam masih sama, hingga pagi ini, Gevin tidak mau pergi ke sekolah dan betah duduk di samping Neneknya."Gue mau di sini aja! Jangan ganggu gue!" ucapan Gevin yang mendapat pelototoan dari Angga."Basi lo!" Angga kesal sekali dengan Gevin. "Emangnya lo mau nikah muda, pacar lo kan banyak!" sindir nya kesal. Gevin menatap sang Nenek yang baru saja tertidur. Semalam, setelah meminta maaf dan di maafkan, Sang Nenek berpesan.'Gevin, ingin sekali Nenek melihatmu menikah sebelum Nenek pergi.' tapi itu kan tidak mungkin. Gevin masih sekolah, terlebih dia mencintai Cia, apa Cia mau menikah dengannya, jika tidak, apa Gevin harus menikah dengan orang lain dulu, baru menceraikannya setelah itu kembali pada Cia. Tapi Gevin sudah berjanji akan berubah, jika dia melakuka
****** Rio menatap Gevin heran, cowok itu keluar sambil membawa handuk dan berjalan dengan santai sembari mengeringkan rambutnya. Empat orang lainnya yang tadi ada di sana sudah pulang, mereka bilang lain kali saja datang lagi, karena melihat mood Cia juga tampaknya tidak bagus. Siapa yang tidak tau jika mood Cia sedang buruk maka semua orang bisa kena getahnya. Mungkin hanya Gevin yang kebal dengan itu semua. Ya ada satu lagi, siapa lagi kalau bukan Dava."Lo baikkan sama Cia?" tanya Rio yang tau bahwa sebelumnya Cia bertengkar dengan Gevin."Iya. Thanks ya, udah cerita soal Cia waktu itu." Rio hanya mengedik acuh. Tak menyangka Cia akan memberikan kesempatan pada Gevin."Jangan nyakitin Cia ..." pesan Rio, "gue kasih tau sama lo ya." Rio melirik kamar Cia lalu berbisik pelan, "Cia kalo udah nyaman, bakalan manja minta ampun. Percaya deh sama gue!" Gevin tentu saja tidak percaya, tapi dia juga penasaran. Gimana sosok Cia yang manja. "Gue
****** Gevin membuka pintu ruangan Cia dan masuk tanpa ijin. Cia menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Gevin sudah biasa dengan itu, tapi sekarang Gevin juga sudah tau cara menenangkan nya."Di luar nggak ada yang gue kenal, sayang. Gue kan baru liat mereka." Gevin langsung memeluk Cia dari belakang, menenangkan gadis itu akan kemarahannya. Gevin melihat sekeliling, ruangan itu ternyata ruang kamar, dengan kasur king size dan sebuah lemari besar, juga meja kerja yang berada di sudut ruangan."Lepas gue mau ganti baju! Keluar sana!" Gevin tersenyum cerah."Mau dong liat lo ganti baju ... Bercanda! Sumpah bercanda!" Gevin segera tertawa melihat reaksi Cia. Cowok itu duduk di sofa yang berada di dekat pintu, lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue main game sambil nungguin lo aja gimana?" Cia masih menatap Gevin tajam. Dia heran, kenapa bisa nyaman dengan orang semenyebalkan Gevin. Sungguh bodoh sekali. Gevin benar-benar serius bermai
***** Sore harinya, saat Cia tengah mengendarai mobilnya untuk pulang, ya lebih tepatnya dia ingin pergi ke CR, tiba-tiba saja ban mobilnya meledak dan Cia hampir kehilangan kendali, untungnya dia pembalap handal, jadilah dia berhasil selamat, walaupun dia merusak beberapa tanaman yang ada di trotoar jalan. Gadis itu keluar dan terkejut mendapati sebuah paku berukuran cukup besar tertancap di ban depan mobil miliknya. Beberapa Pejalan kaki, bahkan pengenadara motor yang lewat segera berkumpul dan melihat apa yang terjadi dan berniat membantu jika di perlukan."Bahaya banget!" Cia mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio, tapi sebelum panggilan tersambung, Cia melihat mobil Gevin yang mendekat, Cia tak jadi menghubungi Rio. Gevin keluar dengan terburu-buru, tanpa menutup pintu mobilnya, dia mendekati Cia dan langsung memeluknya. Cia sendiri sampai terkejut."Are you ok?" tanya cowok itu penuh kekhawatiran."Ya, gue baik-baik aja kok."
*****"Ngapain hayooo!!" "Woaah!" Gevin terkejut bukan main saat seseorang berbicara tepat di belakang kepalanya. Cowok itupun menoleh dan lebih terkejut lagi karena orang yang berada di belakangnya itu adalah seorang cowok jangkung yang bahkan sedikit lebih tinggi darinya. Gevin itu tinggi, bagi anak seusia Gevin, karena cowok itu memiliki tinggi 180 cm. Sedangkan cowok yang tadi mengejutkannya itu lebih tinggi 5 atau 6 centi darinya."Ngapain ngintip-ngintip?" tanya cowok jangkung itu. Gevin melotot kesal."Lo ngapain sih ngagetin gue!" dengusnya kesal."Lo sendiri ngapain di sini, nggak gabung sama yang lain?" Cowok itu kini melihat ke arah orang-orang yang tadi Gevin perhatikan. "Ssst! Jangan ngurusin urusan orang. Dah sana lo pergi. Awas kalo lo ganggu gue lagi!" Gevin memutar kepalanya ingin melihat teman-temannya lagi."Woaaah!" teriakan Gevin lebih kencang dari yang tadi. Cowok itu bahkan sampai terjatuh t
****** Cia mengemasi barangnya dengan hati-hati. Wajahnya masih murung, Bu Dewi yang juga tengah membantu, tampak tersenyum, lalu menepuk bahunya pelan."Jangan terlalu di pikirkan, Mba. Sebaiknya Mba Cia mengikuti kata hati saja." Cia diam tanpa menjawab. Ferry juga sebenarnya sudah membebaskannya, tapi Cia masih ragu, bagaimaba kedepannya, dia sudah dua kali di sakiti dengan hal yang sama, apa dia akan merasakan yang ketiga, keempat, kelima bahkan seterusnya?"Mama, nanti pulang Nuca mau beli kucing." Cia terkejut sekaligus bingung."Kucing?" Bu Dewi justru tertawa."Kemarin saat jalan-jalan, saya dan Mas Nuca lihat kucing di pet shop. Lucu sekali, Mas Nuca katanya mau minta sama Mba Cia." Cia mendekati Nuca dan berjongkok di depannya."Iya, Mama janji nanti pulang kita beli kucing ya.""Yeeey, Mama yang terbaik." Nuca mencium pipi Cia dan memeluknya. Entah kenapa, melihat Nuca bahagia dan tertawa saja membuat Cia ikut merasakannya.*****