Diani menghentikan langkahnya saat ia tahu bahwa mereka menuju sebuah toko perhiasan.
“Kita mau ngapain Mas?” tanya Diani yang masih berdiri ditempat yang sama saat Samudera sudah berjalan beberapa langkah di depannya.
“Cari cincin nikah, ayo!” ucap Samudera yang kembali berjalan ke arah Diani sebelum akhirnya menggenggam telapak tangan Diani dan menarik gadis itu agar mengikuti langkahnya.
Diani hanya bisa pasrah mengikuti langkah Samudera. Jantungnya tiba-tiba berdegup tak nyaman setelah ia melihat jajaran etalase perhiasan. Ia mengamati setiap sudut ruangan itu dengan seksama.
Setiap kenangan di toko ini terasa nyata bagi Diani. Ingatannya memutar pada kejadian Dimana Diani ikut bersama Riani dan Reval untuk memesan cincin pernikahan. Tak
*Diani POV*Pikiranku melayang entah kemana. Kenangan dimana aku kehilangan mama dan kecelakaan Kak Riani terus saja bergantian melintas di otakku setelah beberapa hari lalu aku mengunjungi toko perhiasan itu. Bahkan saat aku akan memejamkan mataku, kejadian manis yang berubah menjadi tawa mengerikan masuk ke dalam telingaku.Saat aku membenarkan letak tidurku di sofa rumah sakit yang baru beberapa waktu lalu dibelikan oleh Samudera, mataku tak sengaja bersinggungan dengan Kak Riani yang ternyata tak tidur dan sedang memandangku. Sepertinya sudah sedari tadi Kak Riani melakukannya tapi aku tak menyadarinya.Aku menatapnya lekat dengan perasaan campur aduk. Senyum tipis tiba-tiba mengembang dari wajahnya.“Kenapa? Gak bisa tidur ya? Kalau kamu capek, kamu tidur aja di rumah,”
Aku memejamkan mataku dengan tubuh terduduk di kursi taman. Musim kemarau panjang ini membuat taman rumah sakit benar-benar enak untuk dijadikan tempat istirahat, apalagi malam ini. Ya, meskipun hawa malam hari tidak baik untuk kesehatan, namun aku rasa tempat ini cukup enak untuk menyendiri dan melepas lelah. Angin yang bertepuk dengan suara gemericik air di salah satu sudut taman benar-benar membuatku lupa bahwa aku sedang berada di tengah kota jakarta dengan segala hiruk pikuknya. Aku masih setia menghirup udara segar ini dengan mata tertutup, hingga akhirnya aku terkejut saat merasakan benda dingin menyentuh pipiku. Cepat-cepat aku terbangun dan menoleh ke samping. Seperti mimpi, aku melihat Samudera tengah mengangkat satu cup
Setelah dua tahun lebih meninggali ruangan dekat nurse station. Akhirnya Riani dipindah ke ruangan VIP. Awalnya keluarga Samudera sudah akan memboyong Diani ke rumah keluarga Adnan untuk mendapatkan perawatan dari rumah. Namun pihak rumah sakit menolak usulan tersebut dengan dalih Riani masih harus di pantau sampai beberapa minggu kedepan.Kini ruang rawat itu sudah disulap menjadi ruangan yang didekorasi cantik untuk acara makan malam. Semua keluarga sudah berkumpul lengkap disana. Ada Embun, gavin, Davino, Lian serta anak-anaknya. Tak Ketinggalan Sita dan anak semata wayangnya.Bibir Riani tak berhenti tersenyum melihat semua orang berkumpul. Mereka tampak akrab bercengkrama. Bahkan calon pengantin yang beberapa waktu lalu terlihat murung. Kini keduanya tampak kompak dalam
Diani sedang mempersiapkan penampilan Riani saat Samudera datang. Diani bahkan sibuk memasukkan ini dan itu ke dalam tas yang akan dibawanya saat pergi keluar dari rumah sakit nanti.Pihak rumah sakit hanya memberi waktu lima jam untuk bisa duduk di kursi roda sebagai awal permulaan. Mereka mengkhawatirkan bahwa tulang punggung Riani tak bisa terlalu lama menopang berat tubuhnya saat duduk. Selain itu dokter juga menyarankan banyak hal saat perjalanan keluar dari rumah sakit nanti. Hal itu membuat Diani cukup kewalahan mempersiapkan segala sesuatunya. Diani bahkan melupakan dirinya sendiri yang perlu untuk bersiap.“Udah siap?” ucap Samudera dengan senyuman manisnya yang membuat siapa saja melihatnya bisa terkena diabetes.“Udah. Gimana, gue udah cantik belum buat ketemu Mama sama Papa?” tany
*Diani POV*Dekapan hangat Samudera masih saja bisa aku rasakan meskipun waktu sudah seminggu berlalu. Kecupan hangat di puncak kepalaku juga masih terasa hangat seolah baru saja terjadi. Juga kata-kata menenangkan yang tak pernah aku dapatkan dari seorang laki-laki seolah menari-nari di kepalaku.“Semuanya bakalan baik-baik aja, Di. Kita harus kuat apapun yang terjadi nanti,” ucap Samudera kala itu di makam kedua orang tuaku.Meskipun semuanya sederhana, tapi sungguh kata-kata itu menguatkanku. Aku merasa memiliki sandaran hidup. Selama ini aku melakukan semuanya sendiri. Jujur saja aku lelah. Tapi, bersandar pun tak menjamin bahwa hidupku akan lebih baik. Bisa jadi semuanya makin hancur dan berantakan.Namun entah mengapa, be
Jaden beranjak dari kursinya dan duduk disebelah Riani yang senyumnya tak luntur dari wajahnya sejak sebelum dimulainya akad. Mata remaja tanggung itu tak bisa lepas menatap Riani dengan pandangan tak terbaca. Merasa ditatap, Riani menengok ke sampingnya dengan gerakan perlahan. Setelah matanya menemukan Jaden ia kembali menatap ke depan dengan kepayahan. “Halo, Jade. Maaf, Tante gak bisa lihat kamu dengan benar kalau kamu ada disamping Tante,” ucap Riani dengan senyum yang masih mengembang. “Tante, Jaden mau ngobrol sama Tante tapi gak disini. Boleh?” tanya anak laki-laki yang terlihat tampan dengan balutan kemeja putih dan celana kain yang juga berwarna putih. “Boleh. Sekalian anter Tante ke kamar ya, Jade? Sepertinya Tante harus istirahat. Tante, udah gak bi
“Gimana, Jed? Apa yang mau kamu omongin sama, Tante?” ucap Riani yang kini sudah berbaring nyaman di kasur hotel walaupun masih menggunakan gaun dengan warna senada seperti keluarga inti yang menghadiri pesta Samudera dan Diani.“Tante ngerasa sakit banget ya? Apa pergi bisa buat semua sakit Tante hilang?” tanya Jaden dengan wajah menunduk dan masih menggenggam tangan Riani erat sambil mengusapnya.Tentu saja pertanyaan itu sukses membuat Riani seolah kehilangan udara untuk dihirup. Untuk sepersekian detik, Riani berusaha untuk kembali pada alam sadarnya. Beruntungnya hanya ada mereka berdua sekarang. Jika ada Ali, entah apa yang akan dipikirkan keponakannya itu.“Pergi gimana maksudnya, Jed?”“Pergi ninggalin kami. Ninggalin Tan
Diani memandang ke arah jendela besar yang memperlihatkan suasana hiruk pikuk ibukota dengan lampu yang begitu gemerlapan. Beberapa tahun hidupnya dihabiskan dengan meninggali apartemen berukuran kecil sekedar untuk bisa merebahkan tubuhnya.Ia tak ada waktu hanya untuk menikmati gemerlapan lampu ibu kota. Kadang pun melihat jendela hanya untuk merenungkan bagaimana hidup bisa berjalan sebegitu lucu untuk dirinya.Klak!Suara pintu terbuka itu membuat Diani mengalihkan pandangannya pada seorang pria yang berdiri di depan pintu. Keduanya saling pandang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya pria itu berdehem kecil dan berjalan menuju wanita yang belum genap satu hari menjadi istrinya itu.Diani dengan susah payah menelan ludahnya. Matanya tak lagi sang
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap