Sepertinya beberapa saat lalu aku masih begitu jengkel dengan suamiku. Tapi di hadapan Kakakku, rasa jengkel itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa takut kehilangan Kakakku yang aku sayangi. Satu-satunya keluarga yang aku miliki.
Aku masih kesulitan menahan laju air mataku, hingga aku tak sadar aku sudah sedikit sesegukan dihadapan wanita yang menemani hidupku seumur hidupku ini.
“Jangan menangis, Di. Kakak gak akan tenang. Ada apa? Cerita?”
“Nanti aku akan cari kerja lagi, Kak. Buat terus biayai Kakak. Kita gak bisa terus-terusan bergantung sama keluarga Samudera kan? Kita gak tahu kedepannya gimana? Iya kan?”
“Hubunganmu bener-bener gak baik ya sama Samudera?”
Aku memilih diam dan menunduk. Melihat ujung sepatuku.
Diani terdiam di salah satu sudut ruangan. Matanya menatap kosong lantai keramik rumah sakit itu. Suara berisik dari Dokter dan perawat tak membuat Diani terganggu. Ia benar-benar tak terusik dengan keadaan yang ada.Pikirannya berkelana pada ingatan-ingatan masa kecilnya. Beberapa ingatannya akhir-akhir ini bersama Kakaknya. Juga bagaimana Diani sempat membenci Kakaknya karena suaminya yang bahkan tak menganggapnya ada selama seminggu terakhir ini.Rasa bersalah dan kesedihan begitu menyesakkan dadanya. Begitu sesaknya hingga ia tak bisa mengeluarkan air matanya. Hingga Grace yang datang ke arahnya pun tak ia sadari.Grace memeluk Diani dengan mengusap punggung Diani pelan.“Riani udah gak sakit lagi, Di. Ini bagian lebih pentingnya. Dia udah bahagia. Lo uda
Lian benar-benar tak habis pikir dengan adiknya yang begitu terpukul hingga melupakan istrinya, keluarga yang lebih terpukul atas tiadanya Riani. Lian muak dengan tingkah Samudera yang begitu tak peduli pada Diani.Tak ada satupun interaksi Samudera dengan istrinya semenjak tadi pagi Lian datang ke rumah sakit. Hingga sore menjelang petang ini. Dimana sebenarnya otak dan hati Samudera?Sepanjang jalan menuju tempat kendaraan keluarga terparkir. Lian benar-benar tak fokus.“Kak–” sapaan Diani itu berhasil membuyarkan lamunan Lian.“Ya? Ada apa Di? kamu butuh sesuatu?” tanya Lian dengan mata tak percaya mendengar suara Diani. Sedari tadi wanita itu hanya diam membisu, apa yang membuatnya membuka mulutnya?
*Samudera POV*“Dia akhirnya pergi, Tan. Sama kayak kamu, aku lagi-lagi bikin orang meninggal karena ulahku! Aku gak bisa jaga kamu dan Putih malam itu. Aku bikin sahabatku sendiri kecelakaan. Apa aku bisa jagain Diani, Tan?! Apa aku bisa?!”Aku tak bisa menahan lagi kesedihanku atas kematian Riani. Aku selalu merasa, bahwa akulah yang menyebabkan orang-orang terdekatku menderita.Sama dengan tangisan Jaden yang menderita saat tahu bahwa ia bisa merasakan orang disekitarnya akan pergi. Tangisanku juga menderita karena akulah yang menyebabkan dua kehilangan besar dalam keluarga kami.Semuanya memang diluar kuasaku, tapi kenapa harus aku yang merasakannya. Dimana berjuta-juta orang di negeri ini dan bermilyar-milyar orang yang hidup di dunia ini. Kenapa aku?!
*Samudera POV*“Ruby,” panggilku pada putri kecilku saat ia sedang duduk di ayunan dengan Jaden yang menemani.“Om papa,” Ruby menjawabnya dengan suara yang lirih. Ia pasti mengantuk sekali. Aku pun segera menggendong Ruby. Membuatnya menempelkan kepalanya pada pundakku.“Kok gak tidur di dalam, Nak?”“Tadi Ruby gak capek,” ucap Ruby sambil sesekali mengucek matanya.Aku pun mengusap punggung Ruby pelan sambil menggerak-gerakkan badanku pelan agar Ruby bisa nyaman dan tertidur.Kulihat Jaden yang kini sedang memainkan ponsel di tangannya.“Jed, kamu lihat Tante Diani?”
Sejak pertengkarannya dengan Lian semalam dan kenyataan yang mengarah bahwa istrinya pasti sedang salah paham dengannya. Samudera tak bisa tidur barang sedetik saja. Otaknya mencari kemungkinan dimana istrinya berada.Hingga ia mengarahkan semua orang kepercayaannya untuk mencari Diani seluruh sudut kota ini. Ia yakin bahwa Diani tak mungkin bergerak jauh dari kota tempat mereka tinggal saat ini.Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi saat Samudera tiba di apartemen milik Diani. Informannya memang mengatakan bahwa Diani memiliki apartemen kecil di salah satu sudut kota metropolitan itu. Tapi mereka tak yakin Diani ada disana.Samudera ingin memastikannya sendiri dengan mendatangi apartemen itu. Ia benar-benar tak bisa hanya duduk santai sebelum turun tangan mencari dimana keberadaan Diani.
“Fatma?”Gadis berpakaian rapi itu segera menghentikan langkahnya saat mendengar namanya disebut. Matanya tapi bisa menutupi keterkejutannya atas kedatangan Samudera ke kantor lama Diani itu.“Ya? Pak Samudera ya?” tanya Fatma yang mencoba meyakinkan diri bahwa yang dilihatnya memang benar Samudera.“Iya. Boleh saya minta waktu sebentar?”Fatma mengangguk ragu pada pria yang nampak kusut di hadapannya. Meskipun begitu, ketampanan Samudera bahkan tak berkurang sedikitpun.Fatma mengumpati dirinya sendiri karena memuja suami bos kesayangannya. Tapi, sungguh demi apapun. Ketampanan Samudera bahkan tak dilewatkan oleh semua orang yang baru saja selesai makan siang dan melewati lobby tempa
Diani telah sampai di salah satu kota di timur Indonesia. Setelah menaiki kapal selama kurang lebih empat hari, Diani sudah sampai di kota Ternate. Matanya menatap kosong pemandangan indah dengan deretan pulau-pulau berjajar di hadapannya.Matanya beralih pada ponselnya yang sepertinya sudah bergetar dari beberapa waktu lalu.“Halo, Pa.”“Kamu sudah sampai, Di?” suara berat milik Papa mertuanya membuat Diani rindu kepada kedua orang tua yang baru saja ia rasakan kembali kehadirannya.“Diani baru sampai, Pa.”“Kamu harus pindah ke kapal yang lebih kecil nanti. Papa yakin gak ada orang-orang Samudera disana. nanti Biar orang Papa
“Apa yang Nona mau?”Diani menelan cepat makanan yang berada di mulutnya. Ia tak menyangka bahwa mereka mau mendengarkan permintaan Diani.“Saya cuma mau kalian antar sampai pelabuhan seberang aja. Setelahnya, saya mau ke rumah Tante saya sendiri tanpa diantar dengan kalian. Kalian boleh tetap mengikuti saya, tapi jaga jarak sampai saya merasa tidak diikuti. Bisa?”“Lalu dari pelabuhan ke tempat Ibu Sita, Nona mau naik apa?” tanya salah satu penjaga yang raut mukanya terlihat datar, namun hatinya sedikit cemas.“Saya yakin ada kendaraan lain yang bisa saya gunakan. Jangan khawatir, saya gak berniat kabur dari pantauan Papa dan Mama mertua saya. Lagipula permintaan saya mudahkan? Cukup ikuti perintah saya. Bisa k
Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud
Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic
Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku
Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga
Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum
Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m
Aku merasa keputusanku untuk bersekolah di Jogja sangatlah tepat. Aku bisa melihat Meira setiap Sabtu dan Minggu. Bahkan saat aku suntuk, aku hanya tinggal membeli tiket kereta untuk pergi ke Solo.Seperti Hari ini, aku menghubungi Meira untuk bertemu. Namun, kali ini Meira ingin dirinya lah yang berangkat ke Jogja. Katanya ia ingin mencari suasana lain. Aku pun setuju dengan permintaan Meira.Aku menjemputnya di stasiun yogyakarta, biasanya disebut stasiun tugu. Aku menunggu di atas motor matic yang aku beli sendiri dari hasil keuntungan bengkel. Daripada memarkirkan motorku. Aku lebih memilih untuk menunggu di depan stasiun.Lima belas menit berlalu, aku melihat gadis mungil berlari kecil ke arahku. Rambut hitam legamnya bergerak mengikuti langah kakinya. Aku selalu tersenyum melihat tingakhnya yang menggemaskan.Dia nampak terengah saat sampai di hadapanku. Peluh terlihat membanjiri dahinya."Makanya gak usah lari-lari. Ngapain sih lari-lari segala? Aku kan tetep di sini. Aku gak m
Aku menjalani masa terakhirku disekolah dengan menyenangkan. Meira yang jauh di sana membuatku bisa fokus mengurus bengkel dan ujian akhir sekolah. Walaupun kami jauh, tak ada hari tanpa kami mengabari satu sama lain. Aku meneleponnya saat malam hari dan saling bertukar cerita tentang bagaimana hari kami berlangsung. Meski hubungan kami sedekat ini, nyatanya aku dan Meira tak berniat untuk memperjelas hubungan kami. Aku pikir, dekat saja sudah cukup untuk kami. Dengan saling mengabari dan menjaga hati masing-masing, kami bertekad untuk bersama. AKu mengasumsikan bahwa hubunganku bisa disebut hubungan pacaran. Malam ini aku sudah berada di depan komputer dengan headset yang terpasang. Dengan cepat aku mengklik beberapa bagian, hingga muncul nama Meira di komputerku. Lama aku menunggu, Meira tak kunjung menjawab teleponku. Kemana dia? Ketika sambungan terputus, aku mencoba untuk menghubungi Meira melalui sambungan telepon. Tersambung, tapi Meira tidak mengangkatnya. Baru pertama kal
Mama membawa seorang laki-laki yang nampaknya umurnya tak jauh dariku. Disampingnya ada seorang gadis muda yang masih aku tebak-tebak. Apakah dia Lila? Gadis kecil yang pernah aku temui dengan pipi tembamnya.Jika benar dia adalah Alila, sungguh ia berbeda sekali dengan gadis kecil yang aku kenal dulu. Gadis kecil pemberani yang selalu mengangkat dagunya dengan binar cerah terpancar dari matanya."Ini namanya Dimas, dia yang akan jaga rumah kita setiap hari karena rupanya dia mau pulang pergi dari kota kemari. Dekat katanya."Setelah mengatakan itu, Ibu kemudian berdiri di seberang Gadis yang semenjak kedatangannya hanya menatap lantai rumah kami."Ini Abang, pasti kenal. Dulu beberapa kali main bareng kan? Ini Lila Bang!" ucap Ibu dengan mata berbinar.Aku menjabat tangan DImas lalu beralih pada Lila. Gadis itu nampaknya ragu-ragu untuk menyambut tanganku. Entah mengapa jiwa jahilku muncul. Dengan cepat aku meraih lebih dahulu tangan Lila.Lila nampaknya terkejut dan langsung menatap