"Pak! Jadi bapak sudah menikah?" Andri langsung bertanya sama Raja setelah Alya menjauh. "Aku belum nikah, Ndri," ujar Raja mantap. "Tapi anak tadi manggil Bapak, papa. Bapak nggak lagi bohong kan?" Raja menarik napasnya berusaha tenang, setelah tadi mendengar kata-kata Alya yang membuat hatinya sedikit tersinggung. "Dia keponakan aku. Ibunya adalah adikku, namanya Khadijah. Syena memanggilku papa,karena sudah terbiasa. Bahkan kami datang kesini pun dengan suaminya," terang Raja. Lalu tak lama, seorang lelaki dengan perawakan tidak jauh beda dengan Raja datang menghampiri. "Ja, kemana mereka?" tanya lelaki itu."Nah, ini suaminya. Kenalkan Ndri, ini Farhat adik iparku, papanya Syena. Hat, kenalkan teman aku." Raja mengenalkan keduanya. Farhat langsung mengulurkan tangan yang disambut oleh Andri. "Farhat." "Andri." "Syena mana, Ja?" ulangnya bertanya keberadaan anaknya. "Beli es krim. Kamu susul mereka saja. Ada yang harus aku luruskan dengan temanku," ujar Raja yang diikuti
Cahaya terus melangkah ke luar dari tempat perbelanjaan tersebut, rasa sakit di hatinya membuat Cahaya melupakan dengan siapa tadi dia datang. Kakinya berderap tergesa, takut kehadirannya tadi disadari oleh Raja dan laki-laki itu menyusulnya. Begitu sampai di tepi jalan raya, Cahaya menyebrangi jalan. Dia butuh tempat nyaman untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh karena rasa kecewa dan juga ... cemburu. Angkot yang ditunggu tiba, Cahaya segera naik. Dia melihat kembali ke arah supermarket, entah mengapa dia berharap Raja datang berlari menyusulnya. 'Jangan gila, Cahaya!' Cahaya menggeleng, menatap kosong kedepan begitu bokongnya sudah dengan nyaman di kursi penumpang. Beberapa penumpang melihatnya sekilas, saat Cahaya menundukkan kepala menyembunyikan kesedihan yang mendera jiwa. 'A Raja!' Mata Cahaya memanas, saat bayangan kebersamaan keluarga kecil Raja berkelebat. Sikap manis dan perhatian yang ditunjukkan oleh Raja pada gadis kecil itu, sangat mengganggunya. Apalagi saat
Raja terus mencoba menelepon Cahaya. Setelah mendengar dari Andri kalau dia pergi bersama Alya dan Cahaya, Raja yakin kalau sosok yang dilihatnya saat memilih susu hamil untuk adiknya adalah Cahaya. Raja juga meyakini, kalau Cahaya pasti sudah salah paham dengan semua yang dilihatnya.'Shit! Ayolah, Sayang ... angkat telepon aku! Shit!' Raja mengumpat untuk yang kesekian kalinya, saat panggilannya tidak ditanggapi oleh Cahaya. Sedikit tergesa, Raja berlari menuju ke parkiran, melajukan mobilnya ke tempat kost Cahaya. Sesampainya di tempat kost Cahaya, Raja langsung mencoba bertanya pada dua orang wanita yang tengah berbincang di depan teras kosan. "Maaf, mau tanya. Kosan Cahaya yang mana, ya?" tanya Raja yang membuat kedua orang itu menatapnya."Oh, teh Aya. Yang ini, A. Tapi kayaknya lagi keluar deh, tadi pergi sama temennya, Teh Alya," jawab salah seorang dari mereka, sambil menunjuk ke salah satu pintu yang di depannya terlihat tulisan dalam tulisan Korea.Raja mengalihkan panda
Tak berselang lama Cahaya datang, dengan Linda dan Dewi yang masih ada di depan kosan mereka. "Ah, Teh Aya telat datangnya," kata Linda saat melihat Cahaya datang yang diangguki oleh Dewi, Cahaya menautkan kedua alisnya tanda tak mengerti apa maksud Linda. "Telat gimana maksudnya?" "Ah, Teh Aya nggak asyik. Punya calon suami ganteng gitu diam-diam aja. Udah gitu kerjanya barengan lagi," timpal Dewi sambil menaik turunkan alisnya menggoda Cahaya. Cahaya semakin tak mengerti arah pembicaraan kedua temannya. "Calon suami? Siapa maksudnya? Kalian ada-ada aja deh, kaliankan tahu sendiri kalau aku nggak punya pacar." "Ih, diambil orang tahu rasa deh. Punya calon suami cakep nggak diakuin. Itu loh, Teh, pak Raja. Barusan dia kesini, malah nungguin Teteh sampe satu jam. Emang Teteh habis dari mana sih sama teh Alya?" Deg! 'Raja datang kesini dan bilang dia calon suami aku? Apa maksudnya? Sedangkan tadi dia bareng istri dan anaknya di Supermarket.' Batin Cahaya. "Aa Raja ke sini?
"Antar kamu? Kemana?" tanya Raja jelas heran dengan permintaan kekasihnya. "Kalau tidak bisa, tidak apa apa, aku bisa pergi pakai ojeg!" Linda dan Dewi yang mendengarkan percakapan Cahaya dan seseorang yang mereka sangka Raja, saling pandang tak mengerti. Apalagi melihat Cahaya yang tampak memendam amarah pada lawan bicaranya, mereka yakin kalau Cahaya sedang ada masalah dengan Raja. "Jangan! Kamu bilang sekarang posisinya, aku jemput!" pekikan Raja terdengar di telinga Cahaya, yang masih sangat kecewa dengan kenyataan tentang Raja. "Aku di kosan." Cahaya menjawab dengan malas, andai tidak butuh bantuan Raja untuk pulang ke desanya malam ini, dia akan tetap memilih menghindari Raja. "Apa? Tapi aku baru sa--" Cahaya memutuskan panggilan begitu saja, membiarkan Raja menggeram kesal karena terpotong perkataannya. Raja yang memang belum jauh meninggalkan daerah tempat kost Cahaya, langsung berputar arah balik. Dia merasa heran, bagaimana bisa Cahaya ada di tempat kosnya? Sedan
Raja yang mendengar hempasan napas kasar Cahaya menoleh, menatap pada ponsel Cahaya yang kehabisan daya. Mengerti dengan keadaan yang tengah dihadapi Cahaya, Raja mengambil ponselnya, dan menyerahkan pada Cahaya. "Pakai ini!" "Tidak perlu. Nanti saja!" Raja tersenyum tipis, merasa lucu dengan sikap Cahaya yang menurutnya menggemaskan. "Jangan percaya dengan apa yang dilihat mata, sebelum mendengar apa penjelasan di balik itu semua. Pakailah hp-ku ... biar kamu tenang setelah mendengar kondisi ambu." Raja mencoba memberikan penjelasan walau tidak sejelas yang ingin dia sampaikan. Cahaya mendesah pasrah, dia memang butuh informasi tentang keadaan ibunya, dan hanya ponsel Rajalah jawaban dari rasa khawatirnya. Dia menoleh menatap ponsel Raja yang terulur di depannya, dengan malas diambilnya ponsel pintar yang Cahaya tahu harganya jauh lebih mahal dari ponsel miliknya. Raja tersenyum penuh kemenangan, dia merasa gemas melihat Cahaya yang terlihat kesal padanya. Cahaya menatap
Cahaya merasakan hatinya berdesir sakit saat Raja menyebut nama istrinya. Ya, Khadi ... seseorang yang menelepon Raja saat mereka bersama tadi sore--bahkan kata cinta dan kecupan pun Raja berikan tadi pada wanita itu, namanya Khadi. Begitu nama yang disebut Raja. "Oh, selamat!" suara Cahaya terdengar bergetar. Ternyata benar apa kata Alya, mengetahui Raja sudah menikah, sangat membuatnya terluka. Dia ... terluka. Sangat. "Katakan itu langsung pada Khadi, saat kamu melihat bayinya nanti." Raja semakin membuat hati Cahaya meradang. "Tentu." Cahaya menjawab masam. "Ya, itu lebih baik, jadi kalian bisa kenal lebih dekat." Raja semakin semangat menggoda. "Maksudnya?" "Iya, supaya nanti kalian bisa akrab saat harus bertemu dalam satu rumah." "Apa? Apa Aa akan berniat menikah lagi dan menjadikan aku istri kedua? Begitu?" Raja menggeleng, Cahaya semakin jauh berpikir. "Ini kita terus kemana?" tanya Raja saat mereka sampai dipertigaan jalan. "Ambil arah kiri. Aku tidak mau meni
Sementara itu, Hadi dan Binar yang tengah menemani Rosita--ibu Cahaya-- bersama dua orang kerabatnya yang lain berbincang di luar kamar rawat. Membicarakan kronologis kecelakaan, yang menyebabkan Rosita terluka cukup parah di beberapa bagian tubuhnya. Beruntung tidak ada yang retak atau patah, padahal motor yang menabraknya cukup telak menghantam tubuh Rosita yang tengah menyeberang jalan. "Untung si Ita cuman luka-luka aja, Di. Kata yang melihat di lokasi kejadian, motornya kenceng banget. Si Ita juga kurang teliti pas mau nyebrang. Sambil ngobrol terus sama ceu Yoyoh yang ada di sebrang jalan," tutur kerabatnya sambil melepaskan kepulan asap dari mulutnya. "Namanya juga kecelakaan, Kang. Pastinya karena kurang waspada. Alhamdulillah cuma luka seperti itu," kata Hadi menerima keadaan yang menimpa istrinya dengan ikhlas, sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang harus dijalani. "Iya, sih. Itu si Aya mau datang? Kenapa nggak besok aja dikasih tahunya? Kasihan malam-malam gini nai
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe