Bujang mengayun kapaknya dengan semangat. Membuat kayu besar yang sudah dipotong itu tebelah dalam satu kali terjang. Peluh yang menetes membasahi tubuh Bujang membuat kulitnya yang sawo matang mengkilap ditimpa cahaya matahari pagi.
Lengan berotot keras, perut kotak-kotak yang terbentuk secara alami karena sering melakukan pekerjaan kasar dan mengangkat beban berat.
Bujang memisahkan kayu yang sudah terbelah dengan tempat yang berbeda. Kayu itu harus dibentuk lagi sebelum dijadikan kayu bakar.
Katakanlah Bujang kolot, memang, disaat orang memakai gas untuk memasak, dia malah mengandalkan tungku andalannya. Bukan dia tak memiliki uang, hanya saja pria yang kerap digelari Bujang lapuk itu merasa tak perlu membeli perabotan atau pun pecah belah. Bujang meletakkan kapaknya, lalu duduk di kayu yang masih utuh untuk menyalakan rokok.
Asal rokok mengepul dari bibir gelap itu, sementara keringat membasahi rambutnya, mengalir ke pelipisnya.
"Seharusnya cari istri saja," kata seorang laki-laki yang sudah memiliki rambut bawarna abu-abu. Kekehan mengejek itu sudah biasa bagi Bujang.
Bujang mendengus.
"Siapa yang mau denganku, gadis zaman sekarang lebih memilih pria kota dari pada laki-laki yang hidup di tengah hutan.""Ah, kau benar, mungkin kau perlu menunggu wanita ajaib yang menyasar ke sini, seperti film-film."
"Dari tadi kau bicara saja, ayo bantu aku memasukkan perabot pesanan Abang Sholeh."
"Tunggu dulu, Kopiku belum habis."
"Dua menit lagi kalau kau tak bergerak, aku takkan mengeluarkan upahmu hari ini."
"Aku tau kau kejam." Pria yang sudah berumur itu terpaksa bangkit.
"Apa mejanya bisa diantar sekarang?" Suara halus nan merdu, mengalun berhasil menghentikan gerakan pria yang berbeda usia itu.
"Jang! Wanita kesasar!" kata pria itu pada Bujang. Dan Bujang kembali mendengus.
***
"Mana barangnya?"
Bujang berjalan menuju gudang, perabot disimpan di sana. Wanita itu mengekorinya sambil mengamati sekeliling, lalu tersenyum kecil saat Luqman teman Bujang mengangguk padanya. Senyuman menggoda.
"Ini dia," kata Bujang menunjukkan sebuah meja yang baru saja diberi cat pernis.
"Loh? Kok begini, Bang? Saya mintanya bukan begini, saya minta mejanya agak tinggi karena mau dipakai buat meja belajar saya." Wanita cantik berambut panjang dan ikal itu menatap kurang puas.
"Siapa namamu?" tanya Bujang, wanita ini masih muda, sekitar dua puluhan.
"Saya Keke."
"Anak Pak Iwan, kan?" tanya Bujang sambil melihat catatan bon di tangannya.
"Iya,"
"Beberapa hari yang lalu, ayahmu yang ke sini, saya membuat sesuai pesanan ayahmu. Kalau yang datang hari itu kamu, tentu saya buatkan seperti yang kamu mau."
Wanita muda itu, tampak belum puas dengan jawaban Bujang. Dia bahkan terlihat tak berminat pada meja yang dipesan oleh ayahnya.
Bujang menanti tanggapan dari gadis berkemah kotak-kotak dan memakai celana jins selutut itu. Sepatu kets putihnya sudah kotor terkena tanah.
"Terus gimana ini? Barangnya mau diantar langsung atau diperbaiki dulu?" tanya Bujang.
"Antar yang ini dulu! Nanti buatkan lagi yang baru sesuai yang saya mau," jawab Keke menyerah, padahal dia sudah mengatakan berulangkali pada ayahnya, bahwa dia mau meja belajar, yang ukurannya sesuai dengan posturnya yang tinggi semampai, ini malah mirip meja belajar anak TK. Padahal dia belum memiliki keponakan, kakaknya saja belum punya anak sampai saat ini.
"Baiklah! Kamu mau meja yang seperti apa?"
"Tunggu!" Keke mengeluarkan smartphone-nya. "Aduh, nggak ada jaringan lagi, di sini," keluhnya.
"Pokoknya sepeti meja belajar pada umumnya, tapi bikinin agak tinggi."
"Baiklah!"
"Uangnya saya kasih setelah barang sampai di rumah, ya, Bang." Keke berjalan menuju motor matic-nya. Gadis cantik itu memasang helm, dan menyalakan benda itu.
"Rumah kamu yang mana?"
"Abang ikuti saya saja!" jawab gadis itu melakukan motornya lebih dulu.
"Ahay, rejeki nomplok, mengekori gadis cantik, mudah-mudahan kalian berjodoh," goda Luqman.
Bujang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Gadis kecil itu tidak mungkin jadi jodohku."
"Bukan kecil, tapi kau yang ketuaan, dua tahun lagi sudah empat puluh."
Bujang tak ambil pusing ocehan Luqman, mobil pick-up yang dipenuhi beberapa barang itu melaju mengikuti Keke.
Dulu Bujang memang ingin menikah, menikah dengan gadis desa yang pintar memasak. Sayangnya beberapa kali meminang, selalu ditolak karena dia bukan orang kantoran. Lagi pula siapa yang mau diajak tinggal di atas perbukitan yang lumayan terpencil dari keramaian.
Bagi Bujang, sosok istri ideal tak perlu cantik, yang penting santun dan pandai mengurus keluarga. Namun, keinginan untuk menikah itu sudah berhenti sejak tiga tahun terakhir, dia mulai berhenti berharap. Mungkin takdirnya hidup sendiri.
Bujang mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang diletakkan di bahunya. Jalan yang dilalui menurun dan dipenuhi kerikil, tapi tubuh langsing yang tak begitu jauh jaraknya dari mobil Pick-up, begitu lihai membawa motornya. Bujang sampai berpikir, gadis bergaya kota ini kenapa repot-repot menemuinya untuk menanyakan meja pesanan ayahnya.
***
Rumah Keke atau rumah Pak Iwan terletak di desa seberang, sebuah rumah sederhana yang beratap genteng dengan bangunan semi permanen.
Pak Iwan menyambut Bujang dan membantu pria itu menurunkan meja pesanannya.
"Ayah, maksud Keke, bukan begitu model mejanya." Keke tak sanggup menyembunyikan raut kesalnya.
"Loh, kan ini meja belajar juga, bedanya kalau menggunakannya, kau harus duduk lesehan."
"Mana ada meja belajar lesehan, Ayah."
"Lha? Ini buktinya ada kok."
"Terserah ayahlah, yang jelas aku pesan satu lagi sama Abang itu."
Keke berlalu dan masuk ke dalam rumah.
"Harap maklum, dia walaupun sudah berumur dua puluh dua tahun, tapi masih sepertu anak-anak."
"Iya, tidak apa-apa."
"Kau tak bertanya?" kata Pak Iwan.
"Menanyakan apa?"
"Anakku, bukannya ini pertama kali kalian berjumpa?"
"Pernah dulu, saat dia masih SD."
"Oh, dia cantik tidak?"
Bujang berhenti mengikat barang yang tersisa. Lalu memandang Pak Iwan sekilas.
"Cantik."
"Kau suka?" goda Pak Iwan lagi.
Bujang tertawa kecil.
"Jangan meledek saya, Pak! Keke lebih cocok jadi keponakan saya."
"Mau tidak aku jodohkan kau dengannya?"
"Permasalahannya, mau tidak Keke dijodohkan dengan saya? Jawabannya seratus persen tidak. Sudahlah, Pak Iwan, anak kok dijadikan candaan."
Bujang naik ke kursi kemudi.
"Ya sudah! Ini uangnya. Pesanan Keke berapa lama bisa diantar? Jangan tunggu dia mengamuk dulu, kau tak punya hp untuk dihubungi."
"Kali ini saya akan tepat waktu, tiga hari lagi."
"Baiklah, aku tunggu!" Jawab Pak Iwan ramah.
Keke masih dalam mode bad mood, bahkan gadis itu mengurung diri di kamarnya saat makan malam.Keke, sengaja pulang kampung karena proses sidang skripsinya telah selesai. Dia hanya tinggal menunggu jadwal wisuda yang akan dilangsungkan setelah lebaran. Selain itu, dia juga tengah mengobati hatinya yang patah.Putus cinta begitu menyesakkan, dia dan Kevin telah berpacaran selama tiga tahun, suka duka bersama dan selama ini Keke begitu setia padanya.Awalnya Keke mengingkari firasatnya sendiri. Tepatnya setelah masa KKN berlalu, Kevin mulai menampakkan perubahan, mereka jarang bertemu padahal berasal dari kampus yang sama. Kevin selalu saja punya alasan untuk menghindarinya. Namun, dua Minggu lalu, laki-laki itu menyerah dan memilih mengakhiri hubungan mereka."Ke, aku yang salah di sini, aku yang berselingkuh, kau wanita yang sangat baik, sangat sempurna, jadi aku tak berhak mendapatka
"Sekalian bantu angkat, Bang! Ayah tidak di rumah.""Di taruh di mana?""Di kamar saya," jawab Keke masuk lebih dulu, ibunya pergi kondangan, dan sang ayah belum balik dari pasar setelah pergi tadi pagi membawa buah pinang untuk dijual."Tidak apa-apa aku masuk?" tanya Bujang ragu, dia mengantar barang sendiri, sementara Luqman menjaga gudang."Terus, mejanya mau ditaruh di sini aja, gitu?" sahut Keke agak kesal."Baiklah," jawab Bujang menyerah. Dia mengikuti Keke masuk ke dalam rumah. Bukan apa-apa, Bujang hanya menjaga adab agar tak menjadi gunjingan tetangga. Bukan dia tertarik pada gadis itu, namun dia adalah orang Melayu yang selalu diajari adab, termasuk ketika masuk ke rumah orang."Aku taruh di sini saja, ya, Ke. Nggak enak masuk kamar," kata Bujang meletakkan meja itu di ruang tamu, tepat di sudut ruang tamu Keke.Keke menatap Bujang, sedikit kesal. Menurutnya Bujang tak hanya kolot namanya, tapi kolot pemikirannya. Menurutn
Dengan terpaksa, motor Keke ditinggal di rumah Bujang. Pria itu mengeluarkan motor tuanya, yang entah taun berapa keluarannya, yang jelas menurut Keke motor itu lebih butut dari pengertian butut itu sendiri.Keke tidak yakin akan mendaratkan pantatnya di sana, karena tempat duduknya hampir dipenuhi oleh Bujang, tinggal sedikit."Tidak ada motor yang lain, Bang?" Keke terpaksa mengeluarkan unek-uneknya. Dia yakin, sebentar lagi waktu Maghrib akan habis."Hanya ini, Ke," sahut Bujang, dia sudah bersiap-siap menyalakan motornya, tapi melihat keraguan Keke, Bujang membatalkan niatnya."Jadi bagaimana? Apa tunggu Pak Iwan jemput kamu?""Nggak mungkin dijemput, Bang. Ini satu-satunya motor di rumah.""Terus?""Ya, sudahlah! Antar saya saja.""Naiklah!" Bujang menyalakan motornya, dan Keke hanya bisa menghela nafas melihat asap hitam mengepul keluar dari dalam knalpot. Bunyinya pun, seperti bau kabel terbakar."Cepat, Ke! Benta
Keke pikir, cinta tak penting lagi, karena dia pernah merasa sangat bahagia, kemudian menderita setelahnya. Ditinggalkan Kevin memberi luka menganga yang membuatnya jera.Untuk itu, Keke menyerahkan urusan jodoh pada Sang Ayah, jika menurut ayahnya laki-laki itu baik, maka Keke akan menerima saja.Tapi Keke tak pernah menduga, dari sebanyak itu laki-laki yang masih lajang, kenapa malah pilihan ayahnya adalah Bujang? Cukup lama Keke berpikir, namun tak ada alasan kuat untuk membuat dia tertarik pada Bujang.Laki-laki itu memang baik, buktinya dia mengantar Keke pulang walaupun pada akhirnya mereka sama-sama berjalan kaki. Atau dia sangat menjaga adab seperti yang ayahnya bilang. Tapi, pernikahan tak hanya butuh laki-laki yang baik, banyak hal selain itu yang dibutuhkan Keke."Ke, bantuin ibu menata piring, tamu sudah mulai datang," kata Ibunya yang tiba-tiba muncul di pintu kamar, memang, hari ini adalah syukuran sunatan adiknya Bayu, dia baru duduk di kel
Bujang tak bertanya apa pun lagi, hanya deru mobil yang terdengar memecah kesunyian mereka.Keke berusaha untuk tetap meneguhkan hati agar dia tidak menangis, sungguh, semua ucapan Kevin sangat menyakiti harga dirinya. Pria itu menjalin kasih dengannya selama bertahun-tahun, kemudian memutuskannya secara sepihak karena mengakui perselingkuhannya. Lalu, dalam kurun waktu yang tak lama, dia datang lagi dan ingin kembali. Hei, apakah menurut Kevin hatinya terbuat dari batu? Susah payah dia mengobati lukanya sendiri, setelah dia yakin dia mulai bangkit, Kevin ingin mengorek luka yang sudah mengering itu dan menaburkan garam di atasnya."Bisa berhenti sebentar, Bang," kata Keke dengan suara serak, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Sebentar saja.Bujang menurut, dia menepikan mobil pick up-nya di tepi jalan desa.Keke menutup wajahnya, melepaskan tangisnya sendiri. Bahunya terguncang dan Bujang hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa dan berbua
"Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu."Ucapan Bujang terus terngiang-ngiang di kepala Keke. Begitu sederhana analisa Bujang, logikanya benar. Selama ini Kevin mengaku mencintainya, sampai-sampai Keke melakukan apa pun yang bisa membuat Kevin senang, mulai dari mengerjakan tugasnya, memasak untuknya, mencucikan bajunya, menyetrika pakaiannya, banyak lagi, semua hal dilakukannya untuk Kevin, kecuali sentuhan fisik.Kevin memang sering mengeluh tentang hubungan mereka yang dianggap seperti pacaran kolot, namun, Keke tetap dengan prinsipnya, tidak akan memberikan apa pun kepada laki-laki yang bukan suaminya.Setahun terakhir, Kevin mulai mendesak, Keke menawarkan pernikahan, tapi Kevin menolak dengan alasan pernikahan jauh dari tergetnya saat ini. Dan puncaknya, pria itu akhirnya berselingkuh.Keke tak pernah menyesali keputusannya, walaupun sakit, dia sadar putus dari
Keke sampai di rumah tepat saat azan Maghrib berkumandang. Seperti biasa, Bujang menolak singgah dan langsung putar arah ke arah bukit tempat tinggalnya selama ini.Ayah Keke menyambut anak gadisnya itu dengan raut cemas. Namun, dia melepaskan nafas lega saat anak gadisnya itu muncul di ambang pintu."Ke mana saja, Ke? Ayah sudah bilang pulangnya jam enam, ini sudah setengah tujuh. Mana temanmu itu?""Nggak tau, Yah. Mungkin udah kembali ke kota.""Siapa dia? Wajahmu berubah setelah kembali menemui temanmu itu.""Mantan pacar Keke, Yah.""Sudah jadi mantan, kan?" tanya Pak Iwan sambil menutup pintu."Iya," jawab Keke lesu."Syukurlah, ayah tak menyukainya, nggak punya sopan santun, tamu tadi mengeluh karena sikapnya yang sombong."Keke menjadi tertarik."Sombong?"
Bujang datang tepat waktu di rumah Pak Iwan. Sebuah mobil Toyota Anvanza telah terparkir manis di depan rumah Keke. Bujang yakin, inilah mobil yang akan dibawa ke acara Wisuda Keke di kota, tepatnya di Pekanbaru."Masuk, Bang!"Keke muncul, dia sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain songket, wajahnya sudah dipoles. Tapi bawaannya tidak bersemangat.Bujang masuk ke rumah, dia sendiri memakai baju batik, baju yang sama ketika acara sunatan Bayu adiknya Keke."Buatkan kopi, Bu!" Seru Pak Iwan."Iya," sahut ibu Keke."Tunggu bentar, tantenya Keke belum datang.""Ini yang membuat Keke kesal, Yah. Kita harus masuk aula jam delapan tepat, Tante Silvi ini tidak pernah berubah, lelet minta ampun." Keke mengomel, dia memakai sepatu tinggi tumit. Sesekali menggerutu karena tak nyaman dengan benda itu, dia terbiasa memakai sandal
Setelah melakukan berbagaipertimbangan, Amir kemudian menyerahkan dirinya kepada kepolisian dan mengaku semua kesalahannya. Pada hari itu juga, Alam diringkus oleh polisi dan mereka sama-sama masuk ke dalam sel tahanan.Di hari yang sama, pada hari itu juga Anne menghembuskan nafasnya terakhir di rumah sakit, setelah kecelakaan yang menyebabkannya kritis selama 2 hari. Sedangkan Hendrik masih dalam keadaan kritis. Peristiwa kecelakaan itu menjadi santapan para pencari berita, karena Anne adalah seorang yang dipandang di negri ini sebagai pebisnis muda yang sukses dan lahir dari keluarga kaya raya.Tak ada kejahatan yang tidak mendapatkan balasan. Mungkin Bujang tidak memiliki kemampuan untuk membalas karena dia kalah kekuatan dan kekuasaan. sehingga melakukan hukuman yang sangat besar kepadanya pada pagi itu televisi dipenuhi oleh berita tentang kematian wanita konglomerat yang memang namanya sudah dikenal sebagai wanita pebisnis yang sangat beruntung dalam mengelola semua bisnisnya
Keke menangis sesenggukan melihat keadaan Bujang yang sudah selesai melakukan operasi patah tulang. Anne bertingkah sebagai Dewi penyelamat, berhasil membuat semua orang percaya dengan bualannya, yang mengatakan bahwa dia adalah penyelamat Bujang, hanya Keke yang berusaha menahan geram pada wanita itu, tapi dia lebih memilih untuk bungkam saja, karena yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Bujang terlebih dulu."Maafkan Keke, karena telah berprasangka buruk kepada Abang. Ternyata apa yang Abang lakukan adalah mencari pekerjaan. Keke minta maaf, Keke sangat berdosa sudah berprasangka yang bukan-bukan pada Abang."Keke menangis penuh sesal, dia merasa seperti istri yang sangat durhaka, dengan musibah yang telah terjadi pada suaminya itu, seharusnya dia bersabar pada suaminya sedang berjuang mencari nafkah.Bujang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan, ada beberapa orang di sana termasuk Lukman, Ayah Keke beserta ibunya. Mereka sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada pria itu.
"Makanlah! abang-abang sudah 3 hari tidak makan, air saja takkan bisa membuat kita hidup, pikirkan istri dan anak-anak, sampai kapan Abang akan begini?" kata wanita berumur 40-an itu pada suaminya yang termangu di depan jendela. Pria yang dipanggil Abang itu adalah Amir menggeleng dengan wajah yang lesu. Dia sakit-sakitan dan tak memilki nafsu makan sama sekali, bahkan tiga hari ke belakang, dia sama sekali tak menyentuh nasi.Sejak aksi kejahatan itu, Amir sama sekali tidak bisa makan enak, hatinya diliputi rasa bersalah yang amat besar. Perasaan bersalah itu menggerogotinya siang dan malam dan membuat dia merasa ketakutan. Terbayang wajah Bujang yang sedih melihat semua harta bendanya sudah lenyap dilahap api."Aku tidak mau makan. Simpan saja!" katanya pada istrinya, matanya cekung dan pandangannya kosong. Sang istri yang kebingungan hanya bisa mengelus dada dengan tingkah suaminya itu.Sang istri, yang wajahnya begitu sedih kemudian mengusap air matanya. Suaminya terlihat begitu
Orang yang telah membuat Bujang celaka itu sudah pergi, sedangkan Bujang masih terkapar di tengah jalan dengan kondisi yang mengenaskan, pria itu terlihat sekarat. Pingsan, lalu sadar kembali, entah berapa lama dia kehilangan kesadarannya.Bujang tak meneteskan air mata, matanya menatap ke atas langit yang kelam. Di sana ... dia seolah-olah melihat ayah dan ibunya tengah melihat dirinya yang sangat malang. Bujang merasakan amat kesakitan di seluruh tubuhnya, apalagi bagian kakinya, dia yakin, tulang yang sudah patah. Siapa yang telah tega membuatnya seperti ini, dia bukanlah orang yang jahat, dia hanya pria penyendiri yang tak suka diusik dan tak pernah mengusik. Lalu, dengan kejamnya mereka melakukan ini padanya. Jika umurnya panjang, dia takkan memaafkan mereka. Bujang akan membalas dengan cara setimpal.Bujang terbayang wajah Keke dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Andaikan malam ini dia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, bagaimana nasib mereka semuanya? Siapa yang akan menafkah
Motor Honda melesat dengan kecepatan sedang, dia tidak menyadari, sejak tadi ada 4 orang dengan mobil pikap mengikutinya. 4 pria utusan Anne itu menyamar seolah-olah membawa barang di dalam mobil pick up, sehingga Bujang sama sekali tidak curiga.Di tempat lain, Keke tengah merasa sedih. Nabil terpaksa dirawat malam ini, sedangkan dua anaknya, Delia dan Delio hanya rawat jalan. Si kembar sudah dibawa oleh Ibu dan Ayah keke pulang ke rumah. Bayu sempat menemani Keke di rumah sakit, tapi anak itu besok harus bangun pagi-pagi untuk sekolah, Keke menyuruh Bayu pulang saja.Berulang kali gagal menelepon Bujang dan tidak diangkat. Kali ini tidak tersambung, sepertinya ponselnya mati atau sengaja dimatikan. Hal itu membuat Keke makin kesal.Nabil sudah tidur sejam yang lalu. Rasanya ingin marah, dia merasa Bujang sudah berbeda, Bujang yang sekarang lebih asik dengan dunianya sendiri. Dia sering termangu, bahkan sudah jarang berbicara dengan Keke."Kenapa Abang Bujang seperti ini?" kata Kek
"Terima kasih, Wak."Pria yang dipanggil Uwak itu menggangguk. Bujang pun mulai bekerja hari ini.Pria yang dipanggil Uwak itu melihat Bujang dengan tatapan sedih. Bujang adalah pria yang baik, terkenal sangat dermawan dan tidak pernah pandang bulu dalam menolong orang. Bujang bukan pria yang kesusahan, dia sudah terlahir sebagai anak tunggal yang kaya raya, cuma orang tuanya mengajarkan hidup sederhana. Pria itu malah menjadi anak buahnya sekarang, pria yang dulu yang mengajarkannya cara membuka usaha perabot, sekarang malah menjadi anak buahnya.Bersamaan dengan itu, Keke yang baru pulang mengajar dan belum merasakan istirahat merasa kebingungan. Delia Delio demam, sedangkan Nabil memang sudah demam sejak 2 hari yang lalu. "Ayo, kita bawa ke rumah sakit saja," kata ibunya yang juga khawatir dengan kondisi cucunya itu. "Kita tanya Bang Bujang dulu, Bu," jawab Keke, wanita itu kemudian mengeluarkan handphonenya dan menelepon Bujang beberapa kali, tapi Bujang sama sekali tidak menjaw
"Apa Ayah punya uang yang disimpan? Warung kita sudah lengang, barang mesti ditambah, bahkan tadi saat orang menanyakan sabun, satu pun sabun sudah tak ada," kata Ibu Keke meluapkan rasa gundahnya."Ayah tak punya uang simpanan, apa tak ada emas yang bisa dijual?"Ibu Keke menggeleng. "Dulu dia punya emas yang cukup banyak, dan itu sudah dijual untuk menguliahkan Keke. Ladang mereka pun tak lagi menghasilkan.Pak Iwan adalah suami yang sangat bijak, dia mengusap bahu istrinya dengan tujuan untuk menenangkan."Tidak apa-apa, Bu, semoga untuk kedepannya kita diberikan rezeki yang tidak kita sangka-sangka," katanya dengan begitu tenang. Ibu Keke mengangguk apa yang dikatakan oleh suaminya itu benar. Anak dan menantu mereka baru saja tertimpa musibah. Tak lagi memiliki pekerjaan dan tempat tinggal. Yang perlu mereka lakukan adalah bersabar dan mendoakan mereka.Tanpa Ayah dan Ibu Keke sadari ternyata Kiki sudah berada di balik tirai mendengarkan percakapan mereka. tak sengaja, saat Keke
"Papa masih ingat ketika aku menceritakan sebuah tanah yang sudah tawar dengan harga yang tinggi tapi pria itu tidak mau menjualnya? dan malah bersikukuh akan pertahankan tempat itu padahal posisinya sangat menghambat hotel yang akan aku bangun.""Oh, ya, Papa ingat tentang pria sombong yang kamu katakan tidak peduli dengan uang itu, kan?""Papa betul. Sebenarnya aku sudah berbaik hati mendekatinya dan memberikan beberapa penawaran yang mungkin untuk ukuran tanah itu, tidak mungkin hargai segitu, aku memberikan harga 10 miliar agar dia bisa menjual tanahnya, supaya bangunan Hotel tidak terhambat, karena posisi tanahnya yang menghalangi pandangan dan menjorok ke depan.""Lalu, bagaimana? Apakah pria itu berubah pikiran setelah ditawarkan harga yang begitu mahal?"Anne menggeleng dan tersenyum masam, rasanya membicarakan Bujang adalah pembicaraan yang sangat menyebalkan, mengingat bagaimana jengkelnya pria itu menyambutnya setiap dia datang ke sana."Apakah menurut Papa, aku jahat? Aku
Bujang pulang dengan wajah yang lesu, kemarin dia sudah mendapatkan pembeli, pembeli mengatakan akan membeli mobil itu jika kondisinya sehat. Bujang sudah berharap mobil itu terjual, tetapi ketika dia membawa mobil kesayangannya kepada pria itu, ternyata pria itu menawar dengan harga yang sangat murah, 60 juta. Bujang sangat tak rela menjual mobil semurah itu, padahal harganya bisa sampai 95 juta, mendapatkan pembeli profesional.Keke yang baru sampai di rumah penasaran dengan wajah kuyu Bujang."Ada apa, Bang? Kenapa mobilnya kembali dibawa pulang?"Bujang tidak langsung menyahut, pria itu duduk di atas bangku papan, menyandarkan kepalanya, gurat wajah yang begitu lelah dan begitu putus asa begitu kentara."Harga yang disepakati, tidak sama dengan harga jadi, dia cuma mampu membeli 60 juta padahal kemarin dia mau membeli sekitar 90, mungkin karena dia tahu kita terdesak uang, maka dia bertingkah."Keke menghela napas panjang, dia tahu dunia tidak mudah, seseorang akan mendekat ket