Tanpa terasa, mobil yang dikemudikan Ben akhirnya sampai juga ke tempat tujuan.
Ben membawa mobilnya masuk ke halaman vila yang pagarnya terbuka lebar. Pria itu kembali melirik Camelia dari kaca sentral sembari membuka sabuk pengaman. Kali ini Ben mendapati ekspresi sedikit gugup karena tegang di wajah Camelia.
"Santai saja. Toh mereka semua orang yang sama dengan yang kamu jumpai setiap hari di kampus." Ben mencoba menenangkan Camelia.
Gadis itu lantas menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. Ia melakukannya beberapa kali sampai ada sensasi menenangkan yang hadir dalam dirinya. Sesudahnya, Camelia tersenyum tipis lalu mengucap terima kasih pada Ben.
Rosaline dan Camelia pun melangkah bersisian memasuki vila.
Sementara Ben yang ada di belakang mereka, terlihat memperlambat langkah.
Rosaline menoleh pada Ben.
Dengan kode gerakan kepala, Rosaline dan Ben sailing berkomunikasi. Camelia mengangkat sepasang alisnya, merasa takjub dengan apa yang dilihatnya. Ben dan Rosaline terlihat sangat kompak. Berbeda jauh dengan dirinya dan Larry.
"Let's get it started!"
Bersama teriakan itu, suara hingar bingar karena musik yang diputar secara maksimal membuat Camelia segera menutup telinga.
Namun dengan cepat, Rosaline menurunkan kedua tangan Camelia. Gadis itu juga menggeleng cepat begitu Camelia melayangkan tatapan protes.
Camelia dan Rosaline melanjutkan langkah, semakin masuk ke dalam ruangan vila yang nyaris dipenuhi manusia.
Camelia tidak tahu, ke mana Rosaline akan membawanya. Namun, ketika ia menyadari perubahan langkah Rosaline setelah melihat sosok Larry, Camelia paham bahwa sedari tadi Rosaline mencari si tuan rumah, yakni Larry Brown.
"Terima kasih sudah mengundang kami, Larry." Suara manis Rosaline sudah cukup memberi tahu Camelia bahwa sahabatnya itu tertarik dengan Larry.
Namun, buddy Camelia itu hanya menanggapi basa-basi Rosaline dengan anggukan cepat.
Hanya saja, pandangan keduanya mendadak bertemu.
Camelia merasakan Larry tertegun sejenak ketika menatapnya.
"Kamu terlihat berbeda."
Deg!
Entah apa yang dimaksud Larry dengan mengatakan itu, memuji atau malah menyindir? Yang pasti Camelia langsung salah tingkah dibuatnya.
Demi menutupi rasa gugup yang kembali mendera, Camelia pamit untuk mencari minuman.
Berada di dekat Larry dan sesekali bertemu padang dengannya dalam situasi yang seharusnya santai justru membuat Camelia tegang dan tidak bisa rileks.
Dengan gelas berisi minuman di tangan, Camelia melangkah perlahan. Rasa penasarannya begitu besar untuk melihat-lihat keseluruhan vila.
Puas menjelajahi lantai satu yang menjadi lokasi pusat dari pesta Larry, Camelia berniat untuk naik ke lantai dua. Sebelum naik, Camelia segera menandaskan sisa minuman lalu meletakkan gelas kosongnya pada nampan yang dibawa pelayan.
Satu demi satu anak tangga disusuri Camelia.
Sesampainya di lantai atas, Camelia mengedarkan pandangannya.
Hanya saja, dia ragu untuk melanjutkan langkah kala melihat pintu-pintu di sana tertutup.
Namun, ketika ia akan menuju sayap kanan vila, Camelia terhenyak melihat adegan di depannya.
Seolah ada yang memberi aba-aba, seluruh pintu itu seketika terbuka.
Tampak beberapa pasangan muda-mudi keluar dari kamar. Rambut mereka berantakan. Pakaian mereka juga berantakan. Dan riasan di wajah para gadis itu juga berantakan...!
"Apa yang terjadi?" Camelia yang bingung pun bertanya pada dirinya sendiri.
Namun, pasangan muda-mudi itu berjalan melewati Camelia tanpa memedulikannya. Bahkan, ada yang masih asyik berciuman.
Camelia memejamkan matanya, merasa malu atas apa yang dilihatnya.
Dia pun segera menjauh. Namun, langkah Camelia terhenti di depan sebuah pintu yang tertutup. Ada nama Larry yang ditempel di pintu. Tanpa sadar, tangan Camelia terulur, menyentuh gagang pintu dan bermaksud membukanya.
"Itu kamarku."
Tetiba sebuah suara terdengar dari arah belakang Camelia.
Gadis itu sontak berjingkat sembari memegangi dadanya.
Namun begitu berbalik, Larry sudah berada di hadapannya.
Hanya saja, pemandangan di balik punggung Larry sukses menyedot fokus Camelia.
Dari pintu yang terbuka, Camelia dapat melihat seorang pemuda sedang menindih seorang pemudi yang sesekali mengerang di bawahnya. Mereka berdua tanpa busana. Detik berikutnya Camelia melihat si pemuda bergerak perlahan, membuat gerakan mendorong secara berirama yang mampu membuat si pemudi di bawahnya terentak.
"Ah... Faster!"
Deg!
“Ya Tuhan!” pekik Camelia seraya memalingkan muka.Tak sengaja, dia menubrukkan tubuhnya ke arah Larry. Mencoba mencari perlindungan pada dada bidang Larry yang wangi.
Di sisi lain, Larry yang belum mengetahui apa yang sebenarnya sudah dilihat Camelia, hanya bisa membalas dengan semakin merapatkan kepala Camelia pada dadanya.
“Ada apa?”
Pertanyaan itu menyadarkan Camelia.
Dengan wajah merah padam, Camelia mendongakkan wajahnya, menatap Larry yang masih memandangnya penuh tanya.
“Pesta apa yang kau adakan ini, Larry? Sungguh ini adalah pesta teraneh yang pernah kudatangi.”
“Apa maksudmu?” tanya Larry tidak mengerti.
Dengan dagunya, Camelia menunjuk ke arah kamar di seberangnya yang terbuka pintunya. Terdengar suara erangan dan desahan berat yang membuat wajah Camelia memerah. Larry langsung menoleh ke belakang. Sepasang alisnya langsung terangkat mendapati hal yang tidak asing baginya, namun ternyata membuat Camelia histeris.
Larry yang masih memeluk bahu Camelia, akhirnya ikut menonton. Sesekali laki-laki itu menelan ludah, sementara tangannya yang berada di bahu Camelia kini perlahan bergerak turun. Tanpa sadar Larry mengelus punggung Camelia.
“Kau mau?” tanya Larry masih terus mengelus punggung Camelia yang mendadak bergerak gelisah.
Sensasi sentuhan Larry terasa asing. Ia belum pernah merasakan ini.
“A-apa?”
Bukannya menjawab, Larry justru menunduk, memperhatikan wajah polos Camelia. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Di kamarku.”
Digandengnya tangan Camelia lalu mengajaknya masuk ke kamar yang tertulis namanya di pintu.
Begitu masuk, Larry langsung menyentuh kedua tangan Camelia. “Kamu tadi bertanya tentang pesta apa ini. Seperti inilah pesta yang biasa kuadakan di negaraku.”
“Mm, maksudku berhubungan intim?”
Larry mengangguk mengiyakan. Laki-laki itu kemudian tertawa melihat air muka Camelia yang menurutnya tampak jenaka.
“Karena aku juga melakukannya, Camelia,” imbuh Larry sambil mengarahkan tangannya ke depan dada Camelia.
Refleks, Camelia mundur menghindar. Kali ini Larry hanya tersenyum dan justru melangkah mendekati Camelia, mencoba mengikis jarak antara mereka berdua. “Kamu terlihat berbeda kali ini, meskipun masih sedikit monoton.”
“Bolehkah aku membuatmu terlihat sedikit tidak monoton?” ucap pria itu semakin agresif.
Camelia sontal merasakan lidahnya kelu sehingga ia tidak mampu menjawab pertanyaan Larry.
Kakinya bahkan melemas begitu tangan Larry menyentuh sebuah kancing kemejanya.
Untungnya, Larry dengan sigap menangkap tubuhnya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Buddy-nya itu.
Camelia cepat menggeleng mendengar pertanyaan Larry. Ia memang sedang tidak baik-baik saja. Larry pun berinisiatif menggendong Camelia untuk kemudian merebahkannya ke atas ranjang miliknya.
“Jangan, Larry.” Suara Camelia terdengar seperti rintihan. Larry pun urung menggendong Camelia.
“Kamu sudah merasa lebih baik? Boleh kulanjutkan?” tanya Larry hati-hati.
Entah setan apa yang merasuk, Camelia pun mengangguk meskipun hatinya ragu.
Larry tersenyum. Ia kemudian berjalan ke arah pintu lalu menguncinya.
“Kenapa dikunci?” Camelia merasa bodoh karena telah melontarkan pertanyaan seperti itu, tapi ia tidak peduli. Larry mengatakan bahwa ia tidak ingin diganggu ketika bersama Camelia.
“Memang apa yang akan kita lakukan?”
Seketika, Larry menatap ke dalam bola mata Camelia yang jernih. Betapa polosnya gadis di depannya ini. Jangan-jangan…. Buru-buru Larry menepis dugaannya sendiri.
“Aku sudah katakan tadi. Aku ingin membuatmu terlihat sedikit tidak monoton,” ulang Larry sambil kembali membawa tangannya menyentuh bagian depan kemeja Camelia. Sebuah kancing di posisi kedua dari atas menjadi sasaran jemari Larry.
Tidak butuh waktu lama untuk kancing itu lepas dari rumahnya. Larry kemudian menata bagian atas kemeja sehingga sedikit terbuka di bagian dada.
“Menurutku ini masih kurang. Aku buka satu kancing lagi ya?” tanya Larry yang lagi-lagi tetap beraksi meskipun Camelia belum memberi izin.
Kali ini bukaan di bagian dada Camelia semakin lebar dan rendah. Belahan dada Camelia pun kentara terlihat.
“Kurasa ini terlalu rendah. Pakaian dalamku sedikit terlihat,” ucap Camelia tidak percaya dengan pantulan dirinya di cermin. Itu seperti bukan dirinya. Itu seperti sosok lain yang menurutnya terlalu berani dan terlihat nakal.
“Larry, ini….” Camelia pun berbalik untuk melayangkan protes, namun gerakan Larry lebih cepat.
Dengan ganas, Larry menyasar dada Camelia yang mulus dan memberinya tanda kemerahan yang terlihat kontras.
“Bukankah lebih menarik melakukannya dibanding hanya melihatnya, Camelia?" ucap pria itu dengan sorot mata yang ... menggelap.
"Jangan, Larry!" pekik Camelia melarang Larry berbuat lebih jauh padanya. Dia berusaha menghimpun tenaga lalu menyalurkannya dalam bentuk sebuah dorongan kuat pada bagian dada Larry yang terkejut oleh dorongan cepat Camelia. Tak ayal, pria itu jatuh terjerembab juga. Kesempatan itu kemudian Camelia gunakan untuk lari, kabur, dari kamar Larry. Camelia ingin menangis, tapi ia mencoba menahannya sekuat tenaga. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menangis dan menjadi cengeng. Yang terpenting sekarang, Camelia harus segera keluar dari vila ini. Camelia lalu teringat Ben, tapi ia baru sadar jika ponselnya tertinggal di asrama. Entah karena kurang fokus atau apa, Camelia tidak sadar jika ada seorang pemuda yang tetiba muncul dari salah satu kamar kemudian menyambar tangannya cepat. "Ternyata kau cantik juga, Camelia," ujar pemuda itu dengan pandangan terarah pada bagian dada Camelia yang terbuka dan menampakkan tanda kemerahan. "Kau semakin seksi dengan jejak kemerahan itu." Da
Plak!Sebuah tamparan dari Camelia sukses mendarat di pipi kiri Larry. Pipinya memang sakit, tapi harga dirinya seperti terkoyak setelah ditampar Camelia.“Jangan menjadi pembohong dan pengecut, Camelia.” Kecam Larry sambil mengikis jarak antara dirinya dengan Camelia. Camelia mundur sambil menggeleng cepat. Ia khawatir Larry akan menggila sehingga tanpa ragu berbuat nekat.“Jangan bertindak bodoh, Larry. Kalau kamu melakukannya padaku, maka kamu tak ubahnya seperti pemuda jahat tadi.” Camelia mencoba menggiring logika berpikir Larry. Larry mengulum senyum. Ekspresi ketakutan Camelia membuatnya merasa di atas angin.“Berhenti bicara, Camelia. Berhentilah berdalih dan mencoba menggiring pikiranku. Sekarang, biarkan aku menyentuhmu, Camelia. Biarkan aku memilikimu malam ini.” Camelia langsung menggeleng. Ia tentu saja tidak mau dengan mudahnya menyerah pada Larry.“Kurasa kamu masih perawan.” Kalimat Larry sontak membuat sepasang netra cantik Camelia terbeliak. Atas dasar apa Larry bis
Larry mengangkat ujung dagu Camelia dengan jari telunjuknya yang masih menunduk. Begitu pandangan mereka bertemu, Larry langsung memberikan senyuman manis pada Camelia. "Tidak perlu malu," lirihnya, "ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua."Otak Camelia serasa dilumpuhkan oleh semua ucapan manis Larry. Nyatanya, Camelia justru mengangguk, mengiyakan semua perkataan Larry. Merasa yakin bahwa tidak akan ada lagi penolakan dari Camelia, Larry kemudian menggendong Camelia. Pekik tertahan sebagai reaksi terkejut Camelia dengan perlakuan Larry, kembali membuat Larry tersenyum. Larry melangkah ke arah ranjang besar miliknya. Dengan penuh kehati-hatian, Larry mendaratkan tubuh Camelia ke atas ranjang. “Buatlah dirimu senyaman mungkin, Camelia," ujar Larry sambil berdiri di sisi ranjang. “Bagaimana caranya menjadi nyaman di situasi seperti ini, Larry?" Jujur, Camelia bingung. Terlebih ia akan menyerahkan mahkotanya hanya karena balas budi. Camelia akan melepas keperawanan bukan ka
Camelia menggerakkan kepalanya ke samping kanan. Netranya langsung menangkap sosok Larry yang tidur dalam posisi tengkurap. Dengkuran halus yang tertangkap telinga Camelia membuat gadis itu tahu bahwa Larry tengah tertidur pulas. Camelia kemudian menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan. Ia ingat betul bahwa di atas nakas di sisi kiri ranjang terdapat jam beker. Mata Camelia sontak membeliak begitu mendapati kedua jarum jam hampir bersatu di angka dua belas. Hampir tengah malam dan Camelia belum kembali ke asrama. “Larry…,” Camelia mengguncang tubuh Larry perlahan. Sebenarnya ia enggan mengganggu tidur Larry, tapi ia butuh pakaian agar bisa pulang ke asrama. Tepat setelah Camelia mengguncang tubuh Larry lebih keras, rasa sakit langsung mendera Camelia. Rasa sakit yang terpusat di bagian bawah tubuhnya. Tepatnya di bagian kewanitaannya. Camelia refleks menjerit karena rasa sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Camelia membekap mulutnya dengan tel
“Apa yang kamu lakukan pada Camelia?” Larry yang baru saja duduk dan memesan minuman, tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Tanpa menunggu detik berlalu, Larry langsung menoleh ke arah sumber suara. Suara orang itu terdengar tidak asing sehingga Larry bisa dengan mudah menebaknya. Meskipun pencahayaan di bar ini sangat minim, Larry tetap bisa dengan tepat menepuk pundak Ben yang duduk di sampingnya. Sambil menunggu bartender menyodorkan minuman yang dipesannya, Larry meresapi pertanyaan yang baru saja dilontarkan Ben. Satu pertanyaan besar langsung terlintas di kepala Larry, apakah Ben mengetahui semua yang dilakukannya pada Camelia?Larry masih belum juga menjawab Ben. Ia lebih memilih memandangi sosok Ben yang masih belum mengubah posisi duduknya. Larry tidak terkejut atau heran dengan kehadiran Ben di bar ini. Bar ini adalah bar yang sering ia dan Ben kunjungi. Larry dan Ben yang sama-sama menyukai minuman beralkohol, sepakat untuk menahbiskan bar ini sebagai bar terbaik. T
Larry mendatangi kamar Camelia, bermaksud untuk menjenguk gadis itu. Larry mendengar dari Rosaline bahwa Camelia tidak hadir di kelas pada jam pertama. Larry tersenyum ketika mendapati pintu kamar Camelia tidak terkunci. Dengan cepat Larry membuka pintu lalu masuk. Setelahnya, Larry mengunci pintu yang buru-buru ditutupnya hingga meninggalkan suara yang sedikit keras. Camelia terlonjak mendengar suara pintu yang menutup cukup keras. Terlebih ketika melihat sosok Larry berdiri di depan pintu, menatapnya dengan wajah teduh sehingga Camelia yang sedang tiduran berusaha untuk bangun.“Tidak perlu bangun,” larang Larry yang segera melangkah mendekati ranjang Camelia. Camelia menurut. Ia kembali merebahkan kepalanya ke atas bantal. Larry duduk di dekat perut Camelia. Pandangan lak-laki itu kemudian memindai seluruh tubuh Camelia. Camelia yang risih dipandangi sedemikian rupa, perlahan menarik selimut
Camelia dan Larry saling pandang untuk beberapa saat. Mereka sama sekali tidak menduga jika Rosaline akan mendatangi kamar Camelia sekarang. Tak berapa lama, kembali terdengar ketukan di pintu. Kali ini terdengar suara Ben yang terdengar. Ben dan Rosaline sedang berada di depan kamar Camelia. Mungkin tujuan mereka sama seperti Larry, ingin menjenguk Camelia. Jadi sangat tidak mungkin jika Camelia tidak membuka pintu untuk dua orang tamunya yang lain.“Larry,” panggil Camelia yang bermaksud meminta solusi pada Larry. Bukannya langsung menjawab, Larry justru membelai wajah Camelia sambil jemarinya menyelipkan rambut Camelia ke belakang telinga.“Bukalah pintunya,” ujar Larry sambil beranjak dari tempat tidur Camelia. Camelia melempar tatapan tidak setuju. Membuka pintu di saat Larry ada di kamarnya sangat berisiko membuat Rosaline da
Camelia terperanjat begitu indera pendengarannya menangkap suara ketukan di pintu kamar. Sebelum beranjak dari kursinya, Camelia melihat jam dinding yang menggantung di salah satu dinding. Pukul tujuh malam. Siapa gerangan yang datang mengunjunginya malam-malam begini? Meskipun di luar sana, pukul tujuh bisa dibilang sore, tapi itu tentu saja berbeda dengan di asrama. Tidak mungkin Rosaline yang datang berkunjung. Pasalnya, mereka baru saja bertukar pesan via aplikasi perpesanan instan.“Nona Camelia, ini saya. Sopir Tuan Larry.” Kelegaan memenuhi rongga dada Camelia setelah mendengar suara dari balik pintu. Larry ternyata bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tanpa ragu, Camelia segera melangkah menuju pintu lalu membukanya. Tampak sopir Larry tersenyum ke arahnya sambil menyerahkan tas kertas yang sedari tadi ditentengnya. Sopir Larry mengatakan, jika Camelia ikut dengannya, maka Camelia harus memakai pemberian Larry yang ada di dalam tas. Camelia ingin bertanya apa isi tas yang diba
“Itu bukan keberuntungan, huh,” cibir Ben. Camelia tertawa. Ia bukannya tidak tahu bahwa Ben sedang marah, tapi tidak ada gunanya juga marah, bukan. Semua sudah terjadi dan menyesal sudah sangat terlambat.“Aku memang sengaja memilih kata beruntung untuk menghibur diriku, Ben. Meskipun apa yang kamu pikirkan benar bahwa tidak ada keberuntungan seperti yang kualami.” Respons Camelia justru semakin membuat Ben sedih. Mereka berdua kemudian memilih untuk menikmati pesanan mereka, es kopi dan roti isi. Ben sesekali melirik Camelia. Gadis itu memakan roti isinya dengan lahap. Camelia menghabiskan roti isinya sebelum Ben. Ben menduga Camelia belum makan sedari pagi.“Kamu lapar?” tanya Ben sambil menyedot es kopi miliknya. Camelia mengangguk tanpa ragu. Gadis itu kemudian tersipu malu karena terlalu cepat menghabiskan roti isi.“Kamu tidak sarapan di hotel tadi?” tanya Ben lagi. Camelia menggeleng. Sebenarnya ia kelaparan, tapi selera makannya langsung hilang setelah insiden Larry memberiny
Ben melihat Camelia berlari menuju tangga. Sambil berusaha menjaga jarak, Ben membuntuti Camelia. Ternyata gadis itu menuju ruang kelas yang akan mereka tempati pada jam kuliah berikutnya. Ben menahan langkahnya, berusaha membuat dirinya tidak ketahuan. Begitu pintu ruang kelas tertutup. Ben segera mendekat. Di depan pintu, Ben memasang telinga, berusaha mendengarkan sekecil apapun suara yang berasal dari dalam ruang kelas.Ben mendengar suara isakan Camelia. Gadis itu menangis. Ben ingin segera menghambur masuk lalu menenangkan Camelia. Ia tidak tahu, kali ini apa lagi yang menimpa Camelia. Ben tadi hanya sempat melihat Camelia keluar dari kantin sambil berlari. Sebelum membuntuti Camelia, Ben melongok ke dalam kantin. Ada Larry dan Rosaline di sana. Mungkin mereka berdua yang menyebabkan Camelia menangis.Pintu dibuka Ben dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin mengejutkan Camelia. Ben tidak mendapati sosok Camelia setelah memindai seluruh ruangan. Kursi-kursi itu sepenuhnya koso
Camelia nelangsa. Ternyata Larry memperlakukannya sebagai wanita yang bisa dibeli. Apa yang tadi laki-laki itu katakan? Membeli rasa malu? Andai Larry mengklarifikasinya lebih dulu pada Camelia, maka Camelia dengan senang hati akan menjelaskannya.Terlepas dari rasa malu yang dikeluhkan Camelia, sebenarnya Camelia menginginkan perlakuan Larry yang berbeda padanya. Camelia pernah mendengar bahwa Larry tidak pernah menyentuh gadis-gadis yang ia kencani di apartemennya. Lalu sekarang? Ternyata Camelia sama saja dengan para gadis itu, sama-sama bukan yang teristimewa.Air mata Camelia menitik, tapi bibir gadis itu menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman miris. Camelia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata perasaannya yang dalam pada Larry tidak pernah terbaca oleh laki-laki itu."Kuharap itu cukup," imbuh Larry. Camelia cepat mengusap pipinya. Gadis itu mencoba menguatkan dirinya juga hatinya. Camelia mengamati Larry yang mengambil sepatunya. Larry duduk di single chair kemudian memasan
Camelia menoleh ke samping kirinya, ke arah Larry yang masih memperdengarkan dengkuran halus, pertanda laki-laki itu masih terlelap. Senyum di wajah Camelia pun terbit. Dalam hati, gadis itu tidak percaya bahwa ternyata Larry bisa kelelahan juga. Tadinya, sempat terlintas dalam benak Camelia kalau Larry mungkin saja mengonsumsi obat-obatan sebelum mereka berhubungan intim tadi, tapi dengan cepat pula dugaan itu ditepis Camelia.Tentu saja itu tidak mungkin karena Larry bukanlah tipikal laki-laki yang menyukai hal-hal instan. Menurut Larry—seperti yang diingat Camelia–mengonsumsi apa pun untuk mendapat manfaat secara instan dapat merusak tubuh. Waktu itu Camelia hanya menanggapi ucapan Larry dengan senyuman, merasa bahwa itu bukanlah hal yang besar, tapi setelah apa yang mereka lakukan tadi, Camelia jadi memuji prinsip hidup yang dipegang Larry.Larry memang kuat dan perkasa, Camelia tahu itu. Dua hal itu juga yang membuat para gadis menyukai Larry. Bahkan, tidak jarang Camelia mende
Puas.Hanya satu kata itu yang kini tengah bersarang di otak serta hati Larry. Semua ini karena apa yang baru saja Larry lakukan bersama Camelia. Larry tahu bahwa ini bukanlah kali pertama ia berhubungan intim dengan Camelia. Namun sensasi “bermain” dengan posisi Camelia di atasnya sungguh menakjubkan. Camelia yang terlihat lepas serta menikmati permainan yang dikendalikannya secara penuh, membuat Larry terhanyut dalam semangat serta gairah membara gadis itu. Kamu memang tidak pernah gagal dalam memuaskanku, Camelia. Lagi-lagi, pujian Larry hanya tertahan di dalam hati laki-laki itu.Woman on top. Larry berusaha menjejalkan salah satu gaya bercinta itu dalam folder ingatannya. Itu adalah posisi yang disukai Camelia, menurut pengakuannya. Posisi yang juga menjadi angan-angan paling liar gadis itu.Larry menyaksikan Camelia yang masih terus bergerak di atasnya. Gadis itu terlihat masih berusaha mendaki puncak kenikmatannya. Dalam posisi seperti ini, Larry hanya bisa memandangi Camelia
Setelah kembali berhasil meledakkan dirinya di gua hangat milik Camelia, Larry masih terlihat belum puas. Ia pun meminta Camelia untuk bangun dan mengubah posisi.“Camelia, aku ingin melihat sisi liarmu,” ujar Larry seraya merebahkan diri di atas ranjang yang agak berantakan. Camelia mengernyit. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataan Larry.“Pernahkah kamu memiliki fantasi liar?” Larry mengerti kebingungan Camelia sehingga ia mencoba menggali informasi lain tentang Camelia. Larry mengamati Camelia yang duduk di sampingnya sambil melipat kedua tangannya di belakang kepala.“Pernah,” jawab Camelia yang terlihat menjeda kalimatnya. Gadis itu terlihat malu serta ragu untuk melanjutkan pengakuannya.“Semenjak kita sering berhubungan, aku kemudian terpikir tentang sesuatu yang liar. Sesuatu yang mungkin suatu hari nanti berpeluang untuk kulakukan,” imbuh Camelia dengan wajah tersipu. Larry tersenyum, antara puas dan senang setelah mendengar penuturan Camelia.“Hm, jika demikian, katakan
Masih segar dalam ingatan Camelia ketika Larry tanpa ampun menghujani payudaranya dengan gigitan.“Aw….” Pekikan Camelia kembali memecah keheningan. Entah ini sudah keberapa kalinya Camelia memekik. Payudaranya sedikit sakit, tapi di saat bersamaan, gairahnya juga merangkak naik.Camelia bisa melihat jejak kemerahan akibat isapan kuat Larry. Mungkin inilah bentuk hukuman yang Larry katakan, pikir Camelia.“Larry, sakit.” Untuk kesekian kalinya, kembali Camelia merintih. Larry mendongakkan wajah, menatap Camelia yang meringis kesakitan. Larry juga menangkap titik air di sudut mata Camelia. Camelia menangis, tapi kali ini Larry tidak peduli. Larry justru mengatakan hal yang membuat Camelia nelangsa.“Fokuslah pada sensasi nikmatnya, Camelia. Jangan fokus pada rasa sakitnya!” Tegas Larry sambil melempar tatapan dingin.Oh, sial! Lagi-lagi Larry tahu apa yang dirasakan Camelia. Camelia sedikit memajukan bibir. Mencoba menarik perhatian Larry dengan memasang wajah cemberut.“Aku tidak akan
Camelia bangun dengan enggan setelah Larry menyuruhnya dengan kode berupa gerakan dagu.“Berdirilah di dekat dinding itu, Camelia!” suara Larry benar-benar menunjukkan bahwa ia tidak bisa dibantah. Lagi-lagi Camelia menurut. Dengan langkah gontai, Camelia mendekati dinding yang ditunjuk Larry tadi.Camelia tidak tahu apa yang akan Larry lakukan selanjutnya. Camelia terus menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir cemas. Ah, sebenarnya bukan cemas, tapi rasa takut yang perlahan tumbuh setelah apa yang Larry lakukan padanya.Kepala Camelia juga pening. Pasalnya, hasrat yang telah sampai ubun-ubun, tidak tersalurkan sebagaimana mestinya karena Larry tetiba mencabut miliknya, mengakhiri permainan yang hampir mencapai puncak. Akibat rasa pening yang terus mendera, Camelia sangat ingin merebahkan diri. Kepalanya yang terasa berdenyut sejak tadi, membuat Camelia memijit pelan pelipisnya.“Aku tidak akan terpancing dengan aksi pura-pura sakitmu, Camelia.” Ujar Larry diikuti senyuman sinis. Ca
“Larry, boleh aku bertanya satu hal?” Tanya Camelia setelah Larry menurunkannya ke atas ranjang. Ketika Camelia hendak duduk, Larry melarangnya. Ia menahan Camelia agar tetap berbaring dengan cara mengungkung gadis itu di bawahnya.“Katakan.”Camelia memalingkan wajah. Ia juga terlihat menggigit bibir bawahnya. Untuk sesaat, Camelia ragu, jadi bertanya atau tidak.“Apa kamu mencintai Rosaline?” Akhirnya pertanyaan yang mengganggu Camelia itu pun berhasil terlontar. Larry tersenyum lebar. Membuat Camelia mengernyit karena bingung, tidak mengerti dengan arti senyuman Larry.“Tidak. Aku tidak mencintai Rosaline,” jawab Larry. Wajah Camelia langsung berubah mendung. Ia merasa kasihan pada Rosaline.“Kenapa kamu tidak jujur pada Rosaline? Bukankah itu seperti kamu sedang mempermainkannya, mempermainkan perasaannya?” Camelia tidak terima sahabatnya dipermainkan. Ah, Camelia meralat pikirannya, mungkin kini ia dan Rosaline sudah tidak bersahabat lagi.Larry mengatakan bahwa ia akan jujur pad